Teori Kebenaran : Korespondensi, Koherensi, Pragmatisme, dan Wahyu serta Implikasinya Terhadap Pendidikan PDF

Title Teori Kebenaran : Korespondensi, Koherensi, Pragmatisme, dan Wahyu serta Implikasinya Terhadap Pendidikan
Author S. Sihabuddin
Pages 10
File Size 167.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 73
Total Views 310

Summary

Teori Kebenaran : Korespondensi, Koherensi, Pragmatisme, dan Wahyu serta Implikasinya Terhadap Pendidikan Sihabuddin Prodi Pendidikan Bahasa Arab – Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Kediri Email : [email protected] A. Pendahuluan Manusia merupakan makhluk berakal. Dengan akal, ma...


Description

Teori Kebenaran : Korespondensi, Koherensi, Pragmatisme, dan Wahyu serta Implikasinya Terhadap Pendidikan Sihabuddin Prodi Pendidikan Bahasa Arab – Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Kediri Email : [email protected]

A. Pendahuluan Manusia merupakan makhluk berakal. Dengan akal, manusia secara terus menerus menjalani kehidupan secara dinamis, terutama perkembangan mental atau psikis. Akal menunjukkan perubahan positif (perkembangan cara berpikir) seiring pertumbuhan usia manusia. Kapasitas berpikir akan semakin kompleks ketika manusia hidup dan tumbuh di kehidupannya. Seorang balita berpikir tentang sebuah pohon, tentu tidak sama dengan seorang dewasa yang berpikir tentang pohon. Inilah potensi akal manusia yang secara berkelanjutan berpikir terus menerus mencari kebenaran. Kebenaran yang bisa mereka terima secara logis dan ilmiah. Namun, penilaian kebenaran inilah yang sampai sekarang masih dibingungkan dan masih timbul banyak pertanyaan tentang apakah arti kebenaran itu, bagaimana kriteria-kriteria dan teori-teori kebenaran itu, hal inilah yang menjadi perdebatan sampai sekarang meskipun banyak filosof-filosof yang telah mengemukakan teori-teori kebenaran seperti yang akan penulis bahas yaitu teori-teori kebenaran korespondensi, koherensi, pragmatisme, dan wahyu serta implikasinya terhadap pendidikan.

B. Pengertian Kebenaran Benar adalah sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah fakta tentang realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongkret maupun abstrak. Menurut Randall & Bucher kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Kemudian menurut Jujun S. Suriasumantri kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Contoh, ketika kita mengakui kebenaran sebuah proposisi bahwa bumi bergerak mengelilingi matahari, dasar kita, tidak lain adalah sesuai tidaknya proposisi tersebut dengan kenyataannya. Setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang kebenaran, karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu pernyataan. Berarti kebenaran berkaitan erat dengan kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri, dan dalam proses penilaian kebenaran tak jarang penilaian tersebut juga tergantung dari latar belakang pandangan atau ideologi setiap orang yang karena sebab inilah kebenaran jadi terasa relatif dan jauh dari kepastian

atau kebenaran mutlak, yang tak dipungkiri hal ini sering menggiring kita pada keraguan atau kebingungan. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai atau mencari kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja, masalah kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi, kajian epistemologi untuk menilai suatu “kebenaran” membawa orang kepada sesuatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, kebenaran semantis. Bakhtiar1 menjelaskan bahwa kebenaran epistemologis adalah yang berhubungan dengan pengetahuan manusia dan kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan kemudian kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, kali ini yang dibahas oleh penulis dalam paper ini adalah kebenaran epistemologis karena kebenaran yang lainnya secara tidak langsung berhubungan erat dengan kategori kebenaran epistemologis.

C. Jenis-Jenis Kebenaran Karena kebenaran merupakan sifat dari pengetahuan, untuk membahas adanya berbagai kebenaran, kita perlu mengetahui adanya berbagai macam pengetahuan. Sebagaimana pengetahuan dapat dibedakan atas dasar berbagai kriteria penggolongan, demikian pula berkenaan dengan kebenaran pengetahuan juga dapat digolongkan atas dasar beberapa kriteria.2 Pertama, atas dasar sumber atau asal dari kebenaran pengetahuan, dapat bersumber antara lain dari: fakta empiris (kebenaran empiris), wahyu atau kitab suci (kebenaran wahyu), fiksi atau fantasi (kebenaran fiksi). Kebenaran pengetahuan perlu dibuktikan dengan sumber atau asal dari pengetahuan terkait. Kebenaran pengetahuan empiris harus dibuktikan dengan sifat yang ada dalam obyek empiris (yang didasarkan pengamatan inderawi) yang menjadi sumber atau asal pengetahuan tersebut. Kebenaran wahyu sumbernya berasal dari wahyu atau kitab suci yang dipercaya sebagai ungkapan tertulis dari wahyu. Sehingga yang menjadi acuan pembuktian kebenaran wahyu adalah wahyu atau kitab suci yang merupakan tertulis dari wahyu. Sedangkan kebenaran fiksi atau fantasi bersumber pada hasil pemikiran fiksi atau fantasi dari orang bersangkutan. Dan yang menjadi acuan pembuktiannya adalah alur pemikiran fiksi atau fantasi yang terwujud dalam ungkapan lisan atau tertulis, visual atau auditif, atau dalam ungkapan keempat-empatnya. Kedua, atas dasar cara atau sarana yang digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Antara lain dapat menggunakan: indera (kebenaran inderawi), akal budi (kebenaran intelektual), intuisi (kebenaran intuitif), iman (kebenaran iman). Kebenaran pengetahuan perlu dibuktikan dengan sarana yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan terkait. Kebenaran pengetahuan inderawi (penglihatan) harus dibuktikan dengan kemampuan indera untuk menangkap hal atau obyek inderawi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Penglihatan dapat menghasilkan pengetahuan tentang warna, ruang, ukuran besar/kecilnya obyek, serta adanya 1 2

Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers, 2010. hal. 111 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty, 2003. hal. 136-138

suatu gerak atau perubahan. Sesuai dengan perspektif penglihatan disadari bahwa penangkapan penglihatan sering tidak tepat. Kita mengalami tipu mata. Misalnya, bintang yang semestinya besar tampak di penglihatan sebagai bintang kecil; sepasang rel kereta api yang seharusnya sejajar ternyata tampak di penglihatan sebagai yang semakin menciut di kejauhan. Kebenaran intelektual didasarkan pada pemakaian akal budi atau pemikiran agar dapat berpikir secara lurus, yaitu mengikuti kaidah-kaidah berpikir logis, sehingga tidak mengalami kesesatan dalam berpikir. Kebenaran intuitif didasarkan pada penangkapan bathin secara langsung (konkursif) yang dilakukan oleh orang bersangkutan, tanpa melalui proses penalaran terlebih dahulu (diskursif). Sedangkan kebenaran iman didasarkan pada pengalaman hidup yang berdasarkan pada kepercayaan orang bersangkutan. Ketiga, atas dasar bidang atau lingkup kehidupan, membuat pengetahuan diusahakan dan dikembangkan secara berbeda. Antara lain, pengetahuan agama (kebenaran agama), pengetahuan moral (kebenaran moral), pengetahuan seni (kebenaran seni), pengetahuan budaya (kebenaran budaya), pengetahuan sejarah (kebenaran historis), pengetahuan hukum (kebenaran yuridis), pengetahuan politik (kebenaran politik). Kebenaran pengetahuan perlu dipahami berdasarkan bahasa atau cara menyatakan dari lingkup/bidang kehidupan terkait. Misalnya, penilaian baik atas tindakan dalam bidang moral tentu saja perlu dibedakan dengan penilaian baik tentang hasil karya dari bidang seni. Keempat, atas dasar tingkat pengetahuan yang diharapkan dan diperolehnya : yaitu pengetahuan biasa sehari-hari (ordinary knowledge) memiliki kebenaran yang sifatnya subyektif, amat terikat pada subyek yang mengenal, pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) menghasilkan kebenaran ilmiah, pengetahuan filsafati (philosofical knowledge) menghasilkan kebenaran filsafati. Kriteria yang dituntut dari setiap tingkat kebenaran ternyata berbeda. Kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam pengetahuan biasa sehari cukup didasarkan pada hasil pengalaman sehari-hari, sedangkan kebenaran pengetahuan ilmiah perlu diusahakan dengan pemikiran rasional (kritis, logis, dan sistematis) untuk memperoleh pengetahuan yang selaras dengan obyeknya (obyektif).

D. Macam-macam Teori Kebenaran Pembahasan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato melalui metode dialog, kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles. Plato dianggap sebagai filosof yang membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang awal. Dari pemikiran Plato kemudian muncul teori-teori pengetahuan baik sebagai kritik atau sebagai dukungan atas teori yang sudah dibangun Plato. Menurut seorang filsuf Jaspers sebagaimana dikutip oleh Hammersa bahwa sebenarnya para pemikir sekarang hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles.3 Jadi pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles secara tidak langsung menjadi gambaran atau pemicu munculnya ide-ide baru dari para filosof-filosof setelahnya.

3

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu : Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta : Liberty, 2010. hal. 138

Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Sebagaimana pengetahuan dilihat tidak secara menyeluruh, melainkan dari aspek atau bagian tertentu saja, demikian pula kebenaran hanya diperoleh dari pemahaman terhadap pengetahuan yang tidak menyeluruh tersebut. Dengan demikian setiap teori kebenaran yang akan dibahas, lebih menekankan pada salah satu bagian atau aspek dari proses orang mengusahakan kebenaran pengetahuan. Berikut ini beberapa teori kebenaran yang menekankan salah satu langkah proses manusia mengusahakan pengetahuan. 1. Teori Kebenaran Korespondensi (Saling Bersesuaian) Kebenaran menurut teori korespondensi bahwa suatu proposisi atau pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya. Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta yang berselaras dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual.4 Sebaliknya, jika pernyataan bertentangan dengan kenyataan atau fakta yang ada, maka pernyataan tersebut dianggap sebagai penyataan yang salah atau sesat. Misalnya, ada pernyataan yang mengatakan Jokowi adalah seorang presiden Indonesia. Kalau pernyataan tersebut bersesuaian dengan fakta yang ada di kenyataan yang sebenarnya maka itu dianggap sebagai “kebenaran”. Jika ternyata Jokowi bukan seorang presiden Indonesia, melainkan seorang menteri. Maka pernyataan tersebut dianggap sebagai bukan kebenaran. Dengan demikian menurut teori korespondensi ini, Bakhtiar5 menjelaskan bahwa kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi kebenaran ialah persesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta aktual atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi. Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan, kita mengenal dua hal yaitu pertama, penyataan dan kedua, kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.6 Sebagaimana contoh dapat dikemukakan Jakarta adalah ibukota republik Indonesia. Pernyataan ini disebut benar karena kenyataanya Jakarta memang ibukota republik Indonesia. Kebenarannya terletak pada hubungan antara pernyataan dengan kenyataan. Adapun jika dikatakan bandung adalah ibukota republik Indonesia. Pernyataan itu salah karena tidak sesuai antara pernyataan dengan kenyataan. Arti “sesuai” dalam teori ini masih menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada kritik terhadap teori kebenaran korespondensi. Kalau kebenaran selalu diukur dengan faktafakta yang ada, lantas bagaimana dengan ide-ide yang bersifat kejiwaan, apakah ada fakta yang bersifat kejiwaan. Lalu bagaimana membuktikan hubungan antara ide-ide tersebut, padahal ideide tersebut bersifat abstrak, sulit untuk dibuktikan dengan indera manusia. Misalnya, Pak Iman dikatakan sebagai seorang yang beriman, kalau pernyataan ini kemudian dibuktikan kebenarannya dengan makna sesuai atau korespondensi, maka tentu subjek akan melihat pada perilaku-perilaku beragama yang tampak pada Pak Iman. Pertanyaannya, apakah “keimanan” Pak Iman bisa 4

Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers, 2010. hal. 112 Ibid, hal. 113 6 Ibid, hal. 115 5

sepenuhnya diukur dengan observasi?, bukankah keimanan di dominasi oleh aspek kejiwaan Pak Iman?. Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah kelemahan-kelemahan para realisme empirisme. Teori korespondensi ini pada umumnya memang dianut oleh para pengikut realisme empirisme.7 Diantara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Ramsey, dan Tarski. Teori ini dikembangkan oleh Betrand Russel (1872-1970). Teori korespondensi digunakan untuk proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan data-data yang mendukung suatu pernyataan yang telah dibuat sebelumnya. 2. Teori Kebenaran Koherensi (Saling Berhubungan) Berkebalikan dengan paham korespondensi, paham koherensi dianut oleh para pendukung idealisme rasionalisme. Teori koherensi ini berkembang pada abad 19 dibawah pengaruh hegel dan di ikuti oleh pengikut madzhab idealism seperti Leibniz, Spinoza dan filosof britania F.M Bradley (1864-1924). Bakhtiar8 menjelaskan bahwa teori koherensi yaitu suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan (koheren/konsisten) dengan proposisi benar yang lain, atau jika arti yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Misalnya kita mempunyai pengetahuan bahwa semua manusia pasti akan mati adalah pernyataan yang memang benar adanya. Jika Zaki adalah manusia, maka pernyataan bahwa Zaki pasti akan mati, merupakan pernyataan yang benar pula. Sebab pernyataan kedua konsisten dengan pernyataan yang benar. Mengenai teori konsistensi ini, Bakhtiar9 menjelaskan bahwa dapat kita ambil kesimpulan yang pertama, kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian anatra suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Kedua, teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian penyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya. Dengan demikian menurut teori koherensi adalah suatu teori itu dianggap benar apabila tahan uji (testable) artinya suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang kemudian teori tersebut diuji oleh orang lain tentunya dengan mengkomparasikan dengan data-data baru, oleh karena itu apabila teori itu bertentangan dengan data-data yang baru secara otomatis teori pertama gugur atau batal “refutability” sebaliknya, kalau data itu cocok dengan teori lama, teori itu semakin kuat “corroboration”.10

7

Louis O Kattsoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wicana Yogya, 1996. hal. 184 Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers, 2010. hal. 116 9 Ibid, hal. 117 10 Ibid, hal. 118

8

3. Teori Kebenaran Pragmatisme Pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William james di Amerika Serikat, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat.11 Istilah pragmatisme ini sendiri diangkat pada tahun 1856 oleh Charles Pierce (1839- 1914), Bakhtiar12 mengatakan bahwa doktrin pragmatisme ini diangkat dalam sebuah makalah yang dimunculkan pada tahun 1878 dengan tema “How To Make Our Ideas Clear” yang kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat Amerika. Diantara tokohnya yang lain adalah John Dewey (1859-1952). Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional atau bermanfaat dalam kehidupan manusia. Bakhtiar Menjelaskan bahwa teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila hal tersebut membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila hal tersebut berlaku dalam praktik, apabila hal tersebut mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaanya oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya jadi kebenaran ialah apasaja yang berlaku (works). Dapat dipahami bahwa kebenaran dalam pandangan pragmatisme adalah sebatas kegunaan praktis dalam kehidupan. Apabila suatu proposisi memiliki kegunaan praktis maka akan dipandang sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya, apabila proposisi tidak memiliki kegunaan praktis maka tidak dipandang sebagai suatu kebenaran, walaupun ada kemungkinan sesuatu yang tidak bersifat fungsional tersebut adalah kebenaran yang sesungguhnya. Dari teori ini dapat diberikan sebuah contoh pandangan para penganut teori pragmatis tentang Tuhan. Bagi pragmatisme suatu agama itu bukan benar karena Tuhan yang disembah oleh penganut agama itu memang ada, tetapi agama itu dianggap benar karena pengaruhnya yang positif atas kehidupan manusia. Berkat kepercayaan orang akan Tuhan dan mengikutinya seseorang kepada ajaran agama maka kehidupan masyarakat berlaku secara tertib, sejahtera, dan jiwanya semakin tenang. Kebenaran dalam pandangan pragmatisme seiring berjalannya waktu akan membawa kebenaran pada masa kadaluarsa (expired). Artinya ada masanya kebenaran yang sudah dianggap suatu kebenaran akan dibuang, karena tidak lagi bersifat fungsional atau bermanfaat. 4. Teori Kebenaran Wahyu Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama.13 Agama dengan karekteristiknya sendiri memberikan jawaban atau pencerahan atas segala persoalan mendasar yang dipertanyakan manusia baik tentang alam manusia maupun tentang Tuhan yang disembahnya. Kalau teori-teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio dan reason manusia, dalam agama untuk menilai sebuah kebenaran yang dikedepankan adalah wahyu yang ada di kitab sucinya dan yang diyakini 11

Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rajawali Pers, 2010. hal. 118-119 Ibid, hal. 119 13 Ibid, hal. 121 12

bersumber dari Tuhan, Dengan demikian suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.14

E. Implikasi Terhadap Pendidikan Bila perkuliahan dipandang dalam kerangka pendidikan, perkuliahan dapat memiliki fungsi sebagai kegiatan pembelajaran yang diharapkan dapat mengembangkan peserta didik (mahasiswa) dalam segala aspeknya. Selain mengembangkan aspek kognitif, juga mengembangkan aspek-aspek lainnya : aspek afektif, kognitif, psikomotorik, sosial, religius. Dengan demikian dapat mengembangkan mahasiswa secara menyeluruh, utuh. Namun bila dilihat dalam kerangka lembaga ilmiah, perkuliahan dapat dipahami sebagai kegiatan ilmiah yang berusaha melatih dan mengajak mahasiswa untuk berpikir ilmiah. Pengembangan kompetensi, bukanlah pengembangan kemampuan yang tidak ada hubungannya dengan pemahaman terhadap bidang bersangkutan. Untuk pengembangan kompetensi kiranya perlu juga adanya kemampuan pemahaman selain terhadap kemampuan apa yang perlu dikembangkan, juga perlu pemahaman terhadap hal-hal lainnya yang berhubungan dengan kemampuan atau kompetensi terkait. Bahkan matakuliah yang menggunakan nama pendidikan (misal pendidikan jasmani, pendidikan agama, pendidikan moral), juga memiliki materi sebagai bahan pembelajaran yang perlu dipikirkan dan perlu dipahami. Pemahaman akan materi atau bahan perkuliahan diharap tidak hanya akan menjadi isi atau bahkan beban pemikiran mahasiswa. Pemahaman diharap dapat menjadi kekayaan mental mahasiswa. Pemahaman dapat meningkatkan kemampuan mentalnya dalam menghadapi berbagai situasi dan permasalahan kehidupan. Pemahaman bukan sekedar hafal, melainkan mengetahui artinya, menemukan maknanya. Yang dapat menjadi materi atau bahan perkuliahan boleh dikata dapat mencakup segala yang ada dengan segala aktivitasnya, sejauh dapat dialami oleh mahasiswa. Berbagai macam hal tersebut dengan segala aktivitasnya dan yang dilihat dari berbagai sudut pandang dapat menjadi obyek dalam kegiatan ilmiah. Pada gilirannya dapat menjadi materi atau pokok bahasan dalam perkuliahan, sebagai kegiatan ilmiah. Materi yang ditempatkan dalam konteks tertentu dan diperhatikan serta didekati dengan sudut pa...


Similar Free PDFs