Perianal Fistula PDF

Title Perianal Fistula
Course Medicine (Kedokteran)
Institution Universitas Padjadjaran
Pages 25
File Size 1 MB
File Type PDF
Total Downloads 47
Total Views 94

Summary

BAB I PENDAHULUAN Abses perianal merupakan salah satu keadaan darurat bedah yang terjadi pada daerah anus. Hal ini disebabkan oleh karena nyeri hebat yang ditimbulkan sebagai gejala dari penyakit tersebut serta risiko terjadinya infeksi lanjutan yang disebabkan oleh abses, baik secara lokal (yang da...


Description

BAB I PENDAHULUAN Abses perianal merupakan salah satu keadaan darurat bedah yang terjadi pada daerah anus. Hal ini disebabkan oleh karena nyeri hebat yang ditimbulkan sebagai gejala dari penyakit tersebut serta risiko terjadinya infeksi lanjutan yang disebabkan oleh abses, baik secara lokal (yang dapat berupa selulitis) maupun secara sistemik (yang dapat berupa sepsis).1 Penyebab dari abses perianal umumnya bersifat idiopatik, namun juga dapat terjadi pada individu dengan riwayat Crohn’s disease. Angka kejadian abses perianal di Amerika Serikat mencapai 96.000 kasus per tahun dan ditemukan lebih banyak pada pria dibandingkan dengan wanita. Angka kejadian puncak dari kondisi tersebut terjadi pada sekitar 40 tahun dan tidak berbeda secara signifikan di antara pria maupun wanita. Terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya abses perianal, yaitu penyakit pada saluran pencernaan seperti inflammatory bowel disease, merokok, dan infeksi HIV. 2 Konsekuensi dari terjadinya abses perianal adalah meningkatkan risiko terbentuknya fistula ani. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasan dkk, terdapat fistula anal pada 45.58% pasien setelah abses perianal ditangani. 3, 4 Selain itu, abses juga dapat mengakibatkan sepsis, baik lokal maupun secara sistemik yang dapat mengancam nyawa.4 Tatalaksana definitif dari abses perianal adalah dengan melakukan insisi drainase. Menurut Parks, abses anorektal terbagi dalam 4 tempat, yaitu intersfingter, ischiorektal, supralevator, dan abses perianal. Pembagian tersebut merupakan pembagian berdasarkan lokasi.1 Lokasi abses yang berbeda akan memerlukan pendekatan dan lokasi insisi yang berbeda supaya dapat mengalirkan abses keluar dari jaringan serta mencegah terbentuknya komplikasi pascapenanganan pada abses perianal, yaitu berupa terbentuknya fistula. 2, 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Histologi Anus Anal triangle terdiri dari tiga komponen, yaitu ischio-anal fossae, pudendal canal, dan kanal anus. Ischi-anal foassae merupakan sebuah ruangan yang terletak pada sebelah kanan dan kiri dari kanal anus yang dilapisi oleh fasia besar. Apeks dari setiap fossa terletak secara superior dan ditemukan otot loevator ani yang menembus fasia obturator. Fossa tersebut lebih lebar pada bagian inferior dibandingkan dengan bagian superior. Fossa tersebut juga terisi oleh lemak dan jaringan ikat longgar. Fossa ischio-anal kiri dan kanan berkomunikasi satu sama lain melalui deep postanal space yang terletak di atas anococcygeal ligament yang terletak di antara kanal anus dan ujung dari coccyx. Fossa tersebut terdiri dari beberapa batasan anatomis, yaitu secara lateral (dibatasi oleh ischium dan bagian inferior dari obturator internus), medial (dibatasi oleh sfingter anal eksternal dan levator ani), posterior (dibatasi oleh ligament sakortuberous dan gluteus maksimus), dan anterior (dibatasi oleh tulang pubis).5

Gambar 2. 1. Rektum, kanal anus, levator ani, dan ischio-anal fossa.5

Pudendal canal merupakan sebuah jalur yang terletak di dalam fasia obturator yang menutupi bagian medial dari obturator internus dan sejajar dengan dinding lateral dari fossa iscihio-anal. Perdarahan pudendal canal berasal dari arteri rektal inferior, sedangkan suplai saraf struktur tersebut berasal dari saraf rektal inferior yang keduanya menuju sfingter anal eksternal dan kulit perianal.5 Kanal anus merupakan bagian terminal dari usus besar serta seluruh saluran pencernaan. Struktur tersebut memanjang mulai dari bagian superior dari diafragma pelvis sampai ke anus. Kanal tersebut memiliki panjang sekitar 2.5 – 3.5 cm. Pada kanal anus, terdapat dua jenis sfingter, yaitu sfingter anal internal dan sfingter anal eksternal. Sfingter anal internal lebih panjang dibandingkan dengan sfingter anal eksternal, di mana sfingter anal internal mencakup sekitar duapertiga panjang dari kanal anus. Sfingter anal internal tersusun atas otot-otot sirkuler serta berkontraksi secara involunter. Sfingter anal eksternal merupakan sfingter yang dapat berkontraksi secara volunter serta tersusun atas otot-otot yang luas dan terdapat pada kedau sisi dari sfingter. Suplai darah pada kanal anus berasal dari arteri rektal superior (yang mensuplai bagian kanal anus yang terletak superior dari pectinate line) dan arteri rektal inferior (yang mensuplai bagian kanal anus yang terletak inferior dari pectinate line).5

Gambar 2. 2. Suplai saraf dan darah pada kanal anus.5

Karakteristik histologi dari anus, secara spesifik pada bagian kanal anus, terdiri atas beberapa jenis sesuai dengan lokasi. Pada bagian kanal anus proksimal pada pectinate line, sel-sel epitel kanal anus berupa kolumnar simpel dan memilik sel-sel sekresi serta absorptif dengan kripta dan kelenjar yang berbentuk tubuler. Pada bagian kanal anus yang terletak pada bagian inferior dari pectinate line, terdapat membran mukosa yang dilapisi oleh epitel nonkretinised stratified squamous serta tidak terdapat kelenjar keringat, sebasea, maupun folikel rambut. Pada bagian lebih bawah dari garis Hilton, kanal anus dilapisi oleh epitel keratinised stratified serta memiliki folikel rambut. Pada daerah antara kanal anus dan kulit perianal, terdapat epitel squamous dari kanal anus yang bersifat kontinyu dengan kulit perineum.6

2.2. Abses Perianal 2.2.1. Definisi Abses merupakan kumpulan cairan terinfeksi yang terlokalisasi. Walaupun terdapat definisi anatomis yang ketat untuk abses anorektal yang berbeda, penatalaksanaan awal dari kebanyakan kasus tetap sama dan terminologi “abses perianal” digunakan secara umum.1 Abses perianal merupakan kondisi yang ringan namun sering terjadi dan dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi penderita.7 Abses anorektal diklasifikasikan berdasarkan lokasinya yang berhubungan dengan sfingter ani. Abses pada daerah perianal adalah jenis yang paling umum dan merupakan infeksi superfisial yang berada di antara sfingter internal dan eksternal dan mendekati anus. Abses menembus sfingter ani eksterna disebut abses isciorektal. Abses intersfingter yaitu infeksi pada ruang di antara sfingter interna dan eksterna. Ketika abses memanjang melalui dinding rektum di atas otot levator, ini disebut dengan abses supralevator. Abses post anal dalam yang memanjang ke salah satu atau kedua fossa ischiorektal dinamakan abses tapal kuda (horseshoe abscess) 1

Gambar 2. 3. Lokasi abses perianal 2.2.2. Epidemiologi Abses perianal umumnya muncul pada individu yang sehat, namun dapat juga muncul pada pasien dengan penyakit inflamasi, seperti Crohn disease. Insidensi abses perianal di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 68.000 hingga 96.000 kasus per tahunnya. Abses perianal dapat muncul pada 12,3 per 100.000 populasi pria dan 5,6 per 100.000 pada wanita, dengan rata-rata usia yaitu 40 tahun pada kedua jenis kelamin.1, 8 Faktor risiko yang berhubungan dengan abses yaitu inflammatory bowel disease, merokok, dan infeksi HIV. Penyebab lainnya yang lebih jarang yaitu infeksi abdomen atau pelvis (contohnya divertikulitis), penetrasi langsung dinding anus (oleh tulang ayam/ikan, atau dengan jari), perforasi dari kanker rektum atau anus, ulkus yang mencapai dinding anus, tuberkulosis, dan aktinomikosis. Tidak ada bukti bahwa abses berhubungan dengan kebersihan pribadi dan kehidupan sedenter. Kasus yang paling sering yaitu abses perianal (dapat mencapai 60%) dan ischiorektal. 2

2.2.3. Etiologi Terdapat beberapa teori tentang penyebab abses anorektal, sementara kebanyakan terfokus pada infeksi kelenjar anus. Abses anorektal tersering disebabkan oleh infeksi kelenjar Hermann dan Desfosses, yang sering disebut abses kriptogenik atau glandular. Teori kriptoglandular ini diperkenalkan oleh

Eisenhammer pada 1956 dan telah diterima secara umum. Teori ini dikembangkan berdasarkan prinsip obstruksi, di mana sebuah kelenjar terhalang oleh debris dan kemudian muncul infeksi dan abses. Karena kelenjar mencapai sfingter ani pada derajat yang berbeda, infeksi dan abses mengikuti jalur dengan resistensi terkecil, dan abses terkumpul pada lokasi tertutupnya kelenjar. Terdapat delapan hingga dua belas kelenjar anus yang terletak pada sekeliling anus, kebanyakan pada bagian posterior. Fungsi tepatnya kelenjar tersebut masih belum diketahui. Kelenjar tersebut memiliki saluran ke lumen anus. Kelenjar anus sendiri terletak lebih dalam pada struktur kanal anus: sfingter interna, ruang intersfingteris dan kadang sfingter eksterna.

2.2.4. Faktor Risiko Salah satu faktor risiko yang signifikan dalam terjadinya abses perianal adalah riwayat Crohn’s disease. Abses perianal yang terjadi pada penderita Crohn’s disease tergolong sulit oleh karena beberapa kondisi, seperti imunosupresi kronis, buang air besar yang cair, dan penyembuhan luka yang buruk. Pada sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 7218 pasien yang menderita abses perianal atau fistula, ditemukan bahwa 24% dari pasien tersebut memiliki Crohn’s disease dibandingkan dengan populasi umum (penyebab idiopatik) sekitar 4.8%. Pasien dengan Crohn’s disease yang menderita abses perianal juga dioperasi dan dirawat inap lebih lama dibandingkan dengan pasien abses perianal yang tidak memiliki Crohn’s disease.1

2.2.5. Patofisiologi Sebagian besar dari abses perianal terjadi pada kelenjar anus yang mengalami infeksi. Kelenjar-kelenjar tersebut terdapat pada dasar dari anal crypts dan terletak pada tingkat yang sama dengan dentate line. Pada sebagian besar individu, terdapat sekitar 6 sampai 8 kelenjar yang memanjang sampai ke sfingter internal dan intersphincteric groove. Kelenjar-kelenjar tersebut dapat mengalami obstruksi, sehingga dapat menyebabkan stasis, pertumbuhan bakteri yang

meningkat, dan akhirnya dapat membentuk abses yang terletak pada intersphincteric groove.9 Abses tersebut dapat bergerak ke beberapa daerah. Abses paling sering bergerak ke bagian bawah, menjadi abses perianal, atau melewati sfingter eksternal ke ischiorectal fossa, menjadi abses ischiorectal fossa. 9 Pada kasus abses anorektal yang akut, tanda dan gejala dapat menyerupai fistula anal. Penelitian oleh Hasan dkk menemukan bahwa penanganan untuk abses perianal dapat menyebabkan terjadinya fistula anal dalam 45.58% dari pasien. Tingkat rekurensi dari abses lebih rendah, yaitu sebanyak 6.82% dari pasien.3 Abses tersebut umumnya dapat menyebabkan nyeri dan bengkak pada tempat yang terdapat abses yang dapat disertai atau tanpa demam.2 Abses dapat mengakibatkan sepsis, baik secara lokal maupun sistemik apabila tidak ditangani segera. Bakteri yang berasal dari feses, seperti Escherichia coli atau Klebsiella pneumoniae dapat ditemukan sebagai penyebab dari sepsis. Penanganan dengan antibiotika saja tidak cukup oleh karena lokus infeksi berupa abses yang hanya dapat ditangani dengan menggunakan drainase insisi.4 2.2.6. Diagnosis Kebanyakan pasien dengan abses anorektal datang dengan keluhan nyeri. Jika abses memiliki letak rendah (seperti abses perianal atau ischiorektal) maka nyeri seringkali disertai dengan keluhan lain, seperti bengkak dan kemerahan. Abses dengan letak tinggi (seperti abses supralevator) tidak merangsang jaringan perianal dan jarang menimbulkan keluhan bengkak dan kemerahan. Abses letak tinggi lebih sering disertai dengan gejala sistemik, seperti demam dan lemas.3 Tanda yang dapat ditemui yaitu eritema, teraba hangat, nyeri pada palpasi, indurasi, dan fluktuasi, yang merupakan temuan klinis paling umum. Pasien dengan temuan ini seringkali menolak pemeriksaan rektal dan digital rectal examination sebaiknya dihindari pada keadaan akut karena kemungkinan mendapat informasi tambahan kecil. Sebaliknya, jika tidak terdapat tanda-tanda infeksi (seperti eritema, edema, nyeri pada palpasi, atau fluktuasi) yang menunjukkan abses perianal atau ischiorektal, diagnosis abses supralevator atau intersfingter harus dipertimbangkan. Nyeri hebat dan indurasi pada saat digital

rectal examination dapat membantu menegakkan diagnosis. Diagnosis banding untuk abses anal yaitu fisura anal, trombosis hemoroid eksterna, keganasan, penyakit menular seksual, proktitis, selulitis, dan spasme otot levator.10 Ketika digital rectal examination tidak dapat dilakukan dan infeksi sudah menjalar, pemeriksaan dengan anestesia penting dilakukan untuk mengidentifikasi lokasi infeksi dan drainase dapat dilakukan dengan cara yang sama. Pencitraan radiografis, seperti ultrasound, computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI), jarang dilakukan untuk menegakkan diagnosis abses anal, dan sebaiknya disimpan untuk kasus-kasus kompleks, seperti abses dengan Crohn disease atau infeksi berulang.10 Caliste et.al meneliti 1000 pasien dengan abses anal atau rektal, dan 113 dari pasien ini telah melakukan pemeriksaan CT-Scan. Dua puluh enam (23%) dari pasien dengan abses yang dikonfirmasi mendapat hasil CT-Scan negatif. Para peneliti menyimpulkan CT-Scan memiliki kekurangan sensitivitas pada identifikasi abses perianal, dengan hampir seperempat populasi pasien mendapat hasil negatif walaupun sudah dilakukan drainase abses oleh dokter spesialis bedah. Pada kasus-kasus kompleks di mana temuan pemeriksaan fisik tidak ada atau tidak mencukupi, CT-Scan dapat membantu mengonfirmasi diagnosis abses intersfingteris atau suprasfingteris. Pencitraan juga dapat memberikan informasi tambahan untuk penatalaksanaan kasus-kasus tersebut, seperti temuan intraabdominal konsisten dengan inflammatory bowel disease atau divertikulitis.10

2.2.7. Tatalaksana Nyeri luar biasa yang ditimbulkan oleh abses perianal dan risiko terjadinya sepsis secara lokal (selulitis perineal) atau sistemik yang berat mengakibatkan abses perianal menjadi salah satu kondisi darurat. Penanganan yang utama dari abses perianal adalah drainase insisi dari abses. Insisi tersebut dilakukan dalam kondisi anestesi lokal. Apabila koleksi abses terjadi pada daerah yang lebih dalam atau terdapat tanda dan gejala dari infeksi sistemik, drainase insisi dapat dilakukan dengan anestesi umum. Tujuan dari drainase tersebut adalah untuk mengeluarkan seluruh pus dari bagian perianal.4 Penatalaksanaan utama dari abses perianal

adalah insisi dan drainase pada saat diagnosis. Apabila abses perianal terletak pada bagian superfisial, operasi dapat dilakukan dengan bius lokal. Apabila pasien memiliki kondisi imunosupresi (seperti AIDS, diabetes melitus, dan dalam kemoterapi), memiliki gejala sistemik (demam), atau memiliki abses yang lebih besar, penatalaksanaan secara operatif perlu dilakukan dalam kondisi bius total. Lokasi dan metode drainase yang dilakukan akan dipilih sesuai dengan lokasi dari abses.11

Gambar 2. 4. Lokasi drainase abses perianal

Pemberian antibiotika pada abses perianal tidak disarankan. Menurut sebuah penelitian double-blind randomised controlled trial oleh Llera dkk menemukan bahwa pemberian antibiotik tidak meningkatkan tingkat penyembuhan dan tidak menurunkan tingkat rekurensi. Risiko tinggi untuk terjadinya infeksi pada jaringan dalam, sepsis, dan infeksi jaringan lunak yang mengalami nekrotisasi menyebabkan kondisi ini perlu ditangani segera, terutama dalam pasien-pasien yang mengalami kondisi imunosupresi.1, 4

Gambar 2. 5. Lokasi abses yang dapat terjadi pada abses perianal.4 Penanganan yang perlu dilakukan setelah drainase insisi dilakukan adalah untuk menyembuhkan kavitas yang dibuat oleh abses secara secondary intention. Penanganan luka dapat dilakukan pemberian packing pada kavitas luka atau luka dibiarkan terbuka dengan atau tanpa digitasi (yaitu pasien meraba dasar dari luka). Setelah penanganan luka dilakukan, pemantauan luka perlu dilakukan. Pasien diminta untuk kembali kontrol luka apabila terdapat tanda dan gejala dari selulitis persisten atau meluas, kelelahan, demam, atau luka tidak mulai sembuh atau semakin memburuk. Antibiotik pasca drainase pada abses perianal tanpa komplikasi tidak diperlukan oleh karena tidak ada manfaat dari segi penyembuhan luka maupun rekurensi. Walaupun demikian, antibiotik dapat diberikan apabila pasien mengalami selulitis luas, gejala sistemik dari infeksi, atau memiliki riwayat gangguan sistem imun.1 Drainase insisi pada abses dilakukan dengan elliptical incision atau crucial incision untuk memberikan drainase pada lokus abses dan mencegah penutupan prematur dari insisi. Apabila memungkinkan, insisi dapat dilakukan lebih dekat ke lubang anus oleh karena dapat memendekkan traktus dari fistula apabila berikutnya terjadi fistula ani. Pendekatan intersfingterik digunakan untuk drainase surgikal dari abses intersfingterik dengan atau tanpa pembagian sfingter anal internal. Drainase abses supralevator dapat dilakukan dengan menggunakan

pendekatan transrektal, intersfingterik, dan transischioanal tergantung dari lokasi terjadinya infeksi. Drainase transrektal digunakan untuk abses supralevator dengan otot-otot dasar pelvis yang masih utuh. Drainase intersfingeterik digunakan untuk drainase abses yang berasal dari ruang intersfingterik sedangkan drainase transischioanal digunakan untuk abses supralevator yang berasal dari fossa ischioanal. 2

Gambar 2. 6. Drainase abses (A) Injeksi anestesi lokal (B) Crucial incision (C) Eksisi kulit (D) Drainase kavitas abses 2.3. Fistula Perianal 2.3.1. Definisi Tabel 2. 1. Klasifikasi lokasi fistula perianal menurut Parks Klasifikasi lokasi fistula perianal menurut Parks Intersfingterik

Fistula terletak pada lapang intersfingterik

Transfingterik

Fistula menyeberangi sfingter eksterna, dan berkomunikasi dengan fossa ischiorektal

Suprasfingterik

Fistula menyeberangi ke bagian sefalad melalui sfingter eksternal dan memperforasi levator ani

Ekstrasfingterik

Fistula berasal dari rektum ke kulit perianal dan terletak di luar sfingter

Gambar 2. 7. Klasifikasi fistula perianal menurut Parks Infeksi pada kelenjar anus dapat bermanifestasi dalam bentuk akut (abses anus) dan bentuk kronis (fistula anus).10 Fistula perianal dapat muncul dari abses sebelumnya pada sebagian besar kasus. Abses yang sudah dikeluarkan dapat sembuh secara permanen, sembuh dan muncul kembali di lokasi yang sama, atau tidak sembuh, tetap mengalirkan pus secara intermiten ataupun terus-menerus. Pada kasus tersebut, fistula anal hampir dapat dipastikan ada. Pada studi terhadap 100 kasus abses anorektal rekuren, fistula anal ditemukan pada 68% penderita. Fistula terkadang dapat muncul dari trauma, perforasi iatrogenik, posthemoroidektomi, infeksi luka episiotomi atau robekan sfingter derajat empat ketika persalinan, infeksi fisura ani, atau Crohn disease.12

2.3.2. Epidemiologi Fistula perianal merupakan salah satu penyakit yang cukup jarang terjadi. Insidensi fistula perianal adalah sekitar 1.04 – 2.32 per 10,000 orang per tahun. Fistula perianal lebih sering ditemukan pada pria dibandingkan dengan wanita (65.7% vs. 34.3%) dengan sebagian besar penderita berusia 21 – 40 tahun (65.5%). Kurang lebih sekitar 34.7% kasus fistula perianal ditemukan bersamaan

saat kasus abses perianal sedang dilakukan drainase. Tingkat rekurensi fistula perianal cukup bervariasi, dengan tingkat rekurensi 3 – 44%.13 2.3.3. Etiologi Sebagian besar fistula perianal disebabkan oleh karena terjadinya abses perianal sebelumnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penyebab fistula perianal adalah infeksi pada kelenjar kriptoglandular, sama seperti penyebab abses perianal. Beberapa penyebab lainnya, seperti hemorrhoidektomi, perforasi, dan trauma lebih jarang terjadi. Crohn’s disease merupakan salah satu penyakit yang terkait dengan terjadinya fistula perianal. Penyakit lainnya seperti tuberkulosis dan aktinomikosis juga dapat menyebabkan terjadinya fistula perianal.14 2.3.4. Faktor Risiko Risiko munculnya fistula perianal dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Pada penelitian kontrol kasus oleh Wang dkk, ditemukan beberapa faktor gaya hidup dan medis tertentu yang terkait dengan risiko terjadinya fistula perianal. Pembedahan pada daerah perianal (yang bukan merupakan abses maupun fistula) merupakan salah satu faktor risiko yang signifikan dalam terjadinya fistula perianal (OR 2.494, P < 0.001). Pada penelitian yang sama, ditemukan faktor risiko independen berupa indeks massa tubuh > 25 kg/m2 (OR 3.738, P < 0.001),...


Similar Free PDFs