Perbandingan Administrasi Perpajakan Indonesia, Malaysia, Thailand, Cina dan India PDF

Title Perbandingan Administrasi Perpajakan Indonesia, Malaysia, Thailand, Cina dan India
Author M. Tambunan
Pages 8
File Size 274.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 68
Total Views 128

Summary

Perbandingan Administrasi Perpajakan Indonesia, Malaysia, Thailand, Cina dan India Maria R.U.D. Tambunan1 ([email protected]) 1. Pendahuluan Kinerja dan kapasitas administasi perpajakan kerap menjadi sorotan public terutama setelah bergulirnya reformasi perpajakan termasuk modernisasi organisa...


Description

Perbandingan Administrasi Perpajakan Indonesia, Malaysia, Thailand, Cina dan India Maria R.U.D. Tambunan1 ([email protected])

1. Pendahuluan Kinerja dan kapasitas administasi perpajakan kerap menjadi sorotan public terutama setelah bergulirnya reformasi perpajakan termasuk modernisasi organisasi perpajakan yang dibarengi dengan peningkatan besaran insentif yang diberikan kepada para aparat pajak. Hal ini juga menjadi sangat krusial sebelum memasuki babak awal otonomisasi menuju lembaga semi otonom penghimpun penerimaan negara yang kerap menjadi perbincangan terutama bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia perpajakan. Tulisan ini akan membahas peran administrasi perpajakan, bagaimana kapasitas administrasi perpajakan di Indonesia saat ini sebagai bentuk organisasi serta perbandingan administrasi perpajakan Indonesia, Malaysia, Thailand, Cina dan India.

2. Performa Administrasi Perpajakan Pada dasarnya administrasi perpajakan harus berjalan secara efektif da efisien untuk memastikan bahwa sistem perpajakan berjalan sesuai dengan prinsip equity, economics and effiencient. Mengikuti pendapat Gill yang dikutip oleh Mansor (2010), mengatakan bahwa ketika kebijakan pajak dan hukum pajak telah terbentuk sehingga menciptakan potensi penerimaan pajak, namun yang menentukan seberapa besar potensi tersebut menjadi penerimaan ril tergantung pada efektifitas dan efisiensi performa administrasi perpajakan. Bagaimana mengukur dan meningkatkan kinerja administrasi perpajakan khusunya di negara berkembangan hingga saat ini masih menjadi ulasan hangat dalam dunia perpajakan global. Lembaga donor internasional juga tidak dapat dengan mudah memberikan suatu penilaian bahwa di negara A kinerja perpajakan sudah baik dan di negara B masih buruk semata-mata mengacu pada indicator yang bersifat global. Meminjam istilah Richard Bird, dikatakan bahwa ..in somewhat stronger term, which among the many poor countries which one are the “deserving poor” in that they are trying hard and which are the “undeserving poor” who are not really doing as much for themselves as they can or should. Namun, pada dasarnya pengukuran performa administrasi perpajakan ditujukan untuk mengetahui sebaik atau seburuk apakah kinerja organisasi dalam mencapai tujuan organisasi tersebut. Menurut David Kloeden (2008), pengukuran performa administrasi perpajakan dengan tax-toGDP ratio adalah alat ukur yang paling sering digunakan karena instrument tersebut dianggap paling mudah dan sedernana meskipun realibilitas perhitungan GDP cukup krusial, meskipun variable lain seperti pilihan kebijakan dan efektivitas juga tidak kurang krusialnya. Di berbagai negara, indicator umum yang biasa digunakan seperti tingkat compliance (filing, arrears, audit), kualitas layanan petugas pajak kepada wajib pajak, penyelesaian perselisihan beban pajak, biaya pemungutan pajak dan lainnya. Namun, Kloden kembali menekankan bahwa pencapaian internal dalam mengukur performa administasi perpajakan merupakan hal penting, namun menggunakan variable kinerja administrasi perpajakan di negara lain sebagai pembanding justru lebih penting untuk mengetahui apakah performa disuatu negara dapat dikatakan efektif meskipun disatu sisi dapat dikatakan memenuhi target. Pengukuran adminstrasi perpajakan hanya akan menjadi suatu kegiatan evaluasi rutin yang kurang memberikan nilai tambah bagi kegiatan administrasi perpajakan jika jika tidak dibarengi dengan konsekuensi dan digunakan sebagai landasan penetapan prioritas administrasi perpajakan pasca pengukuran, seperti yang ditekankan oleh Crandall (2010),..there are two important consideration that form a backdrop for any discussion of performance measurement: 1

Asisten Peneliti Pusat Kajian Ilmu Administrasi cluster perpajakan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

1

 

First, measuring performance is only relevant if there are consequences for over and underperformance and if organization performance can influence such matters as the allocation of an organization resources and the assessment of personal performance of its managers Second, as it is commonly argued that what gets measured gets done, performance measurement must be used to support the selection of the organization’s priorities so that what gets done is what should get done.

Muzainah Mansor (2010) mengabstrasikan studi empiris mengenai pengukuran performa administrasi perpajakan yang pernah ada

Tabel 1 Summary Studi Empiris Performa Administrasi Perpajakan Penulis Inshi (Jepang)

Kriteria Performa Efisiensi dan produktifitas

Mutafa (Malaysia)

Gonzales et al. Moesen dan Persoon (Belgium) Taliercio (Afrika dan Amerika Latin) Klun (Slovenia) Aizenman Jinjarak Serra (Chile)

dan

Von Soest (Zambia) Tennant (Jamaica) James et (Thailand)

al.

Indikator Cost revenue ratio Employee productivity ratio Efisiensi dan produktivitas Cost revenue ratio Employee productivity ratio Tax employee organizational Commitment and work system Efisiensi Input: ratio of tax inspectors to tax personal Output: Number of actions performed to total tax payer, ratio of debt to gross added value Efisiensi Input: Number of tax personal Output: Number of audit return Efisiensi dan Efektivitas Input: Personnel management to collection cost Output and outcome: tax/GDP ratio, taxpayer registration, compliance, taxpayer services Efisiensi dan efektivitas Simplicity, cost, voluntary compliance (taxpayer attitude, rights and service quality), tax audit, labor productivity Efisiensi pemungutan pajak Penerimaan PPN dan/atau pajak konsumsi, penerimaan PPN terhadap GDP Penerimaan pajak Kepuasan wajib pajak, jumlah penerimaan pajak, compliance rate, enforcement Revenue raising capability Tabulasi informasi, administrative accountability dan revenue performance Efisiensi pemungutan pajak Tax to GDP ratio, cost of administration, administrative procedures, technical staff, auxiliary input Performa pemungutan Productivity, good practice, tax employee attitude, pajak perception of collection

3. Perbandingan Performa Administrasi Perpajakan Mengutip pendapat Richard Bird bahwa untuk mengukur performa administrasi perpajakan secara adil, selain menggunakan indikator yang ditentukan oleh organisasi, maka perlu dilakukan perbandingan dengan negara lain. Berikut perbandingan performa administrasi perpajakan Indonesia dengan negara berkembang lainnya di kawasan ASEAN, yaitu Malaysia dan Thailand maupun terhadap India dan Cina. 2

a. Kemampuan mengumpulkan pajak Indikator paling sederhana dan mudah untuk mengukur performa administrasi perpajakan adalah dengan pendekatan persentase penerimaan pajak terhadap GDP yang diinformasikan pada tabel.

Tabel 2 Persentase Penerimaan Negara terhadap GDP Nama Negara

% penerimaan pajak dari GDP Indonesia 10,9 Malaysia 13,8 Thailand 19,1 Cina 18,9 India 9,7 Sumber: Asia Development Bank, 2014

Berdasarkan informasi diatas dapat diketahui bahwa performa administrasi perpajakan Indonesia untuk indicator persentase penerimaan pajak terhadap GDP tergolong rendah dibandingkan negara sekawasan ASEAN. Indonesia hanya ada pada kisaran 10.9% dibawah Thailand yang memiliki tax rasio sebesar 19.1% dan Malaysia sebesar 13.8%. Perlu ditekankan bahwa persentase diatas adalah total penerimaan pajak diluar social security bagi seluruh negara. Dalam pelaksanaannya, perlu diketahui perbandingan antara total populasi di suatu negara, angkatan kerja dan jumlah petugas/staf administrasi perpajakan serta staf pendukung dalam kegiatan pemungutan pajak. Berikut informasi perbandingan total populasi, angkatan kerja dan jumlah petugas administrasi perpajakan

Tabel 3 Perbandingan Petugas Administrasi Perpajakan terhadap Populasi dan Angkatan Kerja Negara

Populasi (juta jiwa) Total populasi Labor Force

Penugasan Pegawai Agregat Petugas Staf % penugasan administrasi pendukung seluruh pajak pegawai 31,410 31,410 100 10,209 10,209 100 19,413 19,413 100 755,000 755,000 100 40,756 40,756 100

Indonesia 241.60 117.37 Malaysia 28.95 12.68 Thailand 64.08 38.90 Cina 1,341.98 785.80 India 1,197.81 447.00 Sumber: Asia Development Bank, 2014

b. Desain internal Perlu ditekankan kembali bahwa fungsi administrasi perpajakan adalah untuk memastikan bahwa pemungutan pajak dilakukan sesuai dengan UU perpajakan yang berlaku. Pada dasarnya, suatu organisasi administrasi perpajakan terdiri dari 3 unit umum yang disesuaikan dengan fungsi unitnya. Pertama, unit yang berhubungan dengan pemantauan kegiatan transaksi internasional. Kedua, unit yang ditugasi untuk melakukan pengawasan atas kegiatan transaksi dalam negeri dan unit ketiga, yaitu unit yang ditugaskan untuk memiliki keahlian teknis terkait peraturan dan teknis pengadministrasian (ADB, 2014). Dalam hubungannya dengan kelembagaan sebagai bagian dari atau berhubungan dengan Kementerian Keuangan, ada beberapa tipe kelembagaan organisasi administrasi perpajakan. Dalam pelaksaannya, terdapat beberapa model kelembagaan dimana administrasi perpajakan diberikan otonomi 3

untuk oleh Kementerian Keuangan dalam pelaksanaan pemungutan pajak. Beberapa pertimbangan sehingga diberikan otonomi kepada administrasi perpajakan sebagai berikut: 1. Badan semi otonom cenderung lebih netral dari kepentingan politik dan intervensi dari pihak luar. 2. Rekrutmen dan model pembagian kerja serta penugasan disesuaikan dengan kebutuhan organsasi dan tidak harus sesuai dengan model umum yang diterapkan oleh lembaga lain dibawah kementerian keuangan 3. Reformasi organisasi lebih fleksibel seperti pengadaan unti spesialisasi terutama bagi petugas yang berfungsi sebagai auditor 4. Alokasi dana lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan seperti pemantauan informasi transaksi. Secara umum, klasifikasi otonomi kelembagaan administrasi perpajakan sebagai berikut:

Direktorat dibawah Berafiliasi dengan Kementerian Keuangan Kementerian Keuangan Indonesia, Thailand dan India Malaysia Sumber: Asia Development Bank, 2014

Independen dari Kementerian Keuangan Cina

Dengan adanya bentuk-bentuk desain kelembagaan yang demikian, maka berimplikasi pada desain internal termasuk mengenai office network, pengalokasian anggaran sesuai dengan unit, level kepegawaian dan kewenangan masing-masing pegawai, rekrutmen dan pemberhentian pegawai, tawar menawar besaran gaji dan remunerasi. Berikut perbedaan kewenangan yang didelegasikan berdasarkan tingkat otonomi kelembagaan:

Tabel 4 Perbandingan Kewenangan Administrasi Perpajakan Berdasarkan Status Kelembagaan Negara

Desain Alokasi Setting struktur dana kepegawaian internal dan penugasan Indonesia Tidak Tidak Ya Malaysia Ya Ya Tidak Thailand Ya Ya Ya Cina Ya Ya Ya India Ya Ya Ya Sumber: Asia Development Bank, 2014

Rekrutmen dan Pemberhentian Pegawai Tidak Ya Tidak Ya Ya

Kemampuan untuk tawar menawar gaji dan remunerasi Tidak Ya Tidak Tidak Tidak

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa kewenangan organisasi administrasi perpajakan di Indonesia tidak seluwes negara lain terutama Thailand dan India dimana ketiganya (Indonesia, Thailand dan India) masih berada dalam bentuk kelembagaan yang sama, yaitu berbentuk direktorat dibawah Kementerian Keuangan. Studi empiris yang demikian bisa menjadi perbandingan bagi pemerintah Indonesia yang tengah mewacanakan untuk menjadikan Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga semi otonom. Dengan status kelembagaan yang serupa, Thailand juga mampu mencapai tax ratio yang lebih tinggi dan kewenangan yang lebih luwes dari lembaga administrasi perpajakan di Indonesia atau Malaysia yang berafiliasi dengan Kementerian Keuangan atau bahkan Cina yang independen dari Kementerian Keuangan. Pada pelaksanaan teknisnya, internal organisasi administrasi perpajakan terbagi menjadi 3 bagian, yaitu tax item based, function based dan taxpayer segmented-based. Tax item based merupakan suatu bentuk tradisional pengorganisasian pelaksanaan administrasi perpajakan, misalnya adanya unit-unit yang pemungutan PPh Orang Pribadi, PPh Badan dan PPN. Sementara, function based mendasarkan desain struktur internal pada kegiatan inti administrasi perpajakan seperti fungsi audit, tax payer account management, konsultasi. Terakhir, model tax payer segmented model didasarkan pada segmentasi wajib pajak misalnya unit yang mengawasi wajib pajak orang pribadi, wajib pajak UMKM atau wajib pajak 4

badan. Perbandingan segmentasi internal administrasi perpajakan di Indonesia, Malaysia, Thailand, Cina dan India sebagai berikut:

Tabel 5 Segmentasi Internal Administrasi Perpajakan Negara

Tax item based

Function based

Indonesia Tidak Ya Malaysia Tidak Ya Thailand Tidak Ya Cina Ya Ya India Tidak Ya Sumber: Asia Development Bank, 2014

Taxpayer Segmented Based Tidak Tidak Ya Ya Tidak

Dalam rangka intensifikasi pemungutan pajak, segmentasi internal menjadi pilihan kebijakan kelembagaan. Adanya large taxpayer unit diharapkan mampu memaksimalkan pemungutan pajak sekaligus memberikan pelayanan kepada wajib pajak prioritas. Berikut adalah perbandingan performa large taxpayer unit.

Tabel 6 Large taxpayer unit operation Negara

Indonesia Malaysia Thailand Cina India

Adanya unit khusus untuk WP Besar Ya Ya Ya Ya

Kriteria WP Besar

N/A Sektor tertentu N/A Kombinasi antara sector usaha, turnover dan ownership Ya Jumlah pajak yang dibayarkan di 5 kota utama Sumber: Asia Development Bank, 2014

Jumlah WP Besar

Jumlah pegawai untuk WP Besar

Perbandingan Pegawai pajak/WP Besar

Unit WP high worth individual

1,073

618

0.5759

2000 45 headquarter

800 2600

0.4000

Tidak Ya Tidak Ya

172

165

0.9500

Tidak

Data diatas menunjukkan bahwa pada dasarnya jumlah petugas pajak yang bertugas untuk mengawasi wajib pajak besar tergolong besar bahkan lebih besar dari Thailand yang justru memiliki tax ratio lebih tinggi dari Indonesia. Sementara, perbandingan jangkauan administrasi perpajakan sebagai berikut:

Tabel 7 Office Network of Tax Administration Offices Negara

Jumlah regional/provi ncial office

Jumlah district office

Indonesia Malaysia Thailand Cina

31 12 12 31

331 849 1,492

Jumlah local office dengan fungsi tertentu 207 67 2,033

5

Total office dengan kantor pusat

Population to Office Ratio

570 80 862 3,557

0.42 0.36 0.08 0.38

Area to office ratio (per 10.000 km/office) 3.18 4.12 0.59 2.69

India

18 532 Sumber: Asia Development Bank, 2014

551

2.17

5.40

Informasi yang disajikan dalam tabel diatas menunjukkan bahwa ketersediaan atau jumlah kantor pelayanan pajak per 10000 kilometer cukup baik dibandingkan Thailand dan Cina.

c. Dana Pelaksanaan Kegiatan Administrasi Besarnya dana untuk kegiatan operasioanl administrasi perpajakan cukup krusial sebab dengan ketersediaan dana menentukan upaya yang akan dilakukan oleh organisasi.

Tabel 8 Perbandingan Biaya Gaji Petugas Pajak terhadap Total Biaya Pemungutan Pajak Negara 2010 2011 Indonesia 65.00 50.50 Malaysia 79.20 82.40 Thailand 60.50 59.10 Cina N/A N/A India 66.00 61.30 Sumber: Asia Development Bank, 2014

Informasi diatas menunjukkan bahwa alokasi terbesar yaitu lebih dari 50% dalam biaya pemungutan pajak dilakukan justru untuk keperluan penggajian petugas administrasi perpajakan bagi seluruh negara yang diperbandingkan kecuali Cina yang diakibatkan oleh keterbatasan informasi. Selain komponen gaji, biaya lainnya yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak adalah biaya yang berhubungan dengan pengadaan system informasi dan telekomunikasi serta biaya manajemen SDM petugas administrasi perpajakan.

Tabel 9 Persentase Biaya Komunikasi dan Informasi serta Biaya Manajemen Sumber Daya Manusia terhadap Total Biaya Pemungutan Pajak Negara Indonesia Malaysia Thailand Cina India

Biaya ITC

2010 2011 4.2 1.5 5.9 2.4 N/A N/A N/A N/A 7.0 7.1 Sumber: Asia Development Bank, 2014

Biaya Manajemen Sumber Daya Manusia 2010 2011 N/A N/A 2.7 3.0 1.6 1.7 N/A N/A N/A N/A

Untuk mengetahui persentase besarnya biaya atau jumlah investasi yang digunakan dalam upaya pemungutan pajak secara umum, perlu dilakukan perbandingan antara besarnya biaya pemungutan pajak terhadap penerimaan pajak bersih.

Tabel 10 Persentase Biaya Administrasi Perpajakan berbanding Persentase Penerimaan Pajak Bersih Negara Indonesia

2010 0.48

6

2011 0.55

Malaysia 1.27 1.09 Thailand 0.83 0.76 Cina N/A N/A India 0.61 0.55 Sumber: Asia Development Bank, 2014

Secara keseluruhan, persentase biaya pemungutan pajak Indonesia terhadap penerimaan pajak merupakan nilai terendah dibandingkan negara lainnya, yaitu hanya sebesar 0.48% pada tahun 2010 dan meningkat ke 0.55% ditahun 2011. Malaysia merupakan negara dengan biaya pemungutan pajak tertinggi yaitu 1.27% pada tahun 2010 namun mengalami penurunan menjadi 1.09% pada tahun 2011. Secara umum, besarnya persentase biaya pemungutan pajak terhadap GDP sebagai berikut:

Tabel 11 Persentase Biaya Pemungutan Pajak terhadap GDP Negara 2010 2011 Indonesia 0.041 0.050 Malaysia 0.081 0.084 Thailand 0.104 0.109 Cina N/A N/A India N/A N/A Sumber: Asia Development Bank, 2014

Pada perhitungan persentase biaya pemungutan pajak terhadap GDP, Indonesia menggunakan biaya paling minimal yaitu sebesar 0.041% terhadap GDP di tahun 2010 dan meningkat pada angka 0.050% pada tahun 2011. Sementara persentase biaya urutan tertinggi adalah Thailand yaitu sebesar 0.104% pada tahun 2010 dan 0.109% pada tahun 2011.

d. Pengadministrasian Wajib Pajak oleh Organisasi Administrasi Perpajakan Kriteria lainnya yang merupakan tolak ukur kinerja administrasi perpajakan adalah jumlah wajib pajak dibandingkan dengan jumlah populasi dan jumlah angkatan kerja.

Tabel 12 Perbandingan jumlah WP terdaftar terhadap Populasi dan Angkatan Kerja Negara

Populasi (juta orang) Total Labor force populasi

Jumlah WP terdaftar (juta orang) PPh OP PPh Badan PPN

Indonesia 241.60 117.37 20.17 Malaysia 28.96 12.68 7.20 Thailand 64.08 38.90 9.20 Cina 1.341.98 785.80 N/A India 1.197.81 447.00 31.03 Sumber: Asia Development Bank, 2014

1.92 0.70 0.38 N/A 0.49

0.80 N/A 0.40 N/A N/A

Indikator Relative % WP OP % WP OP terdaftar terhadap terhadap populasi labor force 17.2 8.3 56.8 24.9 23.7 14.4 N/A N/A 6.9 2.6

Berdasarkan informasi diatas,persentase WP OP yang terdaftar terhadap labor force di Indonesia cukup rendah, yaitu pada kisaran 17.2% demikian juga persentase WP OP terhadap populasi yaitu sebesar 8.3%. Organisasi administrasi perpajakan Malaysia melakukan kinerja paling unggul untuk kategori ini yaitu sebesar 56.8% atas persentase WP OP terhadap labor force dan 24.9% atas persentase WP OP terhadap total populasi. 7

Kesimpulan Kinerja perpajakan Indonesia belum dapat dikatakan baik dalam terutama jika diukur dengan menggunanakan indicator persentase penerimaan negara terhadap GDP. Sementara kewenangan yang dimiliki oleh administrasi perpajakan Indonesia juga tidak cukup luwes dibandingkan dengan negara lain yang status kelembagaannya sama seperti Indonesia yaitu Thailand dan India. Selain itu, total dana yang digunakan oleh administrasi perpajakan Indonesia juga tergolong rendah. Pada akhirnya, total jumlah wajib pajak, khususnya wajib pajak orang pribadi yang mampu diadministrasikan oleh administrasi perpajakan Indonesia juga tergolong rendah.

Referensi Asian Development Bank (2014) A Comparative Analysis of Tax Administration in Asia and the Pacif...


Similar Free PDFs