Video Game-Antara Produk Budaya Pop dan Resistensi Terhadap Otoritas PDF

Title Video Game-Antara Produk Budaya Pop dan Resistensi Terhadap Otoritas
Author Sandy Allifiansyah
Pages 17
File Size 461.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 56
Total Views 902

Summary

Video Game : Antara Produk Budaya Pop dan Resistensi Terhadap Otoritas Sandy Allifiansyah Universitas Gadjah Mada Abstrak Video game adalah bentuk permainan berupa simulasi atas realitas yang dimainkan oleh individu atau sekelompok orang. Jenis permainan semacam ini identik dengan anak-anak atau kau...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Video Game-Antara Produk Budaya Pop dan Resistensi Terhadap Otoritas sandy allifiansyah

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Pemilu 2014 dan Krisis Komunikasi Kelompok Minorit as di Indonesia (Kongres dan Seminar Be… Uwes Fat oni Prosiding Seminar Nasional Ikat an Sarjana Komunikasi Indonesia 2013 Dorien Kart ikawangi, inong suraya, Masduki Baseran, Melat i Put ri, Suzy Azeharie, Dadi Ahmadi, Rino Fe… Komunikasi dan Pemilu 2014 : Persiapan, Pelaksanaan, dan Masa Depan Assyari Abdullah

Video Game : Antara Produk Budaya Pop dan Resistensi Terhadap Otoritas

Sandy Allifiansyah Universitas Gadjah Mada

Abstrak Video game adalah bentuk permainan berupa simulasi atas realitas yang dimainkan oleh individu atau sekelompok orang. Jenis permainan semacam ini identik dengan anak-anak atau kaum muda (youth) yang ditengarai sanggup membentuk pola pikir dan perilaku para pemainnya. Memasuki era media baru yang ditandai dengan menjamurnya online game dan fitur game melalui smartphone atau andorid, varian dari game menjadi semakin banyak dan masif penyebarannya. Di Indonesia, video game melalui gadget bahkan digunakan beberapa orang bahkan institusi sekelas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk menanamkan semangat anti-korupsi dengan cara membuat game bertemakan anti-korupsi. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri mengingat game yang sebelumnya selalu identik budaya pop dan kegiatan leisure remeh-temeh, kini telah menjadi alat yang resisten terhadap sebuah sistem dan otoritas yang menjadi musuh bersama. Kata kunci: game, pop culture, resistensi, anti-corruption, simulasi, rule, youth

Latar Belakang Bila kita berbicara dalam konteks budaya populer, video game selalu diidentikkan dengan permainan kaum muda yang termediasi oleh teknologi macam konsol atau komputer. Permainan atau game juga identik dengan kegiatan hiburan atau kegiatan mengisi waktu luang (leisure) yang umumnya dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu ditengah kesibukan pekerjaan atau sekolah. Intinya, game kerap dianggap oleh masyarakat luas sebagai hal yang remeh temeh dan tidak bernilai filosofis, bahkan berpotensi adiktif kepada anak-anak (Fiske,2005:77).

Sandy Allifiansyah adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud 2015. Ia menyelesaikan studi sarjananya di bidang Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro

Hal inilah yang menjadikan game kerap dituding sebagai produk yang menimbulkan kepanikan moral, terutama bagi orang tua. Namun, jika kita menilik kebelakakang, usia game atau permainan setara dengan usia peradaban manusia itu sendiri. Mengacu pada permainan boneka yang sudah dilakukan oleh para tahanan sejak zaman dinasti di daratan Tiongkok yang kemudian kita sebut sebagai seni wayang Potehi. Seni ini sesungguhnya adalah cara tahanan untuk menghibur diri sekaligus kritik terhadap keputusan sang raja. Maka tak heran bahwa game telah menjadi bagian dari sejarah dan kebudayaan manusia untuk mengespresikan sebuah realitas melalui simbolisasisimbolisasi tertentu. Hal ini sejalan dengan konsep filosofis homo ludens, yaitu sebuah pemikiran yang mengaggap bahwa manusia adalah individu yang bermain (Huizinga,1980), atau permainan adalah sesuatu yang sudah ada dalam diri manusia itu sendiri secara psikologis. Dalam perspektif cultural studies, game dapat pula dipahami sebagai kegiatan atau ritual mengecam dan menyindir tatanan sosial tertentu yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang dikemas sedemikian rupa dalam wujud budaya populer (Barker,2004:21). Seiring perkembangan teknologi, game kini hadir dalam wujud audio visual yang tersebar dengan mudah melalui gadget dan mobile phone. Di Indonesia, terdapat beberapa gadget game yang sifatnya sangat kontekstual dengan situasi sosial politik kontemporer Indonesia, terutama masalah korupsi. Misalnya game Ahok yang menginvestigasi dana siluman, atau game jenis arcade yang bertujuan mencegah para koruptor untuk kabur ke luar negeri, hingga dua buah game yang dibuat KPK (Komisi pemberantasan Korupsi) yang diberi judul “Semua Bisa Ber-AKSI” dan “Sahabat Pemberani: Permainan Kejujuran” (dikutip dari kompas.com 10 Desember 2014). Fenomena ini menunjukkan bahwa game, tidak hanya sekedar produk budaya populer. Namun dibaliknya kita dapat melihat sebuah resistensi dari perkembangan video game itu sendiri terhadap kondisi sosial kontemporer saat game tersebut muncul. Tulisan ini akan membahas game sebagai representasi dan resistensi dari nilai-nilai dan kondisi masyarakat yang kemudian dapat disaksikan dalam wujud permainan populer yang termediasi melalui media. Di balik

kemunculan video game yang sering dicap negatif oleh generasi tua sekaligus dituding sebagai sarana pencarian kesenangan belaka, terdapat wujud refleksi terhadap kondisi kontemporer bagi pembuat dan penggunanya.

Game dan Manusia Sebagai Homo Ludens Ketika kita terlahir di dunia dan menjadi masyarakat sosial, kita sudah terekspos dengan berbagai kegiatan mulai dari sosialisasi, sekolah, hingga kegiatan seharihari yang membutuhkan kehadiran orang lain di sekeliling kita. Tanpa kita sadari, apa yang kita kehendaki dan lakukan adalah bagian dari sebuah permainan, baik cara kita berbicara, belajar, bekerja, bahkan berkompetisi. Huizinga (1944:1-3) mengatakan bahwa bermain sesungguhnya lebih tua dari culture itu sendiri. Kita semua adalah makhluk yang gemar bermain dari setiap kegiatan yang kita lakukan. Maka tak heran bila di setiap kehidupan sosial, kita selalu mengaturnya dan memiliki rule atas apa yang mesti kita perbuat. Asumsi kita sebagai makhluk yang gemar bermain dapat dibuktikan lewat pengalaman-pengalaman empiris soal mengapa kita suka bermain dengan hewanhewan peliharaan, mengapa ada perjudian, mengapa kita gemar menyaksikan pertandingan olah raga, mengapa kita menggemari puisi dan musik, hingga kecanduan kita akan permainan yang tervisualisasi dengan canggihnya, atau lazim kita kenal dengan istilah video game. Bisa jadi video game merupakan contoh yang paling kontemporer dari sebuah permainan. Insting kita sebagai makhluk yang gemar bermain difasilitasi sedemikan rupa oleh kecanggihan teknologi. Menengok ke belakang, pada hakekatnya game tidak selalu identik dengan video dan audio visual. Masyarakat Indonesia telah mengenal permainan bahkan sebelum Republik Indonesia ini berdiri. Ada permainan-permaian seperti layangan, engklek, gundu atau kelereng, dakon dan lain sebagainya. Beragamnya jenis permainan yang ada ditengah-tengah kita bukan tanpa sebab dan ujung pangkal. Di dalamnya terkandung sebuah nilai-nilai dan aturan-aturan (rules) yang harus kita taati sebagai pihak yang terlibat dalam permainan, termasuk bila kita bermain video game. Begitu juga sebuah console atau smartphone yang kita gunakan dalam bermain game, sudah bisa dipastikan terdapat aturan-aturan

tentang game yang kita mainkan. Aturan tersebut dalam satu sisi membatasi kita, tetapi di sisi lain lain justru memberi kita peluang untuk berkreasi di dalam sebuah realitas yang tidak kita temui di kehidupan sehari-hari. Meminjam terminologi Baudrillard (dalam Gane,2003:49) bahwa segala bentuk permainan pasti memiliki rule-bound systemic nature. Kita diberi ruang untuk berinteraksi dan bergerak, walaupun dalam jumlah yang terbatas. Segala bentuk permainan sebenarnya adalah ritual yang kita jalankan secara simbolik. Dalam konteks permainan anak-anak, nilai yang terepresentasi dalam simbolsimbol itu dimediasi oleh benda-benda yang sehari-harinya kita anggap sebagai medium komunikasi, baik dua maupun satu arah, misalnya smartphone dan console game. Singkat cerita, permainan dengan segala bentuknya telah menjadi bagian dari

peradaban

manusia.

Lewat

permainan

manusia

memahami

dan

merekonstruksi apa yang mereka ketahui. Konsep homo ludens yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang bermain dan dari permainan itu pula muncul kontenstasi-kontestasi (Huizinga;1944:47), dapat kita buktikan dalam sebuah video game. Tak bisa dihindari, pertempuran berbagai sudut pandang dan ideologi pasti ada di setiap kontennya. Terlebih lagi bila sudah tersalurkan melalui kanalkanal budaya populer. Sebuah budaya komersil yang menjunjung tinggi nilai kuantitatif ekonomi, yang di dalamnya bisa jumpai permainan angka-angka yang diatur sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan uang. Permainan yang menyajikan sebuah kontestasi pertarungan dapat kita jumpai dalam beragam bentuk. Contohnya permainan Wayang Potehi digunakan tawanan untuk menghibur diri menjelang eksekusi hingga permainan catur yang terinspirasi dari tradisi menyusun strategi perang. Bila saat berperang kita beradu strategi, maka di dalam sebuah video game kontemporer Indonesia, permainan itu digunakan pula sebagai strategi untuk melawan sebuah hegemoni sistem ketatanegaraan dan perilaku bernegara yang koruptif.

Video Game Sebagai Budaya Populer Menurut Storey (2009:5-6) budaya populer adalah sebuah bentuk budaya yang digemari oleh banyak orang, hanya menonjolkan nilai permukaan, dan dibuat untuk memenuhi keinginan masyarakat itu secara komersil. Selanjutnya Storey menambahkan bahwa terkadang cara untuk mengukur sebuah budaya untuk tergolong ke dalam budaya populer adalah dengan cara mengukurnya secara kuantitatif, dengan pertanyaan wajib soal berapa jumlah produk terjual di pasaran. Contohnya CD, DVD, ataupun berapa jumlah orang yang hadir pada kegiatan seperti festival, acara olah raga, dan lain sebagainya. Klasifikasi budaya pop juga mengarah pada dikotomi high culture dan low culture. Kultur tinggi atau high culture didefinisikan sebagai manifestasi dari komponen material dan non material budaya yang dikaitkan dengan elit sosial (2009:6-8). Sedangkan low culture adalah kebalikan dari konsep tersebut, dan budaya pop sering diidentikkan dengan low culture, karena hanya menonjolkan surface value. Nilai-nilai yang dibawa oleh budaya pop yang memiliki kecenderungan untuk bersifat permukaan sentris, menjadikannya mudah diterima oleh massa. Itulah sebabnya pop culture adalah bentuk kebudayaan yang mudah dijual kepada khalayak (2009:8). Menilik contoh-contoh produk budaya pop diatas (lagu, novel, festival, serial drama) nampak jelas jika logika surface culture sangat diterapkan pada produk masa populer. Cara berpikir semacam ini didasari dengan logika kuantitatif, yang artinya sesuatu akan mudah dijual jika kemasan dan isi dari produk tersebut mudah diterima oleh masa dalam jumlah besar. Kebalikannya, sangat berisiko bila konten dan isinya terlalu berat dan filosofis, karena pasti hanya beberapa orang saja yang dapat menerimanaya, sehingga industri akan mengalami kerugian secara finansial. Contoh paling nyata adalah lagu-lagu pop yang beredar secara luas dipasar. Lagu-lagu tersebut pasti memiliki satu kesamaan, yakni easy listening dan mudah dilafalkan irama dan syairnya. Bukan lagu instrumen dan sulit dicerna notasi dan syairnya. Lantas bagaimana dengan video game? Kita terlebih dahulu harus mempelajari sejarah bahwa video game pada awalnya adalah produk industri yang

dipasarkan kepada masyarakat semata-mata untuk hiburan. Bermula dari didirikannya The Nintendo Playing Card Company ditahun 1951, hingga mencapai masa keemasan pada periode 1979-1981 saat Nintendo merilis game berjenis arcade. Kini game dengan jenis ini bertransformasi sedemikian rupa saat Play Station muncul di awal dekade 90an dengan fitur dan grafik yang lebih nyaman oleh mata (Herman et al., 2002). Dari perjalan panjang game dalam bentuk video tersebut, sangat gamblang terlihat bahwa game adalah sebuah produk budaya yang memang sejak awal dipersiapkan untuk menjadi produk komersil global. Bila melihat kondisi saat ini ketika kecanggihan teknologi sudah semakin maju, dapat dipahami bahwa video game adalah permainan yang telah termediasi ke dalam bentuk audio visual dan secara besar-besaran telah dimasifikasi kepada masyarakat, terutama pengguna smartphone. Salah satu permasalahan klasik yang selalu menjadi perhatian kita saat meneliti sebuah game adalah masalah konten. Masalah konten juga menjadi elemen yang perlu mendapatkan perhatian terlebih bila konten tersebut dikonsumsi oleh anak-anak. Konten dari game atau permainan dalam konteks sosiologis dan kajian budaya, dipahami sebagai sebuah simulasi berwujud representasi dari realitas yang melibatkan pemain sebagai user yang mempelajari berbagai isu mengenai realitas di dalamnya (O’Sullivan et al.,2006:289). Artinya, apa yang tersaji di dalam video game tersebut juga merupakan refleksi dari realitas yang dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah permainan yang akhirnya menjadi produk massal. Padahal, dibalik konten tersebut pasti tersebut pengalaman-pengalaman realitas yang disajikan oleh sang creator. Pengalaman-pengalaman realitas tersebut tersaji dalam simbolisasi-simbolisasi tertentu yang terkadang samar bila kita tidak teliti dalam melihatnya. Misalnya dewa-dewa seperti Odin, Asura, Cerberus, Shiva, dan sebagainya yang justru menjadi karakter-karakter utama dalam video game yang disesuaikan dengan mitos dan perwujudan yang kita yakini tentang mereka. Itu berarti setiap konten video game tidak pernah bisa lepas dari refleksinya atas realitas.

Salah satu contoh paling jelas dari refleksi tersebut adalah serial game Grand Theft Auto (GTA). Game yang meraih puncak popularitas lewat medium Play Station 2 ini pada awalnya terinspirasi dari perang gangster di Amerika pada dekade 90an. Game ini bahkan disebut-sebut sebagai game action console terbaik, karena kita diberi ruang yang luas untuk mengendalikan tokoh utama dalam melakukan tindakan apapun dalam game tersebut (Banks, 2007). Unsur sosial dan politik juga berperan dalam terciptanya sebuah permainan. Ada nilai-nilai yang coba ditanamkan di dalam setiap game yang kita mainkan, ditambah lagi, saat game tersebut diproduksi secara massal sehingga menjadi bagian dari budaya populer dan mengarah pada gaya hidup dan perilaku imitasi. Maka tak heran banyak

studi-studi

yang

mempertanyakan

adanya

konten-konten

yang

menyimpang terdapat pada sebuah game. Dari berbagai ilustrasi diatas kita bisa membuat klaim bahwa faktanya game tidak hanya menyajikan sesuatu yang bersifat remeh temeh atau hanya berorientasi pada pleasure. Ada sebuah ideologi yang sengaja ditanam di dalamnya. Penanaman nilai-nilai melalui konten semacam ini bisa juga kita jumpai dalam acara televisi, bahkan iklan. Tak mengherankan bila banyak instansi atau bahkan individu membuat game guna menanamkan ideologi dan prinsip mereka akan realitas kepada khalayak khususnya kaum muda (youth). Pada implemetasinya, banyak kritik yang mengarah pada instansi-instansi produsen video game yang dianggap menyebarkan konten budaya pornografi dan ekploitasi terhadap perempuan seperti yang terdapat pada game Grand Theft Auto dan Tomb Raider (Brown,2008:21). Konten yang sarat dengan kepentingan pembuatnya ini tidak selalu bertendensi negatif. Contoh fenomena yang akan menjadi fokus pada tulisan ini adalah bagaimana sebuah video game ternyata juga dibuat dan digunakan sebagai alat resistensi pada otoritas dan kritik terhadap budaya korupsi. Terjadi pergeseran paradigma dalam memahami video game, dari yang semula remeh temeh, menjadi sesuatu yang mempunyai nilai edukasi dan koreksi terhadap realitas. Berbicara mengenai resistensi dalam budaya populer. Seorang pemikir asal Italia, Antonio Gramsci mengemukakan bahwa culture sesungguhnya bersifat progresif, dan akan

selalu ada pertentangan di dalamnya guna mencapai compromise equilibrium (Storey,2009:10). Dari ide Gramsci tersebut dipahami bahwa di setiap culture yang muncul, pasti ada culture lain yang hadir untuk resisten terhadapnya. Fenomena semacam ini sudah dibuktikan di beberapa kesempatan saat sebuah produk fashion dengan gaya tertentu muncul sebagi trendsetter, pasti akan diikuti oleh gaya fashion lain yang akan melawan hegemoni tersebut. Kecenderungan seperti ini juga terjadi di dalam lingkup video game. Saat genre game arcade menjadi mainstream, genre lain yakni RPG (Role Playing Game) mencoba untuk memberikan warna baru sekaligus pilihan kepada para gamers. Kini, seiring dengan semakin mudahnya akses informasi dan modifikasi teknologi, produksi video game tak lagi menjadi monopoli perusahaan-perusahaan besar seperti Tencent atau Nintendo dan Play Station. Berbagai fitur dan jenis video game mampu dibuat dan disebarkan oleh individu –individu tanpa campur tangan industri, sehingga menggeser paradigma produksi dari yang yang semula vertikal menjadi horizontal. Di Indonesia, saat tengah menjamurnya game-game smartphone seperti Angry Birds, Flappy Birds, bahkan The Sims, ada sebuah game yang mencoba menawarkan sesuatu yang baru kepada khalayak, khususnya kaum muda. Game tersebut bertema semangat anti-korupsi. Dengan berbagai genre game yang teraplikasi ke dalamnya, game anti korupsi ini bersifat resisten terhadap game yang selama ini menjadi arus utama di industri. Kehadirannya bahkan dianggap sebagai angin segar oleh para instansi seperti KPK, yang turut menggunakan game sebagai sarana penanaman ideologi anti korupsi sekaligus sebagai bagian dari kampanye anti-korupsi kepada generasi muda.

Video Game Anti Korupsi Sebagai Resistensi Harus diakui bahwa Indonesia adalah pangsa pasar yang besar bagi sejumlah produsen game. Dari indikator game online, berdasarkan data dari Eva Mulawati, Managing Director PT. Megaxus Infotech, jumlah pemain game online di Indonesia pada tahun 2013 mencapai angka 25 juta. Belum lagi data dari Agate Studio yang menyebutkan bahwa sekitar 70% gamers di Indonesia bertransaksi di

dalam game sebesar 100 ribu rupiah per bulannya, dan 25% mengeluarkan kocek sebesar 100 sampai 500 ribu per bulan untuk berbelanja di dalam game (dikutip dari www.dailysocial.net 14 Desember 2013). Data tersebut menunjukkan adanya minat yang besar dari masyarakat Indonesia terhadap game, dan hal tersebut pasti berbanding lurus dengan tingginya pertumbuhan dan jumlah pemain game di tanah air. Meskipun tidak dicantumkan pada data tersebut perihal umur para gamers, tetapi kita dapat berasumsi berdasarkan common sense dari kehidupan sehari-hari bahwa usia para gamers pasti berkisar pada usia-usia muda atau produktif. Dengan kecenderungan demografi sedemikian rupa, kita dapat menggunakan game sebagai alat kampanye atau penanaman sebuah ideologi kepada generasi muda yang nantinya akan meneruskan roda pemerintahan negara, dan game dengan tema anti-korupsi hadir memberikan penawaran tersebut pada generasi muda. Game anti-korupsi yang mayoritas diproduksi oleh individu ini mempunyai semangat untuk melakukan koreksi sosial dengan cara yang berbeda. Artinya cara mereka melakukan koreksi sosial dengan cara joyful yang kontradiktif dengan yang selama ini dilakukan oleh para birokrat. Filosofi menggunakan kesenangan dalam berekpresi melalui game sembari melakukan koreksi sosial, adalah sebuah kekuatan tersendiri bagi game anti-korupsi. Cara berpikir philosopy of playfulness seperti yang diungkapkan Booth (dalam Ekdale & Tully, 2014) yang mempunyai prinsip bahwa dalam keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi dapat diaktualisasikan dengan cara menimbulkan kesenangan terhadap penggunanya saat sang pengguna berkreasi dan menginterpretasikan teks informasi yang mereka terima. Di Indonesia, kesenangan itu menyebar luas di antaranya melalui game. Game anti-korupsi ini juga dibuat dengan berbagai variasi, salah satunya adalah game yang berjudul D’Jamal. Game ini sudah berfitur 3D dan mempunyai format adventure game. Pada game ini kita akan menggerakkan seorang tokoh bernama Djamal yang berniat mengungkap kasus korupsi dana dekorasi kelasnya yang dilakukan oleh sang bendahara bernama Suzan. Game D’Jamal ini bahkan mendapatkan penghargaan sebagai runner up di ACFFEST (Anti-Corruption

Festival) 2013 yang diadakan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bekerja sama dengan Management Systems International (MSI) dan USAID (dikutip dari www.duniaku.net 20 Desember 2013).

Gambar 1. Game D’Jamal ya...


Similar Free PDFs