Program Preventif kesehatan gigi dan mulut PDF

Title Program Preventif kesehatan gigi dan mulut
Author Lisa Prihastari
Pages 19
File Size 711.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 1
Total Views 26

Summary

MAKALAH TUGAS EPIDEMIOLOGI UMUM DAN ORAL Disusun Oleh : LISA PRIHASTARI (1406505140) PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN GIGI KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS INDONESIA 2014 Tindakan Preventif untuk Kesehatan gigi dan Mulut Rakyat Indonesia A. Gambaran kesehatan gigi dan mulut di Indonesia...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Program Preventif kesehatan gigi dan mulut lisa prihastari

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Universit as Krist en Krida Wacana Laporan Family Folder Karies Gigi dengan Pendekat an Dokt … Yoshevine Lorisika UKGS t ri peni jurnal dent ino.pdf Yusfa Ainah

MAKALAH TUGAS EPIDEMIOLOGI UMUM DAN ORAL

Disusun Oleh : LISA PRIHASTARI (1406505140)

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN GIGI KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS INDONESIA 2014

Tindakan Preventif untuk Kesehatan gigi dan Mulut Rakyat Indonesia A. Gambaran kesehatan gigi dan mulut di Indonesia (Riskesdas) Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 disebutkan bahwa prevalensi Nasional masalah Gigi-Mulut adalah 23,5%. Sebanyak 19 provinsi dari 33 provinsi (57,6 %) atau separuh dari seluruh provinsi di indonesia mempunyai prevalensi Masalah Gigi dan Mulut diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darusalam, Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Sedangkan berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 Prevalensi Nasional Masalah GigiMulut adalah 25,9% atau meningkat dari data riskesdas tahun 2007. Terdapat 16 provinsi yang memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional yaitu Nanggroe Aceh Darusalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY Yogyakarta, jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi selatan, Sulawesi tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku dan Maluku Utara. Prevalensi nasional Karies Aktif berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 43,4%. Sebanyak 14 provinsi dari 33 provinsi (42%) memiliki prevalensi Karies Aktif diatas prevalensi nasional, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Angka DMF-T Nasional berdasarkan Riskesdas tahun 2007 sebesar 4,85 Ini berarti ratarata kerusakan gigi pada penduduk Indonesia 5 buah gigi per orang. Komponen yang terbesar adalah gigi yang dicabut/M-T sebesar 3,86 artinya dapat dikatakan rata-rata penduduk Indonesia mempunyai 4 gigi yang sudah dicabut atau indikasi untuk pencabutan. Terdapat 12 provinsi yang DMFT nya berada diatas rata-rata Nasional yaitu Sumatera Barat, Jambi, Jawa Tengah, DIY Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Maluku.

Gambar penyebaran indeks DMFT nasional (Kemenkes 2012, Rencana program pelayanan kesehatan gigi dan mulut)

Angka DMFT berdasarkan Riskesdas tahun 2013 sebesar 4,6 hanya mengalami sedikit penurunan dari tahun 2007. Terdapat 15 provinsi yang DMFT nya berada di atas rata- rata nasional yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DIY Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan barat, Kalimantan Tengah, kalimanatan Selatan, Kalimantan timur, Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi selatan, dan Sulawesi barat. Dari data- data diatas kita dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu pertama, untuk data prevelensi masalah kesehatan gigi dan mulut yang diketahui di peroleh dari hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak sampai seperempat populasi yang merasa bahwa kesehatan gigi dan mulut mereka bermasalah sedangkan hal ini bertentangan dengan data prevalensi karies aktif (D>0) yang menunjukkan hampir separuh populasi mempunyai karies aktif dengan rata-rata indeks DMFT yang masih diatas 4 yaitu masih masuk kategori tinggi berdasarkan kriteria WHO. Rendahnya angka keluhan masyarakat terhadap kesehatan gigi dan mulut bisa disebabkan karena beberapa faktor yaitu karena masyarakat masih mengabaikan kesehatan gigi dan mulutnya yaitu hanya berkunjung ke dokter gigi jika sudah merasakan sakit dan jarang memeriksakan kesehatan gigi dan mulutnya secara rutin, faktor penyebab lainnya yaitu masih rendahnya pengetahuan dan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia tentang penyakit gigi dan mulut, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan karies gigi dan penyakit periodontal. ( Khamrco, 1999;PE Petersen, 2005; A Kumar,2009) Masyarakat dengan pendidikan yang lebih tinggi lebih perduli dan lebih sering memeriksakan kesehatan gigi dan mulutnya dibandingkan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah.( Egri M,2004; Kristina S,2014). Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah kurangnya program deteksi dini penyakit kesehatan gigi dan mulut yang dilakukan

oleh pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas). Dokter gigi atau perawat gigi yang ada di Puskesmas selama ini jarang menjemput bola dengan melakukan survey atau skrining data kesehatan gigi dan mulut di wilayah kerjanya dan cenderung menunggu secara pasif kunjungan masyarakat. Akibatnya banyak keluhan kesehatan masyarakat terhadap penyakit gigi dan mulut yang tidak tersalurkan dan seolah-seolah seperti gunung es, yaitu yang muncul dipermukaan lebih sedikit dibandingkan kenyataan yang ada dilapangan. Kesimpulan lain yang bisa diambil dari data diatas adalah bahwa permasalahan kesehatan gigi dan mulut telah meluas hingga separuh dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia dan terlihat adanya provinsi-provinsi yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah karena memiliki prevalensi karies aktif dan indeks DMFT yang tetap tinggi dari tahun 20072013. Provinsi-provinsi tersebut untuk daerah sumatera yaitu provinsi jambi dan sumatera Barat, untuk daerah jawa yaitu provinsi DIY Yogyakarta dan Jawa Timur, hampir seluruh provinsi di Kalimantan dan provinsi di Sulawesi memiliki permasalahan kesehatan gigi dan mulut yang kompleks. Untuk mencapai target WHO tahun 2020 yaitu terutama target untuk menurunkan indeks DMFT diperlukan program preventif dibidang kesehatan gigi dan mulut yang komprehensif yaitu program yang dapat memutus faktor-faktor penyebab penyakit kesehatan gigi dan mulut terutama karies gigi, program yang dapat mengendalikan faktor-faktor yang berpengaruh pada penyakit kesehatan gigi dan mulut, program preventif yang sesuai dan dapat diterapkan dengan demografi, kebudayaan dan sistem yang ada di Indonesia serta mampu menyentuh ke berbagai lapisan masyarakat terutama masyarakat kelas bawah. Daftar pustaka: 1. A Kumar, M virdi, K Veeresha, V Bansal. Oral health status & treatment needs of rural population of Ambala, Haryana, India. The Internet Journal of Epidemiology. 2009 Volume 8 Number 2. 2. Egri M, Gunay O. Association between some educational indicators an dental caries experience of 12 year old children in developing countries : an ecological approach. Community Dent Health 2004. Sep,21(3):227-9. 3. Kementerian Kesehatan RI. Litbang Dinkes. Riset kesehatan daerah 2007 4. Kementerian Kesehatan RI. Litbang Dinkes. Riset kesehatan daerah 2013 5. Khamrco TY. Assessment of periodontal disease using the CPITN index in a rural population in Ninevah. Iraq Eastern Mediterranean Health Journal 1999;5:3: 549-55 6. Kristina saldunaite et al. The role of parental education and socioeconomic statutes in dental caries prevention among Lithuania children. J.medici.2014.07.003 vol 50(3): 151161 7. P.E. Petersen. Sociobehavioral risk factors in dental caries-internaional perspective. Community Dent Oral epidemiol, Vol 33, 2005,pp. 274-279

B. Program dunia dan Asia Tenggara Target Dunia terbaru di bidang kesehatan gigi dan mulut dan program-program preventif untuk mencapainya diprakasai oleh organisasi kesehatan dunia yaitu terutama oleh WHO, FDI worl dental federation , dan IADR (International Association for Dental Research) pada tahun 2003 telah mencanangkan “Global Goals for oral Health 2020 yaitu dengan meminimalkan dampak dari penyakit mulut dan kraniofasial dengan menekankan pada upaya promotif dan mengurangi dampak penyakit sistemik yang bermanifestasi di rongga mulut dengan diagnosa dini, pencegahan dan manajemen yang efektif untuk penyakit sistemik. Disamping itu pada The Sixtieth World Health Assembly (WHA- 60) tahun 2007 disusun Resolusi WHA 60.17 tentang kesehatan gigi dan mulut yaitu: Rencana aksi promosi kesehatan dan pencegahan penyakit terintegrasi. Dimana target ini tidak lagi ditentukan kuantitas angkanya seperti pada tahun 1995 melainkan disesuaikan dengan kebijakan dan keadaan di setiap Negara atau wilayah.(kemenkes, 2012) Adapun target WHO tersebut terlampir dalam makalah tugas ini. Sedangkan target WHO sebelunya untuk tahun 2000 adalah sdibawah ini :

Gambar Target WHO untuk tahun 2000

Program pencegahan kesehatan gigi dan mulut yang di buat oleh WHO mengedepankan pentingnya pengendaliaan faktor-faktor sosio-environmental karena kesehatan gigi dan mulut merupakan penyakit multifaktorial. Bagan mengenai faktor-faktor modifikasi resiko menurut WHO ada di bawah ini. (Petersen, 2003)

Gambar Pendekatan Faktor Resiko dalam upaya Promosi Oral health

Resiko relative yang tinggi dari penyakit rongga mulut berhubungan dengan determinan sosiokultural seperti kondisi kemiskinan, pendidikan yang rendah, ikatan tradisi, keyakinan dan budaya yang mendukung kesehatan mulut. Selain juga faktor akses dan fasilitas dari sistem pelayanan kesehatan yang dapat mengkontrol penyakit mulut. Selain itu faktor perilaku juga sangat berpengaruh seperti praktek oral Hygiene sehari-hari, konsumsi gula (jumlah, frekuensi intake dan jenis), juga kebiasaan penggunaan tembakau dan konsumsi alkohol. Beberapa perilaku tersebut bahkan bukan hanya memberikan efek pada status kesehataan mulut tetapi juga berpengaruh terhadap kualitas hidup. WHO Oral Health Programme menngunakan filosofi "think globally - act locally". Pengembangan program untuk promosi oral health dalam Negara-negara target berfokus pada : 1. Identification of health determinants; mechanisms in place to improve capacity to design and implement interventions that promote oral health. 2. Implementation of community-based demonstration projects for oral health promotion, with special reference to poor and disadvantaged population groups. 3. Building capacity in planning and evaluation of national programmes for oral health promotion and evaluation of oral health promotion interventions in operation. 4. Development of methods and tools to analyse the processes and outcomes of oral health promotion interventions as part of national health programmes. 5. Establishment of networks and alliances to strengthen national and international actions for oral health promotion. Emphasis is also placed on the development of networks for exchange of experiences within the context of the WHO Mega Country Programme.

WHO menyebutkan beberapa aplikasi pencegahan penyakit mulut terutama karies dengan cara penggunaan fluoride bisa melalui ar minum, garam, susu, obat kumur atau pasta gigi, pemberian dari ahli professional, atau kombinasi pasta gigi berfluoride dengan sumber yang lain. Khususnya untuk Negara-negara berkembang, WHO menekankan pentingnya pemakaian dan pemakaian luas dari pasta gigi berfluoride.WHO juga menekankan pentingnya program kontrol diet dan nutrisi terutama konsumsi gula dan pemanis buatan. Program kontrol diet ini harus dilakukan dimulai dari fasilitas kesehatan, sekolah-sekolah, industry makanan, supermarket, dan tentunya lewat legislative (peraturan perundangan) dan kebijakan-kebijakan dengan selalu melakukan monitoring, surveilens dan penelitian. Program lainnya yaitu tentang pengontrolan tembakau terhadap penyakit mulut terutama kanker dan efek sampingnya dan penekanan program ini harus dilakukan oleh para dokter gigi sebagai oral health professional yang senantiasa berhadapan langsung dengan masyarakat di berbagai umur. Pada Negara-negara berkembang harus diimplementasikan program pencegahan kanker yang salah satu caranya dengan memperbanyak skrining dan program deteksi dini. Sedangkan dalam naskah Strategy for oral health in South East Asia 2013-2020, WHO menyebutkan bahwa prevalensi karies gigi pada anak-anak usia sekolah di Asia Tenggara mencapai 70-95%, untuk penyakit periodontal yang severe dan advance pada kelompok umur 35-44tahun prevelensinya mencapai 45% dan insidens Squamous Cell Carcinoma sebagai urutan nomer delapan kanker terbanyak di dunia di Asia Tenggara merupakan insidens tertinggi dibandingkan region WHO lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi peningkatan status kesehatan mulut yang dapat mengatasi permasalahan tersebut namun juga sesuai dengan ciri khas dari Negara-negara anggota di Asia Tenggara. Di beberapa wilayah di Asia tenggara disebutkan memiliki kadar fluoride tinggi di air minumnya, di daerah ini insindens dan prevalensi fluorosis justru meningkat dan berbagai gejala fluorosis ditemukan sesuai dengan exposure dan individual intake. Kebijakan kesehatan masyarakat tentunya harus melakukan pengukuran dan mapping kadar fluor disetiap are di negaranya, dan kemudia melakuka defluoridasi untuk wilayah yang kadar fluornya tinggi. Berdasarkan konferensi Oral Health through Fluoride for China and Southeast Asia, jointly convened by WHO, FDI, IADR and the Chinese Stomatological Association in 2007, konsesus final memformulasikan di the Beijing Declaration bahwa “fluoride toothpaste remains the most widespread and significant form of fluoride used globally and the most rigorously evaluated vehicle for fluoride use. […] Fluoride toothpaste is safe to use irrespective of low, normal or high fluoride exposure from other sources.” Artinya untuk wilayah asia pemakaian pasta gigi berfluoride diutamakan dan menjadi tanggug jawab pemerintah untuk mensosialisasikan manfaat dan pemakaiannya pada warga negaranya. Dalam naskah ini juga disarankan perlunya menambah jumlah dan menyebarkan tenaga kesehatan gigi di wilayah-wilayah perkotaan dan pedesaan dalam Negara dan harus menjadikan hal ini sebagai rencana kesehatan nasional. Peningkatan jumlah tenaga kesehatan

gigi baik dokter gigi maupun perawat gigi juga harus disertai dengan pelatihan-pelatihan yang berkesinambungan dan terintegrasi oleh pemerintah atau organisasi yang terkait. Program lainnya yaitu memasukkan program promosi dan pencegahan di sekolah-sekolah seperti lewat kurikulum dan pola-pola kebiasaan sehat, contoh program ini telah diterapkan di Negara Filipina melalui program fit for school dimana siswa setiap hari diminta mencuci tangan bersama dan sikat gigi bersama, program-program I sekolah ini harus terintegrasi dengan sistem pusat kesehatan masyarakat yang ada agar lebih efektif dan efisien, selain itu sekolah juga harus menyediakan lingkungan yang sehat dan bersih untuk mencerminkan dari pelaksanaan sistem kesehatan yang utuh. Jika melihat program-program pencegahan yang ada di Negara-negara asia tenggara memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing. Singapura adalah Negara asia tenggara pertama yang menerapkan sistem water fluoridasi sejak tahun 1960-an dan sudah 100% wilayahnya terpenuhi, hal ini tentunya dikarenakan Singapura termasuk Negara maju dengan sistem perekonomian yang kuat dan luas Negara yang terbatas, sehingga menggunakan water fluoridation merupakan pilihan tepat, negara lainnya yang telah menggunakan 100% water fluoridation adalah Brunei Darussalam. Berbeda halnya dengan Malaysia yang menerapkan fluoridasi air minum sejak tahun 1972 dan sudah 50% wilayahnya mendapatkan fluoridasi air, Vietnam sudah menerapkan 20% wilayahnya sedangkan Thailand sejak tahun 1992 sudah menerapkan milk fluoridation . Filipina tidak menggunakan water fluoridation karena banyak wilayahnya yang memiliki kadar fluor yang tinggi sehingga negara ini menggunakan metode yang berbeda yaitu masih menggunakan pasta gigi berfluoride seperti halnya di Indonesia, namun pemerintah Philipina sedang merencanakan program fluoridasi air minum untuk kedepannya.

Gambar Tabel status karies gigi Negara Asean.

Daftar Pustaka : 1. World Health Organization. Global Oral Health Data Bank. Geneva: World Health Organization, 2002. 2. World Health Organization. WHO Oral Health Country/Area Profile. (Available from the Internet on the Internet from: http://www.whocollab.od.mah.se/index.html). 3. Poul Erick Petersen, World Health Organization. 2003. The world Oral Health Report : Continuous improvement of oral health in the 21st century- the approach of the WHO Global Oral Health Programme) 4. www.fluoridealert.org 5. Oral health division, Ministry of Health Malaysia. www.ohd.moh.gov.my 6. Departemen of Health of Ministry of public health Thailand. www.eng.anamai.moph.go.th 7. Departemen of health Philippines. www.doh.gov.ph

C. Program Kesehatan Gigi dan Mulut Pemerintah Indonesia Berdasarkan data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 skor DMFT mencapai rata-rata 5,26 dengan Performance treatment index (PTI) yang menunjukkan tingkat perawatan gigi yang mengalami karies gigi pada kelompok umur 12-18 tahun terlihat sangat rendah yaitu hanya mencapai sekitar 4-5% sedangkan secara keseluruhan kasus yang memerlukan penumpatan dan atau pencabutan pada usia ini sebesar 72,4%-82,5%. Sedangkan dari data Risksesdas 2007 memperlihatkan komponen D (decay atau lubang) 1,41,7; komponen M (Missing atau hilang karena karies) 3,2-3,8; dan komponen F (Filling atau Tumpatan) 0,2-0,1. Ini berarti bahwa gigi karies yang seharusnya ditumpat jauh lebih kecil yaitu rata-rata 0,2 gigi di kota dan rata-rata 0,1 gigi dipedesaan. Sebaliknya, gigi yang mengalami karies rata-rata 3,2 dan 3,8 gigi untuk kota dan desa, dan bila dibiarkan tanpa adanya perawatan akan berdampak pada terjadinya infeksi pulpa dan infeksi dentoalveolar yang menyebabkan gigi kehilangan gigi dalam keadaan gangrene radiks yang masih tertinggal di dalam mulut maupun yang sudah di ekstraksi yaitu rat-rata 3,2-3,8 gigi. Skor rata-rata komponen D (Decay) yang belum dirawat adalah 1,4 dan 1,7 untuk kota dan desa, serta berpotensi untuk menjadi komponen M atau Missing. Ini berarti effective demand sangat rendah (6,9%) dan kesejangan antara need (kebutuhan) dan demand ini terjadi pada semua golongan umur. Sangat tingginya komponen M menandakan terlambat penanganan. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa sebagian besar kasus karies gigi belum memeproleh perawatan dan dapat diasumsikan adanya kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan perawatan yang berhasil diperoleh. Hal ini dapat disimpulkan bahwa upaya pelayanan kesehatan gigi di Indonesia belum efektif dalam menanggulangi masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia.(Rini Zaura, 2009) Selama ini upaya kesehatan gigi dikenal sebagai upaya yang mahal namun efektivitasnya dalam menurunkan masalah kesehatan gigi di masyarakat masih diragukan. Berbeda dengan upaya pencegahan penyakit gigi dan mulut yang murah dan relative mudah. Penyakit gigi

dan mulut bila dibiarkan akan menjadi mahal dan merupakan salah satu penyakit yang paling mahal untuk dirawat dan disembuhkan yang kemudian akan menjadi beban Negara dalam biang ekonomi. (kandelman, 2012) Oleh karena itu upaya penanggulangan dan pencegahan semakin penting untuk dilakukan dengan efektif dan efeisien mengingat Indonesia merupakan Negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar namun finansialnya terbatas. Di Indonesia, pelayanan kesehatan gigi dan mulut belum merata dan belum sepenuhnya dapat diakses oleh sebagian besar penduduk terutama di daerah terpencil. Departemen Kesehatan dalam Dokumen Kebijakan Nasonal Kesehatan Gigi dan Mulut 2010-2025 menjelaskan bahwa, pada kurun waktu 2000-2009 terjadi struktur pengorganisasian upaya kesehatan gigi mulut yang tidak jelas yang menyebabkan perencanaan program pelayanan kesehatan gigi tidak tercantum pada strategi nasional departemen kesehatan. hal ini tentunya berdampak pada tidak adanya catatan masalah kesehatan gigi di Indonesia sehingga keadaan kesehatan gigi di Indonesia belum dapat digambarkan secara utuh, sehingga yang dilaporkan pada dokumen profil Kesehtan Indonesia 2007 hanya satu variable yaitu prosentase penduduk yang mengeluh sakit gigi sebesar 5,9% sebagai rata-rata Nasional. Hal ini memperlihatka...


Similar Free PDFs