PENI SEFIAH INDRAWATI A1C314002 LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ELEKTRONIKA DASAR II PDF

Title PENI SEFIAH INDRAWATI A1C314002 LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ELEKTRONIKA DASAR II
Author Peni Fisika Unja
Pages 58
File Size 2.2 MB
File Type PDF
Total Downloads 106
Total Views 686

Summary

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ELEKTRONIKA DASAR II NAMA : PENI SEFIAH INDRAWATI NIM : A1C314002 KELOMPOK : IV LABORATORIUM PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JAMBI 2016 1 DAFTAR ISI Cover………………………………………………………………………………...


Description

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ELEKTRONIKA DASAR II

NAMA

: PENI SEFIAH INDRAWATI

NIM

: A1C314002

KELOMPOK

: IV

LABORATORIUM PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JAMBI 2016

1

DAFTAR ISI

Cover……………………………………………………………………………… 1 Daftar Isi…………………………………………………………………………. 2 Kegiatan I………………………………………………………………………… 3 Kegiatan II………………………………………………………………………... 19 Kegiatan III……………………………………………………………………….. 30 Kegiatan IV………………………………………………………………………. 40 Kegiatan V………………………………………………………………………… 53

2

Senin, 26 September 2016 Kegiatan I PENGUAT GANDENGAN RC A. Tujuan 1. Menentukan βdc transistor 2. Menyelidiki tanggapan amplitude penguat gandengan RC B. Dasar Teori Gandengan yang menggunakan kapasitor disebut gandengan RC. Suatu contoh penguat dengan gandengan RC adalah penguat emitor ditanahkan seperti ditunjukkan pada gambar dibawah :

CJC menyatakan kapasitansi didalam transistor yang timbul pada sambungan antara basis dan kolektor, oleh karena adanya daerah pengosongan pada sambungan p-n ini. Kapasitansi Cje menyatakan kapasitansi yang timbul pada sambungan p-n antara basis dan emitor. Oleh pengaruh kapasitansi yang ada dalam penguat, nilai penguatan tegangan Gv berubah dengan frekuensi. Grafik yang melukiskan bagaimana penguatan tegangan (biasanya dalam dB) berubah dengan frekuensi (biasanya dalam skala log) disebut tanggapan amplitude. Tanggapan amplitude biasanya dapat dilihat pada gambar dibawah yang menunjukkan bahwa tanggapan amplitude dapat didekati dengan satu bagan Bode seperti tanggapan amplitude tapis RC. Tampak penguat berlaku sebagai suatu tapis lolos pita. Frekuensi f1 disebut frekensi potong atas.

3

Daerah frekuensi rendah sedang antara f1 dan f2 tanggapan amplitude tak berubah dengan frekuensi. Daerah frekuensi ini disebut daerah frekuensi rendah. Daerah frekuensi sekitar dan atas f2 disebut daerah frekuensi tinggi. Pada daerah frekuensi rendah penguat berlaku sebagai tapis lolos tinggi dengan f1 adalah kutub daripada fungsi alih Gv (ω). Akibatnya f1 akan ditentukan oleh kapasitor pengganti C1, C2 dan kapasitor pintas CE. Pada daerah frekuensi tinggi, yaitu disekitar f2 dan diatasnya, penguat berlaku sebagai suatu tapis lolos rendah. Kapasitansi yang berpengaruh adalah kapsitansi yang paralel dengan arus isyarat Cje dan CJC. Pada frekuensi tinggi kapasitansi seri seperti C1, C2 dan CE boleh dianggap terhubung singkat. Pada daerah frekuensi tengah kapsitansi seri seperti C1, C2 dan CE dianggap terhubung singkat dan kapasitansi paralel Cje dan CJC dianggap terbuka atau tidak terpasang. Akibatnya ada daerah frekuensi tengah tidak ada komponen reaktif, sehingga tanggapan amplitude menjadi tidak bergantung pada frekuensi (datar). (Sutrisno, 1987 :1-2) Power amplifier sebagai penguat terakhir dalam rantai transmisi (tingkat keluaran) dan tahap penguat yang biasanya membutuhkan perhatian yang besar untuk efisiensi daya. Pertimbangan efisiensi menyebabkan berbagai kelas power amplifier berdasarkan blasing dari transistor output. Rangkaian penguat daya (tahap output) diklasifikasikan sebagai A, B, AB dan C untuk desain analog, dan kelas D dan E untuk desain digital berdasarkan sudut konduksi atau sudut aliran, θ, dari sinyal input yang melaui output penguatan perangkat, yaitu bagian dari siklus sinyal input dimana perangkat penguatan. Sudut aliran berkaitan erat dengan

efesiensi daya

penguat. Berdasarkan Kelasnya, power amplifier dibagi menjadi : 1. Kelas A Contoh dari penguat class A adalah adalah rangkaian dasar common emiter (CE) transistor. Penguat tipe kelas A dibuat dengan mengatur arus bias yang

4

sesuai di titik tertentu yang ada pada garis bebannya dan titik kerja efektifnya setengah dari tegangan VCC penguat. 2. Kelas B Penguat kelas B adalah penguat yang bekerja berdasarkan tegangan bias dari sinyal input yang masuk. Titik kerja penguat kelas B berada dititik cut-off transistor. 3. Kelas AB Kelas AB adalah penengah antara kelas A dan B, dengan efisiensi daya yang lebih baik dari distorsi kelas A dan kurang dari kelas B. Dua elemen aktif melakukan lebih dari separuh waktu, menghasilkan distorsi kurang crossover dari kelas-B amplifier. 4. Kelas C Penguat kelas C mirip dengan penguat kelas B, yaitu titik kerjanya berada di daerah cut-off transistor. Bedanya adalah penguat kelas C hanya perlu satu transistor untuk bekerja normal sedangkan kelas B yang harus menggunakan dua transistor (sistem push-pull). 5.

Kelas D

Penggunaan ini beralih untuk mencapai efisiensi daya yang sangat tinggi (lebih dari 90% pada desain modern). (Hidayat, 2013 : 98) Penguatan tegangan pada satu tahap pada suatu penguat gandengan RC ditunjukkan pada Gambar 12.12. Penguatan itu relatif konstan sepanjang kawasan frekuensi menengah (midfrequency range), tetapi sangat menurun pada frekuensi-frekuensi rendah dan frekuensi-frekuensi tinggi. Dalam penguat yang umum, lengkungan tanggapan frekuensi adalah simetri jika frekuensi itu dilukis pada skala logaritma seperti yang ditunjukkan pada gambar itu. Lebar jalur dibatasi oleh frekuensi-frekuensi potong atas dan bawah f1 dan f2 tepat seperti pada tanggapan frekuensi suatu rangkaian resonansi. Pada frekuensi-frekuensi daya-setengah, tanggapannya adalah 70,7% penguatan pada frekuensi menengah, atau A1  A2 

A0 dengan sudut fasa  = 45. 2

5

Pengaruh perubahan rangkaian pada tanggapan frekuensi dapat ditentukan secara percobaan atau diramalkan berdasarkan pembahasan sebelum ini. Jika nilai resistansi beban dalam rangkaian penguat itu diperbesar, seluruh lengkungan penguatan akan meningkat. Dalam penguat dasar seperti pada Gambar 10.23 atau 10.28, tegangan keluarannya sebanding dengan resistansi beban (RL). Jika CK dilepaskan, seluruh lengkungan itu akan menurun. Zs

Ii

Io +

+ +

Gambar 12.12 Rangkaian penguat satu tahap umum

Vs

Vi -

Zi

GVi

Zo

Sumber

vo

ZL

-

-

Penguat

Beban

Secara umum, suatu rangkaian penguat dapat dilukiskan seperti pada Gambar 12.12. Sinyal masukannya dapat berasal dari suatu „sumber,‟ yang dapat berupa sinyal dari sensor DVD atau keluaran penguat tahapan sebelumnya dan dinyatakan sebagai suatu sumber tegangan Vs dan impedansi setara Thévenin Zs. Sinyal masukan itu terdiri atas sinusoida dengan berbagai amplitudo dan frekuensi, sehingga variabel itu dinyatakan sebagai fasor dengan nilai efektif. Penguat satu tahap itu dicirikan oleh impedansi masukan dan keluaran Zi dan Zo serta suatu sumber tak bebas yang dikendalikan oleh tegangan atau arus masukan. Penguatan penguat itu adalah seperti yang diberikan oleh Persamaan (12.1), yaitu A 

Vo dengan A merupakan suatu fungsi frekuensi kompleks. Vi

Beban penguat itu dapat berupa suatu transduser atau penguat pada tahap berikutnya. Bila komponen-komponen sinyal masukan dan karakteristik sumber dan beban diketahui, dapat diramalkan keluarannya jika diketahui pula tanggapan frekuensi penguat tersebut. (Mismail, 1995 : 349) High-Frequency Performance of CE Amplifier The Small-Signal Equivalent Circuit 6

We now have the tools we need to analyze (actually, estimate) the highfrequency performance of an amplifier circuit. We choose the common-emitter amplifier to illustrate the techniques:

V CC

R1

RC

C

C R

out

in

Q

S

+

+

vs -

v

1

+

in

R

CE

R 2

E

RL vo

-

-

Fig. 269. Standard common emitter amplifier (Fig. 208 repeated). Now we use the hybrid-π equivalent for the BJT and construct the smallsignal equivalent circuit for the amplifier: C

-

R = R ||R

v s

in

-

B

1

r



B’ +

x

+

+ v

r

B

RS

2



E

rπ -



C gmvπro

R ||R L

C

E

RL’ = ro||RL|| RC Fig. 270. Amplifier small-signal equivalent circuit using hybrid-π BJT

model. High-Frequency Performance We can simplify the circuit further by using a Thevenin equivalent on the

7

input side, and by assuming the effect of r to be negligible:

C R S’

B’

+

vs’

-

C +

v

π

-

C

π

+ gmvπ

RL’ vo

-

Fig. 271. Modified small-signal equivalent, using Thevenin equivalent on the input side, and assuming r is infinite. Note that the Thevenin resistance Rs’ = rπ || [rx + (RB||RS)] Recognizing that the dominant high-frequency pole occurs on the input side, we endeavor only to calculate fh1 . Thus we ignore the effect of C on the output side, calculate the voltage gain, and apply the Miller Effect on the input side only. The CE Amplifier Magnitude Response Finally, we can estimate the entire Bode magnitude response of an amplifier. . . an example:

8

20 log Av mid 20 dB/dec -20 dB/dec

f 1

40 dB/dec

f h1

f out

f in

60 dB/dec

f2 40 dB/dec

Fig. 274. One example of the entire Bode magnitude response of a common emitter amplifier. Of this plot, the lower and upper 3-dB frequencies are the most important, as they determine the bandwidth of the amplifier: BW = f H − f L ≈ f h1 − f1

(290)

where the latter approximation assumes that adjacent poles are far away. We’ve estimated the frequency response of only one amplifier configuration, the common-emitter. The techniques, though, can be applied to any amplifier circuit. (Zulinski, 1999 : 189-192) C. Alat dan Komponen 1. AFG 2. CRO 3. DC Power Supply 4. Breadboard dan kabel jumper D. Prosedur Kerja 9

1. Susun rangkaian seperti gambar 1

2. Kaki basis B dari transistor dilepas, kemudian disambung dengan milliampermeter. Ukur arus basis IB . Kemudian rngkaian dibuat seperti semula. 3. Kaki colector C dari transistor dilepas, kemudian disambung dengan milliampermeter. Ukur arus collector IC . Tentukan bdc transistor dengan rumus : bdc = IC / IB 4. Hubungkan AFG pada input penguat. Atur frekuensi pada 100 Hz. Atur besar tegangan input sehingga pada tegangan output tidak cacat (terpotong). 5. Ukurlah Vi pada frekuensi 50 Hz, kemudian ukur Vo. 6. Ulangi langkah 5 untuk frekuensi : 100 Hz – 1 MHz 7. Ulangi langkah 5 dan 6 untuk C2 = 0,01 μF untuk menyelidiki pengaruh C2 terhadap tanggapan amplitudo. 8. Gambarlah kurve tanggapan amplitudo untuk kedua tapis, dan tentukan frekuensi potong masing-masing E. Data Hasil 1. Menentukan βdc IB = 0,06 A IC = 0,06 A

10

βdc = 1 2. f

Vi

Vo

50 Hz

0,2121 V

0,177 V

100 Hz

0,2121 V

0,177 V

200 Hz

0,2121 V

0,177 V

300 Hz

0,2121 V

0,177 V

400 Hz

0,2121 V

0,177 V

500 Hz

0,2121 V

0,177 V

Kv

11

F. Pembahasan Gandengan yang menggunakan kapasitor disebut dengan gandengan RC. Suatu contoh penguat dengan gandengan RC adalah penguat emitor ditanahkan. ( Sutrisno, 1987 :1) Pada praktikum ini kami menggunakan resistor dengan resistansi yang berbeda, yaitu RB1 sebesar 100KΩ sedangkan RB2, RE2, dan Rc sebesar 22 KΩ. Komponen kapasitor yang digunakan yaitu C1 sebesar 1�F, C2 sebesar 1�F dan CE sebesar 220�F. Pada praktikum ini, mula-mula kami menyusun rangkaian dan kemudian mengukur arus IB dan IC. Kami mengukur arus IB dengan melepas 12

kaki basis B dari transistor dan kemudian menghubungkan dengan multimeter. Selanjutnya kami mengukur arus

IC dengan melepas kaki

kolektor C dari transistor dan menghubungkannya dengan multimeter. Namun dari percobaan terseebut kami tidak dapat menemukan hasilnya. Kami telah melakukan percobaan berulang kali namun hasilnya tetap tidak berhasil. Sehingga kami memutuskan untuk mengambil data dari praktikan kelompok lain. Dari data tersebut kami dapatkan hasil keduanya sama yaitu 0,06 A, sehingga βdc kami dapatkan hasilnya 1. Pada percobaan ini tentunya terdapat kesalahan karena kami tidak dapat menentukan hasilnya. Kesalahan ini dapat disebabkan karena kesalahan pada alat ataupun komponen yang kami gunakan. Selain itu, kesalahan juga dapat disebabkan oleh praktikan (Human Error) yang kurang teliti dalam merangkai. Selanjutnya kami melakukan pengukuran pada Vin dan Vout dengan frekuensi sebesar 50 Hz, 100 Hz, 200 Hz, 300 Hz, 400 Hz dan 500 Hz. Dari percobaan tersebut kami dapatkan Vin yang sama yaitu 0,3 V dan Vout 0,25 V. Dari data Vin dan Vout yang kami dapatkan, kami dapat menghitung penguatan gandengan Rc (Kv) yaitu sebesar 0,8333. Hal ini tidak sesuai dengan teori secara umum. Secara teori fungsi suatu penguat adalah pada peralatan yang menggunakan tegangan yang kecil untuk mengendalikan tegangan yang lebih besar. Maksudnya nilai tegangan yang dihasilkan akan lebih besar daripada nilai tegangan masukan yang diberikan. Dengan kata lain Vin > Vout. Ketidaksesuaian antara teori dan praktek ini dapat disebabkan karena beberapa factor, yaitu komponen atau alat yang kami gunakan tidak berfungsi dengan baik dan juga kurangnya pemahaman praktikan dalam merangkai percobaan ini. Sehingga, untuk praktikum selanjutnya praktikan harus lebih hati-hati, teliti dan memahami materi lebih dalam tentang apa yang akan dipraktikumkan.

13

G. Kesimpulan Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. βdc transistor dapat ditentukan dengan membandingkan arus Ic dan I B.

2. tanggapan amplitude penguat gandengan RC dapat diselidiki dengan menghubungkan sinyal generator pada rangkaia yang telah dibuat sehingga dihasilkan nilai Vin dan Vout pada osiloskop.

H. Daftar Pustaka Hidayat, Rahmat. 2013. “Penerapan Audio Amplifier Stereo untuk Beban Bersama dan Bergantian dengan Menggunakan Saklar Ganda sebagai Pengatur Beban”. Jurnal Teknik Elektro. 5(2). Bengkulu Mismail, Budiono. 1995. Rangkaian Listrik. Bandung : ITB Sutrisno. 1987. Elektronik Teori dan Penerapannya Jilid 2. Bandung : ITB Zulinski, Bob. 1999. Introduction to Electronics. United States : Michigan Technological University I. Lampiran 



Vin

 f = 50 Hz, Vpp = 0,6 V √







 f = 100 Hz, Vpp = 0,6 V √







 f = 200 Hz, Vpp = 0,6 V

14









 f = 300 Hz, Vpp = 0,6 V √







 f = 400 Hz, Vpp = 0,6 V √







 f = 500 Hz, Vpp = 0,6 V √ 

Vout







 f = 50 Hz, Vpp = 0,5 V √



 f = 100 Hz, Vpp = 0,5 V √



 f = 200 Hz, Vpp = 0,5 V √

√ 15

 f = 300 Hz, Vpp = 0,5 V √



 v f = 400 Hz, Vpp = 0,5 V √



 f = 500 Hz, Vpp = 0,5 V







Penguatan ( Kv)

16

LAMPIRAN GAMBAR

Bentuk Rangkaian

Mengukur Arus

 Frekuensi 50 Hz

Vin

Vout

 Frekuensi 100 Hz

Vin  Frekuensi200 Hz

Vout

17

Vin

Vout

 Frekuensi300 Hz

Vin

Vout

 Frekuensi 400 Hz

Vin

Vout

 Frekuensi 500 Hz

Vin

Vout

18

Sabtu, 15 Oktober 2016 Kegiatan II PENGUAT OPERASIONAL A. Tujuan 

Untuk mendemonstrasikan bagaimana sebuah Op-amp inerting (membalik) digunakan sebagai penguat dalam suatu rangkaian DC dan AC sederhana

B. Dasar Teori Penguat operasional atau Op-amp ( Operational Amplifier) adalah penguat diferensial dengan dua masukan dan satu keluaran yang mempunyai penguatan tegangan yang amat tinggi, yaitu 105. Pada masa kini op-amp dibuat dalam bentuk rangkaian terpadu atau IC ( Integrated Circuit). Kita dapat membeli suatu IC yang dalam satu potongan Kristal mengandung empat buah op-amp sekaligus. Sifat-sifat ideal op-amp

Dari gambar tersebut, tampak adanya dua masukan membalik (INV) dan masukan NON INV ( tak membalik). Masukan membalik diberi tanda (-) dan masukan tak membalik diberi tanda (+). Beberapa sifat ideal op-amp adalah sebagai berikut: 1. Penguat lingkar terbuka tak berhingga Av, Ib = 2. Hambatan keluaran lingkar terbuka adalah nol atau Ro, Ib = 0 3. Hambatan masukan lingkar terbuka tak berhingga, atau R1, Ib =

19

4. Lebar pita tak berhingga 5. Nisbah penolakan bersama ( CMRR) =

( Sutrisno, 1987 :117-118)

Penguat operasional atau disebut Op-amp adalah suatu penguat beda (penguat differensial) yang mempunyai penguatan tegangan sangat tinggi dengan impedansi masukan tinggi dan impedansi masukan rendah. Op-amp merupakan rangkaian terintegrasi yang dikemas dalam bentuk chip, sehingga sangat praktis penggunaanya. Penggunaan Op-amp sangat luas termasuk diantaranya sebagai osilator, filter, rangkaian instrumentasi. 

Penguat Beda Penguat beda atau diferensial amplifier merupakan rangkaian yang banyak dipakai dalam rangkaian terintegrasi termasuk op-amp. Pada prinsipnya rangkaian penguat beda terdiri atas dua buah transistor yang emitornya dihubungkan jadi satu. Umumnya masukan penguat beda ada dua buah



(berasal dari satu atau dua buah transistor) Analisis DC Analisis DC dilakukan pada satu sisi transistor, dengan asumsi bahwa kedua transistor adalah identik. Rangkaian ekivalen DC untuk satu sisi transistor adalah terlihat pada gambar berikut :



Analisis AC

20

Analisis AC dilakukan untuk menentukan factor penguatan Commom-mode (AC). Untuk itu, kedua masukan harus dibuat sama, yakni V1 = V2. Rangkaian satu sisi transistor untuk common mode adalah pada gambar berikut :

Op-Amp Circuits – The Inverting Amplifier

Voltage Gain Because the ideal op amp has Ri = ∞ This means i1

, the current into the inputs will be zero.

= i2 , i.e., resistors R1 and R2 form a voltage dividerIII. 21

Therefore, we can use superposition to find the voltage v- .

Now, because there is negative feedback, vo takes on whatever value that causes v+ - v- = 0 , and v+ = 0 !!! Thus, setting eq. (35) to zero, we can solve for vo :

Input Resistance This means resistance “seen” by the signal source vi , not the input resistance of the op amp, which is infinite. Because v- = 0, the voltage across R1 is vi . Thus:

Output Resistance This is the Thevenin resistance which would be “seen” by a load looking back into the circuit (Fig. 45 does not show a load attached). Our op amp is ideal; its Thevenin output resistance is zero: RO  0

(38)

Op Amp Circuits - The Noninverting Amplifier If we switch the vi and ground connections on the inverting amplifier, we obtain the noninverti...


Similar Free PDFs