Makalah Psikologi Positif: Engagement PDF

Title Makalah Psikologi Positif: Engagement
Course Psychology
Institution Universitas Merdeka Malang
Pages 19
File Size 209.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 503
Total Views 872

Summary

MAKALAH PSIKOLOGI POSITIF“ENGAGEMENT”Dosen Pengampu: Eka Indah Nurmawati, M., Psikolog.Oleh Kelompok VII: Vannesa Ayu Setiawan (18090000107) Shofi Royani (18090000109) Neli rede (18090000112) FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS MERDEKA MALANGKelas C September 2020KATA PENGANTARPuji syukur kehadirat Tuhan ...


Description

MAKALAH PSIKOLOGI POSITIF “ENGAGEMENT” Dosen Pengampu: Eka Indah Nurmawati, M.Psi., Psikolog.

Oleh Kelompok VII: 1. Vannesa Ayu Setiawan

(18090000107)

2. Shofi Royani

(18090000109)

3. Neli rede

(18090000112)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERDEKA MALANG Kelas C September 2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan kuasa-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Engagement” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai apa saja hal-hal yang berkaitan dengan Engagement dalam psikologi positif ini. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya, kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan katakata yang kurang berkenan. Kami mohon adanya usulan, kritik, dan saran yang membangun untuk kebaikan kami bersama.

Malang, 19 September 2020

Kelompok VII

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i DAFTAR ISI ......................................................................................................ii BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.......................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah .................................................................................1 1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................2 1.4. Manfaat Penulisan .................................................................................2 BAB II : PEMBAHASAN 2.1..................................................................................Definisi

Engagement

.................................................................................................................3 2.2.......................................................Mendayabaktikan Signature Strengths .................................................................................................................5 2.3....................................................................................Calling, Job, Career .................................................................................................................6 2.4...............................................Menemukan (atau ditemukan oleh) Calling .................................................................................................................9 2.5.........................Personal Project: Kebiasaan Mendayabaktikan Strengths ...............................................................................................................10 2.6...................................................Menata Kembali Pekerjaan (atau Hidup) ...............................................................................................................10 2.7...........................................Self-Trust dan Membuka Diri pada Panggilan ...............................................................................................................11 2.8....................................................................Menemukan atau Ditemukan? ...............................................................................................................12 BAB III : PENUTUP .1. Kesimpulan ..........................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Hidup dapat ditafsirkan dan dijalani dengan berbagai cara. Sebagian orang menafsirkan hidup sebagai kesempatan yang hanya satu kali untuk menikmati sebanyak mungkin kebahagiaan, dan menghindari sebanyak mungkin

kesedihan.

Dalam

kehidupan

semacam

itu,

ignorance

(memalingkan wajah dari persoalan hidup), shallowness (kedangkalan), dan disengagement (hidup tanpa komitmen) bias jadi adalah pilihan yang “bijak”. Sebagian orang lainnya menafsirkan hidup sebagai kesempatan yang hanya satu kali untuk diisi dan diberi makna. Apabila hidup ditafsirkan demikian, maka kabut ilusi yang selama ini menghalangi pandangan akan menepi, dan pandangan menjadi jernih tentang apakah yang sungguhsungguh penting dan layak untuk diperjuangkan. Mengetahui apa yang paling bermakna dalam hidup ini bagaikan menemukan mutiara terindah, yang demi memperolehnya orang rela menukarkan seluruh miliknya. Hidup yang layak dijalani adalah hidup yang kepadanya kita dapat memberikan diri sepenuhnya dan ditransformasikan untuk selamanya. Oleh karena itu, engagement sangat diperlukan dalam berkehidupan sehari-hari. Engagement dapat terjadi di setting apa pun, baik itu relasi intim (romantic engagement), persahabatan (friendship engagement), dunia kerja (work engagement), sekolah (school engagement), dan lain-lain.

iii

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: 1) Apakah yang dimaksud dengan engagement? 2) Apa sajakah aspek-aspek yang terdapat dalam engagement? 3) Bagaimana caranya agar engagement dapat berjalan secara efektif dalam kehidupan sehari-hari

1.3. Tujuan Penulisan 1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan engagement 2) Untuk mengetahui apa saja aspek-aspek yang terdapat dalam engagement 3) Untuk mengetahui bagaimana caranya agar engagement dapat berjalan secara efektif dalam kehidupan sehari-hari

1.4. Manfaat Penulisan Kami sangat berharap semoga dengan makalah ini bisa menambah wawasan serta pengetahuan kami dan pembaca mengenai seluk beluk engagement sehingga kedepannya kami bisa mengamlkannya dalam kehidupan sehari-hari.

iv

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Engagement Engagement adalah sebuah jalan hidup (a way of being) dimana seseorang tidak hidup bagi dirinya sendiri, melainkan mengikatkan diri dengan sukarela (engaged) pada seseorang/kelompok, sebagai tujuan, visi, atau panggilan sehingga karenanya ia menjalani hidup yang positif. Hidup yang didayabaktikan. Dalam hidup semacam itu, ia akan berfungsi secara optimal, mendayagunakan semua kebaikan (virtues and strengths) yang dimilikinya, sehingga dipenuhi oleh gratifikasi (kepuasan batin) yang melebihi segala kesenangan hedonis. Engagement berarti melibatkan diri dengan sepenuh hati, dengan total, dengan sukarela, meski seringkali dengan mengambil risiko dalam suatu relasi dengan seseorang/sekelompok. Dalam suatu engagement, seseorang ingin memberikan yang terbaik dari dirinya untuk orang lain/kelompok. Kebalikan dari engagement adalah disengagement, dimana seseorang hanya menjalani sesuatu tanpa adanya komitmen, menjalankan sesuatu dengan apa adanya, tanpa melibatkan hati, tanpa mengambil risiko, bahkan kurang adanya tanggung jawab. Seseorang yang memiliki sikap disengagement biasanya ingin mendapatkan manfaaat sebanyak mungkin dari pihak lain

v

baik individu/kelompok. Engagement dapat terjadi di setting apa pun, baik itu

relasi

intim

(romantic

engagement),

persahabatan

(friendship

engagement), dunia kerja (work engagement), sekolah (school engagement), dan lain-lain. Martin Seligman (2002) menyebut engagement sebagai the good life, yaitu hidup yang bercirikan pencarian gratifikasi (kepuasan batin), dan bukanlah kesenangan (pleasures). Ada perbedaan yang besar antara kesenangan dan gratifikasi. Dimana kesenangan adalah sensasi yang dirasakan ketika sebuah hasrat terpenuhi, baik itu hasrat badani (hasrat makan dan hasrat seksual), ataupun hasrat psikologis (hasrat untuk dipuji dan hasrat untuk diperhatikan). Dalam kesenangan, ukuran yang penting adalah seberapa besar sensasi nikmat (hedonic tone) yang didapatkan dari suatu tindakan.

Sedangkan gratifikasi adalah kepuasan batin, yaitu

semacam “sukacita jiwa” saat seseorang menggunakan signature strengthsnya secara optimal untuk melakukan sesuatu yang bermakna. Dalam gratifikasi, sebenarnya masalah senang atau derita tidak lagi menjadi masalah besar, karena seseorang dapat memperoleh gratifikasi di saat senang, maupun menderita, selama ia mengunakan signature strengths-nya untuk tujuan yang bermakna. Kesenangan ataupun gratifikasi sama-sama baik dan diperlukan secara proporsional dalam kehidupan. Tetapi diantara keduanya, gratifikasilah yang akan menggerakkan kita ke arah hidup yang lebih bermakna, hidup yang eudaimonic (hidup yang lebih kepada aktualisasi diri dan berkemajuan). Oleh karena itu, pribadi yang hidupnya eudaimonic akan lebih memilih dan memprioritaskan gratifikasi daripada kesenangan. Memprioritaskan gratifikasi melebihi kesenangan memang mudah diucapkan tetapi tidak mudah dilakukan, apalagi dilakukan secara terus menerus sebagai sebuah jalan hidup. Jauh lebih mudah untuk larut di dunia ini, tanpa merenungkannya, tanpa bersusah payah, melainkan mencari berbagai kesenangan, menghindari berbagai kesulitan dan menutup mata pada berbagai masalah yang datang menghampiri. Menjadi pribadi yang mengedepankan gratifikasi daripada kesenangan jauh lebih sulit, karena ia

vi

sering kali membuang kesempatan untuk bersenang-senang, tidak lari dari kesulitan dengan kata lain ia mampu dan berani untuk menghadapi kesulitan tersebut (atau bahkan sengaja masuk ke dalam kesulitan demi suatu tujuan bermakna), serta membuka mata guna melihat berbagai absurditas dan kemustahilan hidup ini. Dibutuhkan karakter yang sungguh kuat untuk menjadi pribadi yang mengedepankan gratifikasi dengan melakukannya secara terus-menerus. Ada dua sumber kekuatan utama yang dapat kita lakukan untuk menimba kekuatan guna menjalani engage life. Sumber yang pertama berasal dari diri kita sendiri, yaitu pada virtues dan character strengths diri kita sendiri, sedangkan sumber yang kedua berasal dari panggilan yang mengajak kita keluar dari keterpakuan cinta diri (narsistik) menuju suatu tujuan yang lebih baik, yang lebih penting daripada diri sendiri. 2.2. Mendayabaktikan Signature Strengths Ketika strength digunakan, ia akan membangkitkan suatu kepuasan batin yang autentik, suatu emosi positif yang kuat, yang melebihi kesenangan. Contoh: seseorang yang punya strength kindness tidak akan berkurang semangat dan energinya ketika menolong orang lain; sebaliknya, ia lebih bersemangat dan bersukacita ketika menolong orang lain. Kata autentik di sini agak nya merupakan kunci. Bila kita ingat, semua emosi yang dialami manusia memiliki fungsi informatif, yaitu mau menyampaikan informasi yang penting kepada orang yang mengalaminya. informasi apakah yang hendak disampaikan oleh emosi positif yang muncul ketika seseorang menggunakan strengths-nya? yaitu bahwa tindakannya itu selaras dengan dirinya yang autentik, bahwa dengan tindakannya itu ia telah mengarah pada realisasi ultimate goodness yang dimilikinya, bahwa ia telah mulai menjalankan purpose-nya. Agaknya, itulah dasar bagi munculnya gratifikasi. Selain berfungsi informatif, gratifikasi juga memiliki fungsi motivational, yaitu mendorong kita untuk mencarinya. Gratifikasi adalah bagian yang integral dari suatu strengths-based action (tindakan yang didasarkan pada character strengths), artinya tidak perlu ditambahkan

vii

sesuatu yang lain supaya suatu aktivitas yang digerakkan oleh strength terasa “nikmat” secara autentik. Karena gratifikasi terasa “nikmat” dan “benar” secara autentik, maka kita terdorong mencarinya lagi, dengan melakukan berbagai aktivitas yang akan memunculkan gratifikasi. Saat suatu aktivitas digerakkan oleh gratifikasi, aktivitas itu menjadi autotelic, aktivitas itu dilakukan demi gratifikasi itu sendiri, bukan tujuan lain. Contoh: misal seseorang memiliki strength creativity, maka ia akan melakukan aktivitas-aktivitas kreatif, demi gratifikasi yang diperolehnya dari aktivitas kreatif itu sendiri, bukan demi tujuan lain-- misalnya mencari imbalan dan pujian. aktivitas-aktivitas yang autotelic bersifat selfrewarding, yaitu tidak perlu dimotivasi dengan mendapat imbalan lain selain aktivitas itu sendiri. Ketika individu

menjadi pribadi yang autotelic (pribadi yang

memiliki tujuan yang mandiri), hal ini menjadi sumber kekuatan baginya untuk bertahan dalam engagement. Bertahan dalam suatu engagement tidak selalu terasa menyenangkan, karena ada kalanya tetap setia dalam suatu engagement berarti menahan kebosanan atau bahkan kegetiran; bertahan dalam engagement bisa jadi berarti menjauh dari berbagai macam kesenangan dunia. Kebanyakan orang tidak cukup mampu dalam melakukannya, karena hal ini tidak berlangsung sebentar, melainkan cukup lama, kondisi seperti ini dapat menggoda seseorang untuk meninggalkan engagement-nya dan memilih jalan yang lebih mudah dan lebih menyenangkan, dengan beralih ke disengagement. Hidup dalam ilusi seringkali terasa lebih menyenangkan daripada hidup dalam realitas, saatsaat seperti itulah motivasi yang bersumber dari virtues dan strengths akan kembali menyediakan kekuatan bagi si pribadi untuk melanjutkan langkahnya dalam engaged life. 2.3. Calling, Job, Career a) Calling Sumber kekuatan yang dapat menjaga kelanjutan engaged life adalah calling (panggilan hidup). Calling adalah konsep psikologi positif yang dikembangkan oleh seorang Profesor bisnis dari New

viii

York University yang bernama Amy Wrzesniewski. Wrzesniewski meneliti calling dalam konteks dunia kerja, tetapi temuannya dapat pula diaplikasikan ke berbagai konteks lain, seperti relasi intim ataupun dunia pendidikan. Menurut Wrzesniewski, dalam dunia kerja ada tiga macam orientasi kerja yang mencerminkan tiga sumber motivasi bagi si pekerja. Ada orientasi kerja yang disebut job, career, dan calling. Orientasi kerja dapat pula disebut orientasi hidup, karena dapat diaplikasikan pula pada konteks yang lebih luas daripada sebatas dunia kerja. Kata ”calling” (panggilan hidup) biasanya konotasi yang muncul adalah grandeur calling atau divine calling, seperti panggilan hidup untuk menjadi rohaniawan, atau panggilan membaktikan diri untuk keadilan, dan membela hak asasi manusia. Sebenarnya persepsi diatas tidaklah salah, namun dalam pembahasan ini calling dimaksudkan dalam berbagai wujudnya, baik yang agung ataupun bersahaja. Calling adalah suatu pandangan kerja, atau pandangan hidup yang terbuka bagi siapa pun, dan semua orang yang dapat menemukannya (atau

ditemukan olehnya)

dalam

perjalanan

hidupnya. Calling adalah sebuah pandangan kerja (atau padangan hidup) yang sangat unik dan berbeda secara mendasar dengan dua padangan kerja yang lain. Dalam job dan career, fokus terletak pada pribadi itu sendiri; sementara pada calling, fokus justru terletak diluar diri. Job dan career memiliki pusat kekuatan pada diri sendiri, sedangkan pada calling pusat kekuatannya terletak di luar diri. Calling dimulai ketika seseorang menemukan the greater good, seperti diungkapkan oleh Wrzesniewksi yang berarti kebaikan atau tujuan yang lebih besar. Lebih besar yang dimaksud adalah lebih besar dari diri (ego), yang merupakan titik krusial bagi terciptanya suatu calling. Seseorang harus menemukan suatu kebaikan atau tujuan yang kuat untuk memindahkan pusat kekuatan hidupnya, dari yang semula berpusat

ix

pada diri sendiri, di mana segala sesuatu berputar pada ego; menjadi berpusat pada hal lain, di mana ego tersebut berputar pada kebaikan. Perpindahan pusat tidak dapat terjadi begitu saja, hal ini harus terjadi secara sukarela. Perpindahan itu mesti terjadi karena seseorang jatuh cinta pada greater good itu, sehingga ia meninggalkan dirinya dan memberikan dirinya (meninggalkan narcissism dan memberikan virtues dan strengths-nya). Greater good adalah suatu kebaikan/tujuan yang menyentuh inti pribadi (the care of personality) seseorang, memanggil virtues dan strengths-nya, sehingga membuat seseorang itu paham tentang apa tujuan (purpose)-nya untuk melakukan sesuatu. Tanpa calling, purpose itu tak akan tersingkap, dan pribadi akan tetap dalam ketidaktahuan akan tujuan hidupnya. Hubungan virtues dan character strengths dengan calling seperti hubungan antara pepohonan dan sinar mentari —bagaikan sinar mentari, calling memanggil virtues dan strengths dalam diri menuju kearahnya, dan di bawah “sinar” calling itu, virtues dan strengths tumbuh mekar (flourish). Saat seseorang menjawab “ya” pada suatu panggilan, maka terjadi transformasi pada relasi diri dengan greater good, dan transformasi pada dirinya sendiri. Greater good itu menjadi bagian dalam siapa dirinya, dalam identitasnya, bukan lagi sesuatu yang berada diluar dirinya, yang berjarak, dan terpisah. Dan saat ini seseorang itu dilahirkan baru, tidak sama seperti ketika ia belum mengikatkan diri pada panggilannya. Dalam calling, sumber motivasi bukanlah sesuatu yang ada di luar pekerjaan, seperti imbalan (seperti pada job) ataupun kenaikan jabatan (career); tetapi berada pada pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan itu telah memperoleh makna baru, menjadi sumber gratifikasi, sumber

kepuasan

batin,

dan

sumber

sukacita.

Seseorang

mengerjakan pekerjaan demi pekerjaan itu dan sumber kepuasan terbesar pun dapat dirasakan karena ia menyadari bahwa melalui pekerjaannya—sesederhana apa pun itu—ia telah turut berkontribusi

x

pada greater good, pada suatu kebaikan yang jauh lebih bermakna daripada sekadar pemenuhan hasrat pribadinya. Calling dapat membangkitkan true engagement, karena dalam true engagement seseorang bukan hanya rela bekerja keras demi mewujudkan greater good tersebut. Calling-based engagement dapat memunculkan berbagai tindakan heroik, misalnya tindakan tanpa pamrih bagi diri sendiri, bahkan bilamana perlu, mengorbankan diri demi terealisasinya greater good. b) Job Job adalah sebuah orientasi kerja di mana yang menjadi sumber motivasi adalah imbalan, baik itu imbalan materi ataupun nonmateri. Jadi ketika seseorang bekerja demi memperoleh imbalan, maka apapun jenis pekerjaannya ataupun tingkat jabatannya, orientasi kerjanya adalah job. Contoh: seorang karyawan yang bekerja demi gaji bulanan, orientasi kerjanya adalah job; seorang pedagang yang bekerja demi keuntungan dalam perdagangannya itu, orientasi kerjanya adalah job, bahkan seorang presiden bilamana sumber motivasi dalam bekerja adalah imbalan-- baik yang materi ataupun nonmateri-- orientasi kerjanya adalah job. Suatu job akan terasa menyenangkan dan menimbulkan motivasi kerja serta engagement selama si pribadi mempersepsikan imbalan yang diperolehnya memuaskan, atau setidaknya sebanding dengan kerjanya. Namun saat imbalan dipersepsikan sudah tidak sesuai, tidak sebanding dengan kerjanya, maka pekerjaannya akan mulai terasa

tidak

menimbulkan

adil,

tidak

frustrasi.

memuaskan,

Orientasi

kerja

menjengkelkan job

tidak

dan dapat

membangkitkan engagement yang sejati; hanya membangkitkan ilusi tentang engagement yang rentan. Engagement yang muncul dalam orientasi job sangat mudah pudar, dengan begitu kesenangan yang ditimbulkan oleh imbalan pun menjadi berkurang. c) Career

xi

Career adalah perkembangan dan kemajuan dalam pekerjaan seseorang. Dalam bahasan karir, kenaikan jenjang jabatan adalah hal utama yang dicari, bukan imbalan yang akan diterima. Hal ini dikarenakan adanya kesenangan yang ditimbulkan oleh persepsi tentang adanya kemajuan atau peningkatan yang berhubungan dengan kelanjutan karirnya. Mungkin juga, peningkatan karir terasa nikmat karena di dalamnya terdapat perasaan menang, dapat menjadi lebih baik dan memiliki keunggulan atas orang lain. Oleh sebab itu, hasra...


Similar Free PDFs