Peran Teknik Sipil dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim Dunia dalam Konteks SDGs PDF

Title Peran Teknik Sipil dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim Dunia dalam Konteks SDGs
Author Farel Alfarisi
Pages 6
File Size 82.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 351
Total Views 443

Summary

Peran Teknik Sipil dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim Dunia dalam Konteks SDGs SDGs (Sustainable Development Goals) adalah program atau aksi global yang dicanangkan oleh semua negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa untuk mengakhiri kemiskinan dan menjaga bumi ini untuk memastikan kedamaian s...


Description

Peran Teknik Sipil dalam Menghadapi Tantangan Perubahan Iklim Dunia dalam Konteks SDGs SDGs (Sustainable Development Goals) adalah program atau aksi global yang dicanangkan oleh semua negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa untuk mengakhiri kemiskinan dan menjaga bumi ini untuk memastikan kedamaian serta kesejahteraan manusia1. Program ini merupakan kelanjutan dari program, yaitu MDGs (Millennum Development Goals) yang memiliki setidaknya 8 goals dan sudah memberikan perubahan pada dunia hingga tahun 2015. SDGs disahkan pada tahun 2015 dan direncanakan akan mencapai seluruh Goals nya pada tahun 2030. Setidaknya terdapat 17 Goals dan 169 target dari SDGs yang isinya meliputi berbagai bidang, seperti kemanusiaan, kesehatan, lingkungan, industri, dan lain-lain. Pada dasarnya, SDGs ini berhubungan dengan pembangunan yang bersifat berkelanjutan. Makna dari berkelanjutan sendiri dapat diartikan sebagai suatu sifat pembangunan yang mampu memberikan impact atau dampak, baik itu bagi manusia maupun lingkungan secara terus menerus dan terkoneksi satu sama lain. Lalu, apa makna pembangunan berkelanjutan yang terkoneksi satu sama lain? Maksud dari terkoneksi disini adalah bila kita berbicara terkait dengan pembangunan/development suatu bidang maka bidang ini tidak akan terlepas dari berbagai macam bidang lainnya. Sederhananya seperti ini, bidang A akan berhubungan dengan B, C, dan seterusnya sehingga segala proses yang terletak di A harus selalu mempertimbangkan keberlangsungan dari B, C, dan yang lainnya. Keberlanjutan akan tercapai bila A, B, dan C sudah saling terhubung dengan dampak positif yang dapat dirasakan oleh masing-masing bidang. Itulah gambaran kasar bagaimana implementasi dari SDGs di dunia. Dalam pengimplementasiannya, SDGs pasti membutuhkan kontribusi dan kolaborasi aktif dari berbagai macam pihak. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa SDGs meliputi bidang-bidang yang saling terkoneksi satu sama lain. Hal ini, tidak dapat terealisasi dengan baik apabila tidak ada komunikasi yang baik diantara pihak-pihak yang terkait. Selain itu, ide-ide kreatif serta inovatif tentu memegang peran penting dalam realisasi SDGs ini. Mengapa? Karena pembangunan berkelanjutan membutuhkan pikiran kritis yang dapat menghubungkan antara hal yang satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari sebuah riset yang menyatakan bahwa “Critical thinking is also an established key competency in education for sustainable development” .2 Dengan demikian, berpikir kritis dan komunikasi yang baik adalah kunci utama untuk menemukan ide-ide kreatif solutif untuk mencapai setiap poin dalam SDGs. Lalu, Bagaimanakah hubungan antara program studi Teknik Sipil dengan SDGs ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari ditelaah terlebih dahulu tentang apa sebenarnya yang dipelajari dari program studi ini. Teknik sipil adalah program studi yang mempelajari disiplin ilmu dari mendesain, mengkonstruksi, dan merawat bangunan yang dibangun seperti jalan, jembatan, kanal, bendungan, bandara, sistem saluran pembuangan, perpipaan, komponen struktur gedung, dan rel.[3][4] Apabila disederhanakan maka seorang insinyur sipil bertugas dalam membangun infrastruktur yang berkaitan dengan kebutuhan manusia di muka bumi. Dimana ada manusia maka disitu terdapat proyeksi pembangunan yang tentunya membutuhkan peran dari seorang perekayasa sipil. Dengan demikian, seorang perekaya sipil memiliki peluang yang sangat besar dalam merealisasikan SDGs untuk kesejahteraan manusia dan bumi. Lalu, seperti apakah bentuk realisasi

dari SDGs pada dunia Teknik sipil? Jawaban itu akan disampaikan pada penjelasan-penjelasan di bawah ini. Banyak sekali peluang-peluang yang dimiliki oleh seorang perekayasa sipil agar dapat berkontribusi dalam merealisasikan SDGs. Salah satunya adalah pembangunan Gedung/infrastruktur dengan mempertimbangkan dampak bagi lingkungan sekitar. Pertimbangan ini didasarkan kepada 3 segmen utama pembangunan , yaitu sebelum penggunaan, saat penggunaan, dan setelah penggunaan. Biasanya pertimbangan-pertimbangan ini ditujukan agar proses konstruksi bangunan bisa dilaksanakan dengan penggunaan energi yang lebih efisien, ramah lingkungan, serta minimal dalam menghasilkan bahan sisa/sampah. Selain itu, penggunaan jumlah air pada proses konstruksi juga biasanya diusahakan agar bisa seminimal mungkin. Dengan mengusahakan efisiensi dan keramahan lingkungan maka dapat ditarik suatu poin bahwa bidang Teknik sipil dapat membantu masyarakat dunia dalam mencapai poin SDGs terutama poin SDGs nomor 13 tentang “climate action”. Dalam tulisan ini, poin SDGs yang akan dititikberatkan adalah poin SDGs nomor 13, yaitu “Climate Action”. Goals SDGs nomor 13 ini berbicara mengenai bagaimana manusia di muka bumi harus bergerak cepat untuk mengatasi perubahan iklim. Penyebab dari perubahan iklim sendiri adalah meningkatnya temperatur di dunia yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Gas-gas tersebut diantaranya adalah CO2, CH4, N2O dan lainlain[5]. Dari sekian macam jenis gas, gas yang sangat memberikan peran bagi perubahan iklim di dunia adalah gas CO2[5]. Salah satu kegiatan manusia yang secara langsung maupun tidak langsung mengemisikan gas ini adalah kegiatan konstruksi bangunan. Sebuah data terkait dengan segmentasi emisi gas rumah kaca menyatakan bahwa seluruh proyek konstruksi di dunia setidaknya menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 40%[6] . Oleh karena itu, peran seorang perekaya sipil sangat dibutuhkan untuk memberikan terobosan dalam menanggulangi permasalahan ini. Banyak sekali kegiatan-kegiatan pada proses konstruksi yang menghasilkan atau mengemisikan gas rumah kaca. Apabila dijabarkan maka kegiatan konstruksi yang berpotensi mengemisikan gas rumah kaca diantaranya adalah proses manufaktur material, proses transportasi peralatan dan kebutuhan material, proses konstruksi/pembangunan, dan proses pembuangan bahan sisa konstruksi bangunan. Jika ditelaah lebih lanjut, potensi terbesar dalam pengemisian gas rumah kaca -CO2dipegang oleh tahap konstruksi atau pembangunan itu sendiri. Tahap konstruksi/pembangunan yang menyumbang gas rumah kaca terbesar terletak pada pemenuhan kebutuhan energi listrik. Pemenuhan energi listrik pada proyek konstruksi biasanya dibantu dengan memanfaatkan alat berupa generator. Padahal, dengan menggunakan generator pasti ada bahan bakar yang harus digunakan sehingga pengeluaran gas CO2 tidak dapat dihindari. Jika, proyek konstruksi itu saja bisa memakan jangka waktu yang lama artinya emisi gas tersebut pasti akan selalu dihasilkan secara kontinu selama proyek itu berlangsung. Berdasarkan riset yang pernah dilakukan, ternyata besar jejak karbon dari proses elektrifikasi dalam proyek konstruksi mencapai angka 76% [7]. Oleh karena itu, tahap pembangunan proyek konstruksi dalam hal ini adalah elektrifikasi untuk kebutuhan konstruksi menyumbang emisi terbesar dibandingkan dengan tahapan lainnya.

Potensi terbesar kedua setelah tahap pembangunan adalah tahap transportasi kebutuhan material. Mengapa tahap transportasi menjadi tahap dengan potensi terbesar kedua penyumbang emisi gas rumah kaca? Cukup sederhana untuk menjawab pertanyaan ini. Transportasi yang digunakan dalam mengantar kebutuhan-kebutuhan konstruksi biasanya sebuah truk, trailer, ataupun kendaraan berat lainnya. Kendaraan-kendaraan tersebut biasanya berbahan bakar fossil, yaitu bensin atau solar. Penggunaan bahan bakar bensin atau solar pasti menghasilkan gas CO2 sebagai hasil dari reaksi pembakaran pada mesin kendaraan tersebut. Apabila setiap hari transportasi kebutuhan material dan konstruksi ini berjalan maka dapat dipastikan pengeluaran gas CO2 sangat besar jumlahnya. Bahkan sebuah studi yang pernah dilakukan pada sebuah proyek konstruksi memberikan persentase jejak karbon pada tahap transportasi adalah sebesar 24%[7]. Mesikpun angka tersebut terlihat lebih rendah dibandingkan dengan tahap pembangunan, tetapi angka tersebut dapat berubah menjadi berkali-kali lipat bila dalam satu waktu saja terdapat banyak proyek konstruksi di berbagai tempat. Sebenarnya, tahapan-tahapan lain dari proses konstruksi juga memberikan sumbangan terhadap emisi gas rumah kaca. Akan tetapi, presentasenya cukup rendah bila dibandingkan dengan kedua tahapan yang telah disampaikan. Ambil saja salah satu contoh, yaitu proses manufaktur material semen untuk komponen penyusun beton. Pada proses pembuatan semen, terdapat proses pembakaran dimana dalam proses tersebut menghasilkan gas CO2. Walaupun, proses manufaktur semen tidak secara langsung berkontribusi dalam mengemisikan gas CO2, tetapi tetap saja berkaitan dengan proses konstruksi secara keseluruhan. Namun, kembali lagi ke pernyataan diatas, yaitu tahapan-tahapan selain tahapan pembangunan dan transportasi menghasilkan emisi yang cenderung lebih kecil dibandingkan dengan kedua tahapan tersebut. Berdasarkan kasus di atas, terdapat setidaknya 3 permasalahan yang sekiranya dapat dijadikan perhatian. Masalah yang pertama adalah emisi yang dihasilkan oleh pemenuhan energi listrik pada proyek konstruksi. Untuk mengatasi permasalahan ini, seorang perekayasa sipil dapat mengusahakan pemenuhan kebutuhan listrik dengan menggunakan energi baru terbarukan/renewable energy. Salah satu alat yang mungkin sekali untuk digunakan adalah panel surya atau Solar PV. Meskipun energi yang dihasilkan oleh panel surya bersifat tidak kontinu, tetapi setidaknya pemanfaatan energi ini dapat mengurangi penggunaan alat pemenuhan energi listrik yang bersifat tidak ramah lingkungan. Kemudian, untuk permasalahan yang kedua adalah emisi yang dihasilkan oleh transportasi peralatan dan kebutuhan material bangunan. Sesungguhnya permasalahan ini cukup sulit ditemukan penyelesaianya. Alasannya adalah karena sulit sekali untuk mengganti kendaraan berat agar bisa menjadi lebih eco-friendly. Terlebih lagi, hal itu bukan menjadi bidang yang digeluti oleh seorang perekayasa sipil. Akan tetapi, sebenarnya sudah ada suatu inovasi dan teknologi agar transportasi ini bisa direduksi pemanfaatannya sehingga emisi yang dihasilkan juga bisa berkurang. Inovasi tersebut adalah off-site construction. Hal yang membedakan off-site construction dengan proses konstruksi konvensional adalah dimana proses konstruksi itu dilaksanakan. Pada offsite construction, bentuk pembangunan adalah berupa bangunan prefabrication, dimana bangunan ini dibuat pada workshop-workshop khusus. Setelah selesai dibuat, barulah bangunan prefab ini dikirim ke lokasi proyek untuk selanjutnya disatukan dengan bangunan prefabrication lainnya. Metode ini sangat efektif untuk mereduksi pemanfaatan transportasi truk, trailer dan yang lainnya. Mengapa? Jika proses pembangunan dapat dilakukan di satu tempat, itu artinya tidak diperlukan transportasi yang berulangkali untuk menyelesaikan

proyek tersebut. Selain itu, kebutuhan akan pembangunan di workshop pun dapat dimodel agar seluruh kebutuhannya dapat dipenuhi tanpa menghasilkan emisi-emisi yang berlebih. Kemudian, untuk permasalahan yang terakhir adalah emisi yang dihasilkan oleh proses manufaktur material bangunan. Untuk mengatasi permasalahan ini, seorang perekaya sipil dapat mengusahakan desain yang dibentuknya agar mampu menggunakan material-material yang ramah terhadap lingkungan. Sebenarnya, permasalahan ini juga dapat dijawab melalui metode off-site construction. Biasanya, bangunan prefabrication pada metode off-site construction menggunakan bahan-bahan yang ecofriendly dan tidak meninggalkan bahan sisa (waste). Terdapat setidaknya 7 keuntungan dalam menggunakan metode prefabrication, yaitu ramah lingkungan, hemat biaya, fleksibel, kualitas yang konsisten, mengurangi gangguan di sekita area pembangunan, lebih cepat prosesnya, keamanan yang lebih baik, dan metode terkini[8]. Oleh karena itu, metode off-site construction bisa menjadi pilihan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Setiap perakayasa sipil sangat perlu berperan dalam mengembangkan ide-ide out of the box untuk mencapai SDGs dalam dunia konstruksi. Namun, terdapat satu peran yang tidak kalah penting untuk mencapai tujuan ini. Peran ini dipegang oleh institusi-institusi yang memberikan pengajaran dan pendidikan ketekniksipilan. Institusi yang menaungi jurusan Teknik sipil harus memberikan edukasi kepada mahasiswanya terkait dengan keberlanjutan (sustainability) atau SDGs dalam dunia Teknik sipil. Peran mereka sangat vital karena melalui mereka-lah dapat terciptanya bibit-bibit perekayasa sipil yang sesuai dengan tantangan zaman. Hal ini tentu dapat dicapai dengan kapasitas dan kapabilitas pengajar yang juga mumpuni. Maka dari itu, selain melakukan pengajaran kepada mahasiswa, pengajaran kepada tenaga pengajar terhadap pemahaman SDGs juga perlu dilakukan. Harapannya dengan kapasitas tenaga pengajar yang mumpuni maka mereka dapat menanamkan pemahaman fundamental kepada mahasiswanya sesuai dengan ilmu Teknik sipil yang berkolaborasi dengan pengetahuan SDGs. Salah satu contoh pemahaman SDGs yang dapat disampaikan adalah “green construction” yang berbasis less emission atau sedikit emisi. Sebenarnya, masih banyak hal-hal yang bisa dikembangkan oleh tenaga pengajar maupun mahasiswa untuk mencapai SDGs dalam dunia konstruksi. Namun, hal utama yang sekiranya paling cocok dan diperlukan adalah inovasi-inovasi dalam dunia konstruksi agar proses pelaksanaan konstruksi bisa berjalan secara efektif dan efisien terhadap lingkungan. Dengan demikian, bibit-bibit perekaya sipil diharapakan mampu memahami dan berpikir kritis untuk membantu masyarakat dunia dalam mencapai poin SDGs nomor 13 tentang “climate action”. Dari pemaparan yang telah disampaikan diatas maka bisa disimpulkan bahwa SDGs merupakan program masyarakat dunia yang melingkupi berbagai aspek dalam kehidupan. Salah satu aspek tersebut adalah aspek perubahan iklim. Perubahan iklim dapat disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, salah satunya adalah aktivitas konstruksi suatu bangunan. Dalam aktivitas konstruksi suatu bangunan terdapat 3 tahap yang memiliki potensi cukup besar dalam menyumbang gas rumah kaca penyebab perubahan iklim, ketiganya adalah tahapan konstruksi dalam hal pemenuhan energi listrik, tahapan transportasi peralatan/material kebutuhan konstruksi, dan tahapan manufaktur material konstruksi. Penyelesaian terhadap masalah tersebut dapat diatasi dengan pemanfaatan energi baru terbarukan/renewable energy dan/atau memanfaatkan metode konstruksi off-site construction/Prefabrication building. Kemudian, selain menyelesaikan

permasalahan pada tahap konstruksi, pihak institusi juga berperan untuk memberikan edukasi baik kepada mahasiswa ataupun tenaga pengajar pada bidang Teknik sipil terkait dengan SDGs serta implementasinya pada bidang konstruksi. Diharpakan melalui peran institusi dapat dihasilkan bibit-bibit perekayasa sipil yang mampu berpikir kritis sehingga dapat berinovasi dan kreatif dalam membantu masyarakat dunia dalam mencapai goals nomor 13 pada SDGs. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang telah disampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kompetensi yang diperlukan dalam mencapai goals-goals pada SDGs. Akhir kata, mari bersama-sama berkolaborasi dan berpartisipasi aktif dalam mencapai Sustainability Development Goals di tahun 2030!

Daftar Pustaka

1

https://www.undp.org/content/undp/en/home/sustainable-development-goals.html

2

Taimur S., Sattar H. (2019) Education for Sustainable Development and Critical Thinking Competency. In: Leal Filho W., Azul A., Brandli L., Özuyar P., Wall T. (eds) Quality Education. Encyclopedia of the UN Sustainable Development Goals. 3

"History and Heritage of Civil Engineering". ASCE. Archived from the original on 16 February 2007. Retrieved 8 August 2007. 4

"What is Civil Engineering". Institution of Civil Engineers. Retrieved 15 May 2017.

5

https://19january2017snapshot.epa.gov/climate-change-science/causes-climate-change_.html

6

https://architecture2030.org/buildings_problem_why/

7

Wang, C. C., & Tan, X. (2012). Estimating Carbon Footprint in the Construction Process of A Green Educational Building. Conference: 2012 International Conference on Construction and Real Estate Management, 6.

8

http://www.constructionworld.org/7-benefits-prefabricated-construction/...


Similar Free PDFs