Perempuan dan Politik dalam Perspektif Gender PDF

Title Perempuan dan Politik dalam Perspektif Gender
Author St Maghfiroh Zailvi
Pages 9
File Size 232.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 484
Total Views 571

Summary

PEREMPUAN DAN POLITIK DALAM KESETARAAN GENDER S.T. Maghfiroh Siti Aisyatul Hulwaniyah Abstrak: Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan peran perempuan khusunya dalam dunia politik mengalami pergeseran. Perempuan tidak lagi hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, akan tetapi ia juga mulai ...


Description

PEREMPUAN DAN POLITIK DALAM KESETARAAN GENDER

S.T. Maghfiroh Siti Aisyatul Hulwaniyah

Abstrak: Seiring dengan perkembangan zaman, sikap dan peran perempuan khusunya dalam dunia politik mengalami pergeseran. Perempuan tidak lagi hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, akan tetapi ia juga mulai ikut andil dan aktif berperan di berbagai bidang kehidupan. Mulai dari bidang ekonomi, politik dan lainnya. Gender telah menjadi perspektif baru yang sedang digunakan untuk mengontrol kehidupan sosial dan mengukur penggunaan prinsip keadilan, penghargaan martabat kemanusiaan dan perlakuan yang sama dihadapan apapun antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan yang nyata di masyarakat. Keterlibatan perempuan dalam politik akan memberi nuansa politik yang sedikit berbeda dengan tidak ada lagi persepsi sebagai aktivitas yang penuh dengan intrik dan cara-cara kekerasan, tetapi juga bernuansa kompromi, akomodasi dan kedamaian. Kata kunci: Perempuan, Politik, Kesetaraan Gender Abstract: Along with the times, the attitude and role of women especially in the political world has shifted. Women no longer only act as housewives, but they also begin to take part and actively play a role in various fields of life. Starting from the economic political and otherfields. Gender has become a new perspective that is being used to control social life and measure the use of the principle of justice, respect for human dignity and equal treatment before anything between men and women in real life in society. The involvement of women in politics will give a slightly different political nuance with no more perception as an activity that is full of intrigue and methods of violence, but also nuances of compromise, accommodation and peasce. Keywords: Women, Politics, Gender Equality

Pendahuluan Dalam konteks isu-isu gender, praktik sosial peran-peran dan relasi gender tidak selamanya disadari. Hal ini terjadi disebabkan selama ini perempuan dicitrakan lebih rendah dari laki-laki. Stigma-stigma negatif atau disebut dengan stereotype, seperti laki-laki kasar, egois, kuat, rasional, tegas. Sedangkan perempuan lemah, cengeng, penakut, tidak bisa tanggung jawab, pencemburu, inferior dan sebagainya telah dibangun sejak lahir oleh lingkungannya sehingga membentuk karakter keduanya secara antagonis melalui peran dan tanggung jawabnya secara dikotomis. Demikian Rasulullah saw. mengajarkan kepada umat Islam untuk memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap perempuan yang ketika itu tidak lebih hanya disamakan degan properti dan rentan mendapatkan kekerasan, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi: “Ingatlah aku berpesan

agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan di antara kalian, padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu”. Berkaitan dengan dunia politik, selama ini, ada kesan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki. Kesan ini muncul akibat adanya image yang mungkin tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; bahwa politik itu kotor, keras, penuh tantangan dan semacamnya. Akibatnya, di belahan dunia mana pun jumlah wanita yang terjun di dunia politik relatif kecil,termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasi dan persamaan hak asasinya cukup tinggi. Selain itu, kesan semacam itu muncul karena secara historis khususnya pada tahal awap perkembangan manusia, kaum pria selalu identik dengan “lembaga” atau aktivitas kerja di luar rumah, sementara wanita bertugas menyiapkan kebutuhan keluarga di dalam rumah seperti memasak, mengasuh anak, dan lain sebagainya. Namun seiring berkembangnya zaman, tingkat modernisasi dan globalisasi informasi serta keberhasilan gerak emansipasi perempuan dan feminisme, sikap dan peran wanita khususnya pandangannya tentang dunia politik mulai mengalami pergeseran. perempuan tidak lagi hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang menjalankan fungsi reproduksi, mengurus anak dan suami, kemudian mengerjakan pekerjaan domestik lainnya. Akan tetapi, sudah aktif berperan di berbagai bidang kehidupan. Perempuan tidak hanya memerankan politik secara tradisional (domestik) sebagaimana pernah ditulis oleh Almond dan Verba sebagai agen sosialisasi politik bagi anak-anaknya, tetapi mulai aktif memperjuangkan kepentingan umum atau kepentingan kelompoknya melalui lembaga sosial atau lembaga kelompoknya. Bahkan tidak jarang, mereka menyalurkan kepentingannya melalui saluran nonkonvensional, seperti unjuk rasa dan demonstrasi. Sekilas Persoalan Perempuan Pembicaraan tentang perempuan akan tidak lengkap bila masalah “citra diri” perempuan itu tidak dibahas, karena jelas bagaimana perempuan itu menanggapi dirinya mempunyai andil yang besar terhadap bagaimana sikap dan tingkah lakunya. Citra diri merupakan suatu pengertian yang dapat dihubungkan dengan dua konsep lain, yaitu self-concept dan self-image. Penanggapan pada diri sendiri ini memang dapat terjadi secara intuitif langsung atau bisa juga merupakan hasil refleksi. Menggunakan istilah “citra diri” sudah merupakan suatu keuntungan karena tidak terjebak dalam pembedaan antara istilah “konsep” dan “imaji” pada pengertian-pengertian self-concept dan self-image. (Liza Hafidz, 2004, 264) Di Orde Baru banyak organisasi yang memandang peran perempuan sebagai istri dan ibu. Peranan dan kontribusi para perempuan (istri) dapat dilihat dari banyaknya waktu yang dicurahkan untuk setiap kegiatan yang dilakukan baik pada kegiatan produktif, reproduktif, maupun kegiatan sosial (Eko Ariwidodo, 2016, 4). Seperti organisasi Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi yang mana istri mendampingi kedinasan suami. Perwari yang merumuskan peran perempuan yang serupa namun dalam wujud organisasi yang lebih otonom (bukan bagian dari organisasi partai dan organisasi dinas suami). Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), perempuan memiliki peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus mengurus rumah tangga. Sedangkan organisasi perempuan LSM menolak pandangan peran istri dan ibu yang dipolitisi oleh Orde Baru karena perempuan LSM hanya melihat wawasan perempuan dikembangkan untuk membantu tugas suami sebagai aparat negara. Persoalan-persoalan perempuan merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari

proses pembangunan dan secara keseluruhan mengalami peningkatan kualitas sumber daya. Peran perempuan pada Orde Baru dalam Panca Dharma Wanita mengangkat nilai-nilai tradisi, agama, budaya petite bourgeise Eropa, membatasi tugas perempuan pada peran-peran sebagai berikut: pertama, wanita sebagai istri pendamping suami; kedua, wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda; ketiga, wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga; keempat, wanita sebagai pencari nafkah tambahan; kelima, wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat (Liza Hadiz, 2004, 428). Hal ini menimbulkan persoalan kompleks pada arus globalisasi kapitalisme menjelang abad ke-21. Terlihat dari peran-peran perempuan yang dimanfaatkan untuk kepentingan memperoleh keuntungan. Pemerintah pada saat itu menolak trend kapitalisme dalam membangun perekonomian. Untuk itu, Indonesia diharapkan menjadi negara industri yang sejajar dengan negara maju lainnya. Pembangunan ini diarahkan untuk menciptakan sistem politik dan ekonomi yang mendukung terselenggaranya proses kapitalisme, dengan penghancuran sebagian besar institusi baru yang memudahkan kaum elite mengontrol sumber daya yang hidup di dalam masyarakat. Persoalan perempuan tersebut mengalami kontradiktif dengan kenyataan keseharian perempuan. Sebagian besar kaum perempuan yang peranannya telah ditentukan untuk mengurus rumah tangga dan melayani kebutuhan keluarga sesekali menghadapi pilihan antara survive dan konsumeris. Sementara kaum perempuan pada level sosial ekonomi yang tinggi yang memiliki harta yang berlimpah, dituntut untuk menjalankan segala kelebihannya agar dapat memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Dari sisi kebutuhan, kaum perempuan dan laki-laki mengalami situasi yang sama yaitu tekanan untuk mendapatkan uang lebih demi kebutuhan sehari-hari. Kaum perempuan juga menjadi sasaran kekerasan untuk memenuhi hasrat seksual. Disisi lain, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penganiayaan istri merupakan manifestasi keinginan laki-laki untuk memperoleh obyek yang dinilainya sebagai barang dan jasa. Sehingga dalam globalisasi kapitalisme serta ketimpangan gender yang berlangsung, mengondisikan laki-laki untuk merampok, merampas, dan memiliki seksualitas perempuan. Dari fenomena tersebut telihat bahwa posisi kaum perempuan Indonesia hanyalah obyek untuk melayani kepentingan ekonomi politik. Buruh perempuan melayani kepentingan pengusaha besar, pembantu rumah tangga melayani majikan di kota, Tenaga Kerja Wanita melayani orang asing da devisa negara, organisasi Orde Baru melayani kepentingan birokrasi negaraa, ibu rumah tangga melayani suami, konsumen melayani pemasaran produk barang, seksualitas perempuan melayani hasrat seksual laki-laki. Adanya peningkatan wawasan dan keterampilan yang dilakukan oleh organisasi perempuan, tidak mengubah posisi wanita untuk mangalami peningkatan dalam subyek kepentingan ekonomi politik. Kesetaraan gender Istilah kesetaraan gender adalah istilah yang banyak diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis,politikus bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender secara praktis hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami oleh para perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil dan semacamnya. Dengan kata lain, kesetaraan gender juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki dan

perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan serta keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan structural baik terhadap laki-laki maupun perempuan. (Very Wahyudi, 2018, Jurnal Politik Islam, 66) Dalam pandangan agama, kesetaraan dan keadilan gender merupakan bagian dari nilai-nilai moral agama pada era modern semakin perlu mendapatkan perhatian khusus. Rasulullah saw. sejak Islam awal telah memperjuangkan hakhak perempuan sebagai bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Islam memberikan penghargaan bagi umatnya yang mau melakukannya. Sejumlah kasus-kasus ketimpangan gender di masyarakat yang secara umum disebut berakar dari budaya patriarkhi, di mana perempuan lebih banyak menjadi korban disebabkan melemahnya praktik sosial yang tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Dengan kata lain, kolaborasi budaya patriarkhi dengan pemahaman agama yang bias gender turut memperkokoh realitas ini. Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KNPP) mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender mengacu kepada peran-peran yang dikonstruksikan dan dibebankan kepada perempuan dan laki-laki oleh masyarakat. Peranperan ini dipelajari, berubah dari waktu ke waktu dan sangat bervariasi di dalam danj diantara berbagai budaya. Tidak seperti seks (perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki), gender mengacu kepada perilaku yang dipelajari dan harapan-harapan masyarakat yang membedakan antara maskulinitas dan femininitas. Kalau identitas seks ditentukan oleh ciri-ciri genetika dan anatomi, gender yang dipelajari secara sosial merupakan suatu identitas yang diperoleh. Tercakup dalam konsep gender juga harapan-harapan tentang ciri-ciri, sikap-sikap dan perilaku-perilaku perempuan dan laki-laki (feminitas dan maskulinitas)’ (Mufidah, 2010, 3) Isu-isu gender dan Islam yang masuk di Indonesia tidak hanya dalam diskursus, tetapi juga gerakan di masyarakat. Sejumlah contoh peristiwa yang terjadi di Indonesia, seperti kontoversi presiden perempuan, pro-kontra Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang kemudian melahirkan UU RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang telah direvisi melalui proses yang panjang. Demikian pula penerapan pengarusutamaan gender dalam pembangunan khususnya pada lembagalembaga Islam, mengindikasikan adanya gerakan riil untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Sementara itu, perekembangan wacana gender di kalangan tokoh agama juga bersifat fluktuatif. Misalnya. Sejumlah Kiai sepuh NU dan sejumlah pondok pesantren di era 90-an mendukung konsep ini, bahkan sebagian diantaranya membolehkan presiden perempuan. Akan tetapi pandangan dan sikap ini berbalik arah karena sejumlah kiai memandang bahwa gender ternyata membawa mudarat bagi Muslimah Indonesia, tidak jelas bentuknya dan sudah ‘kebablasan’. (Mufidah, 2010, 18-19) Konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam menurut Ridha (1986) tercermin dalam beberapa ayat Al-Quran, antara lain surah An-Nisa’: 34 dan Al-Baqarah: 228 bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan merupakan fitrah dan kodrtai karena Allah melebihkan laki-laki disebabkan bentuk fisiknya yang kuat, akalnya lebih tajam sehingga diberi tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga, kelebihan laki-laki tersebut sebagai dasar pemberian peran-peran ideal misalnya mencari ilmu dan bekerja. Fitrah perempuan meliputi hamil, melahirkan,

menyusui juga tanggung jawab mengasuh, mendidik anak dan mengatur rumah tangga. Perempuan bisa menjadi pemimpin dalam konteks tertentu dan dalam wilayah domestik. Peran jenis kelamin laki-laki yang dipersepsikan sebagai pemberi pada perempuan, karenanya ia lebih tinggi derajatnya. Ridha masih rancu dalam memahami perbedaan jenis kelamin (sex) dengan oerbedaan gender sebagai konstruksi sosial. Kesetearaan gender hanya difahami sebatas statuskeduanya sederajat dihadapan Allah, tetapi tidak pada implementasi dalam membangun relasi yang setara gender. (Mufidah, 2010, 23) Sejumlah masalah gender yang terjadi di masyarakat berdampak pada kerugian bukan hanya perempuan atau laki-laki, tetapi lebih substantif juga berpengaruh pada harkat dan martabat manusia. Deskriminasi gender yang termanifestasi dalam bentuk stereotype, subordinasi, marjinalisasi, beban berlipat dan kekerasan akan berdampak pada ketidakharmonisan dalam kehidupan. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan kebutuhan primer yang menyangkut hajat hidup umat. Isu kesenjangan dan ketimpangan gender menjadi persoalan laki-laki dan perempuan,namun yang paling rentan menerima dampaknya adalah jenis kelamin yang termarjinalkan oleh budaya. Misalnya pelecehan terhadap perempuan dan anak, pornografi, seks, komersial, trafiking, kasus menikahdi bawah umur yang melanggar hak-hak anak,dan yang paling banyak adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (Mufidah, 2010, 51). Diskriminasi gender tersebut secara umum terjadi di masyarakat dalam berbagai bentuk seperti kekerasan fisik, psikis, seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan juga tidak hanaya terjadi pada kelas atau komunitastertentu, tetapi bisa terjadi pada sub kultur, di mana perempuan lebih rentan mengalami diskriminasi gender disbanding dengan laki-laki. Diskriminasi gender dalam berbagai bentuknya secara umum terjadi pada perempuan yang disebabkan oleh: 1. Budaya patriarkhi, yakni suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah) di mana laki-laki berkuasa untuk menentukan, mengatur dan pengambil keputusan. 2. Teks agama yang diinterpretasikan bias gender,disebabkan oleh pemahaman parsial sehingga kurang mecerminkan pesan-pesana agama yang menghargai perempuan, atau metode penafsiran terhadap teks yang kurang tepat sehingga menghasilkan pandangan keagamaan yang diksiriminatif. 3. Kebijakan pemerintah baik melalui undang-undang maupun manajemen pemerintahan yang kurang responsive gender.(Mufidah, 2010, 10) Dari sini dapat disimpulakan bahwasanya gender merupakan pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Gender telah menjadi perspektif baru yang sedang digunakan untuk mengontrol kehidupan sosial dan mengukur penggunaan prinsip keadilan, penghargaan martabat kemanusiaan dan perlakuan yang sama dihadapan apapun antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan yang nyata di masyarakat. Keterlibatan Perempuan dalam Dunia Politik Perspektif Gender Perhatian terhadap kehadiran kaum wanita dalam birokrasi berbagai instansi pemerintahan diwarnai oleh paling sedikit dua segi pandangan. Pertama, berkaitan dengan masalah “pemerataan kesempatan” atau “masalah keadilan”. Meskipun kolonialisme sudah dianggap sebagai barang mati sejak berakhirnya Perang Dunia II, namun tampak jelas bahwa sisa-sisa ketidaksamaan derajat masih ada, dan salah satu yang paling menyolok adalah ketidaksamaan derajat

antara pria dan wanita. Usaha untuk menghilangkan ketimpangan yang didasarkan pada jenis kelamin ini secara umum diartikan sebagai peningkatan keikutsertaan kaum wanita di semua bidang kegiatan, termasuk kesempatan untuk menduduki jabatan penting di bidang politik maupun administrasi pemerintahan. Pandangan kedua, berkaitan dengan masalah yang secara umum dapat disebut “efektifitas”. Banyak negara yang lepas dari penjajahan, mestinya tidak boleh menyia-nyiakan bakat dan potensi kaum wanita bagi usaha untuk menciptakan suatu pemerintahan, dan mengembangkan sistem administrasi dan ekonomi yang kuat. Dari sisi lain, dapat dipastikan bahwa kebijaksanaan yang efektif (misalnya dalam pembangunan ekonomi) lebih banyak akan dilandasi proses pengambilan keputusan yang mengikutsertakan, baik kaum pria maupun wanita. Dengan kata lain, pengecualian wanita dari jabatan penting dalam birokrasi dan kedudukan politik lainnya, hampir pasti menghasilkan kebijakan yang mengenyampingkan kondisi dan aspirasi setengah dari jumlah penduduk. (Liza Hafidz, 2004, 183). Maraknya fenomena perempuan di sektor publik khususnya di bidang politik menyebabkan semakin pentingnya peran perempuan. Perspektif gender melihat subordinasi perempuan di sektor publik bukan karena faktor biologis melainkan diakibatkan oleh faktor kultur. Karena faktor biologis akan tetap sama, yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis bermakna politis,ekonomis, dan sosial apabila tatanan kultural dalam masyarakat mengenal pembagian kerja secara hierarkis antara perempuan dan laki-laki. Adanya faktor kultural ditransformasikan bersama faktor biologis ke dalam masalah sosial dan politik yang menyebabkan subordinasi perempuan oleh laki-laki baik di sektor publik maupun domestik. Sehingga kultur menjadi suatu simbol dan penajaman perbedaan seksual. Perempuan dalam proses konstruksi sosial di masyarakat memiliki peran yang bersifat domestik sehingga timbul adanya isu ketidakadilan gender atau diskriminasi gender. Namun, perubahan kebijakan melihat kebutuhan keterlibatan perempuan semakin dituntut untuk memasuki dunia publik karena juga dibutuhkan pemikirannya, sementara laki-laki juga perlu peka dan lebih intensif terlibat pada kegiatan yang bersifat domestik, karena keduanya memiliki nilai yang sama (Ulfatun Hasanah, et.al, 2017, 17). Perempuan dalam politik biasanya dibedakan menjadi dua sasaran kajian. Pertama, kajian dan penelitian yang memfokuskan pada peranan perempuan dalam berbagai aspek atau fungsi politik, seperti sosialisasi politik, partisipasi politik, dan elite politik. Kedua, kajian mengenai perempuan dan politik sebagai subbidang kajian dalam ilmu politik. Sebagai subbidang kajian, feminisme memiliki substansi kajian (ontologi), metodologi, epistemologi, dan tujuan kajian (aksiologi) tersendiri (Liza Hadiz, 2004, 404). Sedangkan peran politik perempuan bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, penjelasan terhadap pola khusus partisipasi perempuan umumnya bersifat kendala. Kendala partisipasi perempuan bersumber pada perbedaan sosialisasi antara perempuan dan pria, karakteristik biologis dan siklus kehidupan, akses yang tidak sama terhadap sumber daya, profesi dan keuangan, penghargaan yang rendah terhadap pekerjaan yang secara tradisional dilakukan perempuan, dan sebagainya. Kendala lainnya disebabkan oleh perempuan yang bermental menor, mental yang lebih menonjolkan aktivitas di sektor domestik, yang terkandung unsur maintenance, love work, dan emotional work. Kedua, keterlibatan perempuan dalam po...


Similar Free PDFs