Relevansi Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pendidikan Damai dalam Membangun Warganegara Demokratis di Sekolah PDF

Title Relevansi Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pendidikan Damai dalam Membangun Warganegara Demokratis di Sekolah
Author Candra Cuga
Pages 17
File Size 351.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 166
Total Views 588

Summary

Relevansi Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pendidikan Damai dalam membangun Warganegara Demokratis di Sekolah Candra Cuga1 Abstrak Relevansi pendidikan damaia (peace education) dengan pendidikan kewarganeraraan (civic education) ditinjau dari sisi urgensinya, yaitu keduanya memiliki komitmen dalam ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Relevansi Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pendidikan Damai dalam Membangun Warganegara Demokratis di Sekolah candra cuga

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Penerapan Pendidikan Perdamaian pada Pembelajaran PKN sebagai Pencegah Kekerasan t er… fauzan ashikin Bahan makalah konsep dasar ppkn nur hidayah Isi%20Laporan%20Tahunan%20St ranas%202013.pdf iwan ihsan

Relevansi Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pendidikan Damai dalam membangun Warganegara Demokratis di Sekolah Candra Cuga1 Abstrak Relevansi pendidikan damaia (peace education) dengan pendidikan kewarganeraraan (civic education) ditinjau dari sisi urgensinya, yaitu keduanya memiliki komitmen dalam menyiapkan peserta didik menjadi warga negara yang (good and smart citizen) yang nantinya berperan sebagai agen perdamaiaan dimuka bumi dengan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Sementara secara konseptual, relevansi pendidikan damai dengan pendidikan kewarganegaraan, ditinjau dari dimensi tujuan, dimensi kurikulum, dimensi materi, dan dimensi pembelajaran, keduanya sama-sama memiliki hubungan yang berkesinambungan,yaitu menumbuhkan sikap mencegah kekerasan, menyelesaikan konflik secara damai, dan memajukan kondisi yang kondusif untuk terwujudnya perdamaiaan yang pada gilirannya membentuk warga negara demokratis. A. Urgensi Pendidikan Damai (Peace Education) Dalam masyarakat Indonesia, konflik yang berbau kekerasan menjadi sebuah fenomena yang akrab dijumpai oleh masayarakat. Kekerasan menjadi sebuah keniscayaan yang secara sadar atau tidak akan selalu menggerayangi dan mengahantui masyarakat. Kekerasan ada di sekitar rumah, lingkungan sekitar bahhkan di berbegai tempat, termasuk dalam lingkungan pendidikan Fenomena kekerasan di masyarakat terus bergulir meski UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2003 telah dilahirkan dan kata damai dan aman juga terus membanjir dari pendidik, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah. Dalam praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa. (Ariyani, F, dkk. 2010). Itu berarti anak-anak dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari perilaku dan tindakan kekerasaan. Dalam kontek ini adalah kekerasan yang terjadi pada peserta didik di sekolah.

1

Candra C adalah Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo, Email: [email protected]

610

Tumpubolon dkk, dan atas kesepakatan dengan UNICEF (The United Nations Children’s Fund), melakukan screening sheet untuk mengetahui apakah seseorang peserta didik pernah menerima perlakukan kekerasan dari orangtua atau gurunya. Dalam screening sheet tersebut terindentifikasi

36 tindakan yang tergolong

kekerasan pada anak, yaitu (1) dipukul/disabet; (2) dilempar dengan buku, penghapus, kapur, dll; (3) dicubit; (4) dijabak; (5) ditampar; (6) dijewer; (7) ditendang; (8) dicambuk; (9) diikat; (10) disiram air; (11) didorong; (12) dibanting; (13) dikurung di kamar mandi; (14) dicekik; (15) diinjak; (16) dijemur; (17) disuruh berdiri di depan kelas; (18) dibotakin kelapa; (19) disuruh lari; (20) diminta push up; (21) disuruh kerja (mengepel, dll); (22) dicolek; (23) dicium paksa; (24) dipeluk paksa; (25) paha dielus; (26) dada diraba; (27) disingkap roknya; (28) alat kelamin diraba/disentuh/dipegang; (29) dimarahi/diomelin; (30) dimaki/dicela; (31) dihina; (32) diusir; (33) diejek; (34) dibentak/digertak; (35) diancam; (36) disumpah. (Rianto, A. 2009: 249). Jika dikaji secara teoritis kekerasan tersebut mencakup kekerasan simbolik, kekerasan psikologis dan kekerasan fisik. Berdasar dengan data tersebut, kekerasan yang terjadi di sekolah merupakan sebuah fenomena dimana selama ini kita beranggapan lembaga pendidikan adalah tempat untuk mencetak individu-individu yang memiliki moral dan mandiri di masa depan. Situasi kekerasan itu dapat tergambar dengan jelas, dimana tidak ada permasalahan ketika seorang guru menghukum peserta didiknya dengan cara memukul, mencubit, menampar. Hal ini dianggap sebagai satu proses pembelajaran untuk menegakkan disiplin di sekolah, tentu saja hal ini sangat jauh dari cita dan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Untuk mengantisipasi berulangnya kasus dan peristiwa kekerasan dalam skala yang lebih besar, diperlukan upaya prevensi, yaitu melalui pendidikan di sekolah. Pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik, dalam hal ini peserta didik, untuk mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral dan psikologis mereka. Perkembangan masyarakat modern menuntut bahwa tugas sebagian tugas pendidikan dijalankan oleh institusi yang disebut sekolah (Galtumg,J. 2003). 611

Ada beberapa asumsi dan alasasan rasional mengenai pentingnya pendidikan bagi anak-anak (peserta didik) di sekolah dalam rangka mencegah kekerasan yang terjadi pada mereka. Adapun yang mendasari gagasan tersebut diantaranya adalah ( Fountain, S. 1999: 2-3): a.

Konvensi Hak Anak (1989), Pasal 29 menyatakan: “...the education of the child shall be directed to...the preparation of the child forvresponsible life in a free society, in the spirit of understanding, peace, tolerance,vequality of sexes, and friendship among all peoples...”

b. Tahun 1990, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua mengatakan bahwa: “Every person – child, youth and adult – shall be able to benefit from educational opportunities designed to meet their basic learning needs. These needs comprise both essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values, and attitudes) required by human beings to be able to survive, to develop their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in development, to improve the quality of their lives, to make informed decisions, and to continue learning …The satisfaction of these needs empowers individuals in any society and confers upon them a responsibility to … further the cause of social justice, … to be tolerant towards social political and religious systems which differ from their own, ensuring that commonly accepted humanistic values and human rights are upheld, and to work for international peace and solidarity in an interdependent world.” c. Tahun 1990, Penelitian yang dilakukan Graça Machel tentang Dampak Konflik Bersenjata pada Anak-anak menegaskan kembali pentingnya pendidikan dalam membentuk masa depan damai : “...Both the content and the process of education should promote peace, social justice, respect for human rights and the acceptance of responsibility. Children need to learn skills of negotiation, problem solving, critical thinking and communication that will enable them to resolve conflicts without resorting to violence.” d. The UNICEF ‘Anti-War Agenda’, set out in The State of the World’s Children 1996, declares:

612

“...Disputes may be inevitable, but violence is not. To prevent continued cycles of conflict, education must seek to promote peace and tolerance, not fuel hatred and suspicion.” Berdasar pada berbagai argumentasi dan rekomendasi yang tersebut, demi kelancaran amanat pendidikan yang diemban oleh sekolah, maka kelancaran proses yang terjadi di dalam sekolah menjadi fokus perhatian banyak kalangan yang mengkaji masalah manajemen sekolah. Salah satu isu yang dibawa adalah terciptanya situasi yang kondusif bagi peserta didik

dalam mengembangkan potensi yang

dimilikinya. Pada titik tertentu, situasi yang kondusif ini menjangkau tema mengenai kedamaian di sekolah, karena kedamaian berkaitan dengan kenyamanan dalam belajar, jaminan akan keamanan dalam beraktifitas di sekolah, kehangatan dalam berinteraksi dengan orang lain serta kebebasan dalam berkreasi dan berkarya, yang menyebabkan terpenuhinya kebutuhan psikologis peserta didik di sekolah. Mengingat pentingnya masalah kedamaian di sekolah, pada tahun 2000 Majelis Umum PBB mengeluarkan mandat kepada UNESCO untuk menetapkan bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai dan tanpa kekerasan (International Decade for a Culture of Peace and NonViolence for the Children of the World).

Penetapan dekade 2001 sampai 2010

sebagai dekade budaya damai anti kekerasan tersebut merupakan kelanjutan dari program berkesinambungan yang dimulai semenjak tahun 1974 mengenai Education for International Understanding, Co-operation and Peace and Education relating to Human Rights and Fundamental Freedoms yang ditetapkan di Paris, World Plan of Action on Education for Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Montreal pada tahun 1993, Declaration and Programme of Action of the World Conference on Human Rights yang ditetapkan di Wina pada tahun 1993, Declaration and Integrated Framework of Actionon Education for Peace, Human Rights and Democracy yang ditetapkan di Paris pada tahun 1995 serta penetapan dekade the Plan of Action for the

613

United Nations Decade for Human Rights Education yang dimulai dari 1995 sampai tahun 2005 ( M. Hadjam, NR dan Widhiarso, W. 2003). Semenjak ditetapkan, berbagai macam program mulai dilakukan pada berbagai negara yang memusatkan pada pendekatan holistik yang menekankan pada metode partisipatif masyarakat terutama peserta didik di sekolah. Dimensi-dimensi yang dikembangkan pada program tersebut antara lain kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) ( M. Hadjam, NR dan Widhiarso, W. 2003). Dalam kontek tersebut, pendidikan damai (peace education) menjadi urgen dalam upaya membangun budaya perdamaian yang harus ditumbuhkembangkan sebagai kebiasaan yang baik seperti nilai, sikap saling menghormati, adanya kebebasan bagi setiap orang, adanya sikap kepedulian, saling berbagi tanpa konflik. Kemudian apabila terjadi konflik harus dicari akar permasalahan dengan memperioritaskan cara-cara yang menguntungkan bagi semua. Berkaitan dengan cara-cara yang ditempuh efektif dan efesien untuk diberlakukan, yaitu bisa melalui dialog dan negosiasi antara pihak-pihak yang mengalami konflik sebagai wujud dari upaya membangun warga negara demokratis Dalam beberapa penelitian yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli dan akademisi telah banyak disimpulkan tentang kekuatan pendidikan damai dapat menekan dan mencegah kekerasan pada sebuah tatananan masyarakat yang memiliki keberagaman sehingga berpontensi terjadi tindakan kekerasan atau konflik, termasuk dalam literatur penelitian Internasional. Menurut International Peace Research Association (IPRA), dalam konferensi yang ke-17 di Durban, Afrika Selatan, pada tanggal 23 Juni 1998, dinyatakan bahwa pendidikan damai adalah proses memberdayakan orang dengan kecakapan, sikap dan pengetahuan (skills, attitudes, and knowledge) untuk: (1) Membangun, memelihara dan memperbaiki hubungan di semua level dalam seluruh interaksi manusia (to build, maintain, and restore 614

relationships at all levels of human interaction); (2) Mengembangkan pendekatanpendekatan positif terhadap cara untuk menangani konflik, dari level personal sampai tingkat internasional; (3) Menciptakan lingkungan yang aman, baik lingkungan fisik maupun emosi yang mengayomi semua individu; (4) Menciptakan sebuah dunia yang aman berdasarkan keadilan dan hak asasi manusia; (5) Membangun sebuah lingkungan yang lestari dan menjaganya dari eksploitasi dan peperangan. (Salomon, G & Cairns, E. 2010). Studi lain yang dilakukan oleh Farida Ariyani, dkk tahun 2010, menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan damai dan hak asasi manusia (PD-HAM) efektiv mencegah kekerasan

di sekolah. Penelitian dilakukan di kota Makassar dengan

mengambil sampel beberapa sekolah dasar (SD) yang menunjukkan bahwa model PD-HAM yang dikembangkan memiliki kelayakan (feasibility), ketepatan (accuracy), dan kegunaan (utility). Atau dengan kata lain model PD-HAM ini acceptable untuk digunakan secara terintegrasi pada pelajaran PKn di sekolah dasar untuk mencegah kekrasan di sekolah (Ariyani, F, dkk. 2010). Berdasar pada kajian ilmiah dan akademik tersebut, diperlukan sebuah langkah konkrit dalam menindaklanjuti kesadaran mengenai pentingnya budaya damai dan anti kekerasan melalui wahana pendidikan damai. Hemat penulis, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan pendidikan damai melalui bidang kajian yang sudah menjadi program sosio cultural, akademik dan kurikuler secara formal dilaksanakan di Indonesia yakni melalui bidang studi/mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau Kewarganegaraan (PKn) di perguruan tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu bidang kajian dalam konteks pendidikan nasional yang memiliki peran strategis bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building) di tengah heterogenitas masyarakat Indonesia. Realitas pluralitas dan heterogenitas tesebut tergambar dalam prinsip berbhineka, tetapi integrasi dalam kesatuan. Untuk itu, PKn menemukan momentumnya menjadi

topik sentral dalam

615

membangun negara

bangsa Indonesia dengan prinsip dan nilai kedamaian sebagai salah satu visi dari PKn dalam konteks konstitusional. Sebagaimana visi PKn NKRI dalam landasan konstitusional adalah lahirnya manusia WNI dan kehidupan masyarakat bangsa NKRI, religius cerdas, demokratis dan lawful ness, damai-tentram-sejahtera, modern dan berkepribadian Indonesia. Dan Misi PKn adalah Program Pendidikan membelajarkan dan melatih anak didik secara demokratis-humanistic-fungsional (Djahiri, K. 2006:9-10). Visi dan Misi inilah yang menjadi arahan atau landasan kita dalam melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar sehingga menjadi searah dan sesuai dengan arah tujuan Cita-cita NKRI baik secara idiil, maupun konstitusional. Dengan demikian, untuk mencapai masyarakat

yang damai tidak

bisa

dibangun secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi yang bisa dilakukan dalam konteks tersebut adalah melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan

yang dimaksudkan

dalam hal ini adalah pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas (citizenship education) yang memiliki perspektif

kewarganegaraan dunia abad ke-21

yang

terkenal dengan sebutan kewarganegaraan multidimensi yang salah satu cirinya memiliki karakteristik multikultural (Cogan, 1998:116). Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dimaknai bahwa PKn memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk generasi muda sebagai warga negara yang baik. Hal tersebut senada dengan pendapat Kerr yang menyatakan bahwa: Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning) in that preparatory process atau, “citizenship or civics education (Kerr, D. 1999:17) Dari pengertian tersebut, tergambar bahwa PKn memiliki peran dalam membina warga negara Indonesia agar menjadi masyarakat yang memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai warga negara terhadap kehidupan berbangsa dan 616

bernegara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memegang perinsip Bhinneka Tungga Ika. Untuk itu, PKn memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan masyarakat yang damai yang pada gilirannya dapat membentuk warga negara demokratis.

Hal

ini

sebagaimana

tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara prinsip telah termaktub di pasal (4), di mana dijelaskan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai-nilai damai, Hak Asasi Manusia (HAM), nilai-nilai keagamaan dan kultural” (Candra, C. 2012). Berdasarkan konsepsi tersebut, pendidikan damai di Sekolah merupakan salah satu instrument dalam konteks pendidikan nasional dalam memprogramkan secara kurikuler PKn sebagai wadah dalam membina warga negara demokratis agar menjadi baik dan cerdas sehingga dapat berperan menjadi agen perdamaiaan. Dari pandangan-pandangan tersebut, cukup argumentatif bahwa pendidikan kewarganegaraan relevan sebagai kajian yang bersifat interdisipliner, multidisipliner bahkan transdisipliner. Oleh karena itu, mengkaji pendidikan kewarganegaraan dalam konteks tersebut merupakan suatu hal yang menantang, khususnya bagi penulis untuk mendalami dan menalaah secara lebih tajam mengenai peran pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan damai di sekolah yang tidak lain merupakan bagian dari komitmen akademik dan salah satu upaya untuk memperkuat jati diri dalam mewujudkan (body of knowlodge) PKn. B. Relevansi Peace Education dengan Pendidikan Kewarganegaraan untuk membentuk Warganegara Demokratis 1. Dimensi Tujuan Menerapkan Peace education di tingkat sekolah atau perguruan tinggi dimaksudkan untuk mengubah sikap individual ke arah saling menghargai perbedaan dalam keberagaman kelompok, sebagai realitas kehidupan yang harus dihadapi ( UNESCO,1998). Selain itu, peace education bertujuan untuk mendidik lebih banyak 617

ke arah terjadinya proses perubahan peserta didik dengan terlibat secara langsung di dalamnya yang tidak hanya sekadar diberikan materi saja, tetapi dipraktikkan secara langsung (Galtung, J. 1983: 281). Alasannya karena mereka yang akan merasakan secara langsung manfaatnya sebagai generasi muda pada masa yang akan datang melalui perdamaian. UNESCO memberikan batasan tujuan peace education apabila dikembangkan dalam ruang kelas yang bisa diajarkan kepada peserta didik, peace education aims to develop skills, attitudes, and knowledge With cooperative and participatory learning methods and an environment of tolerance, care, and resfect. Through dialogue and exploration, teachers and students engage in a journey of shared learning. Tuiuan peace

education

menurut

UNESCO

lebih

mengarah

pada

pengembangan

keterampilan, sikap, dan pengetahuan yang orientasinya pada kerja sama, metode pembelajaran partisipasi dengan lingkungan yang di dalamnya ada toleransi, kepedulian, saling menghormati, ada Tanya jawab eksplorasi, dan keterlibatan guru maupun para peseta didik dari pengalaman yang dibagi bersama. Sementara UNICEF memberikan pernyataan tentang tujuan peace education sebagai berikut, Peace education is an essential component of quality basic education that aims to build the knowledge, skills, attitudes, and values that will enable young People to Prevent violence, resolve conflict peacefully, and promote social conditions conductive to peace and justice. Peace education adalah komponen penting penentu dasar mutu pendidikan yang bertujuan untuk membangun pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang akan memungkinkan peserta didik untuk mencegah kekerasan, menyelesaikan konfik secara damai, dan memajukan kondisi yang kondusif untuk perdamaian dan keadilan (Fountain, S. 1999). Jadi, tujuan penting diberlukannya peace education terutama pada institusi pendidikan (sekolah) pada dasarnya memberikan pemahaman kepada peserta didik bagaimana akar kekerasan dan kemudian diberikan pengetahuan baru tentang isu kritis sebagai jalan alternative, dengan cara menjaga perdamaian (peacekeeping), menciptakan perdamain (peacemaking), membangun perdamaian (pecebuilding). 618

Apabila mencermati dari tujuan pembelajaran pendidikan damai, maka memiliki keterkaitan dengan tujuan dari pendidikan kewarganegaraan (civic education) terutama dalam konteks membentuk warga negara demokratis da...


Similar Free PDFs