Sistem Polder dan Ekodrainase Sebagai Solusi Banjir dan Krisis Air PDF

Title Sistem Polder dan Ekodrainase Sebagai Solusi Banjir dan Krisis Air
Author Sarif Kulaba
Pages 10
File Size 1009.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 212
Total Views 320

Summary

PENERAPAN SISTEM POLDER DAN EKODRAINASE SEBAGAI BENTUK KONSERVASI AIR DAN PENGENDALIAN BANJIR DI PERKOTAAN Oleh: Sarif Robo / A155140041 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor [email protected] ABSTRAK Satu dekade terakhir, Indonesia mengalami musibah yang ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Sistem Polder dan Ekodrainase Sebagai Solusi Banjir dan Krisis Air Sarif Kulaba

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Permasalahan air Bella Hanabella ANALISIS SIST EM KEBIJAKAN JALAN T OL ATAS LAUT JAKARTA-SURABAYA.pdf Dest a Prabowo Teknologi Pengendali Banjir Jakart a rizki purnama sari

PENERAPAN SISTEM POLDER DAN EKODRAINASE SEBAGAI BENTUK KONSERVASI AIR DAN PENGENDALIAN BANJIR DI PERKOTAAN Oleh: Sarif Robo / A155140041 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor [email protected] ABSTRAK Satu dekade terakhir, Indonesia mengalami musibah yang silih berganti tak hentinya dimulai dari, tsunami, gempa bumi, letusan merapi, kekeringan, banjir dan masih banyak lagi. Musibah yang sering terjadi dan tak pernah hentinya dan paling sering terjadi di Indonesia khsusunya daerah perkotaan adalah banjir yang berdampak pada krisis air dan macetnya perekonomian masyarakat kota sendiri. Indonesia merupakan salah satu negara tropika basah di dunia, krisis air sering melanda kawasan ini. Di beberapa daerah di Indonesia sering ditemukan kelangkaan air bersih, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhannya selain itu faktor yang mempengaruhi terjadinya kelangkaan air bersih di perkotaan adalah banjir yang melanda daerah perkotaan sehingga air bersih menjadi tercemar dan sulit untuk dipakai oleh masyarakat khalayak. Penanganan banjir dan krisis air di kota besar sudah sangat banyak dilakukan namun hasilnya masih jauh dari harapan yang dinginkan, sehingga anggaran yang dikeluarkan pemerintah terbuang percuma karena hasil dari anggaran untuk penanganan banjir dan krisis air ini masih tidak maksimal. Banjir adalah masalah pokok yang sering terjadi didaerah kota dataran rendah, sehingga aktifitas dari masyarakat kota sering terganggu, bahkan banjir dapat melumpukan perekonomian suatu kota, maka dari itu perlu penanganan khusus mengenai banjir dan krisis air ini. Masalah banjir bukan hanya di pengaruhi oleh air hujan yang jatuh dan menjadi run off dan mengalir ke sungai sehingga sungai meluap dan menyebar ke pemukiman, namun banjir juga datang akibat dari intrusi air laut yang naik ke daratan sehingga daratan tertutup oleh badan air tersebut. Untuk dapat mengatasi agar nantinya bencana bencana banjir tidak terus terjadi dan menelan korban jiwa, maka dari itu harus dipikirkan pola dan tata ruang yang baik dalam mengatasi banjir dan krisis air ini. Untuk dapat mengatasi masalah ini pemerintah kita harus banyak belajar mengenai tata kelola air agar tidak terjadi banjir ketika musim hujan dan krisis air pada musim kemarau tiba. Belanda adalah negara yang memiliki pola tata air terbaik di dunia, karena negara ini memiliki daratan yang lebih rendah dari air laut, sehingga para pakar air di Belanda memikirkan bagaimana cara membendung agar air laut tidak masuk ke daratan dan mengganggu aktifitas dari masyarakat Belanda ini, sehingga di ciptakan suatu inovasi yang pertama kalinya di cetus dinegara ini yaitu sistem ekodrainase dan polder. Konsep ekodrainase berasal dari pemikiran eco-hidrology yang pertama kali dikenalkan tahun 1982 oleh peneliti Belanda, Van Wirdum. Pada dasarnya ia ingin menemukan keterkaitan antara unsur air dengan unsur vegetasi. Bertahun-tahun kemudian pemikiran ini berkembang menjadi sebuah

sistem tata kelola air ramah lingkungan (Prayoga 2013). Selain itu konsep sistem polder ini telah direncanakan oleh Herman van Breen dan tim (dengan banjir kanal barat dan timur) ketika merancang kota sebagai respon terhadap banjir besar yang melanda Batavia tahun 1918. PENDAHULUAN Kepulauan Indonesia terdiri dari sekitar 17.508 pulau dan sekitar 6.000 merupakan pulau yang berpenghuni. Kepulauan tropis menyebar di sepanjang seperdelapan dari ekuator sekitar 8 juta km2, dengan total luas lahan 1,92 juta km2), dan wilayah laut seluas 3 juta km2 dengan total panjang garis pantai sekitar 84.000 km (Bappenas 2004). Penduduk Indonesia sebanyak 226 juta (data 2008) tersebar di beberapa pulau. Dengan tingkat pertumbuhan 1,66% dari penduduk diperkirakan tumbuh menjadi 280 juta pada tahun 2020. Jawa, sebagai pulau yang paling padat penduduknya hanya seluas 6,58% dari total wilayah Indonesia, berpenduduk 58% (120,4 juta) dari total penduduk di Indonesia. Dalam dasawarsa yang lalu, imigran perkotaan mengakibatkan pertumbuhan perkotaan sekitar 5% per tahun. Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 sekitar 52% penduduk akan tinggal di lingkungan perkotaan, meningkat 38% dibandingkan tahun 1995. (Bappenas 2010). Terlepas dari tingginya potensi sumber daya air, sumber daya air permukaan di Indonesia mengalami kekurangan selama musim kemarau, namun terjadi banjir selama musim hujan terutama di beberapa daerah, hal ini dikarenakan tata ruang dan pengelolaan air yang tidak optimal sehingga menyebabkan terjadinya musibah yang tak henti-hentinya. Untuk dapat mengoptimalkan agar tidak terjadi kekeringan maupun bajnjir maka pemerintah ataupun akademisi sudah selayaknya membuat inovasi terbaik dalam hal mengelola air agar tidak medatangkan musibah. Inovasi yang telah lama ada namun belum mampu untuk diterapkan di Indonesia karena berbagai hal, yang masih menghambat maupun tidak transparansinya birokrasi Indonesia menyebabkan masalah ini masih terlarut – larut bahkan setiap kali datang memakan korban jiwa dan korban finansial. (Helmi 1997) Konsep ekodrainase dan sistem polder ini sebenarnya sudah ada sejak jaman kolonial Belanda, namun belum mampu untuk diaplikasikan karena masalah banjir dan krisis air ini hanya dipandang sebagai sesuatu yang dibicarakan ketika datangnya bencana ini namun ketika bencana ini mulai surut tidak ada yang dibicarakan dan dipikirkan, dan inilah yang menjadi kelemahan sehingga penerapan dari inovasi yang telah ada sangat sulit untuk diterapkan. (Kusharsanto 2013). HISTORIS BANJIR, PENYEBAB BANJIR SERTA KONDISI AIR DI INDONESIA Sejarah Banjir di Indonesia Berbicara tentang banjir di Indonesia maka, kita akan lebih melirik ke ibu kota dari negara Indonesia yaitu Jakarta, dimana Jakarta adalah salah satu kota yang paling sering terjadi banjir bahkan sudah menjadi langganan setiap musim penghujan tiba, karena Jakarta merupakan daerah dataran rendah dan sebagian dari wilayahnya termasuk daerah pesisir. Jika di lihat dari banjir di Jakarta bukan

masalah baru. Sejak VOC berkuasa, mereka sudah dipusingkan dengan genangan air ini. Bahkan saat VOC sudah membagun kanal-kanal penghalau banjir sekalipun. - Tahun 1621 : Hanya dua tahun setelah sistem kanal VOC dibangun, banjir melanda. ini pertama kalinya pis utama VOC di Asia Timur dilanda banjir besar . Setelah itu banjir terus terjadi di tahun 1854, 1872, 1909, dan 1918. - Tahun 1965 : Jakarta Mengalami kembali banjir besar. setelah banjir itu, presiden sukarno membentuk Komando Proyek (Kopro) Banjir Jakarta. Tugasnya memperbaiki kanal dan membuat enam waduk di sekitar jakarta. - Tahun 1976 : Ini mungkin menjadi banjir besar pertama kalinya. hampir sebulan penuh yakni 1-26 Januari, jakarta terendam. 200 ribu penduduk mengungsi. Jakarta Pusat merupakan daerah terparah. saat itu gubernur Ali Sadikin pasrah karena kesulitan keuangan. - Tahun 1996 : banjir Besar terjadi pada bulan Februari. saat itu, badan meteorologi dan geofisika (BMG) memperkirakan banjir serupa akan terjadi pada 2002. - Tahun 2002: Prediksi BMG terbukti Gubernur Sutiyoso menyebut air telah menggenangi 42 kecamatan di Jakarta. Luas Genangan mencapai 16.041 Hektare atau 24,25 % luas Jakarta. 21 orang Tewas. - Tahun 2007 : Banjir besar menghantam Jakarta mulai 1 Februari 2007 akibat hujan lebat tiada henti. 60 % wilayah Jakarta terendam dalam 10 hari, 66 orang tewas akibat tersengat listrik hingga terseret arus. jakarta nyaris lumpuh total dari kegiatan ekonominya. Kerugian mencapai Rp 8 triliun. Sejarah banjir telah membuktikan bahwa banjir yang datang dan menjadi langganan bukan hanya beberapa tahun terakhir saja namun sudah hampir lebih dari se-abad namun hal ini masih saja terjadi, ini telah membuktikan bahwa pemerintah Indonesia belum mampu menangani banjir secara optimal. (Rohmatullah 2014). Penyebab Banjir 1. Sampah Menciptakan lingkungan yang bersih dan jauh dari sampah sepertinya perlu digalakkan lagi oleh pemerintah, bukan hanya pemerintah DKI, melainkan juga seluruh Indonesia. Tentunya kita sudah tahu, sampah dapat menyebabkan banjir, dan hal itulah yang dirasakan oleh Jakarta sendiri. Bagaimana sangat banyak orang yang membuang sampah sembarangan, dan benda itu tergenang di air, sehingga terciptalah banjir yang senantiasa menemani Jakarta hingga saat ini. 2. Gorong-gorong Salah satu penyebab banjir di Jakarta adalah karena keberadaan kabelkabel serta pipa yang menyatu di dalam gorong-gorong. Tidak ada ducting untuk kabel dan pipa. Semuanya kabel apapun juga ada di sana, 3. Pertumbuhan Penduduk Banjir yang melanda Ibu Kota Jakarta beberap tahun belakangan ini adalah akibat atau imbas dari tingginya pertumbuhan penduduk di DKI. Bukan hanya itu, alih fungsi tata ruang yang carut-marut juga salah satu penyebab

banjir Jakarta. Dengan sungai yang sempit, otomatis tempat saluran air juga berkurang. 4. Bangunan Diatas Saluran Air Banyaknya saluran yang tertutup bangunan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya genangan banjir di wilayah ibukota Jakarta. Karenanya pembongkaran dan penertiban bakal digelar Pemprov DKI Jakarta untuk mengembalikan fungsi saluran tersebut secara maksimal. 5. Rusaknya Daerah Tangkapan Air Di Puncak Atau Daerah Hulu. Dataran rendah sering menjadi korban dari daerh hulu atau daerah puncak, karena aktifitas dari daerah puncak yang tidaka memperhatikan kaidah konservasi lingkungan menyebabkan daerah tangkapan air hilang, karena terjadinya konversi lahan menjadi bangunan dan sebagainya sehingga air hujan yang turun secara langsung menjadi air larian permukaan (run off) Banjir Jakarta adalah polemik semua warga dan pemerintah yang harus segera diatasi. Sejarah dan penyebab banjir di DKI telah membuktikkan bahwa kesadaran manusia itu sendirilah yang menjadi hal utama, dengan tidak membuang sampah pada tempatnya, dan tidak melakukan aktivitas yang merugikan, secepatnya Jakarta bisa terbebas dari banjir. Itu keinginan kita semua, bukan? (Rohmatullah, 2014). Kondisi Air di Indonesia Peringatan Hari Air Dunia 2010 pada Maret lalu, diwarnai kabar tak menyenangkan tentang ancaman krisis air bersih. Krisis yang terus berlangsung di berbagai belahan dunia ini bahkan makin mengkhawatirkan. Sebab, jumlah manusia dari waktu ke waktu terus bertambah. Kebutuhan akan air pun ikut meningkat. Namun, jumlah persediaan air tidak bertambah, ancaman krisis air bersih melanda dunia. Kini, masyarakat dunia tak hanya terancam kelaparan, namun juga kehausan. Indonesia tentu tak luput dari ancaman ini. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, kelangkaan air dunia paling parah terjadi di kawasan Afrika. Sedangkan untuk Asia Tengah adalah Indonesia, khususnya di Jawa dan sepanjang pantai utara. (Roestam, 2001). Kondisi ketersediaan air yang terbatas diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan. Akibatnya, tingkat pencemaran air oleh limbah cair ataupun padat semakin tinggi. Daerah persediaan air pun rusak karena penebangan liar yang terjadi di hutan-hutan dan daerah resapan air. Kondisi ini menjadi semakin berat dengan adanya ancaman serius dari dampak perubahan iklim. Secara umum, kebanyakan wilayah di Indonesia telah nyaris mengalami krisis air bersih. Selama Maret 2010, misalnya, kelangkaan air di Provinsi Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Banten, dan Kalimantan Barat, mewarnai pemberitaan di berbagai media massa. Pulau Jawa dan Bali sudah mengalami kelangkaan air sejak tahun 2000. Pada 2015, kelangkaan air diperkirakan meluas ke Sulawesi dan NTT. Bahkan di kotakota besar seperti Jakarta kini sudah masuk dalam kategori krisis air. Akibat gangguan kualitas sumber air tersebut, biaya pengolahan air bersih terus mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan masyarakat harus membayar lebih mahal untuk bisa mendapatkan air bersih. Dampak lain yang dapat muncul akibat krisis air adalah timbulnya penyakit yang berkaitan dengan ketersediaan air. Krisis air bersih di dunia

merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah perang. Hingga kini ada sebanyak 1,2 miliar orang yang tidak memiliki akses ke sumber-sumber air bersih yang aman dan terjangkau. Akibatnya, setiap tahun sedikitnya 2,2 juta orang meninggal karena penyakit diare. (Kakiangsa 2008) SOLUSI UNTUK BANJIR DAN KRISIS AIR DI INDONESIA Sistem Polder Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul (dijk/dike). Pada daerah polder, air buangan (air kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke badan air lain pada polder yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa berupa pemadatan tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, dan bisa juga berupa konstruksi beton dan perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direkalamasi. Sistem polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, dan juga pada manajemen air buangan (air kotor dan drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan sungai. Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya berada di bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya mesin pompa, kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder lain yang lebih tinggi. Bicara tentang banjir kita perlu banyak belajar dari negara ini yang sudah kenyang bergulat memerangi banjir sejak abad ke-17 karena morfologi alamnya sebagian besar yang berupa rawa dan dataran rendah. Di negara ini, ancaman banjir datang secara rutin dari laut melalui gelombang pasang dan ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari luapan sungai Ijssel, Maar, dan Rijn akibat mencairnya es di hilir sungai pada akhir musim dingin. Sistem polder dipakai untuk mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah aliran sungai. Seorang pakar pengairan Belanda menyarankan perlunya pemerintah mengoptimalkan sistem polder dengan memasang tanggul pengaman untuk kawasan rendah dan mengembangkan drainase di perkotaan yang masih memiliki gravitasi, guna mengurangi kawasan banjir akibat genangan. Untuk itu, katanya, pemerintah yang kawasannya berada di kawasan rendah seperti Indonesia harus mewaspadainya dengan cara mengoptimalkan segala sistem dan membangun infrastruktur dan sarana penting di kawasan yang relatif tinggi. Menurut Budiarjo, (2008), bahwa untuk menerapkan sistem polder di Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. 1. Pemanfaatan lahan di sekitar tanggul harus dikontrol seketat mungkin, paling tidak sepanjang bantaran sungai dan tanggul kanal harus bebas dari bangunan dan permukiman liar. Daerah ini memiliki resiko tertinggi bila terjadi banjir. Alternatif pemanfaatannya bisa berupa taman ataupun jalan. Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan ketentuan tata ruang seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan (KDB) juga harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk menghabiskan anggaran pemerintah.

2. Ketika semua air buangan dialirkan ke laut, ancaman banjir dari laut juga perlu diperhatikan. Bukan tidak mungkin gelombang pasang akan membanjiri kota melalui kanal banjir yang ada. Mungkin saja diperlukan pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup sewaktu-waktu. 3. Sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal, sungai, serta kinerja mesin-mesin yang memompa air keluar dari daerah polder. Aspek perawatan (sumber daya manusia dan peralatan) perlu mendapat perhatian dalam bentuk program kerja dan anggaran. Yang terjadi selama ini kita lebih pandai mengadakan sarana dan prasarana publik ketimbang merawatnya. 4. Resapan air hujan perlu lebih dimaksimalkan melalui daerah resapan mikro seperti taman, kolam, perkerasan yang permeabel, dan sumur resapan. Prinsipnya adalah mengurangi buangan air hujan ke sungai dan memperbanyak resapannya ke dalam tanah. Disini, peran arsitek, kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah) dan sumur resapan. Daerah resapan yang tidak terlalu luas namun jika banyak jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru kota tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Sistem polder merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang konsekuensinya jelas adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik untuk pembebasan tanah, pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan perawatan mesin-mesin dan peralatan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah upaya non-struktural yang berkaitan dengan pendidikan publik. Upaya membangun kesadaran seperti tidak membuang sampah di saluran air, memperbanyak penanaman pohon, menggunakan perkerasan grass-block dan paving-block yang permeabel, atau bahkan bagaimana bersikap ketika banjir datang akan jauh lebih berguna untuk mencegah banjir dan meminimalisir kerugian akibat banjir yang bisa datang setiap tahun. Konsep Ekodrainase Saat ini di beberapa negara dunia sedang terjadi perubahan besar-besaran paradigma penanganan bencana alam. Pengalaman negara-negara maju membuktikan bahwa pendekatan rekayasa teknik murni di bagian hilir tidak mampu menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan yang terjadi akibat permasalahan lokal, terus menerus terjadinya perubahan tata guna lahan dan berbagai aktivitas negatif manusia serta berbagai fenomena perubahan iklim. Apabila paradigma lama penyelesaian banjir adalah “menjauhkan air dari manusia” dan “menjauhkan manusia dari air”, konsep baru drainase saat ini adalah “menyimpan air selama mungkin dan memanfaatkan air semaksimal mungkin”. Karena konsep yang lama ternyata menimbulkan banyak masalah dari kekeringan di daerah hulu pada musim kemarau hingga besarnya debit air yang harus dialirkan ke laut dalam waktu sesingkat mungkin agar tidak menimbulkan genangan sementara hujan adalah bagian dari siklus hidrologi yang tidak dapat diatur sesuai keinginan manusia. (Indrawati 2014)

Sementara rekayasa cuaca yang telah dilakukan di negara maju ternyata menimbulkan hujan asam dan permasalahan baru seperti cyclone (badai) dan sebagainya. Sejalan dengan berkembangnya pola pikir komprehensif dalam bidang drainase tersebut, di mana air tidak sematamata harus dibuang melainkan sebagai aset lingkungan yang harus senantiasa dijaga kuantitas, kualitas serta keberlanjutannya di beberapa negara maju kemudian berkembang aplikasi baru drainase dalam berbagai macam konsep. (Indrawati 2014) Beberapa di antaranya adalah Low Impact Development (LID) di Amerika Serikat dan Kanada, Sustainable Urban Drainage Systems (SUDS) di Inggris Raya, Water Sensitive Urban Design (WSUD) di Australia, dan Low Impact Urban Design and Development (LIUDD) di New Zealand dan Ecodrain di Indonesia. Hasil dari pelaksanaan konsep baru ini cukup menggembirakan. (Indrawati 2014) Prinsip Eko Drainase Karena sistem drainase baru ini sejalan dengan prinsip-prinsip keselarasan lingkungan maka sistem ini menangani banjir dengan cara yang lebih ramah terhadap flora, fauna maupun lingkungan. Pada prinsipnya terdapat empat tahapan yang harus diberlakukan dalam menangani banjir dan genangan dari wilayah hulu sampai hilir. Namun khusus untuk wilayah dengan karakteristik air tanah yang tinggi dibutuhkan perlakuan khusus dalam aplikasinya. Prinsip pertama adalah menampung air sebanyak mungkin dan kemudian memanfaatkannya atau lebih dikenal dengan istilah pemanenan air hujan (rain harvesting). Pemanenan air hujan yang paling efektif dilakukan pada skala rumah tangga, melalui penampungan air hujan di tandon air di masing-masing rumah penduduk dan kawasan industri serta melakukan penanaman pohon dan tanaman di lingkungan perumahan. (Indrawati 2014) Penampungan air diestimasikan mampu mengurangi beban limpasan dari masingmasing rumah penduduk hingga 40%, sementara penanaman pohon diestimasikan dapat mengurangi limpasan sebesar 14%, sehingga si...


Similar Free PDFs