PRAJURIT KRATON JOGJA (Sejarah Awal Hingga Toponim Perkampungannya) PDF

Title PRAJURIT KRATON JOGJA (Sejarah Awal Hingga Toponim Perkampungannya)
Author Fajar Widjanarko
Pages 8
File Size 83.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 88
Total Views 514

Summary

PRAJURIT KRATON JOGJA Sejarah Awal Hingga Toponim Perkampungannya A. Pengantar Pasca Palihan Nagari (13 Februari 1755), VOC melalui Nicholas Hartingh menyepakati bahwa separuh dari kekuasaan Kerajaan Mataram merupakan milik Pangeran Mangkubumi. Kedua kerajaan Mataram Baru tersebut secara agrarian me...


Description

PRAJURIT KRATON JOGJA Sejarah Awal Hingga Toponim Perkampungannya

A. Pengantar Pasca Palihan Nagari (13 Februari 1755), VOC melalui Nicholas Hartingh menyepakati bahwa separuh dari kekuasaan Kerajaan Mataram merupakan milik Pangeran Mangkubumi. Kedua kerajaan Mataram Baru tersebut secara agrarian mendapatkan hak yang sama, yaitu wilayah Negaragung sejumlah 53.100 cacah. Sedangkan untuk wilayah Mancanegari, Sunan mendapat 32.350 cacah dan Sultan mendapat 33.950 cacah1. Tanah yang menjadi konsekuensi dari prajanjen tersebut

kemudian oleh

Pangeran Mangkubumi dibangun kerajaan yang sekarang dikenal sebagai Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pra pembangunan berlangsung, seluruh keluarga Pangeran Mangkubumi mendiami Pesanggrahan Ambarketawang yang terlebih dahulu dibangun oleh Tumenggung Jayawinata. Puncaknya pada 7 Oktober 1756, Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I memasuki komplek Kedhaton Ngayogyakarta melalui Regol Kemandungan Kidul (kawasan Magangan). Peristiwa ini ditandai dengan 2 candra sengkala yang berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani. Keduanya merujuk pada angka Tahun Jawa 1682 (1756 M). Pembangunan dan penyempurnaan keraton pun terus dilakukan, baik oleh sultan yang bertahta maupun putra mahkota, BRM. Sundoro. Tidak terlepas pula pembuatan banteng baluwarti sebagai sistem pertahanan guna melengkapi fungsi kesatuan prajurit yang dimiliki oleh sultan. Menurut sejarah pada masa Sultan HB I, keraton memiliki 15 kesatuan prajurit2 sebagai sistem pertahanan kerajaan, dan 6 kesatuan pajurit Kadipaten sebagai pengawal putra mahkota. Ada pula 5 kesatuan prajurit Pangrembe (mengurusi palemanan, baik sawah ataupun tanah milik raja)3.

1

Meski demikian, menjadi sebuah catatan tersendiri bahwa pembagian wilayah kekuasaan setiap kerajaan nampaknya dilakukan secara selang-seling dan saling bersebarang. Dampaknya, secara otonomi pemerintahan baik Sunan maupun Sultan tidak memiliki keleluasaan dalam mengatur kawasan mancanegari. 2 Kelima-belas kesatuan prajurit tersebut diantaranya: Mantri Lebet, Mantri Pinilih, Ketanggel, Somaatmaja, Nyutra, Miji Peranakan, Jagakarya, Kawandasa, Dhaeng, Wirabraja, Mandhung, Anirmala, Suryagama, Blambangan, Bugis. Keenam prajurit di Kadipaten, diantaranya: Mancapertama, Prawiratama, Jayengastra, Langenastra, Pancasura, Surakasa. Sedangkan 5 kesatuan prajurit Pangrembe, diantaranya: Suranata, Sesela, Juru Sabil, Ngasrama, dan Arahan (Margana, 2010:100-102). Di luar 15 prajurit tersebut, terdapat 3 kesatuan prajurit yang belum teridentifikasi penggabungannya seperti Trunajaya, Mandrapertama, dan Jahengastra. Menurut Margana, (2010:104-105), kesatuan tersebut adalah peninggalan dari Mataram pra Palihan Nagari. 3 Pangrembe berasal dari akar kata rembe, rumembe yang berarti bertunas atau bersemi. Dalam kontek Abdi Dalem keprajuritan, istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi ketugasan yang berkaitan dengan palemahan (tanah kerajaan), baik tanah kelola maupun sawah (Utomo, 2013:399).

Seluruhnya bertempat tinggal di njeron beteng sehingga memiliki posisi yang strategis pada sistem pertahanan keraton4. Kondisi demikian tidak bertahan lama. Kecamuk pertempuran Inggris yang dipimpin oleh Raffles sejak 19 Juni 18125 berhasil mengerdilkan militer keraton. Serangan meriam dengan taktis menghujani beteng baluwarti hingga puncaknya pada 20 Juni 1812, tanah kasultanan berhasil diduduki oleh Inggris. Konsekuensi besar harus diterima keraton, sultan dimakzulkan dan harus mengalami masa pembuangan di Penang bersama putranya Mangkudiningrat. Peristiwa tragis ini dikenal dengan Geger Spoy (Sepehi). Secara sepihak, Inggris mengangkat putra mahkota, BRM. Surojo diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwana III. Pengangkatan ini dimaksudkan agar nantinya Inggris mampu mengintervensi politik dan militer keraton untuk melemahkan kekuasaan raja. Dampak mendasar yang dialami sultan adalah melemahnya kesatuan prajurit. Perjanjian 1 Agustus 1813 antara Sultan HB III dengan Raffles memaksa prajurit keraton berada pada posisi selemah-lemahnya militer. Format angkatan perang sebelumnya tidak diperkenankan hingga hanya difungsikan sebagai pengawal raja dan keraton. Kondisi demikin diperburuk pada masa Sultan HB IV (1814-1820) kesatuan prajurit mulai dirumahkan di njaban beteng yang semula di njero beteng. Hal ini berakibat pada melemahnya posisi pertahanan keraton. Meski demikian, penataan permukiman prajurit tidak semata-mata berjarak kepada keraton. Permukimannya masih berada di sekeliling beteng baluwarti dengan formasi menyerupai tapal kuda (bdk. Tim. 2007:88). Hal ini nampak dalam kutipan Serat Rerenggan Karaton (pupuh Sinom, pada 24) disebutkan:

"Ya ta ingkang winurcita, karsa dalem Sri Bupati, kang jumeneng ping sekawan, byantu lan pamrentah nagri, ing mangke ngewahi, pemahan jron beteng agung, prajurit wismanira, gelondhong dadya satunggil, matrijero, ketanggung, nyutra disuda." "Pra prajurit wismanira, tancep lama kanan kering, sakilen sawetan pura, samangke dadya sawiji, reh niyaka jro jawi, byantu ngusung griyanipun, weneh ngulon mangetan, ler ngidul pundi den broki, pan gumerah swaranya wong ngusung griya."

4

Kesatuan prajurit keraton pada masa HB I dipandang kuat. Dibuktikannya dengan dikirimnya 1.132 prajurit ke Batavia atas permohonan Kumpeni Belanda melalui Gubernur J. Siberg tahun 1781. Rincian prajurit meliputi 1.000 prajurit biasa, 100 prajurit dari putra mahkota dan sisanya adalah perwira. Imbalan yang diterima oleh sultan atas bantuan yang diberikan adalah 12 meriam dari Residen Yogyakarta (Tim, 2009:8). 5 Pada 19 Juni 1812, pasukan Inggris menyerang baluwarti dimaksudkan untuk mengultimatum sultan agar turun tahta dalam kurun waktu 2 jam dan digantikan dengan putra mahkota. Selain itu, hal ini dilakukan Raffles untuk memberi waktu pasukan Inggris tiba di Yogyakarta (Carey, 2012:389).

"Sebagaimana dikisahkan, atas kehendak Sri Bupati yang keempat (Sultan Hamengku Buwono IV), (dan) dibantu penguasa negeri (Residen), yang nantinya mengubah, pemukiman di dalam beteng agung, yaitu kediaman para prajurit, dipindah jadikan satu, (jumlah) Mantrijero, Ketanggung, dan Nyutra (pun) dikurangi. “Rumah para prajurit, (sudah) lama di kanan dan kiri, (dipindahkan) di sebelah barat dan timur beteng, (yang) nantinya jadikanlah satu. (Bupati) Niyaka jro jawi, membatu membawa rumahnya, diletakkan searah barat dan timur, (arah) utara dan selatan juga dituju, (maka) terdengarlah gaduh suara orang-orang menggotong rumah”6 Meskipun fungsi prajurit sudah dikerdilkan, nampaknya pemerintah kolonial masih beranggapan bahwa ancaman militer dari keraton harus terus dikurangi. Jumlah kesatuan prajurit yang awalnya 15 kesatuan, dimampatkan menjadi 14 kesatuan yang di dalamnya termasuk prajurit kadipaten. Bahkan prajurit Pangrembe ditiadakan. Hal ini nampak pada penobatan GRM. Gathot Menol sebagai Sri Sultan Hamengku Buwana V saat diiringi prajurit yang seluruhnya hanya berjumlah 14 kesatuan7. Hal ini merupakan dampak dari demiliterisasi yang disepakati oleh Sultan Menol dengan Residen Belanda. Termasuk pula pelucutan kekuatan personil hingga angka 75%. Kondisi demikian semakin didesak yang berakibat pada masa pemerintahan Sultan HB VI hingga HB VIII, fungsi prajurit sebagai pertahanan berubah menjadi fungsi seremonial. Berbagai perubahan fungsi dan pemaknaan prajurit terus berlanjut hingga awal pemerintahan Sultan HB IX. Pada akhirnya semua berhenti di tahun 1942, ketika pendudukan Jepang yang mengharuskan keraton membubarkan seluruh kesatuan prajuritnya, dan baru di tahun 1970-an kembali dihidupkan. Meski demikian, warisan fungsi prajurit dari Sultan HB VIII terus dilestarikan hingga kini, yakni prajurit keraton menempati fungsi seremonial, sebagai atraksi budaya dan pariwisata (Tim, 2009:11, bdk. Tim, 2007:88).

B. Toponim Kampung Prajurit Sejak Pemerintahan Sultan HB IX, fungsi prajurit telah berubah praktis sebagai pengawalan dalam kegiatan seremonial keraton. Jumlahnya pun sangat berkurang, yakni hanya tinggal 10 kesatuan prajurit. Meski demikian, masyarakat masih dapat menikmati fakta sejarah melalui toponim kampung prajurit yang sempat direlokasi ke

6

Perlu dipahami bahwa rumah tradisi Jawa pada masa itu terbuat dari kayu dan bersifat bongkar pasang, sehingga proses perpindahan pemukiman yang terjadi bukan hanya sekadar perpindahan manusia dan barang-barangnya. Namun juga membongkar rumah, menggotong setiap potongannya, kemudian menyusunnya kembali di lokasi permukiman yang baru. 7 Ketigabelas kesatuan prajurit tersebut meliputi: Mantri Lebet, Ketanggel, Nyutra, Miji Pranakan, Prawiratama, Kawandasa, Jagakarya, Dhaeng, Wirabraja, Suranata, Bugis, Surakarsa, (Jager), Arahan (Margana, 2010:102103: bdk. Babad Ngayogyakarta (SB 141a) koleksi Museum Sonobudoyo.

njaba beteng pada masa Sultan HB IV atas kosekuensi dari perjanjian demiliterisasi yang disepakati dengan pihak Kolonial.

1. Jeron Beteng Toponim kampung prajurit yang berada di njero beteng adalah Langenastran dan Langenarjan. Kedua kampung prajurit tersebut terletak di sebelah timur Alunalun Pungkuran (selatan). Sejarahnya, pada masa pemerintahan Sultan HB I hingga Sultan HB IV, Langenastra merupakan prajurit kadipaten yang bertugas mengawal putra mahkota. Namun, pada masa pemerintahan Sultan HB V, prajurit yang berjumlah 40 orang (tanpa dwaja) beralih fungsi sebagai pengiring prajurit Mantrilebet (Mantrijero) dengan menampilkan tari tayungan8. Secara admnistratif, kampung ini berada di Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton.

2. Bagian Barat Beteng 2.1.

Wirobrajan Wirabrajan (Wirabraja + -an) merupakan toponim kampung prajurit Wirabraja. Adapun saat ini secara administrarif, Wirabrajan merupakan kecamatan yang meliputi 3 kelurahan, diantaranya: Kelurahan Wirabrajan, Kelurahan Patangpuluhan, dan Kelurahan Pakuncen. Lokasi kampung ini berada di sebelah barat beteng baluwarti9.

2.2.

Ketanggungan Ketanggungan (Ketanggung + -an) merupakan toponim kampung prajurit Ketanggung yang secara administratif berada di selatan Kelurahan Wirobrajan. Kampung Ketanggung dibagi menjadi 2 bagian, yaitu Ketanggung Kulon dan Ketanggung Wetan10.

2.3.

Bugisan Bugisan (Bugis + -an) merupakan toponim kampung prajurit Bugis yang secara administratif terletak di paling selatan Kelurahan Patangpuluhan,

8

Diungkapkan pada Babad Ngayogyakarta, prajurit Langenastra serupa dengan prajurit Mantrijero, hanya saja terdapat slendang dan ikat kepala berwarna hitam pada busana keprajuritannya. Dikatakan pula bahwa Langenastra adalah bagian dari Mantrijero yang bertugas membawa membawa tombak. Dikarenakan peranannya sebagai pembawa senjata, maka prajurit ini diberi nama Langenastra, (langen: senang, suka ; astra: senjata) yang berarti gemar berolah senjata (Wulandari, 2012:96). 9 Berdasarkan dokumen Babad Ngayogyakarta, tertulis bahwa pada masa pemerintahan Sinuwun Menol (HB V) hingga Sinuwun Sugih (HB VII), mengisahkan bahwa jumlah prajurit Wirabraja adalah 80 orang, lengkap dengan senjata senapan (api) dan tombak. Di dalam situasi perang, prajurit ini selalu berada pada barisan terdepan. Alasan inilah yang melatarbelakangi prajurit Wirabraja berada di barisan awal pada saat Hajad Dalem Garebeg (bdk. Wulandari, 2012:104). 10 Babad Ngayogyakarta menyebutkan bahwa Ketanggung merupakan bertugas sebagai penjaga keamanan keraton, pengawal saat miyos Dalem (sultan keluar dari keraton), dan berfungsi sebagai penuntut perkara. Jumlah prajurit Ketanggung adalah 80 orang, separuh bersenjata senapan dan separuhnya bersenjata tombak (Wulandari, 2012:96).

Kecamatan Wirabrajan. Berdasarkan sejarahnya, prajurit Bugis adalah prajurit dari Pura Mangkunegaran yang diutus untuk mengawal GKR Bendoro (putri ke-2 dari HB I dan GKR. Kencono) saat dikembalikan ke Ngayogyakarta setelah diceraikan karena suatu sebab. Sesampainya di Kraton Jogja, prajurit Bugis dijamu dan disambut dengan arif oleh sultan sehingga memutuskan untuk tidak kembali ke Pura Mangkunegaran, melainkan bergabung menjadi kesatuan prajurit keraton. Dahulu prajurit Bugis bertugas untuk mengawal putra mahkota di istana Sawojajar. Namun, semenjak istana Sawojajar tidak lagi ditempati oleh putra mahkota, ketugasan prajurit Bugis selanjutnya dilimpahkan menjadi prajurit Kepatihan. Menurut Babad Ngayogyakarta, prajurit Bugis berjumlah 80 orang dengan pakaian serba hitam dan sabuk berwarna kuning (Tim, 2007: 89-90; Wulandari, 2012: 107-108). 2.4.

Patangpuluhan Patangpuluhan (Patangpuluh + -an) merupakan toponim kampung prajurit Patangpuluh yang merupakan perkampung terluas di Kelurahan Patangpuluhan. Terdapat 22 Rukun Tetangga (RT) di kawasan tersebut, dengan total keseluruhan 51 RT. Berbeda dengan tanah yang digunakan oleh para kesatuan prajurit yang lainnya, pemberian tempat tinggal prajurit Patangpuluh ini bersifat hak milik dengan luas tanah 1.600 m2 bagi setiap penerimanya11. Dahulu, setiap prajurit dari kesatuan Patangpuluh menggunakan nama Hima12 sebagai penanda identitas, seperti Hima Sedewa, Hima Permuni, Hima Sarinjana, Hima Sendarga, Hima Berdangga (Tim, 2009:90-91).

2.5.

Suronggaman Suronggaman (Suranggama + -an) merupakan toponim kampung prajurit Suranggaman yang terletak di tepi barat Kampung Ketanggungan. Secara administratif, wilayah ini berada di Kelurahan Wirabrajan, Kecamatan Wirabrajan. Perkampungan ini cukup sempit, hanya terdapat 1 Rukun Warga (RW) yang terdiri dari 3 Rukun Tentangga (RW). Sejarahnya, prajurit Suranggama merupakan salah satu dari prajurit pengawal putra mahkota yang bertugas di istana Sawojajar, seperti halnya prajurit Bugis dan Surakarsa. Setel istana Sawojajar tidak lagi ditempati oleh putra

11

Pada Babad Ngayogyakarta dijelaskan bahwa masa pemerintahan HB V – HB VII, jumlah prajurit Patangpuluh adalah 80 orang dengan kelengkapan senjata adalah senapan api dan tombak (Wulandari, 2012:102). 12 Kaitan penamaan ‘Hima’ sebagai identitas prajurit patangpuluh masih belum diketemukan. Sedangkan menurut Poerwadarminta (1939) Hima berarti salju, mendung.

mahkota, maka seluruh prajurit kadipaten dilimpahkan menuju kepatihan dan di tempatkan sesuai dengan perkampungan yang ada saat ini.

3. Bagian Selatan Beteng 3.1.

Dhaengan Dhaengan (Dhaeng + -an) merupakan toponim kampung prajurit Dhaeng. Secara administratif, kampung ini terletak di wilayah Keluraha Gedongkiwa, Kecamatan Mantrijeron. Pada mulanya, munculnya prajurit Dhaeng sebagai pengawal Kasultanan diawali dengan banyaknya bangsawan Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda di Jawa. Selanjutnya, bangsawan (Daeng adalah gelar pangeran Sulawesi) bergabung dengan lascar Mataram dan dikenal sebagai kesatuan prajurit Dhaeng13.

3.2.

Jagakaryan Jagakaryan (Jagakarya + -an) merupakan toponim kampung prajurit Jagakarya. Secara administratif, kampung ini berada di wilayah Keluraha Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron. Dahulu, tidak sebarang orang dapat menjadi bagian dari kesatuan ini. Menurut Babad Ngayogyakarta, hanya orang-orang terpilih yang mampu menjadi bagian dari prajurit Jagakarya14.

3.3.

Mantrijeron Mantrijeron (Mantrijero + -an) merupakan toponim kampung prajurit Mantrijero yang dahulu dikenal dengan istilah Mantrilebet. Kampung ini secara administratif terletak di Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Matrijeron15.

3.4.

Prawirotaman Prawirataman (Prawiratama + -an) merupakan toponim kampung prajurit Prawiratama. Secara administratif, kampung ini terletak di wilayah Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, yang terletak diantara Jalan Parangtritis dan Jalan Sisingamangaraja16.

13

Nampaknya pengasingan yang dilakukan Belanda kepada Daeng Sulawesi sudah berlangsung cukup lama. Pada teks penulisan Babad Ngayogyakarta, era Sinuwun Sugih (1810 tahun Jawa/1886M), istilah prajurit Dhaeng sudah muncul sebagai kesatuan militer yang turut mempertahankan keraton. Berjumlah 80 orang dengan bersenjata senapan api separuhnya, dan separuhnya lagi bersenjatakan tombak. Pakaian serba putih menjadi ciri utama dari prajurit Dhaeng (Wulandari, 2012:103-104). 14 Prajurit ini berjumlah 80 orang dengan bersenjatakan sikep sigar lawan ganjur (tombak sigar) yang berarti adalah tombak bermata 2 (Wulandari, 2012:101). 15 Mantrijero terdiri dari dua bentukan kata yaitu mantri dan jero. Mantri dalam hal ini adalah pegawai kerajaan yang bertindak sebagai juru rembug. Prajurit ini bertugas sebagai hakim yang memutuskan perkara dan menjadi pengawal Sultan ketika Jumenengan Dalem di Sitihinggil. Prajurit ini berjumlah 80 orang dengan senjata senapan api dan songkok di kepala (Wulandari, 2012:94-95). 16 Prawiratama berasal dari kata prawira dan utama. Nama ini diperoleh oleh prajurit yang dahulu bernama Laskar Mataram karena keberhasilannya dalam mengalahkan Kompeni pada masa Pangeran Mangkubumi (Pra Palihan Nagari). Prajurit yang berjumlah 80 orang pada masa Sinuwun Menol hingga Sinuwun Sugih bersenjatakan

3.5.

Jageran Jageran (Jager + -an) merupakan toponim kampung prajurit Jager. Secara administratif, kampung Jageran terletak di wilayah Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron. Nama Jager dalam istilah Belanda berarti pemburu, sehingga tugas dari kesatuan prajurit ini dahulunya adalah mengawal Sultan saat melakukan perburuan di kawasan Krapyak. Prajurit Jager tidak memiliki busana layaknya prajurit lainnya. Busana yang dikenakan saat mengawal Sultan adalah busana padintenan Jawi (yang biasa dikenakan keseharian). Prajurit ini juga tidak memiliki dwaja, namun tetap bersenjata senapan api17 (Tim, 2009: 93).

4. Bagian Timur Beteng 4.1.

Surakarsan Surakarsan (Surakarsa + -an) merupakan toponim kampung prajurit Surakarsa. Secara administratif, Surakarsan terletak di Kelurahan Wiragunan,

Kecamatan

Mergangsan.

Prajurit

Surakarsan

dahulu

merupakan prajurit kadipaten yang bertempat tinggal di istana Sawojajar. Tugas utamanya adalah mengawal Pangeran Adipati Anom (putra mahkota) sejak tahun 1769. Namun pasca Perang Jawa (1825-1830), istana Sawojajar tidak dihuni lagi oleh putra mahkota, maka prajurit ini dilimpahkan

ke

Kepatihan

bersama

dengan

prajurit

Bugis

dan

Suranggama. Selanjutnya prajurit-prajurit tersebut ditempatkan di lokasi seperti perkampungan yang ada saat ini18. 4.2.

Nyutran Nyutran (Nyutra + -an) merupakan toponim kampung prajurit Nyutra. Kampung

ini

berada

di

selatan

Kampung

Jayanegaran.

Secara

administratif, kampung ini berada di Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan. Istilah Nyutra sejatinya berasal dari Panyutra yang merujuk pada prajurit Kraton Sumenep, Madura. Konon, prajurit ini dahulu merupakan sumbangan persahabatan dari Madura kepada Keraton Mataram, sehingga dapat ditemui toponim

senapan api dan tombak kayu dengan busana laken kresna (berbaju hitam), celana merah dengan topi berlekuk (Wulandari, 2012:100). 17 Berbeda halnya pada Babad Ngayogyakarta yang menyebutkan bahwa Prajurit Jageran bersenjatakan pedang dan tombak. Jumlah mereka adalah 40 orang dengan busana keprajuritan serupa dengan lurik, berkampuh, dan mengenakan kuluk (Wulandari, 2012:105). 18 Tidak seperti prajurit kedhaton-an, karakteristik busana prajurit kadipaten cenderung lebih sederhana. Surakarsa hanya berpaikaian serba putih, kain sapit urang dengan penutup kepala menyerupai blangkon. Prajurit ini berjumlah 80 orang, yang seluruhnya bersenjatakan tombak (Wulandari, 2012: 106).

kampungnya di Surakarta pula. Kelengkapan busana prajurit ini juga mencirikan busana Madura, seperti udheng-gilig (ikat kepala khas Madura) dengan senjata keris, tombak lembing, dan tombak biasa19. Prajurit Panyutra dinamakan golongan Trunajaya dan sebagian besar prajuritya bernama Raden Panji, yaitu nama kebangsawanan dari Keraton Sumenep. Bahkan, di Keraton Sumenep, istilah Prajurit Panyutra masih l...


Similar Free PDFs