PENDEKATAN MODEL INTERPERSONAL CARING (IC) PEPLAU TERHADAP MASALAH HARGA DIRI RENDAH KRONIK PADA PASIEN GANGGUAN JIWA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT PDF

Title PENDEKATAN MODEL INTERPERSONAL CARING (IC) PEPLAU TERHADAP MASALAH HARGA DIRI RENDAH KRONIK PADA PASIEN GANGGUAN JIWA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT
Author Dedi Kurniawan
Pages 26
File Size 2.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 36
Total Views 171

Summary

REVIEW LITERATUR PENDEKATAN MODEL INTERPERSONAL CARING (IC) PEPLAU TERHADAP MASALAH HARGA DIRI RENDAH KRONIK PADA PASIEN GANGGUAN JIWA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT Oleh DEDI KURNIAWAN [email protected] 0 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Proses penyembuhan dalam keperawatan jiwa di...


Description

Accelerat ing t he world's research.

PENDEKATAN MODEL INTERPERSONAL CARING (IC) PEPLAU TERHADAP MASALAH HARGA DIRI RENDAH KRONIK PADA PASIEN GANGGUAN... DEDI KURNIAWAN

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

META PARADIGMA KEPERAWATAN DARI BEBERAPA T EORI IMPLEMENTASI PADA PEMINATAN … yuldensia avelina

Keperawat an Jiwa Komprehensif wilin pakabu Sejarah Pelayanan Keperawat an Kesehat an Jiwa Rest y Kahfi

REVIEW LITERATUR PENDEKATAN MODEL INTERPERSONAL CARING (IC) PEPLAU TERHADAP MASALAH HARGA DIRI RENDAH KRONIK PADA PASIEN GANGGUAN JIWA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT Oleh DEDI KURNIAWAN [email protected]

0

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Proses penyembuhan dalam keperawatan jiwa didasarkan pada rasa kepedulian dan

proses interaksi serta proses pengobatan. Kepedulian perawat membangkitkan esensi interaksi manusia seperti sikap empati, keselarasan tujuan, proses identifikasi, kesadaran bersama, yang dapat memfasilitasi perawat memasuki dunia pribadi pasien sehingga menemukan kembali kepercayaan sebagai titik balik terapi (Kim, 2007). Dengan interaksi interpersonal menguatkan hubungan antara perawat dengan pasien (Kim, 2007), dengan interpersonal caring tersebut merupakan cara bagaimana untuk memberdayakan orang sakit dan disabilitas seperti halnya yang dialami pasien dengan gangguan jiwa. Selain itu, nilai kasih sayang dan moral adalah kunci utama dalam perilaku caring perawat professional. Dalam keperawatan, caring merupakan sikap dan pendekatan yang memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai kebutuhan lebih dari sekedar nomer tempat tidur atau sebagai seorang dengan penyakit tertentu. Perawat yang menggunakan pendekatan caring dalam prakteknya memperhitungkan semua yang diketahuinya tentang pasien yang meliputi pikiran, perasaan, nilai-nilai, pengalaman, kesukaan, perilaku dan bahasa tubuh (Alpers, 2013; Abdullah, 2011). Konsep interaksi antara perawat dan pasien merupakan kunci utama dalam keperawatan jiwa. Peplau (1991, 1994) dalam teori interaktifnya menekankan pentingnya hubungan perawat dengan pasien, dan menegaskan bahwa keperawatan adalah memiliki pengaruh yang signifikan, terapeutik, dan adanya proses interpersonal (1952, p. 16). Peplau juga menggunakan istilah psikodinamik keperawatan seperti “mampu memahami perilaku sendiri untuk membantu orang lain mengidentifikasi perasaan yang sulit, dan untuk menerapkan prinsip-prinsip hubungan manusia dengan masalah yang timbul pada semua tingkat pengalamannya” (hlm. Xiii). Pendekatan keperawatan ini memungkinkan perawat untuk mulai berpindah dari hanya berorientasi terhadap penyakit ke sisi lain dimana makna psikologis suatu peristiwa, perasaan, dan perilaku dapat dieksplorasi dan dimasukkan ke dalam intervensi keperawatan (Kim, 2007). Proses keperawatan psikodinamik ini menawarkan perawat kesempatan untuk mengajarkan klien cara mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan mereka dan untuk mengeksplorasi

1

bersama dengan mereka untuk mengetahui bagaimana untuk melawan pengalaman atau stressor mereka. Harga diri rendah masih menjadi salah satu masalah yang sering dijumpai pada pasien dengan gangguan jiwa, baik di rumah sakit maupun pada lingkup komunitas. Harga diri rendah merupakan penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Towsend, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah juga dapat diartikan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah situsional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah. Hubungan interpersonal dalam keperawatan bertujuan untuk mengembangkan keterampilan perawat dalam menerapkan konsep kesehatan mental secara umum, mejadikan perawat untuk menjadi empati dan jeli terhadap kebutuhan caring seperti apa yang pasien butuhkan, menerapkan konsep-konsep teoritis dan menentukan intervensi apa yang sesuai dalam mencapai tujuan tersebut (Peplau, 1994; Kim, 1994, 2007; Stringer, 2015a), sehingga diharapkan dengan menggunakan pendekatan tersebut dapat membantu perawat memfasilitasi proses penyembuhan masalah harga diri rendah kronis yang dialami pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit. Berdasarkan penjelasan terkait pentingnya pendekatan model interpersonal caring perawat kepada pasien dalam melakukan proses asuhan keperawatan, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan review literature terkait penerapan model interpersonal caring teori yang dikemukakan Peplau dalam membantu mengatasi masalah harga diri rendah kronik pada pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit. 1.2

Tujuan Penulisan Makalah

1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui bagaimana pendekatan model interpersonal caring perawat terhadap masalah harga diri rendah pada pasien jiwa yang dirawat di rumah sakit berdasarkan literatur. 1.2.2 Tujuan Khusus 1.2.2.1 Menjelaskan model interpersonal caring perawat pada pasien gangguan jiwa 2

1.2.2.2 Menjelaskan pendekatan model interpersonal caring perawat terhadap masalah harga diri rendah kronik pada pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit 1.2.2.3 Menganalisis kelebihan dan kekurangan pendekatan model interpersonal caring perawat terhadap masalah harga diri rendah kronik pada pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit.

3

BAB II STUDI PUSTAKA

2.1 Harga Diri Rendah Kronis 2.1.1

Definisi Harga diri rendah kronis adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri dan

kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Towsend, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah juga dapat diartikan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998 dalam Fitriah 2009). Harga diri rendah kronis menurut Nanda (2005) adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dan dipertahankan dalam waktu yang lama. 2.1.2

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah kronis adalah: 1. Mengkritik diri sendiri 2. Perasaan tidak mampu 3. Pandangan hidup yang pesimistis 4. Tidak menerima pujian 5. Penurunan produktifitas 6. Penolakan terhadap kemampuan diri 7. Lebih banyak menunduk 8. Bicara lambat dengan nada suara pelan 9. Kurang memperhatikan perawatan diri 10.Berpakaian tidak rapi 11. Selera makan kurang 12.Tidak berani menatap lawan bicara 2.1.3

Proses Terjadinya Masalah Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri

rendah situsional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah.

4

Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu berada pada suatu yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situsional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis. 2.1.4

Rentang Respon

Respons Adaptif

Aktualisas i diri

Konsep diri positif

Respons Maladaptif

Harga diri rendah kronis

Kerancua n identitas

Depersonalisa si

Keterangan: 1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman yang nyata yang sukses dan diterima. 2. Konsep diri positif apabila individu memiliki pengalaman yang positif dalam beraktualisasi diri. 3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon konsep diri adaptif dengan konsep diri maladaptif. 4. Identitas kacau adalah kegagalan individu mengintegrasikan aspek-aspek identitas masa kanak-kanak ke dalam kematangan aspek psikisosial kepribadian pada masa dewasa yang harmonis. 5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya dengan orang lain. Harga diri rendah merupakan episode deperesi mayor dimana aktivitas merupakan bentuk hukuman atau punishment ( Stuart & Laraia, 2005). Depresi adalah emosi normal manusia, tapi secara klinis dapat bermakna patologik apabila menganggu perilaku sehari-hari, menjadi pervasif dan muncul bersama penyakit lain. Menurut Nanda (2005), tanda dan gejala yang dimunculkan sebagai perilaku telah dipertahankan dalam waktu yang lama atau kronik yang meliputi hal yang negatif tentang diri sendiri dalam waktu lama dan terus menerus, mengekspresikan sikap malu/minder/rasa bersalah, kontak mata kurang/tidak ada, selalu mengatakan 5

ketidakmampuan /kesulitan untuk mencoba sesuatu, bergantung pada orang lain, tidak asertif, pasif dan hipoaktif, bimbang dan ragu-ragu serta menolak umpan balik dan membesarkan umpan balik negatif mengenai dirinya. Mekanisme koping jangka pendek yang biasa dilakukan klien harga diri rendah adalah kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis, misalnya pemakaian obat-obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus. Kegiatan mengganti aktivitas sementara, misalnya ikut kelompok sosial, keagamaan dan politik. Kegiatan yang memberi dukungan sementara, seperti mengikuti suatu kompetisi atau kontes popularitas. Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara, seperti penyalahgunaan obat-obatan. Jika mekanisme koping jangka pendek tidak memberi hasil yang diharapkan individu akan mengembangkan mekanisme koping jangka panjang, antara lain menutup identitas, dimana klien terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi dari orang-orang yang berarti tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri. Identitas negatif, dimana asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan masyarakat. Sedangkan mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah fantasi, regresi, diasasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri dan orang lain. Terjadinya gangguan konsep diri harga diri rendah kronis juga dipengaruhi beberapa faktor predisposisi seperti faktor biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Faktor biologis biasanya karena ada kondisi sakit fisik secara yang dapat mempengaruhi kerja hormon secara umum, yang dapat pula berdampak pada keseimbangan neurotransmitter di otak, contoh kadar serotonin yang menurun dapat mengakibatkan klien mengalami depresi dan pada pasien deperesi kecenderungan harga diri rendah kronis semakin besar karena klien lebih dikuasi oleh pikiran – pikiran negatif dan tidak berdaya. Struktur otak yang mungkin mengalami gangguan pada kasus harga diri rendah kronis adalah: a.

System limbic (pusat emosi), emosi pasien kadang berubah seperti sedih, dan terus

menerus merasa tidak berguna atau gagal terus menerus. b. Hipotalamus mengatur mood dan motivasi, karena melihat kondisi klien dengan harga diri rendah kronis yang membutuhkan lebih banyak motivasi dan dukungan dari perawat dalam melaksanakan tindakan yang sudah dijadwalkan bersama-sama 6

dengan perawat padahal klien mengatakan bahwa membutuhkan latihan yang telah dijadwalkan tersebut. c. Thalamus, sistem pintu gerbang atau menyaring fungsi untuk mengatur arus informasi sensori yang berhubungan dengan perasaan untuk mencegah berlebihan di korteks. Kemungkinan pada klien dengan harga diri rendah apabila ada kerusakan pada thalamus ini maka arus informasi sensori yang masuk tidak dapat dicegah atau dipilah sehingga menjadi berlebihan yang mengakibatkan perasaan negatif yang ada selalu mendominasi pikiran dari klien. d. Amigdala berfungsi untuk emosi. Adapun jenis alat untuk mengetahui gangguan struktur otak dapat digunakan: a. Electroencephalogram (EEG), suatu pemeriksaan yang bertujuan memberi informasi penting tentang kerja dan fungsi otak. b. CT scan, untuk mendapatkan gambaran otak tiga dimensi. c. Single photon emission computed tomography (SPECT), melihat wilayah otak dan tanda-tanda abnormalitas pada otak dan menggambarkan perubahan-perubahan aliran darah yang terjadi. d. Magnetic resonance imaging (MRI), suatu teknik radiologi dengan menggunakan magnet, gelombang radio dan computer untuk mendapatkan gambaran stuktur tubuh atau otak dan dapat mendeteksi perubahan yang kecil sekalipun dalam stuktur tubuh atau

otak.

Beberapa

prosedur

menggunakan

kontras

gadolinium

untuk

meningkatkan akurasi gambar. Selain gangguan pada struktur otak, apabila dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan

alat-alat

tertentu

kemungkinan

akan

ditemukan

ketidakseimbangan

neurotransmitter di otak seperti: a. Acetylcholine (Ach), untuk pengaturan atensi dan mood, mengalami penurunan. b. Norepinephrine, mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi; mengatur “flight-flight” dan proses pembelajaran dan memori, mengalami penurunan yang mengakibatakan kelemahan dan depresi. c. Serotonin, mengatur status mood, mengalami penurunan yang mengakibatkan klien lebih dikuasai oleh pikiran-pikiran negatif dan tidak berdaya. d. Glutamat, mengalami penurunan, terlihat dari kondisi klien yang kurang energi, selalu terlihat mengantuk. Selain itu, berdasarkan diagnosa medis klien yaitu skizofrenia yang sering mengindikasikan adanya penurunan glutamat. Adapun jenis alat untuk pengukuran neurotransmitter yang dapat digunakan:

7

a.

Positron emission tomography (PET), mengukur emisi/pancaran dari bahan kimia radioaktif yang diberi label dan telah disuntik kedalam aliran darah untuk menghasilkan gambaran dua atau tiga dimensi melalui distribusi dari bahan kimia tersebut didalam tubuh dan otak. PET dapat memperlihatkan gambaran aliran darah, oksigen, metabolisme glukosa, dan konsentrasi obat dalam jaringan otak yang merefleksikan aktivitas otak sehingga dapat dipelajari lebih lanjut tentang fisiologi

dan neuro kimiawi otak. b. Transcranial magnetic stimulations (TMS) dikombinasikan dengan MRI, para ahli melihat dan mengetahui fungsi spesifik dari otak. TMS dapat menggambarkan proses motorik dan visual dan dapat menghubungkan antar kimiawi dan struktur otak dengan perilaku manusia dan hubungannya dengan gangguan jiwa. Berdasarkan faktor psikologis, harga diri rendah kronis sangat berhubungan dengan pola asuh dan kemampuan individu menjalankan peran dan fungsi. Hal-hal yang dapat mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, orang tua yang tidak percaya pada anak, tekanan teman sebaya, peran yang tidak sesuai dengan jenis kelamin dan peran dalam pekerjaan. Faktor sosial yang sangat mempengaruhi proses terjadinya harga diri rendah kronis adalah status ekonomi seperti kemiskinan, tempat tinggal didaerah kumuh dan rawan, kultur sosial yang berubah misal ukuran keberhasilan individu. Faktor cultural dapat dilihat dari tuntutan peran sesuai kebudayaan yang sering meningkatkan kejadian harga diri rendah kronis antara lain: wanita sudah harus menikah jika umur mencapai duapuluhan, perubahan kultur kearah gaya hidup individualisme. Akumulasi faktor predisposisi ini baru menimbulkan kasus harga diri rendah kronis setelah adanya faktor presipitasi. Faktor presipitasi dapat disebabkan dari dalam diri sendiri ataupun dari luar, antara lain ketegangan peran, konflik peran, peran yang tidak jelas, peran berlebihan, perkembangan transisi, situasi transisi peran dan transisi peran sehat sakit. 2.1.5

Faktor Predisposisi dan Presipitasi

1. Faktor Predisposisi Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis. 2. Faktor Presipitasi 8

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan, menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri: harga diri rendah dapat terjadi secara situasional maupun kronik.  Situasional. Gangguan konsep diri: harga diri rendah yang terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban perkosaan, atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.  Kronik. Gangguan konsep diri: harga diri rendah biasanya sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah ,memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat. 2.1.6

Mekanisme Koping Baik faktor predisposisi maupun presipitasi bila telah mempengaruhi seseorang

baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak, maka dianggap telah mempengaruhi koping individu tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme koping individu tidak efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi lebih lanjut, dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial). Klien yang mengalami isolasi sosial dapat membuat klien asik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko prilaku kekerasan.

2.2 Interpersonal Caring Teori 2.2.1 Definisi Interpersonal Caring Teori Hildegard E. Peplau berfokus pada individu, perawat, dan proses interaktif yang menghasilkan hubungan antara perawat dan klien (Torres, 1986; MarrinerTomey, 1994). Berdasarkan teori ini klien adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik. Tujuan keperawatan adalah untuk mendidik klien dan keluarga, dan untuk membantu klien 9

mencapai kematangan perkembangan kepribadian (Chinn dan Jacobs, 1995). Oleh sebab itu perawat berupaya mengembangkan hubungan antara perawat dan klien dimana perawat bertugas sebagai nara sumber, konselor, dan wali. Pada saat klien mencari bantuan, pertama perawat mendiskusikan masalah dan menjelaskan jenis pelayanan yang tersedia. Dengan berkembangnya hubungan antara perawat dan klien, perawat dan klien bersama-sama mendefinisikan masalah dan kemungkinan penyelesaian masalahnya. Dari hubungan ini klien mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan pelayanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya dan perawat membantu klien dalam hal menurunkan kecemasan yang berhubungan dengan masalah kesehatannya. Teori Peplau merupakan teori yang unik dimana hubungan kolaborasi perawat-klien membentuk suatu “kekuatan mendewasakan” melalui hubungan interpersonal yang efektif dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien (Beeber, Anderson dan Sills, 1990). Ketika kebutuhan dasar telah diatasi kebutuhan yang baru mungkin muncul. Hubungan interpersonal perawat-klien, digambarkan sebagai fase-fase yang saling tumpang tindih seperti berikut ini : orientasi, identifikasi, penjelasan, dan resolusi (Chinn dan Jacobs, 1995). Teori dan gagasan Peplau dikembangkan untuk memberikan ...


Similar Free PDFs