Makalah PMK - Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah salah satu penyakit penting yang menginfeksi PDF

Title Makalah PMK - Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah salah satu penyakit penting yang menginfeksi
Course Ekologi Hewan
Institution Universitas Nusa Cendana
Pages 16
File Size 337.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 325
Total Views 720

Summary

MAKALAH PENYAKIT VIRUS STRATEGIS DI INDONESIA MULUT DAN KUKU EDWIN KRISNANDAR NDAWA LU, S KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIUM FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2019 BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah salah satu penyakit penting yang mengin...


Description

MAKALAH PENYAKIT VIRUS STRATEGIS DI INDONESIA “PENYAKIT MULUT DAN KUKU (PMK)”

EDWIN KRISNANDAR NDAWA LU, S.KH

KOASISTENSI DIAGNOSTIK LABORATORIUM FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2019

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah salah satu penyakit penting yang menginfeksi hewan sapi, kambing, domba dan babi serta beberapa jenis hewan liar. Penyakit ini penting secara ekonomi karena selain mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi pada hewan muda, penurunan produksi susu maupun bahan asal hewan lainnya serta dapat mengakibatkan pembatasan perdagangan internasional bagi negara yang terinfeksi PMK. Selain dampak langsung dari penurunan produksi peternkan dan pembatasan perdagangan internasional, wabah PMK juga memberikan dampak yang serius bagi aspek sosial ekonomi dan industri pariwisata. Indonesia dinyatakan bebas PMK pada tahun 1986 dan status kebebasan ini telah diakui secara resmi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE), Pemerintah Indonesia berupaya untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencegah masuknya kembali PMK ke Indonesia dan akan melakukan upaya pemberantasan. Pemerintah Indonesia telah menetapkan pelarangan importasi yang ketat terhadap hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang berasal dari negara-negara dinyatakan tertular dalam upaya untuk mencegah masuknya kembali PMK ke Indonesia. Namun demikian peningkatan arus lalu lintas manusia dan barang serta perubahan pola perdagangan serta juga perubahan peraturan perdagangan dunia telah menyebabkan meningkatnya kemungkinan timbulnya wabah PMK. Menurut Harada et al. (2007), PMK sangat menular ke hewan berkuku belah. Transmisi dilaporkan terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, aerosol, semen, produk makanan, dan fomites. Morbiditas penyakit ini sangat tinggi tetapi mortalitasnya rendah dan sangat cepat menular (highly contagious) (Rushton dan KnightJones, 2013). Jalur masuk yang memungkinkan virus PMK masuk ke suatu negara bebas adalah melalui penyelundupan daging yang tidak diolah dan produk hewan lainnya, terorisme ekonomi dan sampah yang ditransportasikan dengan pesawat terbang dan kapal laut (Donaldson dan Doel, 1994). Daging yang mengandung virus PMK aktif dapat menjadi risiko munculnya PMK, terutama jika daging terkontaminasi diberikan sebagai pakan babi.

Sebagaimana yang terjadi pada wabah PMK di Great Britain tahun 2001, diperkirakan karena pemberian pakan babi dari sisa makanan yang mengandung daging. Pemberian pakan jenis ini, diperkirakan sejak tahun 2000 terhadap 82.000 babi (1.4% populasi babi) di Great Britain (Hartnett et al. 2007). Mengingat adanya kemungkinan wabah PMK

yang dapat disebabkan karena

gagalnya upaya pencegahan terhadap masuknya virus, maka sangat penting untuk mempelajari karakteristik virus tersebut, gejala klinis yang timbul serta upaya pengobatan dan pengendalian. Selain itu, alat diagnostik dengan sensitifitas dan spesifisitas serta metode yang tepat perlu dipelajari untuk penegakan diagnosa, sehingga virus PMK yang muncul tidak dapat dikelirukan dengan diferensial diagnosanya seprti Vesicular Stomatitis dan Swine Vesicular disease. Melalui upaya tersebut diharapkan upaya pengobatan dan pengendalian dapat dilakukan sedini mungkin.

1.2 Tujuan 

Untuk mengetahui etiologi terkait sifat dan karakteristik virus PMK.



Untuk mengetahui patogenesis penyakit mulut dan kuku.



Untuk mengetahui metode diagnosis penyakit mulut dan kuku.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) atau Aphthae epizooticae, Foot and mouth disease (FMD) adalah salah satu penyakit menular pada sapi, kerbau, babi, kambing, rusa ,domba dan hewan berkuku genap lainnya seperti gajah, mencit, tikus, dan babi hutan. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan salah satu penyakit eksotik di Indonesia (Kementerian Pertanian 2013). Penyakit ini disebabkan oleh picorna virus dari genus Aphthovirus yang merupakan virus yang tersebar di sebagian besar belahan dunia, seringkali menyebabkan epidemi yang luas pada sapi dan babi piaraan (Grubman & Baxt 2004). Terdapat tujuh serotype dari virus PMK yang telah diidentifikasi melalui uji serologi dan perlindungan silang; virus itu dinyatakan dengan O (Oise) dan A (Allemagne); C; SAT1, SAT2, SAT3(South African territories) dan Asia1. Virus dapat diinaktifasi dengan peningkatan suhu, pH yang asam dan basa serta pemberian desinfektan. Inaktifasi secara progresif dilakukan dengan pemanasan pada suhu diatas 50°C. Pemanasan daging dapat dilakukan pada suhu minimum 70 °C selama 30 menit. Selain itu, pH lebih kecil dari 6 dan lebih besar dari 9 dapat menginkatifasi virus secara cepat. Pemberian desinfektan untuk inaktifasi virus dapat menggunakan sodium hydroxide (2%), sodium carbonate (4%), asam sitrat (0.2%), asam asetat (2%), sodium hypochlorite (3%), potassium peroxymonosulfate /sodium chloride (1%), dan chlorine dioxide. Sedangkan virus resisten terhadap idiofor, amonium kuartener dan fenol terutama yang berasal dari material organik (OIE, 2013). Virus PMK dapat bertahan hidup pada limfonodus dan sumsum tulang pada pH netral, namun dapat rusak pada pH < 6 misalnya setelah rigor mortis. Virus dapat bertahan pada sumsum tulang dan limfonodus yang dibekukan. Residu virus dapat ditemukan dalam susu dan produk susu pada pasteurisasi reguler, tetapi dapat diinaktifasi pada pasteurisasi ultra-high temperature (OIE, 2013).

2.2 Patogenesis Masuknya virus PMK umum nya pada sapi dan babi terjadi melalui jalur pernapasan akibat adanya kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, kontak dengan peralatan yang telah terkontaminasi (seperti pakaian, sepatu dan kendaraan), transmisi melalui produk daging yang terkontaminasi (umumnya pada babi), ingesti susu yang terkontaminasi (oleh sapi), Inseminasi buatan menggunakan semen yang terkontaminasi dan transmisi melalui udara terutama pada daerah beriklim sedang, dengan jangkauan sampai 60 km di darat dan 300 km di laut. (OIE, 2013). Beberapa penelitian menjelaskan faring dan paru-paru merupakan tempat replikasi awal virus setelah itu virus akan bermigrasi menuju ke epitel rongga mulut. Penelitian lainnya menunjukkan replikasi primer PMKV dapat dideteksi dalam cairan orofaring (OP) dalam waktu 2 - 6 jam dari deposisi intranasal tergantung pada jenis virus dan dosis yang diberikan. Setelah terjadi replikasi di faring, maka viremia terjadi melalui sistem limfatik, akan tetapi setelah dilakukan eksperimen inokulasi secara aerosol maka ditetapkan bahwa viremia terjadi melalui paru-paru (McVicar et al., 1970; Sutmoller and McVicar, 1976). Melalui paru-paru, PMKV akan memiliki kemungkinan tinggi untuk mendapatkan akses ke pembuluh darah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya PMKV positif dekat von wilebrand faktor (endotel pembuluh darah) dan lamina propria (Artz et al., 2010).

2.3 Gejala Klinis , Secara klinis, tanda-tanda hewan yang terserang PMK adalah lesu/ lemah, suhu tubuh meningkat (dapat mencapai 41 C), hipersalivasi, nafsu makan berkurang, enggan berdiri, pincang, bobot hidup berkurang, produksi susu menurun bagi ternak penghasil susu, dan tingkat kesakitan sampai 100%. Tingkat kematian pada hewan dewasa umumnya rendah, namun biasanya tinggi pada hewan muda akibat myocarditis. Tanda khas PMK adalah lepuh-lepuh berupa tonjolan bulat yang berisi cairan limfe pada rongga mulut, lidah sebelah atas, bibir sebelah dalam, gusi, langit-langit, lekukan antara kaki dan di ambing susu. Gejala dapat berlangsung dari ringan sampai parah. Tingkat morbiditas dapat mencapai 100 %. Mortalitas pada umumnya rendah pada hewan tua (1-5 %) akan tetapi tinggi pada hewan muda (20% keatas).

Gejala klinis pada sapi umumnya terjadi Pirexia, anoreksia, suhu tubuh meningkat, yang kemudian dilanjtkan dengan sapi mulai menggertakan gigi dan bibir, mengeluarkan air liur, berjalan pincang, menendang-nendang kakinya karena terdapat vesikel pada membrane mukus buccal dan nasal atau antara digiti dan coronary band. Setelah 24 jam vesikel akan ruptur dan menyebabkan terjadinya erosi. Pada domba, Kambing dan Babi gejala klinis yang nampak adalah pireksia terdapat lesi pada mulut dan kaki, selain itu juga kematian pada hewan muda sering terjadi tanpa ditandai dengan adanya gejala klinis. Menurut OIE (2013) Lesi yang pada umunya ditemukan pada gejala klinis dari setiap spesies berupa vesikula atau lepuhan pada lidah, gusi, pipi, palatum durum dan palate mole, bibir, lubang hidung, moncong, coronary band, ambing, dewclaw, dan celah interdigiti.

Gambar 1. Lesi pada mulut dan Lesi terbuka antara teracak ternak (kiri) dan lesi terbuka pada bantalan gigi kerbau penderita PMK (kanan). (sumber : Balai Penelitian Veteriner)

Gambar 2. Bentuk lesi teracak pada babi setelah terinfeksi PMKv A24 Cruzeiro pada hari ke-2 (gambar A) dan hari ke 24 (gambar B) (Sumber : Stendfelt et al., 2016) 2.4 Diferensial Diagnosis Beberapa penyakit yang memiliki gejala klinis menyerupai Penyakit Mulut dan Kuku adalah Vesculae stomatitis hanya saja penyakit ini juga dapat mengenai hewan berkuku satu (kuda, keledai,dll), Vesicular exanthema tetapi hewan yang dapat diserang hanyalah ternak babi. Rinderpest, Penyakit ini mirip sekali dengan PMK dengan morbiditas tinggi, tetapi mortalitasnya juga tinggi lain dengan PMK yang angka mortalitasnya rendah. Selain itu Rinder-pest memperlihatkan pula adanya perdarahan-perdarahan umum yang disertai terjadinya erosi-erosi dan nekrosis pada kelenjar-kelenjar limfe. Penyakit mucosal (Mucosal disease), Penyakit ini memiliki tingkat morbiditasnya rendah tidak seperti PMK. Hewan yang diserang biasanya yang muda, antara umur 3 bulan sampai 2 tahun. Kelainan-kelainan dimulut sama dengan PMK, tetapi penyakit ini menimbulkan gejala-gejala lain berupa diare (kadang berdarah) dan terjadi necrosis-necrosis jaringan disekitar mulut. Diferensial diagnosa lainnya adalah bovine viral diarrhea (BVD), infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bloutongue, epizootic hemoragic disease, bovine mammillitis, bovine popular stomatitis, contagious ecthyma dan malignant catarrhal fever (OIE, 2013).

2.5 Diagnosis Penyakit Mulut dan Kuku Diagnosis PMK didasarkan kepada sifat penyebaran antar hewan (epizoologi), gejala klinik dan pemeriksaan paska mati. Untuk mengisolasi virusnya dilakukan pembiakan dalam kultur jaringan dan inokulasi virus. Bagian yang digunakan untuk diagnosis laboratoris adalah jaringan epitelium dan cairan vesikular. Jaringan epitel sebanyak 1 gr dikoleksi dari vesikel yang ruptur maupun belum ruptur pada bagian lidah, mukosa bucal atau kaki. Jaringan epitel kemudian diletakan dalam medium transport yang mengandung gliserol, 0.04 M bufer fosfat dengan pH 7.2-7.6 dan perlu penambahan antibiotik (penicillin 100 IU, neomycin sulphate 100 IU, polymyxin B sulphate 50 IU, mycostatin 100 IU). Penggunaan 0.04 bufer fosfat dapat digantikan dengan PBS, akan tetapi tetap harus memperhatikan pH berkisar antara 7.2-7.6 karena virus tidak stabil pada pH yang rendah setelah itu sampel harus disimpan pada lemari es atau es sebelum diterima oleh laboratorium. Apabila jaringan epitel tidak tersedia, misalnya pada kasus dimana infeksi dicurigai tanpa adanya tanda-tanda klinis, sampel cairan orofaring (OP) dapat dikoleksi dengan melakukan swab pada tenggorokan. Pengambilan Sampel orofaring dilakukan dengan memasukkan probang melewati lidah ke area orofaring dan selanjutnya dilakukan swab 5-10 kali antara bagian pertama esofagus dan bagian belakang faring. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan cairan oro-faring, terutama sel epitel superfisial dari area ini, termasuk bagian proksimal esofagus, dinding faring, tonsil dan permukaan pallatum mole. Sampel selanjutnya dimasukkan dalam medium transport untuk dibawa ke laboratorium pengujian Gold standard untuk uji diagnostik penyakit mulut dan kuku (PMK) adalah isolasi virus dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), akan tetapi karena alasan efisiensi waktu maka deteksi virus melalui asam nukleat lebih banyak digunakan dan dikembangkan ( Paixao et al., 2008)

2.5.1 Identifikasi Agen Sampel seperti epitelium, swab ororfaring dan serum dapat digunakan untuk isolasi virus atau RT-PCR sedangkan untuk uji ELISA dapat digunakan suspensi epithelial, cairan vesicular dan supernatan sel kultur  Isolasi Virus Sampel epitelium dikeluarkan dari medium transpor PBS atau gliserol, kemudian dikeringkan pada kertas absorben untuk mengurangi kandungan gliserol yang dapat bersifat toksik bagi sel kultur. Sampel dihaluskan dengan menggunakan steril sands dan mortar agar diperoleh suspensi, selanjutnya ditambahkan medium kultur jaringan dan antibiotik. Medium ditambahkan sembilan kali lebih banyak dibandingkan sampel epitel, agar diperoleh 10 % suspensi. Sampel selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 2000 g selama 10 menit. Suspensi sampel yang diduga mengandung PMKV diinokulasi ke dalam sel kultur. Sel kultur yang dapat digunakan adalah primary bovine (calf) thyroid cells dan primary pig, calf atau lamb kidney cells. Sel line yang telah tersedia seperti BHK-21 (baby hamster kidney) dan IB-RS-2 cells juga dapat digunakan, tetapi umumnya kurang sensitif dibandingkan sel primer untuk mendeteksi tingkat infeksi yang rendah. Sensitivitas setiap sel yang digunakan harus diuji dengan persiapan standar PMKV. Penggunaan sel IB-RS-2 membantu diferensiasi virus swine vesicular disease (SVDV) dari PMKV (karena SVDV hanya akan tumbuh dalam sel-sel yang berasal dari babi) dan esensial untuk isolasi strain porcinophilic, seperti O Cathay. Selanjutnya, 48 jam kemudian kultur sel diamati untuk melihat efek sitopatik (CPE). Jika tidak ada CPE yang terdeteksi, sel harus dibekukan dan dithawing, untuk diinokulasikan pada fresh kultur dan diperiksa CPE pada 48 jam berikutnya.

2.5.2 Metode Imunologis • Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) Prosedur yang lebih sering digunakan untuk deteksi antigen virus PMK dan identifikasi serotipe virus adalah ELISA. Metode yang digunakan adalah indirect sandwich Elisa. Setiap baris yang berbeda pada multiwell plate dilapisi antisera kelinci untuk masing-masing dari tujuh serotipe PMKV, yang digunakan sebagai “capture

sera”. Lalu, suspensi sampel ditambahkan ke masing-masing baris, termasuk kontrol. Selanjutnya guinea-pig antisera ditambahkan ke masing-masing serotipe PMKV, diikuti oleh rabbit- anti guinea pig serum yang telah terkonjugasi enzim. Pencucian ekstensif dilakukan antara setiap tahap untuk menghilangkan reagen yang tidak terikat. Perubahan warna saat penambahan substrat enzim dan kromogen menunjukkan reaksi positif. Reaksi positif yang kuat akan langsung teramati dengan mata telanjang, tetapi hasilnya juga dapat dibaca menggunakan spektrofotometri pada panjang gelombang yang sesuai. Dalam hal ini, pembacaan absorbansi lebih besar dari 0,1 di atas background

menunjukkan

reaksi

positif; serotipe

PMKV

juga

dapat

diidentifikasi. Nilai yang mendekati 0,1 dilakukan konfirmasi dengan pengujian ulang atau dengan amplifikasi antigen melalui kultur jaringan dan pengujian supernatan setelah CPE berkembang.

2.5.3 Identifikasi Asam Nukleat Deteksi Molekuler penyakit mulut dan kuku dilakukan dengan menggunakan PCR. Dibandingkan dengan isolasi virus, deteksi secara molekuler dapat dilakukan lebih cepat dan dapat mengurangi risiko penyebaran virus karena kesalahan yang terjadi di laboratorium. Hal ini dikarenakan ekstraksi sampel pada uji PCR menggunakan reagen berbahan dasar detergen yang akan menginaktivasi virus. Dibandingkan dengan isolasi virus, PCR lebih mahal dan memerlukan kontrol positif pada setiap ujinya. Jenis uji PCR yang digunakan untuk PMKV ini adalah RT-PCR, hal ini dikarenakan Aphthovirus merupakan virus bertipe RNA sehingga harus di transkripsi menjadi DNA agar dapat uji. Real time RT-PCR memiliki tingkat sensitifitas yang sebanding dengan isolasi virus (Raid et al., 2003). Berdasarkan prosedur yang digunakan di Laboratorium Referensi OIE di Pirbright dijelaskan uji RT-PCR terdiri dari tiga prosedur berturut-turut yaitu (i) ekstraksi RNA template dari sampel uji atau control diikuti oleh (ii) RT dari RNA yang diekstraksi, (iii) amplifikasi produk RT-PCR dan (iv) deteksi dengan elektroforesis gel agarosa. Bahan yang digunakan adalah Nuclease-free water, reagen TRIzol®, kloroform,

glikogen, isopropil alkohol (propan-2-ol), ethanol, random hexanucleotide primers, First strandbuffer, BSA (asetilasi), dNTPs, DTT, Moloney Murine Reverse Transcriptase, PCR reaction buffer (10×), MgCl2 dan Taq Polymerase tersedia secra komersial. Primers pada konsentrasi 10 pmol/µl: Primer 1 sequence 5’-GCCTGGTCTT-TCCAG-GTCT-3’ (Forward); Primer 2 sequence 5’-CCAGT-CCCCTTCTCA-GATC-3’ (Reverse) Prosedur Pengujian :  Tambahkan 200 μl sampel ke dalam 1 ml reagen ekstrasi RNA (TRIzol®) dalam tabung steril. Simpan pada suhu –70 ° C sampai diperlukan untuk ekstrasi RNA.  Pindahkan 1 ml larutan (dari langkah 1) ke dalam tabung steril segar yang mengandung 200 μl kloroform. Vortex selama 10–15 detik dan dibiarkan pada suhu kamar selama 3 menit.  Centrifuge selama 15 menit pada 20.000 g .  Supernatan dipindahkan sebanyak 500 µl ke dalam tabung steril mengandung 1 μl glikogen (20 ml / ml) dan tambahkan 500 μl iso-propil-alkohol (propan-2-ol). Vortex selama beberapa detik.  Biarkan pada suhu kamar selama 10 menit kemudian centrifuge selama 10 menit pada 20.000 g .  Buang cairan supernatan dari setiap tabung dan tambahkan 1 ml etanol 70%. Vortex selama beberapa detik  Centrifuge selama 10 menit pada 20.000 g .  Keluarkan cairan supernatan dari setiap tabung dengan hati-hati agar tidak mengeluarkan pelet pada bagian bawah tabung.  Tabung diangin-anginkan pada suhu kamar selama 2-3 menit.  Resuspend setiap pelet dengan menambahkan 20 μl nuclease- free water ke dalam tabung.  Simpan sampel RNA yang diekstraksi di atas es jika langkah reverse transcriptase (RT) akan dilakukan. Jika tidak, simpan pada suhu –70 ° C.  Untuk setiap sampel yang diuji, tambahkan 2 μl hexamers acak (20 μg / ml) dan 5 μl nuclease- free water ke dalam tabung microcentrifuge steril 0,5 ml. Disarankan untuk

menyiapkan pengenceran dalam jumlah besar, untuk jumlah total sampel yang akan diuji tetapi memungkinkan untuk satu sampel tambahan.  Tambahkan 5 μl RNA dari prosedur ekstraksi yang dijelaskan di atas untuk memberikan volume 12 μl dalam setiap tabung. Campur dengan lembut  Inkubasikan pada suhu 70 ° C selama 5 menit.  Dinginkan pada suhu kamar selama 10 menit.  Selama periode inkubasi 10 menit, siapkan campuran reaksi RT untuk masingmasing sampel, berupa : First strand buffer, 5× conc. (4 μl); bovine serum albumin (asetilasi) 1 mg/ml (2 μl); dNTPs, 10 mM campuran masing-masing dATP, dCTP, dGTP, dTTP (1 μl) ; DTT 1 M (0,2 μl) ; Moloney Murine Reverse Transcriptase 200 U/μl (1 μl).  Tambahkan 8 μl campuran reaksi kedalam 12 μl random primer RNA. Campur dengan pipetting secara lembut.  Inkubasikan pada suhu 37 ° C selama 45 menit.  Simpan produk RT di atas es jika langkah amplifikasi PCR akan dilakukan, jika tidak simpan pada suhu –20 ° C.  Siapkan PCR mix berupa : Nuclease- free water (35 μl) ; Buffer reaksi PCR 10x conc (5 μl); MgCl2 50 mM (1,5 μl) ; dNTPs 10 mM campuran masing-masing dATP, dCTP, dGTP, dTTP (1 μl); primer 1, 10 pmol/μl (1 μl); primer 2, 10 pmol / μl (1 μl); Taq Polymerase 5 unit/μl (0,5 µl).  Tambahkan 45 μl PCR reaction mix ke well plate PCR atau kedalam tabung microsentrifuge untuk setiap sampel uji, diikuti 5 μl produk RT sehungga diperoleh volume akhir 50 μl.  Centrifuge plate atau tabung selama 1 menit dalam centrifuge yang cocok untuk mencampur isi masing-masing well.  Letakan plate dalam thermal cycler untuk amplifikasi PCR dan lakukan program berikut:  94 ° C selama 5 menit (1 siklus)  94 ° C selama 1 menit, 55 ° C selama 1 menit, 72 ° C selama 2 menit (30 siklus)

 72 ° C selama 7 menit (1 siklus)  Campurkan 20 μl aliquot dari setiap produk reaksi PCR dengan larutan

pewarnaan

4 μl dan dijalankan pada 1,5% gel agarose. Setelah elektroforesis, hasil...


Similar Free PDFs