MITIGASI DAN PENANGGULANGAN BENCANA ERUPSI GUNUNG API STUDI KASUS ERUPSI MERAPI TAHUN 2010 PDF

Title MITIGASI DAN PENANGGULANGAN BENCANA ERUPSI GUNUNG API STUDI KASUS ERUPSI MERAPI TAHUN 2010
Author Indah Dput
Pages 22
File Size 437.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 137
Total Views 580

Summary

MITIGASI DAN PENANGGULANGAN BENCANA ERUPSI GUNUNG API STUDI KASUS ERUPSI MERAPI TAHUN 2010 Disusun oleh: Maya Indreswari 13/349419/TK/41114 Ganti Prasastha Purnaning S 13/346712/TK/40582 Brigitta Petra Kartika N 13/346652/TK/40553 Indah Dianti Putri 13/346707/TK/40579 Saela Widiya 13/346721/TK/40590...


Description

MITIGASI DAN PENANGGULANGAN BENCANA ERUPSI GUNUNG API STUDI KASUS ERUPSI MERAPI TAHUN 2010

Disusun oleh: Maya Indreswari

13/349419/TK/41114

Ganti Prasastha Purnaning S

13/346712/TK/40582

Brigitta Petra Kartika N

13/346652/TK/40553

Indah Dianti Putri

13/346707/TK/40579

Saela Widiya

13/346721/TK/40590

Fritz Andryan Yulianto

13/349214/TK/41062

Roja Fuad Rukan Nasrulloh

12/330524/TK/39619

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2016

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng atau kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Euro-Asia, dan Lempeng Pasifik. Penunjaman lempeng IndoAustralia dengan lempeng Euro-Asia menimbulkan jalur gempabumi dan rangkaian gunungapi aktif sepanjang Pulau Sumatra, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. (Renas PB, 2009). Keadaan geografis dan fenomena geologis yang terjadi menyebabkan topografi negara ini menjadi beragam. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah yang dikelilingi oleh pegunungan di daerah timur (Kabupaten Gunung Kidul), dataran tinggi di sisi barat (Kabupaten Kulon Progo), pesisir di sisi selatan (Samudera Hindia), dan gunung berapi aktif di bagian utara (Gunung Merapi, Kabupaten Sleman). Oleh karena itu, banyak fenomena alam yang dapat terjadi di Provinsi DIY, salah satunya adalah erupsi Gunung Merapi yang kerap melanda wilayah Kabupaten Sleman dan sekitarnya. Erupsi Gunung Merapi sudah menjadi “langganan” bagi masyarakat lereng Gunung Merapi. Namun pada kejadian yang terjadi beberapa waktu terakhir, masih ditemukan banyak korban jiwa dan kerusakan parah. Dari situ masih dirasakan adanya ketidaksiapan dan kerentanan masyarakat terhadap ancaman bencana erupsi Gunung Merapi. Diperlukan kajian ulang dan pemahaman bagi masyarakat mengenai ancama dan resiko dari erupsi Merapi serta langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan bencana. Maka berdasarkan kasus bencana erupsi Merapi pada tahun 2010, akan dilakukan analisis terkait kerentanan masyarakat di lereng Gunung Merapi dan usaha-usaha penanggulangan resiko bencana. Diharapkan dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai siklus bencana erupsi Merapi, dapat diberlakukan langkah-langkah terkait resiko yang mungkin terjadi berdasarkan tingkat kerentanan masyarakat itu sendiri. 1.2 Perumusan Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah yang rentan terhadap kejadian erupsi vulkanik yang disebabkan keberadaan Gunung Merapi di daerah utara. Karena itu, diperlukan usaha-usaha penanggulangan hingga penanganan bencana. Permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimana kerentanan masyarakat di lereng Gunung Merapi dikaitkan dengan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi? 2. Apa saja langkah manejemen resiko bencana yang dapat dilakukan untuk bencana erupsi Merapi?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi kerentanan pada wilayah lereng Gunung Merapi terkait potensi bencana erupsi merapi. 2. Mengetahui langkah manajemen resiko bencana erupsi yang dapat diterapkan di lereng Gunung Merapi.

1.4 Batasan Penelitian 1.4.1.1 Wilayah Penelitian Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara geografis terletak pada 8º 30' - 7º 20' Lintang Selatan, dan 109º 40' - 111º 0' Bujur Timur. Luas wilayah DIY sebesar 3.185,80 km2 yang terdiri atas satu kotamadya dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010, DIY memiliki populasi 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki, dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2. 1.4.2 Batasan dan Definisi 1. Data berdasarkan Studi Kasus Erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Gunung Merapi merupakan salah satu dari 129 gunungapi aktif di Indonesia yang masih aktif hingga saat ini. Hingga Mei 2006, erupsi yang tercatat sudah mencapai 83 kali kejadian. Rata-rata selang waktu erupsi Merapi terjadi antara 2-5 tahun (periode pendek), sedangkan selang waktu periode menengah setiap 5-7 tahun. Pada tanggal 20 September 2010, status kegiatan Gunung Merapi ditingkatkan dari Normal menjadi Waspada, selanjutnya tanggal 21 Oktober 2010 ditingkatkan kembali menjadi Siaga (Level III), dan sejak 25 Oktober 2010, pukul 06:00 WIB, status kegiatan Gunung Merapi dinaikkan dari Siaga (Level III) menjadi Awas (Level IV). Pada 26 Oktober 2010 Gunung Merapi mengalami erupsi pertama dan selanjutnya terjadi berturutturut hingga awal November 2010. Bencana ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bencana serupa dalam lima periode

waktu sebelumnya yakni tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006. Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 menghasilkan sekitar 150 juta m3 material vulkanik yang terdiri atas abu, pasir, kerikil dan batu. (Widiastuti, 2015) 2. Kerentanan bencana merupakan bagian dalam penilaian resiko bencana berupa jatuhnya korban jiwa maupun kerugian ekonomi dalam jangka pendek yang terdiri dari hancurnya permuiman, infrastruktur, sarana, dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi jangka panjang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan sumberdaya alam lainnya. Analisis kerentanan ditekankan pada kondisi fisik kawasan dan dampak kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal (Diposaptono, 2009). Kerentanan bencana merupakan bagian dalam penilaian resiko bencana. 3. Resiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Bakornas, 2007). Resiko bencana merupakan hasil perkalian dari kerawanan (faktor-faktor bahaya) dan kerentanan. 4. Kerawanan adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan, atau dengan kata lain disebut potensi bahaya (Diposaptono, 2009) 5. Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa, atau keruskan lingkungan (Diposaptono, 2005).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gunung Api Gunung api adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi. Material yang dierupsikan ke permukaan bumi umumnya membentuk kerucut terpancung. Klasifikasi gunung api di Indonesia yaitu: 1. Tipe A gunung api yang pernah mengalami erupsi magmatik sekurang kurangnya satu kali sesudah tahun 1600. 2. Tipe B gunung api yang sesudah tahun 1600 belum lagi mengadakan erupsi magmatik, namun masih memperlihatkan gejala kegiatan seperti kegiatan solfatara. 3. Tipe C gunung api yang erupsinya tidak diketahui dalam sejarah manusia, namun masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola pada tingkah lemah

2.2 Erupsi Erupsi adalah proses keluarnya material gunung berapi seperti lahar dan abu yang disertai lepasnya gas-gas ke permukaan bumi. Berdasarkan sifat dan kekuatannya, erupsi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut: 1. Efusif, yaitu proses erupsi berupa lelehan lava melalui retakan-retakan yang terdapat pada tubuh gunung api. Efusif biasanya terjadi jika magma yang terkandung dalam gunungapi sifatnya encer serta kandungan gasnya relative sedikit. 2. Eksplosif, yaitu erupsi gunungapi berupa ledakan yang memuntahkan bahan-bahan piroklastik di samping lelehan lava. Eksplosif dapat terjadi jika magma yang terdapat dalam tubuh gunungapi sifatnya kental dengan kandungan gas yang tinggi sehingga tekanannya sangat kuat.

2.3 Siklus Pengelolaan Bencana Siklus pengelolaan bencana secara umum merupakan tindakan-tindakan nyata dari sebelum terjadinya bencana, pra-bencana, saat menjelang bencana, saat bencana dan pasca bencana. Siklus pengelolaan bencana merupakan bentuk indikasi bahwa bencana dan proses pengelolaannya merupakan suatu aktivitas yang berkelanjutan dan bukanlah suatu rangkaian aktivitas yang berawal dan berakhir.

(Diagram ini merupakan modifikasi dan pengembangan penulis dari diagram ‘Posisi Early Warning System dalam Siklus Pengelolaan Bencana‘ yang terdapat dalam Robert Kodoatie Ph. D., dan Roestam Syarief Ph. D., Pengelolaan Bencana Terpadu, 2005)

2.4 Mitigasi Mitigasi adalah salah satu tindakan penanggulangan resiko bencana yang dapat dilakukan di fase sebelum terjadinya bencana, pra-bencana, saat menjelang bencana, dan pasca bencana. Mitigasi bencana gunungapi dalam pengertian yang lebih luas bisa diartikan sebagai segala usaha dan tindakan untuk mengurangi dampak bencana yang disebabkan oleh erupsi gunung api. Tindakan mitigasi dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu dari aspek struktural dan non struktural. Mitigasi dari aspek struktural adalah dengan membangun suatu struktur untuk mengurangi dampak dari suatu bencana, misalnya pembuatan sabo dam untuk mengurangi dampak dari debris flow, pembangunan bunker untuk evakuasi ketika terjadi erupsi, serta perbaikan jalur evakuasi. Langkah-langkah dalam menentukan tindakan mitigasi yang tepat untuk digunakan adalah, yang pertama melakukan penilaian langkah-langkah teknis (engineering and construction measures), penilaian tata ruang (physical planning measures), penilaian aspek ekonomi (economic measures), penilaian prosedur atau aspek manajemen dan organisasi (management and institutional measures), serta penilaian dari aspek sosial (societal measures).

2.5 Manejemen Resiko Resiko merupakan kerugian ydari dampak terjadinya suatu bencana. Mengelola risiko bencana adalah mengatur dampak bencana seminimal mungkin agar tidak

menimbulkan dampak destruktif yang lebih besar lagi. Untuk mengurangi resiko dari suatu bencana maka diperlukan peningkatan ketahanan dalam menghadapi suatu bencana. Salah satu cara untuk meningkatkan ketahanan terhadap suatu bencana adalah dengan menyelenggarakan penanggulangan bencana. Menurut UU No.24 2007, penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: (a) kesiapsiagaan (b) peringatan dini dan (c) mitigasi bencana. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana. Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b dilakukan untuk pengambilan tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Dalam kasus bencana erupsi gunung api, manajemen krisis merupakan tugas dan fungsi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi termasuk BPPTK sebagai salah satu unitnya. Pada fase Pra-kejadian peranannya dapat meliputi langkah-langkah penilaian risiko bencana, pemetaan daerah kawasan rawan bencana, pembuatan peta risiko dan membuat simulasi skenario bencana. Tindakan lain yang perlu dilakukan adalah pemantauan gunungapi dan menyusun rencana keadaan darurat. Adapun pada saat fase kritis maka sudah harus dilakukan tindakan operasional berupa pemberian peringatan dini, meningkatkan komunikasi dan prosedur pemberian informasi, menyusun rencana tanggap darurat yang berupa penerapan dari tindakan rencana keadaan darurat dan sesegera mungkin mendefinisikan perkiraan akhir dari fase kritis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas Manajemen resiko bencana sebagai langkah mitigasi dan penanggulangan bencana erupsi gunung api. 2. Variabel Terikat Jumlah korban jiwa serta besar kerusakan yang terjadi pada daerah sekitar Gunung Merapi. 3. Variabel Moderator Sosialisasi manajemen resiko bencana kepada penduduk setempat. 4. Variabel Kontrol Tingkat pendidikan warga setempat, kondisi cuaca daerah setempat, jumlah penduduk setempat.

3.2 Analisa Bahaya dan Kerentanan Letusan gunung berapi merupakan salah satu bencana alam yang memiliki tingkat bahaya yang cukup tinggi. Bahaya dari gunung berapi sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu bahaya primer (langsung) dan sekunder (tidak langsung). Bahaya primer terjadi ketika peristiwa sedang berlangsung. Sementara bahaya sekunder dirasakan setelah peristiwa telah berlalu. Bahaya sekunder biasa disebabkan oleh primer yang sudah terjadi dengan jangka waktu yang cukup panjang. Bahaya primer yang terjadi dari letusan gunung berapi antara lain awan panas yang memiliki suhu tinggi sekitar 300 – 700 derajat Celcius, hujan abu yang terdiri dari material halus dapat membahayakan pernafasan dan pengelihatan, lava yang memiliki suhu sangat tinggi, serta gas - gas beracun dari letusan gunung berapi. Bahaya sekunder dapat berupa penurunan hasil produksi pertanian dan peternakan, timbul penyakit baru pada kawasan yang terkena bencana, Permasalahan psikologis masyarakat seperti trauma akibat bencana yang terjadi, serta terjadinya banjir lahar dingin. Tingkat kerentanan yang ada pada masyarakat pada umumnya masih cukup rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialiasi kepada masyarakat mengenai tingkat bahaya dari letusan gunung berapi dan langkah – langkah penanggulangan yang dapat dilaksanakan. Informasi – informasi yang berkaitan dengan aktivitas gunung berapi belum

dapat diakses oleh penduduk setempat dengan mudah sehingga penduduk setempat tidak dapat mengetahui kondisi terkini dari aktivitas gunung berapi. Untuk menentukan tingkat kerentanan suatu wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan model skoring atau penilaian (Subandono, 2009) salah satunya seperti di bawah ini: Tabel. Nilai skor tingkat kerentanan Tingkat kerentanan

Rendah

Sedang

Tinggi

Skor

1

2

3

Penentuan kelas kerentanan dapat diperoleh dengan melakukan analisis dan memberi skor pada setiap variable dengan kategori kerentanan dari kondisi, sosial, ekonomi, dan lingkungan. NIlai dari masing-masing variable kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah variable. Nilai ini menunjukkan apabila suatu wilayah mengalami permasalahan kompleks, maka masing-masing aspek akan memberikan kontribusi nilai rata-rata akhir yang tinggi pula. Perhitungan nilai rata-rata kerentanan sebagai berikut: K= (V1+V2+V3+V4+…+Vn)/n Dimana

:

K= nilai rata-rata kerentanan n= jumlah variabel

3.3 Analisa Resiko Setiap bencana yang terjadi tentu memiliki resiko masing – masing. Resiko yang dapat ditimbulkan dari letusan gunung berapi antara lain korban jiwa yang meninggal akibat gas beracun, awan panas, dan penyakit pernafasan, rusaknya kawasan perumahan tempat tinggal warga di sekitar gunung berapi, rusaknya daerah pertanian dan peternakan yang menyebabkan turunnya hasil produksi pertanian dan peternakan, rusaknya ekosistem mahkluk hidup yang tinggal di daerah sekitar gunung berapi, serta menurunnya tingkat ekonomi masyarakat sekitar. Korban jiwa yang meninggal dapat disebabkan oleh gas beracun yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi seperti CO2, H2S, HCl, SO2, dan CO. Awan panas yang memiliki suhu di atas 300⁰C dapat membunuh manusia seketika. Selain itu, asap dan debu yang ditimbulkan oleh letusan gunung berapi dapat menyebabkan penyakit ISPA pada warga sekitar.

Awan panas serta lava yang timbul saat terjadi letusan gunung berapi dapat menghancurkan semua mahkluk hidup maupun benda – benda yang ada di sekitarnya. Hal ini tidak terkecuali pada kawasan tempat tinggal warga, lahan pertanian dan peternakan, serta lapangan kerja yang ada. Oleh karena itu tingkat ekonomi masyarakat yang berada di kawasan sekitar gunung berapi dapat turun drastis karena hilangnya lapangan pekerjaan dan menurunnya tingkat produksi pertanian dan peternakan. Menurut Diposaptono (2009) apabila tingkat bahaya (kerawanan/potensi) dan kerentanan diketahui, langkah selanjutnya adalah menentukan resiko wilayah terebut. Analisa resiko merupakan instrument penting karena dapat digunakan untuk menentukan uruta prioritas penangannannya. Secara sederhana, nilai resiko merupakan nilai perkalian antara potensi bahaya dan kerentanan. Secara umum resiko dapat dirumuskan sebagai berikut: Resiko (Risk) R

= potensi bahaya (hazard) x kerentanan (vulnerability) =HxV

Korelasi kedua factor tersebut tertuang dalam matriks resiko bencana yang menunjukkan keterkaitan antara kerentanan dan kerawanan. Tabel. Matriks Resiko, hubungan kerentanan dan kerawanan

(Sumber: Diposaptono, 2009)

Artinya bila suatu daerah memiliki potensi bahaya tinggi namun nilai kerentanannya rendah, maka daerah tersebut belum tentu memiliki nilai resiko tinggi. Begitu pula bila suatu daerah memiliki nilai kerentanan yang tinggi, sedangkan nilai potensi bahayanya rendah, maka daerah tersebut juga kurang beresiko.

3.4 Penentuan Prioritas dan Upaya Penanganan Menurut UU No.24 2007, penanggulangan bencana alam meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapi kejadian bencana alam tersebut. Yang dapat dilakukan sebagai bentuk kesiapsiagaan antara lain penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana, pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini, penyiapan lokasi evakuasi, dan penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar. Peringatan dini dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat. Peringatan dini dapat dilakukan melalui pengamatan gejala bencana, analisis hasil pengamatan gejala bencana, dan penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, serta penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

3.5 Kerangka Analisis Penelitian Penelitian dilakukan agar tingkat efisien dan efektivitas dari manajemen resiko bencana yang sudah dilakukan dapat dikaji ulang sehingga dapat dilakukan peningkatan dalam mitigasi dan penanggulangan bencana di masa depan. Proses penelitian dilakukan dengan peninjauan kasus yang sudah terjadi serta penanggulangan yang sudah dilakukan. Melalui peninjauan ini diharapkan dapat dilakukan peningkatan manajemen resiko bencana di masa depan. Diharapkan juga agar manajemen resiko bencana yang akan dilakukan di masa depan dapat mengurangi jumlah korban jiwa serta kerugian harta benda dari suatu bencana yang terjadi.

BAB VI DESKRIPSI WILAYAH

4.1 Kondisi Geografis dan Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi terkecil kedua setelah provinsi DKI Jakarta dan terletak di tengah pulau Jawa, dikelilingi oleh provinsi Jawa Tengah dan termasuk zone tengah bagian selatan dari formasi geologi pulau jawa. Di sebelah selatan provinsi terdapat garis pantai sepanjang 110 km berbatasan dengan Samudera Indonesia, di sebelah utara menjulang tinggi gunung berapi paling aktif di dunia Merapi (2.968 m). Luas keseluruhan Provinsi DIY adalah 3.185,8 km dan kurang dari 0,5 % luas daratan Indonesia. Di sebelah barat mengalir sungai Progo, yang berawal dari Jawa Tengah, dan sungai Opak di sebelah timur yang bersumber di puncak gunung api Merapi, yang bermuara di laut Jawa sebelah selatan. Ibukota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Yogyakarta, sedangkan kota-kota yang terdapat dalam wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bantul, Wates, Sleman, Wonosari. Secara administratif DIY dibagi dalam 1 (satu) kota dan 4 (empat) kabupaten, dimana Yogyakarta membentuk kesatuan adiministrasi tersendiri. Di sebelah utara, provinsi DIY berbatasan dengan Gunung Merapi. Gunung Merapi merupakan gunung api aktif dengan periodisitas letusan yang relatif pendek (3-7 tahun). Dalam kegiatannya, Merapi menunjukkan terjadinya guguran kubah lava yang terjadi setiap hari. Jumlah serta letusannya bertambah sesuai tingkat ke...


Similar Free PDFs