Makalah Pembangunan Desa dan Wilayah Pedesaan PDF

Title Makalah Pembangunan Desa dan Wilayah Pedesaan
Author Rido Argo Mukti
Pages 29
File Size 490.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 430
Total Views 932

Summary

PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PEDESAAN Dosen Pengampu Drs. Suswanta, M.Si. Diusulkan Oleh: Indri Probuwati 20140520328 Arnida Pratiwi Putri 20140520094 Rido Argo Mukti 20140520098 Akbar 20140520140 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2016 i DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...........................


Description

PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PEDESAAN

Dosen Pengampu Drs. Suswanta, M.Si.

Diusulkan Oleh: Indri Probuwati Arnida Pratiwi Putri Rido Argo Mukti Akbar

20140520328 20140520094 20140520098 20140520140

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2016 i

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................i DAFTAR ISI .............................................................................................................ii DAFTAR TABEL ....................................................................................................ii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ii KATA PENGANTAR ..............................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D.

Latar Belakang .....................................................................................................1 Rumusan Masalah ................................................................................................5 Tujuan ..................................................................................................................5 Manfaat ................................................................................................................5

BAB II ANALISI DAN PEMBAHASAN A. Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan Pada Masa Orde Lama ..................6 B. Pembangunan Pedesaan Pada Masa Orde Baru ...................................................14 C. Pembangunan Pedesaan Pada Masa Reformasi ...................................................18 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ..........................................................................................................26 DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pembangunan pedesaan atau desa dapat dikatakan menempati bagian paling dominan mengisi wacana pembangunan daerah. Hal tersebut bukan saja didasarkan atas alasan fisik geografis, sumberdaya alam atau sumberdaya manusia. Tetapi didalamnya menyimpan potensi-potensi ekonomi yang harus dikenali dan diperbaiki (Dahuri & Nugroho, 2012). Reformasi yang mengakhiri era pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah rezim Soeharto telah melahirkan perubahan yang sangat signifikan dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Berbagai isu yang menjadi debat publik terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa yang hingga kini dipahami dalam berbagai perspektif yang sangat didominasi oleh perspektif hukum dan politik. Adanya perubahan format otonomi daerah sebagai sesuatu hal yang tidak terhindarkan, kemudian melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini sekaligus menandai berakhirnya era pemerintahan daerah yang sentralistik di bawah UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan desa. Sehingga membuka kembali sebuah wacana dan harapan baru untuk mengembalikan satu perspektif tentang desa terutama yang terkait dengan posisi

desa yang

terberdayakan. Bersamaan dengan terbukanya ruang publik dengan aturan baru tersebut, memunculkan pula kesadaran baru yang menginginkan sebuah pemerintahan demokratis, terdesentralisasi dan pemberdayaan masyarakat lokal yang, selain menuntut perlunya pengalokasian dan pendistribusian kekuasaan serta kewenangan, juga menginginkan adanya diskresi dalam

penetapan

kebijakan publik pada berbagai strata pelaksanaan pemerintahan. Menurut data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat Statistik dalam kurun waktu 2003 hingga 2011 jumlah perkembangan desa di Indonesia terus mengalami kenaikan yang signifikan hal itu disebabkan berbagai alasan. Salah satu alasan pemicu penambahan jumlah desa adalah konsep desentralisasi yang memungkinkan daerah indonesia dapat memiliki hak otonomi guna mengatur rumah tangganya sendiri. Berikut adalah jumlah Desa menurut Provinsi dan letak geografi, 2003-2011.

1

Tabel 1.1 Jumlah Desa Menurut Provinsi dan Letak Geografi, 2003-2011 Provinsi

Tepi Laut/Coastal

Tahun

Bukan Tepi Laut/Non-Coastal

2003

2005

2008

2011

2003

2005

2008

2011

Aceh

507.00

660.00

678.00

761.00

5229.00

5308.00

5746.00

5722.00

Sumatera Utara 1

336.00

175.00

375.00

396.00

5043.00

4740.00

5392.00

5401.00

Sumatera Barat

80.00

99.00

102.00

116.00

795.00

802.00

822.00

917.00

346.00

406.00

186.00

232.00

1279.00

1326.00

1418.00

1423.00





267.00

299.00





59.00

54.00

Jambi

28.00

28.00

28.00

29.00

1161.00

1207.00

1275.00

1343.00

Sumatera Selatan

16.00

19.00

22.00

34.00

2691.00

2759.00

3057.00

3152.00

Kep Bangka Belitung

122.00

105.00

137.00

163.00

195.00

216.00

207.00

198.00

Bengkulu

134.00

157.00

166.00

182.00

1029.00

1067.00

1185.00

1327.00

Lampung

170.00

186.00

203.00

231.00

1958.00

2005.00

2136.00

2233.00

DKI Jakarta

16.00

16.00

15.00

16.00

251.00

251.00

252.00

251.00

Jawa Barat

219.00

193.00

217.00

217.00

5539.00

5615.00

5654.00

5688.00

Banten

114.00

123.00

124.00

131.00

1365.00

1359.00

1380.00

1404.00

Jawa Tengah

334.00

334.00

329.00

347.00

8221.00

8230.00

8245.00

8230.00

DI Yogyakarta

30.00

32.00

33.00

33.00

408.00

406.00

405.00

405.00

Jawa Timur

567.00

571.00

611.00

655.00

7898.00

7906.00

7894.00

7847.00

Bali

150.00

156.00

167.00

177.00

536.00

545.00

545.00

539.00

Nusa Tenggara Barat

183.00

184.00

241.00

279.00

555.00

636.00

672.00

805.00

Nusa Tenggara Timur

768.00

815.00

841.00

943.00

1782.00

1923.00

1962.00

2023.00

Kalimantan Barat

130.00

138.00

153.00

163.00

1309.00

1392.00

1638.00

1804.00

Kalimantan Tengah

40.00

34.00

41.00

45.00

1290.00

1317.00

1407.00

1483.00

Kalimantan Selatan

135.00

131.00

135.00

166.00

1814.00

1828.00

1839.00

1834.00

Kalimantan Timur

131.00

168.00

179.00

218.00

1168.00

1176.00

1238.00

1247.00

Sulawesi Utara

456.00

509.00

627.00

721.00

740.00

760.00

867.00

972.00

Gorontalo

82.00

110.00

136.00

191.00

294.00

340.00

448.00

540.00

Sulawesi Tengah

684.00

770.00

839.00

901.00

756.00

760.00

847.00

914.00

Sulawesi Selatan

547.00

547.00

485.00

504.00

2537.00

2739.00

2461.00

2478.00





122.00

148.00





414.00

490.00

Sulawesi Tenggara

590.00

658.00

771.00

813.00

974.00

1027.00

1257.00

1308.00

Maluku

708.00

733.00

772.00

859.00

128.00

140.00

134.00

165.00

Maluku Utara

551.00

568.00

772.00

856.00

190.00

213.00

264.00

223.00

Papua 3

846.00

827.00

474.00

522.00

2661.00

2512.00

2837.00

3402.00





416.00

536.00





789.00

903.00

9020.00

9452.00

10664.00

11884.00

59796.00

60505.00

64746.00

66725.00

Riau Kepulauan Riau

Sulawesi Barat

Papua Barat Indonesia

2

2

2

Jika dilihat pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan desa terus mengalami kenaikan, pada tahun 2003 jumlah desa yang awalnya 68186 desa, pada tahun 2011 jumlah desa melonjak menjadi 78609 yang terdiri dari desa 2

tepi laut dan desa bukan tepi laut. Selain itu permasalahan yang melekat pada desa tidak hanya bertambahnya jumlah desa sehingga berkolerasi kuat dengan bagaimana kebijakan pemerintah untuk menyususun strategi pembangunan pedesaan yang tepat sasaran agar dapat menyentuh pada pembangunan desa yang terus mengalami peningkatan. Namun, permasalahan pembangunan pedesaan senantiasa berhubungan dengan kemiskinan. Menurut Dahuri & Nugroho (2012) upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia hingga tahun 1996 sangat menggembirakan, pada tahun 1976 masih ditemukan 54,2 juta penduduk miskin, maka dua puluh tahun setelah itu jumlahnya menurun lebih dari setengahnya, yaitu 22,5 juta. Namun, prestasi itu patut dipertanyakan karena jumlahnya naik lagi menjadi 50 juta orang yang 30 persen diantaranya berasal dari pedesaan pada tahun 1998 berkenaan dengan krisis ekonomi. Meningkatnya jumlah penduduk miskin daerah pedesaan ini yang tentu berimplikasi

pada

meningkatnya

jumlah

desa

tertinggal,

partisipasi

ketenagakerjaan atau bias Gender dalam kurun waktu 1991 hingga 1996, proporsi pekerja wanita di sektor pertanian meningkat signifikan. Dengan mengasumsikan mereka lebih lemah akses terhadap modal, teknologi dan pasar, maka perolehan benefitnya selain kecil juga menurun. Demikianlah, sebagaian dari berjalannya feminisasi kemiskinan. Selain itu akses dan kesempatan terhadap faktor produksi dan informasi yang berkaitan dengan pasar (Dahuri & Nugroho 2012). Desa tertinggal adalah desa yang dikategorikan memiliki indeks kemajuan pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia dibawah rata-rata nasional, akibat

kesenjangan

kemampuan

ekonomi

dan

kurangnya

ketersediaan

infrastruktur (RPJMN 2010-2014). Berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2014, terdapat 20.168 desa tertinggal di Indonesia. Angka ini merupakan 27,22 persen dari jumlah total desa yang ada di Indonesia, yang mencapai 74.093 desa. Adapun sebaran desa tertinggal terbanyak di Pulau Papua, dengan jumlah mencapai 6.139 desa. Sementara itu desa berkembang dan desa mandiri paling banyak ada di Pulau Jawa-Bali. Di Pulau Jawa-Bali jumlah desa berkembang mencapai 20.827 desa, dan desa mandiri mencapai 2.253 desa. IPD 2014 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),

3

dimaksudkan menjadi acuan bagi pemerintah untuk program pengembangan desa. Kepala BPS Suryamin dalam peluncuran buku IPD 2014 menyampaikan, agenda RPJMN 2015-2019 yakni pembangunan desa bisa memanfaatkan data IPD 2014 ini. Suryamin memaparkan, ada 43 indikator dalam mengukur IPD 2014. Lima dimensi yang dilihat dari perkembangan sebuah desa yakni dimensi pelayanan dasar, dimensi infrastruktur dasar, dimensi transportasi, dimensi pelayanan publik, serta dimensi penyelenggaraan pemerintah. Dari hasil pengukuran tersebut, desa di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga desa, yakni desa mandiri, desa berkembang, dan desa tertinggal. Perdebatan yang mewarnai pemikiran tentang pembangunan pedesaan di Indonesia pada masa Orde Baru dan awal Orde Reformasi adalah mengenai pendekatan yang digunakan dalam pembangunan itu sendiri. Secara sederhana terdapat tiga kutub pemikiran tentang pembangunan pedesaan di Indonesia. Kelompok pertama melihat wilayah pedesaan dan masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah pedesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Pada sisi lain, para pemikir yang melingkari kekuasaan pada saat itu, sebagai kelompok kedua, cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal. Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan pedesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis, serta menjadi 'alat pemerintah' dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba menyeimbangkan kekuatan masyarakat pedesaan dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat pedesaan (Jamal, 2009). Pada dasarnya perjalanan konsep pembangunan pedesaan pada masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi sangat menarik untuk dikaji kembali. Jika ditelaah kembali histori pengaturan dan pembangunan desa pada masa Orde Lama tertuang pada UU 19 Tahun 1965, Desa Praja Sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat tewujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Republik Indonesia. Pada masa orde baru tertuang dalam UU No 5 Tahun 1979 Tentang

4

Pemerintah Desa, di masa inilah penyeragaman desa dilakukan. Sedangkan pada masa peralihan antara periode Orde Lama dan pasca reformasi, pengaturan dan peraturan desa tertuang dalam UU No 22 Tahun 1999. Pada masa reformasi desa diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 6 Tahun 2014. Namun, penulis tidak menemukan secara detail dan eksplisit di dalam Undang-undang konteks pembangunan dan rumusan kebijakan pembangunan desa pada periode tersebut. Maka dari itu dari permasalahan diatas dapat kita simpulkan bahwa strategi dan kebijakan pembangunan desa dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi sangat layak untuk dikaji. B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalah dan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah Bagaimana pembangunan desa dan kawasan pedesaan di era Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui pembangunan desa dan kawasan pedesaan di era Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.

D. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan penulis mengenai konsep pembangunan desa dan kawasan pedesaan pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi. 2. Menambah wawasan bagi pembaca mengenai konsep pembangunan desa dan kawasan pedesaan pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi.

5

BAB II ANALISI DAN PEMBAHASAN A. Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan Pada Masa Orde Lama Di era Orde Lama, desa diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, baik dalam UU No 22 Tahun 1948 tentang pemerintahan daerah, UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokokpokok Pemerintahan Daerah, maupun dalam UU No 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah serta UU No 19 tahun 1965 tentang Desapraja. Wakil Presiden Moch. Hatta pada konggres Pamong Praja di Solo tahun 1955, melontarkan pandangan yang dikenal sebagai konsepsi Hatta tentang otonomi. Hatta mengatakan bahwa sebaik-baiknya otonomi apabila diletakkan pada kabupaten, kota serta desa, sedangkan propinsi bersifat administratif belaka. Pemikiran Hatta untuk memperkuat desa tidak lepas dari kenyataan bahwa desa pada masa itu merupakan tempat kehidupan dan penghidupan masyarakat. Dengan memperkuat desa berarti mendekatkan pelayanan pemerintahan pada unit yang terdekat dengan masyarakat. 1. Politik Desa Masa Orde Lama Keberhasilan para pendiri negara merebut kemerdekaan tahun 1945, tentunya membawa perubahan penting dalam politik pedesaan. Karena berarti bahwa kemerdekaan yang terpenting adalah kemerdekaan dibidang politik. Partaipartai politik di pedesaan berusaha membangun politik desa dengan pertama-tama menghilangkan nilai-nilai kolonialisme khususnya sistem ekonomi kapitalisme di desa akibat pengaruh kolonial. Dalam catanan (Sosialismanto, 2001, hal 4) misalnya pada tahun 1957, setelah sengketa Irian Jaya Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Pembangunan politik desa tentu diperlukan persiapan yang matang, salah satunya adalah bagaimana menyiapkan sistem ekonomi kerakyatan (pertanian) sebagai basis utama demokrasi politik di desa. Ada dua paradigma dalam pengembangan sistem politik di Indonesia, yang pertama indonesia baru saja memasuki dunia yang lepas dari kengkraman kolonial yang ingin menata dan mengambil alih struktur kekuasaan dari tangan penjajah dan yang kedua adalah

6

bahwa menjalankan demokratisasi yang merupakan reslisasi dari kemerdekaan (Suhartono, 2001). Hal ini membuat suatu kegelisahan dimana bangsa ini sangat mendambakan suatu sistem pemerintahan yang mengatur kekuasaan rakyatnya dan disisi lain kita juga terbentur dengan kondisi masyarakat yang sangat memprihatinkan. Parlemen desa yang merupakan tempat kekuatan masyarakat dan berkumpul di tingkat grass root sangat mengharapkan dapat menampung aspirasi masyarakat secara komprehensip untuk menjamin adanya pemerintahan yang demokratis. Parlemen desa adalah organisasi politik yang mulai dikenal sangat masif oleh masyarakat desa. Perkembangan politik masyarakat desa di Jawa jaman kemerdekaan merupakan ideologi komunal dari pada ideologi rasional tetapi bila dilihat dalam aspek pendidikan politik sudah mengalami kemajuan, apalagi sebelumnya demokrasi sudah sangat membudaya dalam masyarakat kita. Sosialismanto melihat dari sudut analisis ekonomi politik, peranan desa sebagai organisasi kekuasaan telah mengalami pergeseran peranan, berbeda dengan desa masa kolonial yang eksploitatif terhadap manusia dan sumber daya alamnya. Desa masa orde lama telah memperkenalkan dunia politik (politisasi) yang bergerak pada masyarakat desa. Munculnya politisasi disatu sisi berakibat pada disharmonisasi kehid...


Similar Free PDFs