Prosesi Ruang Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur Karangasem Bali PDF

Title Prosesi Ruang Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur Karangasem Bali
Pages 11
File Size 633.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 210
Total Views 825

Summary

Prosesi Ruang Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur Karangasem Bali Maulana Reddy Firmansyah, Antariksa , Abraham Mohammad Ridjal Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Jalan MT. Haryono 167 Malang 65145, Indonesia Email: [email protected] ABSTRAK Pura merupakan bangunan suci...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Prosesi Ruang Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur Karangasem Bali Antariksa Sudikno

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

BANT UYUNG DRAFT 1(9.9.18) ida bagus bajra

EKSIST ENSI PURA PALUANG (PURA MOBIL) DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT HINDU.doc PUT U SOMIART HA APBUD 1anas iwans

Prosesi Ruang Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur Karangasem Bali Maulana Reddy Firmansyah, Antariksa , Abraham Mohammad Ridjal Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Jalan MT. Haryono 167 Malang 65145, Indonesia Email: [email protected] ABSTRAK Pura merupakan bangunan suci umat Hindu yang sarat akan filosofi dalam tiap aspek pembentuk ruangnya. Berbagai ajaran konsep umat Hindu secara kompleks dapat ditemukan pada berbagai elemen arsitektur Pura, baik dalam pola ruang, ragam hias bangunan, hingga konstruksi. Salah satu konsep Hindu yang diterapkan pada bangunan pura adalah konsep susunan kosmos Tri Loka/Tri Angga. Konsep tersebut membagi halaman pura menjadi tiga bagian dengan nilai sakral pada masing-masing halaman berjenjang. Hierarki ruang tersebut mencerminkan perjalanan hidup manusia yang sedang mendekatkan diri kepada Sang Pencipta sebagai pengamalan nilai Parhyangan dalam Tri Hita Karana. Sebagai pewadah aktivitas ritual untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi Wasa, Pura ditata sedemikian rupa dengan urutan-urutan pencapaian ruang (prosesi ruang) berdasarkan hirarki ruang untuk menunjang aktivitas sembahyang baik secara fisik maupun spiritual. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis elemen pembentuk prosesi ruang pura yang terjadi pada Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil studi sitemukan berupa penjabaran elemenelemen pembatas serta penanda prosesi ruang secara fisik dan metafisik. Kata kunci: Prosesi ruang, hirarki ruang, Pura Lempuyang, Arsitektur Tradisional Bali.

ABSTRACT Pura is the sacred place for Hinduism which is full of philosophies in every spatial aspects. Various conceptual teaching of Hinduism complexically can be found in various elements of Pura architecture, from spatial patterns, building ornaments, to construction. One of the Hinduism concept which is used in Pura is Tri Loka/Tri Angga cosmic composition concept. Tri Angga divides Pura's yard into three parts with sacred value in every yard's stages. That spacial hierarchy reflects life journey of the human who is bringing himself closer to The Creator as a form of act of Parhyangan value in Tri Hita Karana. As the place of ritual activity to bring closer to Sang Hyang Widi Wasa, Pura is arranged in such a way with space attainment sequences based on spacial hierarchy to support praying activity physically or spiritually. This research is purposed to analyze the element of the formation of Pura's procession which occurs on Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur. Research methods used in this study is descriptive-qualitative methods. Research findings are in the form of explaination about separator elements and signage of spacial procession physically and metaphysically. Keywords: Space procession, space hierarchy, Pura Lempuyang, Bali traditional architecture.

a r s i t e kt ur e - J ou r n a l , Vo l ume 9 No mor 2 , Nov e mb e r 201 6

1

Pendahuluan Pura merupakan bangunan suci umat Hindu yang mewadahi aktivitas sembahyang sebagai aktivitas utama dan sosialisasi sebagai aktivitas penunjang. Sebagai bangunan suci, Pura merupakan penerapan berbagai konsep-konsep ajaran umat Hindu yang tersusun secara kompleks di dalamnya. Konsep-konsep tersebut saling terkait satu sama lain hingga membentuk bentukan pura seperti yang saat ini kita kenal, terdiri dari beberapa massa, semi terbuka, dan berundak. Konsep dasar pembentuk ruang bangunan pura tersebut antara lain adalah, Tri Loka/Tri Angga dan Tri Hita Karana. Tri Loka/Tri Angga dan Tri Hita Karana membagi bangunan pura menjadi tiga bagian halaman, yaitu Jaba Sisi, Jaba Tengah dan Jeroan Pura. Penataan ketiga area halaman pura ini tidak dilakukan secara sembarangan namun memiliki aturan dan norma yang harus dipatuhi dengan pertimbangan filosofi nilai sakral suatu ruang. Urutan pencapaian ruang menuju area dalam pura menjadi penting dalam penyusunan tiap bangunan dalam pura agar nilai sakral area sembahyang tetap terjaga. Urutan pencapaian ruang inilah yang disebut dengan prosesi ruang. Pulau Bali memiliki tiga pura yang dianggap paling sakral oleh masyarakat Hindu setempat, yaitu Pura Lempuyang, Pura Besakih, dan Pura Ulun Danu. Ketiga pura tersebut dianggap sakral karena kemunculannya dalam berbagai kitab kuna umat Hindu (pustaka kuno Babad Pasek, Lontar Kutarakanda Dewapurana Bangsul dan lain-lain) yang menceritakan mengenai kedatangan Bhetara Tiga ke Bali. Kedatangan Bhetara Tiga (Bhetara Hyang Putranjaya, Bhetari Hyang Dewi Danuh, dan Bhetara Hyang Gnijaya) ke Bali merupakan utusan dari Hyang Pasupati agar ketiga Bhetara menjaga ketentraman masyarakat Bali dengan memberi tugas yang berbeda-beda kepada tiap Bhetara. Bhetara Putranjaya mengemban tugas mengatur masyarakat (pemerintahan), Bhetari Dewi Danuh mengemban tugas menjaga kemakmuran, dan Bhetara Gnijaya mengemban tugas kependetaan. Hyang Pasupati kemudian memberikan masing-masing Bhetara sebuah stana yang terletak di tiga lokasi berbeda, Bhetara Hyang Putranjaya berstanakan Gunung Agung, Bhetari Hyang Dewi Danuh berstanakan di Gunung Batur, dan Bhetara Hyang Gnijaya berstanakan di Gunung Lempuyang. Sebagai penghormatan terhadap tiga Bhetara maka ditiap Gunung dibangunlah masing-masing sebuah pura, salah satunya adalah Pura Lempuyang Luhur sebagai stana Bhetara Hyang Gnijaya. Pura Lempuyang Luhur terletak di puncak Gunung Lempuyang dengan dilengkapi oleh tiga pura yang membentuk satu rangkaian prosesi berdasarkan aktivitas ritual pemedek mulai dari masuci hingga berakhir sembahyang di Pura Lempuyang Luhur. Salah satu dari tiga pura tersebut adalah Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur yang memrupakan pura terbesar dari ketiga pura lainnya. Pura ini digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara besar yang tidak bisa dilakukan di Pura Lempuyang Luhur (puncak) karena kendala daya tampung pengunjung Pura Lempuyang yang kurang. Sebagai pura paling besar dari ketiga pura lainnya maka Pura Penataran Agung dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang sembahyang yang lebih lengkap daripada ketiga pura lainnya. Sebagai bangunan suci yang sarat akan makna dan filosofi Hindu, salah satu unsur penting yang perlu ditinjau dalam bangunan Pura terkait dengan nilai sakral ruang pura adalah prosesi. Menurut Ngoerah (1975), teknik bangun dalam bangunan tradisional dapat dilihat dari beberapa bidang analisis salah satu di antaranya adalah Prosesi Ruang. Prosesi ruang khususnya pada bangunan Pura adalah aturan pencapaian dari luar pura menuju ke area dalam pura, dimulai dengan memasuki area Nista, menuju ke Madya dan berujung di Utama. Permasalahan yang muncul dari latar belakang di atas adalah, bagaimana elemen pembentuk prosesi ruang pada Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur, sehingga muncul tujuan studi ini, yaitu untuk menganalisis elemen pembentuk prosesi ruang pada Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur. Pemilihan lokasi studi mempertimbangkan

2

a r s i t e k t u r e - J o ur n a l , Vo l ume 9 No mo r 2, Nov e mb e r 201 6

latar belakang sejarah dan tingkat kepentingan pura bagi umat Hindu Bali serta kelengkapan fasilitas bangunan pura. Metode Penelitian Studi ini menggunakan metode kualitatif. Dari ketiga model desain studi (Koentjaraningrat, 1993:89), studi ini menggunakan desain deskriptif, yaitu studi yang memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu tentang keadaan dan gejala yang terjadi. Metode deskriptif kualitatif berguna untuk menggali dan menjabarkan karakteristik pola ruang dengan konsep susunan kosmos Tri Angga dan Tri Hita Karana yang terjadi pada pura kahyangan di Jawa Timur dan Bali. Dengan objek pura yang diteliti Pura Luhur Poten (Jawa Timur), Pura Luhur Giri Arjuno (Jawa Timur) dan Pura Lempuyang (Bali). Kemudian hasil analisis tersebut diolah kembali menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menganalisis peyandingan pola ruang yang muncul pada masing-masing objek studi.

Hasil dan Pembahasan Komposisi dan zonasi bangunan Pura Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur terdiri dari tiga halaman utama yang masing-masing dibatasi oleh perbedaan ketinggian lantai setinggi ± enam meter. Tiga halaman pura tersebut adalah Jaba Sisi, Jaba Tengah dan Jeroan. Ketiga halaman pura tersusun secara linier dengan lebar yang sama disusun ke arah Timur secara runtut dari Jaba Sisi menuju Jeroan. Area Jaba Tengah dan Jeroan dikelilingi oleh pagar yang disebut pagar penyengker, sedangkan area Jaba Sisi tidak ditutupi oleh pagar penyengker (terbuka). (Gambar 1)

Gambar 1. Pembagian tiga halaman Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur.

Masing-masing halaman pura memiliki fungsi tersendiri. Jaba Sisi merupkan halaman pura paling depan pura yang dibangun tanpa pagar penyengker dan bangunan didalamnya. Jaba Tengah berada di sisi Timur Jaba Sisi, di dalamnya terdapat beberapa bale dan Gedong, yaitu Bale Gong, Bale Wantila, Bale Kulkul, Gedong Pengapit dan Candi Bentar. Fungsi dari Jaba Tengah sendiri merupakan area persiapan upacara dan

a r s i t e kt ur e - J ou r n a l , Vo l ume 9 No mor 2 , Nov e mb e r 201 6

3

area bersosialisasi pemedek dan panitia pura. Jeroan Pura terletak di sisi Timur Jaba Tengah, di dalamnya terdapat bangunan Bale Pawedan, Bale Gegitan, Bale Pemias, Bale Piyasan, dan jajaran Pelinggih. Fungsi area Jeroan adalah sebagai area utama Pura yang menampung aktivitas sembahyang. Perbedaan fungsi masing-masing halaman pura yang ditandai dengan aktivitas serta jenis/jumlah pelaku aktivitas dalam bangunan menyebabkan terbentuknya zonasi publik-privat pada tiap halaman pura. Jaba Sisi merupakan area terdepan pura yang berhubungan langsung dengan area luar pura dengan pengguna ruang yang tidak dibatasi, sehingga area Jaba Sisi termasuk dalam zonasi publik. Jaba Tengah terletak diantara Jaba Sisi dan Jeroan dengan Jaba Tengah merupakan tempat dilakukannya persiapan upacara di area Jeroan. Sebagai penampung aktivitas persiapan sebelum sembahyang maka area Jaba Sisi termasuk dalam zonasi semipublik. Jeroan Pura merupakan area paling sakral pura dan di dalamnya terdapat pelinggih. Pengguna Jeroan pura dibatasi jumlahnya sehingga pemedek perlu bergantian memasuki area ini demi kelancaran jalannya sembahyang di dalam area Jeroan. Dalam area ini juga ditemukan Pelinggih yang diletakkan pada podium yang lebih tinggi dari area lainnya dalam Jeroan pura, dalam area tersebut tidak sembarang orang boleh menaikinya (khusus pemedek/Rsi/panitia pura yang berkepentingan). Oleh karena perbedaan fungsi kedua area (area sembahyang dan area Pelinggih), maka dalam Jeroan pura terdapat dua zonasi, yaitu zonasi semipublik (area sembahyang) dan zonasi priat (area Pelinggih). (Gambar 2)

Gambar 2. Zonasi ruang Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur.

Prosesi dan Hierarki Pura Masing-masing zonasi dalam pura memiliki nilai sakralnya tersendiri. Nilai sakral dibangun oleh aktivitas yang dilakukan dalam zonasi tersebut dalam kaitannya dengan proses ritual sembahyang. Area-area yang sakral (atau lebih sakral dari area sebelumnya) umumnya diberi penanda yang memiliki nilai sakral juga. Penanda-penanda inilah salah satu pembentuk hierarki ruang pura.

4

a r s i t e k t u r e - J o ur n a l , Vo l ume 9 No mo r 2, Nov e mb e r 201 6

Sebagai bagian dari pura, Jaba Sisi memiliki nilai sakral pura yang lebih tinggi daripada lingkungan sekitarya sehingga perlu dibatasi area dalamnya dengan area luar pura. Area Jaba Sisi pada Pura Penataran Agung dibatasi oleh perbedaan ketinggian lantai setinggi lima meter. Pintu masuk menuju area Jaba Sisi hanya satu, yaitu berupa anak tangga yang tidak diapit oleh bangunan-bangunan suci (contoh: Candi Bentar dan patung Dwarapala). Jaba Sisi tidak dikelilingi oleh pagar penyengker untuk membatasi area dalamnya dengan area luar pura, namun terdapat pagar penyengker yang membatasi area Jaba Sisi dengan area Jaba Tengah. Nilai sakral ruang Jaba Sisi ditandai dengan perbedaan ketinggian lantai saja. (Gambar 3)

Gambar 3. Pembatas ruang sakral Jaba Sisi.

Jaba Tengah terletak lebih tinggi daripada area Jaba Sisi. Fungsinya sebagai area yang menampung aktivitas persiapan sembahyang pura menjadikan nilai sakral area ini lebih tinggi daripada area Jaba Sisi. Peningkatan nilai sakral dari Jaba Sisi menuju Jaba Tengah ini ditandai secara fisik oleh keberadaan beberapa bangunan yang membatasi area Jaba Sisi dan Jaba Tengah. Pembatas di antara kedua area adalah perbedaan ketinggian lantai, pagar penyengker dan pintu masuk berupa Candi Bentar. Candi Bentar mengandung makna dalam wujudnya, yaitu sebagai sambutan selamat datang kepada pemedek yang digambarkan dalam siluet bentuk Candi Bentar yang menyerupai bentuk posisi tangan Anjali Mudra. Candi Bentar dilengkapi oleh dua patung Dwarapala yang dipercaya sebagai penjaga area sakral pura (area yang lebih sakral dari area sebelumnya, yaitu area Jaba Sisi). Patung Dwarapala ini juga dilingkari dengan kain yang menandakan bahwa patung Dwarapala yang mengapit sirkulasi masuk pemedek ini merupakan bangunan sakral. Pembatasan ruang yang diakibatkan oleh keberadaan sepasang patung Dwarapala ini berbeda dengan pembatasa ruang yang diakibatkan oleh pembangunan pagar penyengker, ‘enclosure’ ruang Jaba Tengah oleh Dwarapala bersifat nonfisik dengan tidak memberi barrier sevara fisik antara kedua halaman. Jenis pembatasan ruang ini tertera dalam Ashihara (1974) yang menyebutkan jenis pembatasan ruang dengan pilar memiliki kesan ‘enclosure’ ruang yang lemah. Oleh sebab itu pembatasan area Jaba Tengah diperkuat oleh pembangunan Pagar Penyengker. (Gambar 4)

a r s i t e kt ur e - J ou r n a l , Vo l ume 9 No mor 2 , Nov e mb e r 201 6

5

Gambar 4. Pembatas ruang sakral Jaba Tengah Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur.

Jeroan Pura merupakan halaman paling sakral di antara dua halaman pura lainnya. Letak Jeroan pura berada di ketinggian paling tinggi dengan pintu masuk berupa Candi Gelung. Sebagai halaman paling sakral, Jeroan memiliki beberapa ‘lapisan’ pembatas antaralain Gedong Pengapit, Patung Naga Basuki dan Anantaboga, Dwarapala, Candi Gelung, Pagar Penyengker dan perbedaan ketinggian lantai. Alasan adanya beberapa lapisan pembatas area ini adalah untuk mempertegas perbedaan nilai sakral antara area Jeroan dengan area Jaba Tengah dan area jeroan dengan area Jaba Sisi. Pembatas lapisan pertama yang ditemukan Pemedek ketika hendak memasuki area Jeroan adalah bangunan Gedong Pengapit. Gedong Pengapit berfungsi sebagai bangunan suci tempat meletakkan canang sari yang dipersembahkan untuk penjagapenjaga area sakral pura (Jeroan) yaitu Dwarapala, sehingga peletakannya berada di depan patung Dwarapala dan patung penjaga area sakral pura lainnya. Gedong Pengapit hanya mengapit pintu tengah Candi Gelung, karena pintu tengah digunakan sebagai pintu masuk benda-benda pusaka yang digunakan sebagai media komunikasi dalam sembahyang. Hal ini menyebabkan pintu tengah memiliki hierarki yang lebih tinggi dari kedua pintu lainnya. (Gambar 5)

Gedong Pengapit berfungsi sebagai tempat peletakan Canang Sari untuk para penjaga pura. bangunan menghadap ke arah Teben namun ritual peletakan Canang Sanri dalam Gedong dilakukan kearah ‘Penjaga Pura’ atau Hulu

Gambar 5. Gedong Pengapit Jaba Tengah-Jeroan.

Lapisan kedua terdapat Naga Anantaboga-Basuki dan deretan patung Panca Pandawa. Penyusunan patung Panca Pandawa ini memiliki makna tersendiri, yaitu perjalanan manusia dalam mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widi, dimulai dari patung Sahadewa sebagai simbol keramahan, kemudian patung Nakula sebagai simbol hati yang baik, patung Arjuna sebagai simbol kecerdasan, dilanjutkan patung Bima sebagai simbol kekuatan, Patung Yudistira sebagai simbol kepemimpinan yang bijak, dan terakhir patung Krisna sebagai reinkarnasi Dewa Wisnu. Peletakan patung yang sesuai

6

a r s i t e k t u r e - J o ur n a l , Vo l ume 9 No mo r 2, Nov e mb e r 201 6

urutan ini secara psikis memberikan penegasan terhadap perbedaan jenjang pada tiap area di belakang masing-masing arca. (Gambar 6)

Gambar 6. Arca Panca Pandawa Jaba Tengah-Jeroan.

Lapisan ketiga adalah Dwarapala yang menjaga area Jeroan termasuk pintu masuk Candi Gelung. Dwarapala yang ditemukan di Candi Gelung merupakan Dwarapala yang sama seperti yang ditemukan di Candi Bentar. Namun nilai sakral Jeroan dibandingkan dengan Jaba Tengah jika dilihat dari peletakan Dwarapalanya memiliki nilai sakral yang lebih tinggi. Karena untuk memasuki area Jeroan pemedek perlu melewati sepasang Dwarapala sebanyak dua kali, sedangkan untuk memasuki area Jaba Tengah hanya cukup sekali. Lapisan terakhir adalah Candi Gelung dan Pagar Penyengker. Candi Gelung terdiri dari tiga pintu yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, yaitu pintu Utara sebagai pintu masuk, pintu tengah sebagai pintu masuk benda pusaka dan sarana sembahyang lainnya, pintu Selatan sebagai pintu keluar area Jeroan. Perbedaan fungsi masing-masing pintu ini menyebabkan bentuk sirkulasi memutar searah jarum jam pada area Jeroan. Bentuk sirkulasi sembahyang yang memutar searah jarum jam ini sering juga ditemukan dalam berbagai bangunan suci umat Hindu pada lokasi dan jaman yang berbeda (kuil, candi, dan lain sebagainya). (Gambar 7)

a r s i t e kt ur e - J ou r n a l , Vo l ume 9 No mor 2 , Nov e mb e r 201 6

7

Gambar 7. Candi Gelung pintu masuk Jeroan Pura.

Area Pelinggih memiliki kedudukan paling tinggi di antara area lainnya walaupun masuk ke dalam halaman Jeroan pura. Area Pelinggih merupakan area diletakkannya bangunan-bangunan suci sebagai sarana komunikasi Pemedek dengan Sang Hyang Widi dan para leluhur. Untuk menghormati bangunan-bangunan suci tersebut kemudian dibangun podium setinggi satu meter yang membatasi area sembahyang dan area Pelinggih. Selain itu tidak sembarang orang boleh memasuki area Pelinggih ini. Untuk memasuki area pelinggih terdapat anak tangga yang diapit oleh dua patung naga sepanjang anak tangganya, yaitu patung naga Anantaboga dan Basuki. (Gambar 8)

8

a r s i t e k t u r e - J o ur n a l , Vo l ume 9 No mo r 2, Nov e mb e r 201 6

Gambar 8. Bangunan pelengkap prosesi ruang Pura Penataran Agung Lempuyang Luhur.

Kesimpulan Kesimpulan dari prosesi dan hierarki pura ini adalah bahwa prosesi dan hierarki halaman pura dapat ditandai oleh beberapa hal antara lain posisi level lantai masingmasing area (area dengan nilai sakral rendah berada di posisi lebih rendah). Peletakan patung Dwarapala dan Gedong Pengapit, serta jenis pintu masuk menuju area pura (Candi Bentar atau Candi Gelung). Area Jeroan pura merupakan area paling sakral sehingga level ketinggian lantainya paling tinggi dibanding kedua area lainnya. Selain itu dilengkapi dengan penjaga-penjaga pura yang ‘bertumpuk’ dihitung dari area luar pura menuju gerbang depan area Jeroan Pura. Pembatas area sakral dalam halaman pura dapat berupa dua jenis pembatas, yaitu pembatas fisik dan pembatas nonfisik. Pembatas fisik merupakan pembatas halaman pura yang menghalangi pandangan dan menghalangi sirkulasi secara fisik sehingga pengguna ruang tidak dapat melewati area tersebut. Pembatas fisik tersebut adalah perbedaan ketinggian lantai dan pagar penyengker. Pembatas nonfisik merupakan

a r s i t e kt ur e - J ou r n a l , Vo l ume 9 No mor 2 , Nov e mb e r 201 6

9

pembatas ruang sakral yang tidak menghalangi atau membarikade area sakral secara fisik melainkan secara metafisik melalui pemaknaan peletakan bangunan-bangunan suci terhadap bangunan lainnya. Pembatas nonfisik pura Penataran Agung Lempuyang Luhur ini antara lain patung Dwarapala, Gedong Pengapit, Arca Panca Pandawa, ...


Similar Free PDFs