Perkembangan Kecerdasan Emosional & Moral Dalam Pendidikan PDF

Title Perkembangan Kecerdasan Emosional & Moral Dalam Pendidikan
Author Yudi Rohmad
Pages 21
File Size 407.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 4
Total Views 409

Summary

PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN MORAL PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Psikologi Pendidikan Yang dibina oleh Bapak Dr. Dedi Kuswandi, M.Pd Disusun Oleh: Yudi Rohmad (160121801065) Yatmini (160121800446) Dwi Soca Baskara (160121800879) UNIVERSITAS NEGERI MALAN...


Description

PERKEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN MORAL PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA

MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH Psikologi Pendidikan Yang dibina oleh Bapak Dr. Dedi Kuswandi, M.Pd

Disusun Oleh: Yudi Rohmad (160121801065) Yatmini (160121800446) Dwi Soca Baskara (160121800879)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PRODI S-2 TEKNOLOGI PEMBELAJARAN Oktober 2016

0

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tak jarang kita bertemu atau sekedar membaca berita, bahwa orang-orang tertentu yang memiliki pendidikan tinggi—yang diasumsikan taraf IQ-nya juga tinggi—tetapi kurang sukses dalam menjalani hidup. Bahkan meskipun ketika kita ukur kesuksesan sebagai perolehan materi, tak jarang orang yang berpendidikan rendah mampu meraih pendapatan materi yang jauh lebih tinggi daripada orang yang berpendidikan rendah. Belum lagi jika kesuksesan harus kita maknai lebih tajam sebagai kebahagian hidup, tidak sedikit orang yang berpendidikan rendah mampu menjalani hidupnya dengan penuh kebahagiaan. Sedangkan orang-orang dengan pendidikan tinggi kadang bahkan tidak mampu menempatkan diri dengan seharusnya sebagai bagian dari anggota masyarakat. Kondisi ini mengisyaratkan adanya ketidakberesan dalam memandang skor IQ dan tingkat pendidikan. Dimana sampai saat ini masih banyak sekolah yang menerapkan tes IQ sebagai dasar penerimaan siswa baru, yang lalu memunculkan kebanggaan-kebanggan tersendiri bagi pihak sekolah, orang tua, dan anak-anak dengan sebutan sekolah unggul, sekolah favorit. Tetapi saat si anak menyelesaikan semua jenjang pendidikannya dan terjun ke masyarakat, ternyata banyak sarjana yang hanya menjadi karyawan sebuah perusahaan yang dimiliki oleh orang yang pendidikannya biasa-biasa saja. Hal senada diungkapkan oleh Goleman (2015:55) bahwa konsep lama tentang IQ hanya berkisar di kecakapan linguistik dan matematika yang sempit, dan bahwa keberhasilan meraih angka tinggi pada tes IQ paling-paling hanya menjadi ramalan sukses di kelas atau sebagai profesor, tetapi semakin lama semakin melenceng seiring jalur kehidupan yang semakin berbeda dari dunia akademis. Kondisi ini juga masih mendominasi proses pendidikan di Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Toenlioe (2013:70) bahwa Ujian Nasional (UN) adalah contoh paling kongkrit dan aktual dari puncak gunung es penerapan berlebihan salah satu kutub teori atau pandangan dalam mengelola pendidikan, yakni teori empirisme yang sejalan dengan behaviorisme.

B. RUMUSAN MASALAH Dengan uraian di atas, kita patut bertanya bagaimana sebenarnya sejarah munculnya tes-tes dan teori-teori kecerdasan itu. Mengapa teori-teori kecerdasan 1

terus mengalami perkembangan, dan mengapa kemudian muncul teori kecerdasan emosional yang notabene lebih memengaruhi kesuksesan hidup manusia. Lalu bagaimana mengaplikasikan teori kecerdasan emosional dan moral di lingkungan pendidikan formal?

C. BATASAN MASALAH Dalam makalah ini penulis membatasi masalah pada tiga pembahasan, yaitu: 1. Bagaimana perkembangan teori-teori kecerdasan? 2. Bagaimana perkembangan kecerdasan emosional dan moral? 3. Bagaimana peran kecerdasan emosional dan moral dalam pendidikan?

D. TUJUAN PEMBAHASAN Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan agar penulis dan pembaca mengetahui pentingnya kecerdasan emosional dan moral dalam dunia pendidikan dengan mengetahui asal-usul perkembangan teori-teori kecerdasan yang mengawali kemunculan teori kecerdasan emosional. Secara khusus, tujuan penulisan makalah ini adalah: 1. Untuk mengetahui perkembangan teori-teori kecerdasan. 2. Untuk mengetahui perkembangan kecerdasan emosional dan moral. 3. Untuk mengetahui peran kecerdasan emosional dan moral dalam pendidikan.

2

BAB II PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN TEORI KECERDASAN Pembahasan tentang inteligensi sudah terjadi sejak zaman Plato. Kebanyakan teori awal tentang sifat inteligensi melibatkan satu di antara tiga pemahaman ini: 1) kapasitas untuk belajar; 2) pengetahuan total yang telah didapatkan seseorang; 3) kemampuan untuk beradaptasi dengan sukses dalam situasi-situasi baru dan dalam lingkungan secara umum (Wolfolk, 2009:168). Para pakar psikologi dan pendidikan tidak ada yang sama dalam mendefinisikan makna kecerdasan. Sejak lama sudah diadakan beberapa pertemua para psikolog untuk mendiskusikan tentang kecerdasan, seperti pada tahun 1941 sebanyak 13 psikolog, tahun 1984 sebanyak 24 psikolog. Meskipun ada kemiripan dalam hal definisi, namun masing-masing psikolog berbeda dalam hal struktur kecerdasan.

1. Sekilas Sejarah Lahirnya Tes Kecerdasan Pada tahun 1904, Departemen Pendidikan Perancis menunjuk sebuah komisi untuk meminta seorang psikolog bernama Alfred Binet agar merancang metode yang dapat mengidentifikasi anak-anak yang tidak mampu belajar di sekolah. Pihak sekolah ingin mengurangi kepadatan kelas dengan menempatkan anak-anak tersebut di sekolah khusus. Bersama siswanya, Theophile Simon, Binet mendesain sebuah tes yang diselesaikannya pada tahun 1905. Dalam waktu singkat, penemuannya terkenal dengan sebutan “Tes Kecerdasan”, ukurannya “IQ” (Gardner, 2003:19; Santrock, 2014:126; Gregory, 2013:55-56; King, 2016:341; Gross, 2013:397). Satu hal yang sangat jarang dipertanyakan oleh para akademisi pendidikan, sebenarnya dalam rangka apa para politisi Perancis sampai mengajukan permintaan yang oleh Gardner (2003:19) disebut sebagai “permintaan tidak biasa” itu, dan mengapa yang ditunjuk adalah Alfred Binet? Hanya sedikit informasi yang berani menjelaskan, bahwa peristiwa lahirnya Tes IQ ini terkait dengan politik dan ekonomi. Tetapi satu petunjuk telah diberikan oleh Woolfolk (2009:177) bahwa Binet adalah termasuk seorang aktivis politik. Binet percaya bahwa dengan adanya ukuran kemampuan belajar yang obyektif akan dapat melindungi anak-anak dari keluarga miskin yang mungkin akan dipaksa meninggalkan sekolah karena korban diskriminasi dan dianggap sebagai slow

3

learner. Sepintas—menurut penulis—niat Binet begitu mulia karena berusaha melindungi anak-anak dari keluarga miskin agar tetap bisa sekolah. Tetapi yang terjadi adalah agar anak-anak keluarga miskin tersebut tidak mendapatkan pendidikan yang terbaik di tempat yang sama dengan anak-anak borjuis perancis. Tahun 1800–1900 dunia industri di Eropa dan Amerika menganut pola yang dikenal dengan “Strategi Pola Pemetaan Eugenic dan Ras” yang dimotori oleh kaum borjuis demi melanggengkan kekuasaan dan kepentingannya dalam usaha. Oleh karena itu harus dilakukan perencanaan tracking (pemisahan antara rakyat yang boleh sekolah dan yang tidak boleh sekolah), kaum buruh harus tetap disebut ‘bodoh’. Kenikmatan hidup sebagai kaum borjuis telah membuat bangsawanbangsawan Perancis khawatir posisi budak yang meningkat sebagai buruh dan mulai meningkat pengaruhnya di parlemen, maka dicarilah segala daya-upaya agar posisi kaum borjuis tetap “di atas”, harus tetap ada istilah ‘budak-bodoh’, inilah dasar lahirnya Tes Binet. Sebagai jawaban atas permintaan para borjuis itu Binet dan Simon menulis dua artikel yang terbit tahun 1905 berjudul “New Methods For Diagnosing The Idiot, The Imbecile, and The Moron” dan “New Methods For the Diagnosis of the Intellectual Level of Subnormals”.1 Karena itulah tidak mengherankan jika sejak munculnya tes Binet-Simon ini banyak psikolog dan praktisi pendidikan yang mengkritik, terutama terkait dengan materi dan tugas-tugas dalam tes yang bias terhadap budaya yang dilandasi oleh tindakan diskriminatif berdasarkan ras, status sosial dan ekonomi. Dari penelitian Provenzo, Scarr, Cathers-Shiffman, & Thompson (dalam King, 2016:342) dapat kita bagi dalam dua kritik utama bahwa tes-tes kecerdasan itu: a) Lebih memihak pada orang-orang yang berasal dari daerah perkotaan daripada lingkungan pedesaan. Misalnya pertanyaan yang didasarkan pada kisah: ketika seseorang menemukan anak usia 3 tahun di jalanan, apa yang harus dilakukan? Jawaban yang dimaksudkan benar adalah “menelpon polisi”. Tetapi bagi anak pedesaan mungkin tidak akan menjawab itu, karena tidak ada polisi di dekat tempat tinggal mereka. b) Lebih memihak golongan sosial ekonomi menengah daripada mereka yang berasal dari sosial ekonomi rendah dan lebih memihak kaum kulit putih daripada warga kulit hitam. Misalnya anak yang berasal dari kelompok minoritas mungkin tidak berbicara bahasa Inggris atau berbicara bahasa Inggris yang tidak standar. Akibatnya, mereka mungkin tidak beruntung ketika berusaha memahami pertanyaan verbal yang ditulis dalam bahasa Inggris standar.

1. Disarikan dari Wikipedia: History of the race and intelligence controversy; Race and intelligence; Scientific racism; Théodore Simon

4

Pada tahun 1916, Lewis Terman, psikolog di Stanford University Amerika menerjemahkan dan merevisi tes Binet-Simon dan menamainya Stanford-Binet Intelligence Scale. Seperti halnya di Perancis, tes Stanford-Binet cepat mendapat respon eugenik yang kemudian digunakan sebagai pembenaran ilmiah untuk menolak para imigran berkulit hitam. Antropolog seperti Franz Boas, Ruth Benedict dan Gene Weltfish, telah banyak mendemonstrasikan status tidak ilmiah dari banyak klaim tentang hierarki rasial kecerdasan. Tetapi gagasan eugenik tetap kuat karena didanai besar-besaran oleh raja-tekstil Wickliffe Draper, agar terus mempublikasikan riset-riset yang menggunakan studi kecerdasan sebagai argumen untuk mendukung eugenika, diskriminasi dan undang-undang anti-imigrasi. Parkay dan Stanford (2008:388) mengisahkan sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 1971 ketika anak-anak Afro-Amerika—berdasar hasil tes kecerdasan— ditempatkan di kelas-kelas istimewa untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Orang tua mereka membawa keluhannya ke pengadilan dan mempertahankannya dengan berbagai cara hingga ke pengadilan federal. Keputusan pengadilan baru dibuat pada tahun 1984 yang menetapkan bahwa Tes IQ mendiskriminasi dan bias budaya. Tabel 1. Perkembangan Teori dan Tes Kecerdasan Tahun

Teori Kecerdasan

Tokoh

1904 1905 1908 1912 1916 1936 1937 1939 1949 1967

General Intelligence Binet-Simon Intelligence Scale Binet-Simon Intelligence Test (New Versions) (Istilah IQ pertama kali muncul di Jerman) Stanford–Binet Intelligence Scale Raven's Progressive Matrices (CPM, SPM, APM) Stanford–Binet Intelligence Scale (2nd Edition) Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI) 180 Structure of Intellect (SI) Fluid & Crystalized Intelligence The Culture Fair Intelligence Test (CFIT) Multiple Intelligence (MI) Triarchic Intelligence (Analitis, Kreatif, Praktis) (Istilah Emotional Quotient pertama muncul) Emotional Intelligence (EI) Adversity Intelligence (AI) Spiritual Quotient (SQ)

Charles Edward Spearman (1863-1945) Alfred Binet (1857-1911) Théodore Simon (1872-1961) William Stern (1871-1938) Lewis Madison Terman (1877-1956) John Carlyle Raven (1902-1970) Lewis Madison Terman (1877-1956) David “Wex” Wechsler (1896-1981)

1955 1971 1983 1985 1987 1995 1997 2000

Joy Paul Guilford (1897-1987) Raymond Bernard Cattel (1905-1998) John Leonard Horn (1928-2006) Howard Earl Gardner (Born: 1943) Robert Jeffrey Stenberg (Born: 1949) Keith Beasley Daniel Goleman (Born: 1946) Paul G. Stoltz () Danah Zohar (Born: 1945) & Ian Marshall

5

2. Teori Multiple Intelligences Teori-teori kecerdasan terus berkembang, terutama untuk mendefinisikan ulang tentang kecerdasan yang sejak lahirnya Tes Binet-Simon telah diterapkan secara berlebihan dalam dunia pendidikan, dimana ‘nasib manusia’ ditentukan oleh angka-angka statis yang disebut Skor IQ. Salah satu usaha yang paling berpengaruh untuk mengembalikan makna kecerdasan yang memanusiakan manusia dalam proses pendidikan adalah konsep Multiple Intelligences yang dicetuskan oleh Howard Gardner pertama kali pada tahun 1983 dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Atas karyanya ini pada tahun 1985 Gardner mendapat penghargaan The National Psychology Awards for Excellence in the Media. Lalu pada tahun 1987 mendapat penghargaan William James Award dari American Psychological Association (APA). Gardner (dalam Sousa, 2012:128; Woolfolk, 2009:172; Feldman, 2012:346; King, 2016:350) mendefiniskan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk dengan cara yang dapat dihargai oleh masyarakat dimana individu tersebut berada. Setiap individu—paling tidak— memiliki delapan jenis inteligensi dengan tingkat yang berbeda-beda. Bisa jadi seseorang menonjol dalam satu kecerdasan, namun kurang menonjol dalam kecerdasan lainnya. Sangat jarang yang menonjol dalam semua jenis kecerdasan. Setiap inteligensi yang terpisah-pisah ini tidak bekerja sendiri-sendiri. Normalnya, aktivitas apapun meliputi beberapa jenis inteligensi yang saling bekerja sama. Berikut ini penulis rangkum dari beberapa sumber terkait delapan jenis kecerdasan yang dimaksudkan dalam Multiple Intelligences (Gardner, 2003:36-47; Santrock, 2014:130-131; Slavin, 2008:165; Parkay & Stanford, 2008:389; Woolfolk, 2009:171; Sousa, 2012:128; Campbell, Campbell & Dickinson, 2004; Feldman, 2012:346-347; King, 2016:349-350; Chatib & Said, 2014:80-101): Tabel 2. Delapan Jenis Multiple Intelligences NO KECERDASAN 1. Linguistik

KOMPONEN INTI

KOMPETENSI

Kepekaan pada bunyi, struktur, makna, Membaca, menulis, berdiskusi, berfungsi kata dan bahasa. debat, berargumentasi.

2. Logikal-Matematik Kepekaan memahami pola-pola logis atau numeris, dan mengolah alur pemikiran yang panjang.

Berhitung, menalar dan berfikir logis sistematis, memahami alur problem solving.

3. Spasial-Visual

Kepekaan merasakan, membayangkan Menggambar, membuat patung, dunia gambar dan ruang secara akurat. memotret, mendesain.

4. Musikal-Ritmik

Kepekaan menciptakan dan apresiasi Menciptakan lagu, membentuk irama, irama, pola titi nada, warna nada dan mendengar nada dari sumber bunyi bentuk-bentuk ekspresi emosi musikal. atau alat-alat musik.

6

NO KECERDASAN

KOMPONEN INTI

KOMPETENSI

5. Kinestetik

Kepekaan kontrol gerak motorik dan keseimbangan.

Mengontrol gerak tubuh, kemahiran mengolah objek, respon, dan reflek.

6. Interpersonal

Kepekaan mencerna dan merespon suasana hati, emosi, motivasi, dan keinginan orang lain.

Bergaul, memimpin, kepekaan sosial yang tinggi, negosiasi, kerja sama, dan mempunyai empati yang tinggi.

7. Intrapersonal

Kepekaan memahami dan membedakan emosi/perasaan sendiri.

Mengenali diri secara mendalam, intuitif, mampu memotivasi diri.

8. Naturalistik

Kepekaan meneliti, mengklasifikasi, identifikasi gejala alam.

Membedakan jenis spesies, mengenali eksistensi spesies lain, memetakan hubungan antara beberapa spesies.

Gardner (dalam Woolfolk, 2009:171) menekankan bahwa mungkin ada lebih banyak lagi jenis kecerdasan, delapan bukanlah jumlah akhir. Ia berspekulasi bahwa mungkin ada inteligensi spiritual dan eksistensial, yaitu kemampuan untuk mengkontemplasikan pertanyaan-pertanyaan besar tentang makna hidup. Ditegaskan oleh Gardner (dalam Feldman, 2012:346), daripada bertanya “Seberapa pintarkah Anda?” lebih baik dan seharusnya bertanya “Bagaimana agar Anda pintar?”. Slavin (2008:165) juga menegaskan bahwa jumlah kecerdasan yang tepat tidak penting bagi pendidik. Guru harus menghindari berpikir tentang anakanak sebagai orang yang “cerdas atau tidak cerdas”, karena ada banyak cara untuk menjadi cerdas.

B. KECERDASAN EMOSIONAL 1. Pengertian Emosi Kata “emosi” berasal dari bahasa Inggris “emotion”, yang diadopsi dari bahasa Latin “ēmōtus”, bentuk past participle dari kata ēmoveō (“to move out, move away, remove, stir up”), yang berarti “bergerak, berpindah, menghapus, mem-bangkitkan, Beberapa pengertian dan ihwal terkait emosi, diantaranya: a) Emosi atau afeksi adalah kecenderungan yang dirasakan mengarah pada sebuah objek yang dinilai cocok atau menjauh dari sebuah objek yang dinilai tidak cocok, yang diperkuat oleh perubahan-perubahan fisik tertentu (Arnold & Gasson dalam Gross, 2012:188). b) Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu (Frieda, 1993:381). c) Ekman dan Friesen (dalam Gross, 2012:188) mengidentifikasi enam emosi primer, yaitu: kaget, takut, muak, marah, bahagia, dan sedih.

7

2. Munculnya Paradigma Kecerdasan Emosional Goleman (2015:54-55) menjelaskan bahwa meskipun Throndike adalah psikolog yang sangat berpengaruh dalam memopulerkan IQ pada tahun 1920-an dan 1930-an, namun Throndike menyatakan bahwa salah satu aspek kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan “sosial” merupakan aspek IQ seseorang. Istilah “emotional intelligence” pertama kali muncul dalam sebuah makalah tahun 1964 oleh Michael Beldoch, dan di tahun 1966 dalam karya B. Leuner berjudul Emotional intelligence and emancipation yang muncul di jurnal psikoterapi. Pada tahun 1983, Gardner dalam “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences” memperkenalkan gagasan tentang kecerdasan majemuk yang di dalamnya juga termasuk kecerdasan interpersonal dan intrapersonal yang konsepnya nyaris sama dengan Emotional Intelligence. Istilah emotional intelligence (EI) kemudian muncul dalam tesis doktoralnya Wayne Payne pada tahun 1985 dalam studi tentang emosi berjudul “Developing Emotional Intelligence”. Sedangkan istilah “EQ” (Emotional Quotient) pertama kali digunakan pada tahun 1987 oleh Keith Beasley dalam sebuah artikel di majalah Inggris Mensa. Lalu pada tahun 1989 Stanley Greenspan mengajukan model untuk mendeskripsikan EI, diikuti oleh Peter Salovey dan John Mayer diterbitkan pada tahun yang sama. Atas pengaruh ide Gardner dengan Multiple Intelligence, Salovey dan Meyer dengan Emotional Intelligence, pada tahun 1995 Goleman menerbitkan bukunya “Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ” yang sangat fenomenal dan termasuk dalam daftar buku best seller menurut koran The New York Times selama satu setengah tahun, juga best seller di beberapa negara dan telah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa. Berkat karya Goleman inilah istilah “Emotional Intelligence” (EI) semakin dikenal di seluruh dunia bersamaan dengan meningkatnya pembelajaran berbasis multiple intelligences.

3. Model-Model Kecerdasan Emosional Menurut Mayer, Salovey & Caruso (dalam Feldman, 2012:351), kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah serangkaian kemampuan yang mendasari pengukuran, evaluasi, ekspresi, dan regulasi emosi yang akurat. Untuk memahami kecerdasan emosional dapat kita lihat dari dua pendekatan, yaitu Ability Model (kecerdasan emosional dilihat dari kemampuan untuk memroses informasi yang bersifat emosional dan kemampuan untuk menghubungkan pengolahan emosional dengan kognisi yang lebih luas) dan Mixed Model (kecerdasan emosional dilihat dari ragam kompetensi dan keterampilan yang mendorong kinerja kepemimpinan). 8

Ability Model diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer. Kecerdasan emosional terbagi dalam empat kompetensi: 1) Merasakan emosi (perceiving emotion), yaitu kemampuan untuk mendeteksi dan menguraikan emosi di wajah, gambar, suara, dan artefak budaya, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi emosi sendiri. Merasakan emosi merupakan aspek dasar dari kecerdasan emosional, karena membuat semua pengolahan informasi emosional lain mungkin terjadi. 2) Memahami emosi (understanding emotion), yaitu kemampuan untuk memahami bahasa emosi dan untuk menghargai hubungan yang rumit antara emosi. Misal, memahami emosi meliputi kepekaan terhadap variasi di antara emosi, dan kemampuan untuk mengenali dan menggambarkan bagaimana emosi berkembang dari waktu ke waktu. 3) Menggunakan emosi (using emotion), yaitu kemampuan untuk memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi berbagai kegiatan kognitif, seperti berpikir dan pemecahan masalah. Orang yang cerdas emosi dapat memanfaatkan perubahan suasana hatinya agar sesuai dengan tugas yang dijalankan. 4) Mengelola emosi (managing emotion), yaitu kemampuan untuk mengatur emosi pada...


Similar Free PDFs