MODEL EFEKTIF PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI: PERSPEKTIF DI INDONESIA PDF

Title MODEL EFEKTIF PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI: PERSPEKTIF DI INDONESIA
Author Afred Suci
Pages 17
File Size 1.5 MB
File Type PDF
Total Downloads 78
Total Views 360

Summary

MODEL EFEKTIF PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI: PERSPEKTIF DI INDONESIA Afred Suci, Bambang Suroto, Hadiyati, Universitas Lancang Kuning, Indonesia Artikel ini telah dipresentasikan dan diproceedingkan dalam versi Ingrris berjudul “Effective Model of Enterpreneurship Learning in Higher E...


Description

Accelerat ing t he world's research.

MODEL EFEKTIF PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI: PERSPEKTIF DI INDONESIA Afred Suci

Related papers T he Power of Ent repreneurship dede aji, Achmad Rozi

pendidikan kewirausahaan eka kusuma BAB II PEMBAHASAN 2.1. KEWIRAUSAHAAN Sonia Niia II

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

MODEL EFEKTIF PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PERGURUAN TINGGI: PERSPEKTIF DI INDONESIA Afred Suci, Bambang Suroto, Hadiyati, Universitas Lancang Kuning, Indonesia Artikel ini telah dipresentasikan dan diproceedingkan dalam versi Ingrris berjudul “Effective Model of Enterpreneurship Learning in Higher Education: Perspective in Indonesia” pada penyelenggaraan 2nd International Conference on Human Sustainability 2015, Malaysia

Abstrak Selama ini pola pendidikan kewirausahaan di tingkat perguruan tinggi di Indonesia relatif kurang berhasil menumbuhkan budaya dan karakteristik wirausaha serta kurang mampu menciptakan pebisnis-pebisnis muda baru dan profesional untuk membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan. Sebagai dampaknya, rasio jumlah pelaku usaha dan peringkat daya saing pelaku bisnis di Indonesia masih jauh tertinggal secara global. Pendekatan model pendidikan masih banyak dilakukan secara parsial tanpa mengintegrasikan berbagai dimensi dari internal maupun eksternal perguruan tinggi. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk menyusun suatu kerangka konseptual model pembelajaran kewirausahaan efektif di tingkat perguruan tinggi yang ditinjau dari dimensi internal yang mencakup pada aspek kurikulum dan metode pengajaran serta fasilitas pendidikan, maupun dimensi eksternal perguruan tinggi yang mencakup pada peran pemerintah dan swasta. Kata kunci: Model Pendidikan Kewirausahaan, Pendidikan Tinggi

1. Pendahuluan Meskipun Indonesia saat ini masuk ke dalam jajaran 20 besar negara dengan ekonomi terbesar di dunia, namun masalah pengangguran tetap menjadi permasalahan utama bagi pemerintah. Lapangan kerja yang tersedia tidak mampu menyediakan pekerjaan sesuai dengan jumlah pertambahan angkatan kerja. Tabel 1. Jumlah Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran di Indonesia Total Angkatan Bekerja Tidak Bekerja Tahun Kerja (Juta Jiwa) Jumlah (Juta Jiwa) % Jumlah (Juta Jiwa) % 2010 116.5 108.2 92.9 8.3 7.1 2011 119.4 111.3 93.2 8.1 6.8 2012 120.3 113.0 93.9 7.3 6.1 2013 120.2 112.8 93.8 7.4 6.2 2014 121.9 114.6 94.0 7.3 6.0 Sumber: Data olahan dari Badan Pusat Statistik Dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran, maka solusi yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah mendorong tumbuhnya 1

wirausaha-wirausaha baru, khususnya dari sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Sektor ini dipilih karena populasinya mencapai 99% dari total unit usaha di Indonesia atau hanya ada 1% usaha skala besar. Wirausaha sektor UMKM mampu menyerap tenaga kerja hingga 97% dari total angkatan kerja yang ada. Dengan asumsi bahwa 1 unit wirausaha UMKM mampu menyerap minimal 3-5 tenaga kerja, maka diharapkan munculnya para wirausahawan baru yang akan dapat membantu pemerintah menurunkan tingkat pengangguran secara signifikan dan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Permasalahan dari segi kuantitas yang dihadapi oleh Indonesia adalah rasio jumlah wirausaha tercatat yang sangat rendah yaitu masih kurang dari 1% dari populasi penduduk, jauh lebih sedikit dari Amerika Serikat yang sudah mencapai 12%. Bahkan di kawasan ASEAN pun Indonesia masih tertinggal dengan Singapura (7,2%) dan Malaysia (3%). Padahal McClelland menyatakan bahwa paling sedikit dibutuhkan 2% pengusaha dari total penduduk untuk bisa menggerakkan perekonomian secara produktif (Komara, 2014). Sedangkan secara kualitas, peringkat kompetensi wirausahawan Indonesia sangat jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju dan berkembang lainnya. Data Global Enterpreneurship Index (GEI) tahun 2015 menempatkan Indonesia pada rangking 120 dari 127 negara dengan skor hanya 21. Bandingkan dengan peringkat pertama Amerika Serikat (85). Di kawasan ASEAN saja kualitas wirausahawan Indonesia tertinggal begitu jauh dengan Singapura (rangking 10), Malaysia (rangking 53), Thailand (rangking 68) dan bahkan dengan Myanmar (rangking 109) (Zoltan, et.,al., 2015). Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas wirausaha Indonesia dalam konteks global yang meliputi indeks perilaku, kemampuan dan aspirasi masih sangat rendah. Mempertimbangkan kondisi tersebut maka pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional memandang perlu untuk mendorong tumbuhnya minat berwirausaha sekaligus menanamkan kualitas kewirausahaan yang tinggi kepada generasi muda khususnya di tingkat pendidikan tinggi. Perguruan tinggi dipilih karena memiliki peran nyata dan signifikan dalam membangun aspek ekonomi suatu negara. Katz menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan sumber utama bagi ilmu pengetahuan dan modal sumberdaya manusia dalam membangun inovasi, kewirausahaan dan produktivitas (Naderi, et.,al., 2013). Perguruan tinggi bertanggung jawab mendidik dan memberikan kemampuan pada mahasiswa dalam melihat peluang dan mengelola bisnis serta memberikan motivasi agar berani menghadapi resiko bisnis (Komara, 2014). Bakotic dan Kruzic menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek yang dapat mempengaruhi munculnya minat berusaha (Sondari, 2014). Dengan adanya pendidikan kewirausahaan akan mengubah paradigma mahasiswa dari “job seeker” menjadi “job maker” (Ferbiyanto, 2013). Wujud nyata dari visi pemerintah tersebut adalah dengan mewajibkan mata kuliah pendidikan kewirausahaan di tingkat perguruan tinggi (Ferbiyanto, 2013) meskipun bukan berarti perguruan tinggi berkewajiban untuk selalu mencetak pengusaha-pengusaha baru terhadap lulusannya, namun pada intinya adalah bagaimana 2

memperkenalkan sejak dini kepada mahasiswa tentang karakter-karakter ideal seorang pengusaha (Marques and Albuquerque, 2012) seperti mandiri, berani menghadapi resiko, keinginan untuk maju, kreatif, komunikatif, berjiwa kepemimpinan, memiliki wawasan bisnis dalam memanfaatkan peluang (Supriyantingsih, 2012; Sudarwati dan Retnowati, 2015), berkomitmen, optimis (Rante, 2011) dan memiliki visi bisnis (Siswadi, 2013). Karakteristik demikian akan dibutuhkan para mahasiswa begitu menyelesaikan pendidikannya yang dapat digunakannya untuk menjadi pekerja yang berkualitas di perusahaan ataupun membangun usahanya secara mandiri. Namun permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan kewirausahaan di banyak perguruan tinggi di Indonesia adalah budaya pendidikan di Indonesia kurang mendukung pengembangan jiwa kewirausahaan sehingga menghambat generasi muda mengembangkan daya kreativitasnya (Ferbiyanto, 2013). Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Lim dan David pada tahun 1996 bahwa tantangan terbesar pada pendidikan kewirausahaan adalah kelayakan kurikulum dan program pelatihan (Wardoyo, 2012) dan bagaimana agar mahasiswa tidak sekedar untuk memenuhi persyaratan nilai semata namun juga memiliki minat untuk menerapkannya secara kongkret dalam dunia nyata setelah lulus dari perguruan tinggi (Ferbiyanto, 2013). Kementerian Pendidikan Nasional juga menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memadai, dimana banyak pendidik yang kurang memperhatikan pertumbuhan karakter dan perilaku wirausaha anak didik dan masih berorientasi untuk menyiapkan para pekerja saja (Wibowo, 2011). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan diatas, maka perlu sekiranya dirumuskan suatu model yang bisa meningkatkan efektivitas pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi agar hasil akhir yang diharapkan berupa keberanian memulai usaha dengan segala perhitungan resikonya pada diri mahasiswa bisa muncul dan diimplementasikan. Target minimalnya adalah menanamkan karakteristik-karakteristik ideal wirausaha pada diri lulusan perguruan tinggi. 2. Tujuan Penulisan Studi ini bertujuan untuk menyusun suatu kerangka konseptual penciptaan model pendidikan kewirausahaan efektif di tingkat perguruan tinggi, ditinjau dari sejumlah perspektif baik internal maupun eksternal perguruan tinggi. 3. Metodologi Rancangan studi berbentuk kajian literatur, mencakup berbagai teori dan hasil kajian empiris yang relevan dengan pendidikan kewirausahaan, baik dalam konteks global maupun lokal. Keluaran yang diharapkan adalah suatu model efektif pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi berdasarkan faktor-faktor determinan berikut dengan indikator pada masing-masing faktor tersebut.

3

4. Pembahasan Efektivitas Pendidikan Kewirausahaan Dari sekian banyak pendefinisian mengenai kewirausahaan, Pinchot mengartikannya sebagai kemampuan untuk menginternalisasikan bakat, rekayasa dan peluang yang ada. Sementara, wirausaha adalah orang yang berani mengambil resiko, inovatif, kreatif, pantang menyerah dan mampu menyiasati peluang secara tepat (Wibowo, 2011). Hisrich & Peter mendefinisikan kewirausahaan sebagai proses menciptakan sesuatu yang baru dan mengambil segala resiko dan imbalannya, sedangkan wirausaha adalah seseorang yang mengembangkan sesuatu yang unik dan berbeda (Siswadi, 2013). Adapun pendidikan kewirausahaan merupakan upaya menginternalisasikan jiwa dan mental kewirausahaan, baik melalui institusi pendidikan maupun institusi lain seperti lembaga pelatihan dan sebagainya (Wibowo, 2011). Sedangkan pendidikan kewirausahaan yang terintegrasi adalah salah satu bentuk dalam membangun semangat berwirausaha berikut karakteristik yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan aspek-aspek manajemen kewirausahaan (Sudarwati & Retnowati, 2015). Pendidikan kewirausahaan sudah diperkenalkan lebih dari seabad yang lalu, namun baru dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sekitar 60 tahun yang lalu di Amerika Serikat. Pada tahun 1947, Universitas Harvard untuk pertama kalinya meluluskan wisudawan pertama pendidikan kewirausahaan. Dan sejak itu, Amerika Serikat menjadi negara terdepan dalam pendidikan kewirausahaan (Marques and Albuquerque, 2012) sehingga tak heran jika hingga saat ini Amerika Serikat merupakan negara dengan jumlah wirausaha terbanyak didunia, serta menjadi kiblat pendidikan kewirausahaan global. Kajian yang dilakukan European Commission pada tahun 2006 melaporkan bahwa pendidikan kewirausahaan mampu mendorong mahasiswa memiliki minat memulai usaha yang wujud kongkretnya berupa penciptaan usaha-usaha baru (Hussain & Norashidah, 2015). Oleh karena itu pendidikan kewirausahaan harus dirancang sedemikian rupa agar dapat memberikan dampak signifikan dalam mendorong minat mahasiswa berwirausaha (Siswadi, 2013). Marques and Albuquerque (2012) menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan tidak selalu dimaksudkan menghasilkan wirausaha-wirausaha baru, namun paling tidak menghasilkan lulusan-lulusan perguruan tinggi yang memiliki sikap berani memulai usaha baru bila ada kesempatan dan memiliki kecenderungan untuk bekerja secara mandiri. Pendidikan kewirausahaan yang berhasil adalah ketika mampu mencapai tujuan-tujuan pendidikan diantaranya terbentuknya kepercayaan diri, peka terhadap peluang-peluang bisnis yang ada, memiliki kecenderungan untuk memulai usaha serta memiliki keberanian menghadapi resiko dan ancaman yang ada (Naderi, et.,al., 2013). Namun demikian menurut Antonius Tanan, bukan berarti pendidikan kewirausahaan harus berdiri sendiri atau memiliki kurikulum tersendiri yang terpisah dari mata kuliah lainnya (Wibowo, 2011), melainkan semangat kewirausahaan itu sendiri yang harus terinternalisasikan dalam setiap mata kuliah lainnya. 4

Wibowo (2011) memberikan dua batasan ukuran keberhasilan studi kewirausahaan pada jenjang perguruan tinggi. Pertama, dengan mengukur jumlah waktu dan upaya mahasiswa terlibat dalam proses pembelajaran. Kedua, kemampuan perguruan tinggi menyediakan layanan sumberdaya, kurikulum, fasilitas dan program aktivitas yang menarik partisipasi mahasiswa untuk meningkatkan aktualisasi, kepuasan dan keterampilan berwirausaha. Mengacu kepada sejumlah teori dan hasil kajian empiris tersebut, ukuran keberhasilan pembelajaran kewirausahaan di tingkat perguruan tinggi dapat dikelompokkan menjadi dimensi proses dan dimensi hasil. Penjabaran kedua dimensi efektivitas pendidikan kewirausahaan tersebut dapat dilihat sebagaimana tabel berikut: Tabel 2. Dimensi Efektivitas Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Proses

1. Keberhasilan menginternalisasikan semangat kewirausahaan pada setiap mata kuliah 2. Jumlah waktu dan upaya mahasiswa terlibat dalam proses pembelajaran 3. Kemampuan perguruan tinggi menyediakan layanan sumberdaya, kurikulum, fasilitas dan program-program kewirausahaan di kampus Keluaran 4. Munculnya unit-unit usaha mahasiswa di kampus 5. Munculnya minat yang besar pada mahasiswa untuk berwirausaha 6. Munculnya keberanian untuk memulai usaha 7. Kecenderungan mahasiswa untuk bekerja mandiri 8. Timbulnya kepercayaan diri yang kuat untuk memulai usaha 9. Peka terhadap peluang-peluang yang ada disekitar 10. Berani menghadapi resiko dan ancaman mengelola usaha

Kurikulum Dan Metode Pengajaran Kurikulum, menurut Nurhadi, merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan metode pengajaran merupakan teknik-teknik yang digunakan untuk menyampaikan kurikulum kepada peserta didik (Sudarmiatin, 2009). Perkuliahan di kelas saja tidak cukup untuk menghasilkan wirausaha-wirausaha baru (Siswadi, 2013). Meskipun informasi mengenai kewirausahaan dapat dipelajari melalui pendidikan, namun banyak pengetahuan yang dibutuhkan justru diperoleh dari menggali kesempatan yang hanya bisa didapatkan dari learning by doing karena pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan kebanyakan didapatkan dari lingkungan bisnis melalui proses induksi, pengalaman praktis dan sosial daripada yang diperoleh di lingkungan pendidikan (Moustaghfir & Sirca, 2010). Terlebih lagi menurut Blenker, et.,al., saat ini sistem pendidikan tinggi tidak mampu meningkatkan motivasi atau minat kewirausahaan, kapabilitas dan keahlian. Menurutnya masih jarang ditemukan kemampuan professional dalam aspek metode pembelajaran dan proses pengajaran kewirausahaan (Naderi, et.,al., 2013). Maka untuk memperoleh keahlian kewirausahaan 5

yang baik, harus menggunakan metode pembelajaran yang tepat yang memungkinkan siswa terlibat dalam keahlian praktis (Esene, 2015). Perbaikan kurikulum, metode pembelajaran dan pengajaran kewirausahaan di perguruan tinggi di Indonesia perlu dibenahi (Siswadi, 2013). Perlu ada penggantian pendekatan tradisional (teoritis) dengan pendekatan aplikasi praktis (Nikoloski, 2014) dimana aplikasinya lebih mengedepankan praktek daripada teori karena sifat dan keterampilan wirausaha diperoleh dengan upaya yang berkelanjutan (Sudarwati & Retnowati, 2015). Sebagaimana juga dinyatakan oleh Marques and Albuquerque (2012) bahwa metode terbaik mengajarkan keterampilan kewirausahaan adalah melalui pengalaman nyata dan sesuai dengan minat dan bakat mahasiswa (student centered). Maka praktek learning by doing menjadi sangat penting. The World Economic Forum (2009) misalnya, memberikan contoh metode pembelajaran kewirausahaan dengan cara memberikan pengalaman nyata dan pembelajaran diluar kelas dengan pendekatan-pendekatan kongkret. Intinya, kewirausahaan mencerminkan tindakan, bukan hanya pembelajaran berbasis buku semata. Untuk bisa menanamkan nilai-nilai kewirausahaan pada diri mahasiswa maka mereka perlu diterjunkan langsung ke dunia industri atau bisnis secara langsung untuk memahami aspek teknis dan non teknis berwirausaha. Namun bukan berarti meninggalkan teori begitu saja karena pengetahuan teoritis kewirausahaan dan pengetahuan bagaimana mengembangkan jaringan sosial sebagai komponen vital dari suatu proses pendidikan tetap dibutuhkan sebagai pondasinya (Hussain & Norashidah, 2015). Perlu ada keseimbangan antara penerapan teori dengan praktek kongkret. Di Amerika Serikat sendiri telah lama dipraktekkan kurikulum berbentuk contextual teaching and learning yang intinya membantu pengajar mengaitkan materi dengan kehidupan nyata sehingga peserta didik benar-benar mengetahui aplikasi teori yang dipelajari dengan praktek di dunia nyata (Sudarmiatin, 2009). Kongkretnya, untuk bisa meningkatkan minat wirausaha mahasiswa maka perguruan tinggi perlu memperbanyak frekuensi praktek kewirausahaan dan menerapkan pembelajaran kontekstual secara periodik berupa studi-studi lapangan ke sektor UMKM (Mopangga, 2014). Lembaga pendidikan tinggi menerapkan kurikulum berupa pemberian materi teoritis, pemberian motivasi,observasi dan kegiatan usaha di lapangan (Ferbiyanto, 2013). Selama ini yang kurang diperhatikan perguruan tinggi dalam merumuskan kurikulum adalah kurang atau bahkan tidak sama sekali mengikutsertakan praktisi usaha serta motivator dalam tim akademisi. Akibatnya kurikulum menjadi kurang berkualitas. Dalam menyusun kurikulum pendidikan kewirausahaan harus dikerjakan oleh sebuah tim yang benar-benar ahli dan berpengalaman (Komara, 2014). Hal ini menjadi fenomena di banyak negara berkembang seperti hasil kajian Adebayo & Otemuyiwa (2015) di Nigeria yang menemukan banyak universitas di negara tersebut yang menganggap penyusunan kurikulum cukup dilakukan oleh dosen. Padahal sebagaimana diketahui, banyak dosen tersebut bukan praktisi 6

(doers) yang memiliki latar belakang atau pengalaman berwirausaha dan tidak memiliki kecakapan teknis kewirausahaan. Maka melengkapi dosen kewirausahaan dengan pengetahuan dan keterampilan teknis serta pengalaman praktis berwirausaha perlu dilakukan agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan dan tantangan dunia usaha (Esene, 2015). Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mendesain dan menerapkan kurikulum yang fleksibel yang bisa mengembangkan kreativitas dan keterampilan kewirausahaan mahasiswa (Nikoloski, 2014) serta menggunakan metode pembelajaran yang aktif dan menyenangkan untuk mengintegrasikan nilai kewirausahaan kepada mahasiswa dan menciptakan kegairahan berwirausaha (Sudarwati & Retnowati, 2015). Penyusunan kurikulum tidak dapat digeneralisir untuk setiap kondisi dan wilayah geografis mengingat masing-masing wilayah memiliki karakteristik masing-masing yang membutuhkan pendekatan yang spesifik. Nikoloski (2014) menyatakan bahwa kurikulum pendidikan harus disesuaikan berdasarkan budaya dan sumberdaya ekonomi negara masing-masing. Demikian pula Sudarwati & Retnowati (2015) menyimpulkan bahwa kurikulum hendaknya disesuaikan dengan potensi lokal. Maka dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa penetapan suatu kurikulum pendidikan kewirausahaan hendaknya bersifat tematik sesuai dengan potensi dan ketersediaan sumberdaya dan dukungan kompetensi serta budaya yang ada di wilayah dimana pendidikan kewirausahaan diselenggarakan. Penyesuaian kurikulum juga harus sejalan dengan kebutuhan industri (Suyitno, et.,al., 2014). Dalam hal ini universitas hendaknya memiliki kemampuan mengintegrasikan pembelajaran berbasis riset, sensitif pada pasar serta mampu menyesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan pasar (tailor-made learning) (Moustaghfir & Sirca, 2010). Jangan sampai produk atau jasa yang dihasilkan tidak dapat diserap oleh industri, terutama industri lokal sebagai target pasar utama wirausaha pemula seperti mahasiswa. Kurikulum yang efektif harus bersifat kongkret dan aplikatif. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan mendorong pendekatan problem-based learning dimana mahasiswa mempelajari bagaimana mengembangkan kemampuan mewujudkan rencana-rencana bisnis secara riil, membuat serta memasarkan produk yang dihasilkannya (Siswadi, 2013). Pada pendekatan ini pembelajaran dipusatkan pada mahasiswa (student centered) sesuai potensi yang ada padanya, sementara pengajar lebih bertindak sebagai fasilitator (Moustaghfir & Sirca, 2010). Sebagaimana yang terjadi di Nigeria, hasil studi Adebayo & Otemuyiwa (2015) menemukan fakta bahwa penyusunan kurikulum disana tidak disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa, sehingga menyulitkan penciptaan lapangan usaha yang diminati ketika sudah lulus kuliah. Fenomena tersebut juga terjadi di banyak universitas di Indonesia, bahwa mata kuliah kewirausahaan sekedar untuk memenuhi instruksi Kementerian Pendidikan Nasional dan dipelajari oleh mahasiswa hanya sekedar untuk mendapatkan nilai atau lulus semata. 7

...


Similar Free PDFs