WELLS FARGO PDF

Title WELLS FARGO
Author Ryan Aviantara
Pages 9
File Size 641.2 KB
File Type PDF
Total Downloads 193
Total Views 328

Summary

PAPER ETIKA PROFESI “KASUS WELLS FARGO” Disusun oleh : 1. Annisa Indryani Eka Fitri 2. Pardhita Tyas Palupi 3. Ryan Afiantara 4. Vania Agustina 5. Yohana Indriani PROGRAM PROFESI AKUNTANSI (PPAK) UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2016 KASUS WELLS FARGO A. PENDAHULUAN Wells Fargo merupakan sebuah Bank di ...


Description

PAPER ETIKA PROFESI “KASUS WELLS FARGO”

Disusun oleh : 1. Annisa Indryani Eka Fitri 2. Pardhita Tyas Palupi 3. Ryan Afiantara 4. Vania Agustina 5. Yohana Indriani

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI (PPAK) UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2016

KASUS WELLS FARGO A. PENDAHULUAN Wells Fargo merupakan sebuah Bank di Amerika Serikat. Bank ini didirikan pada tahun 1852, dan bermarkas di New York. Wells Fargo adalah termasuk bank besar di Amerika Serikat dan global, yaitu urutan ke-13 dari aset total berdasarkan statistik Relbank per tanggal 27 Agustus 2016 dan peringkat pertama untuk kapitalisasi pasar per 11 Maret 2016 berdasarkan statistik Relbank. Menurut CFPB, praktik ilegal yang meluas di Wells Fargo sejak 2011 adalah secara diam-diam membuka rekening simpanan dan kartu kredit tanpa sepengetahuan dan persetujuan nasabahnya. Hal ini dipicu oleh target penjualan yang ditetapkan bank kepada pegawainya dan tentu saja dengan iming-iming kompensasi (reward) berupa insentif. Pada kasus Wells Fargo, reward insentif tersebut adalah dalam rangka menaikkan target penjualan melalui cross selling produk-produknya. Praktik insentif untuk cross selling banyak dijumpai di berbagai industri terutama pada konglomerasi atau afiliasi. Tujuan cross selling adalah agar para pegawai khususnya yang memiliki fungsi penjualan dan layanan pelanggan berusaha maksimal untuk menjual bukan hanya produk yang dihasilkan perusahaan atau divisinya tetapi ikut membantu menjualkan produk yang dihasilkan perusahaan atau divisi lainnya dengan memanfaatkan pelanggan yang sudah ada termasuk calon pelanggan sehingga secara group-wide akan dihasilkan peningkatan penjualan. Cross selling produk perbankan dipercaya akan meningkatkan bukan hanya jumlah rekening, namun dapat meningkatkan simpanan, transaksi perbankan, dan pinjaman. Praktik cross selling diperkenankan apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan. Sama halnya di industri perbankan, ada kalanya bank sudah tidak bersaing dalam hal bunga. Sehingga bank mengalihkan fokusnya ke produk-produk yang mendatangkan fee. Produknya seperti asuransi,produk investasi, tabungan berjangka atau jasa lainnya. Pendapatan non bunga ini disebut fee based income. Dalam kasus Wells Fargo, teller memberikan penawaran kepada nasabah saat nasabah bertransaksi dikantor cabang. Meskipun nasabah menolak, teller/front liner ini tetap membuka rekening tanpa seizin nasabah tersebut. Mereka diduga membuat PIN palsu dan email palsu yang dialamtkan pada konsumen yang terdaftar pada layanan bank online.

Kemudian, sejumlah dana ditransfer dari rekening lama dan rekening baru. Seiring berjalannya waktu, dana di rekening nasabah ini akan habis karena terpotong biaya administrasi. Saat rekening tersebut bersaldo minus dan akan dikenakan biaya overdraft (rekening saldo minus). Biaya administrasi dan biaya overdraft ini menjadi fee based income bagi Wells Fargo. Selain itu, mereka juga mengirimkan permohonan untuk 565.443 rekening kartu kredit tanpa sepengetahuan konsumen Apa yang terjadi di Wells Fargo, bukan hanya persoalan mengejar target penjualan yang notabene merupakan target bisnis perusahaan, melainkan sudah menjadi fraud dan melanggar hukum. Walaupun CFPB memerintahkan kepada Wells Fargo mengganti kerugian kepada semua nasabah yang menjadi korban (paling tidak US$2,5 juta), telah nyata perbuatan fraud karena perbuatan ini dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh target perusahaan sekaligus.

B. LANDASAN TEORI OECD (Organization for Economic Cooperation & Development) adalah organisasi internasional dengan 30 negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. Prinsip Corporate Governance OECD banyak dijadikan acuan oleh masyarakat internasional dalam pengembangan corporate governance, karena OECD menjelaskan masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda sehingga menyebabkan masing-masing negara juga memiliki model corporate governancenya masing-masing. Terdapat enam prinsip corporate governance dalam Prinsip-prinsip OECD 2004. Prinsip – prinsip ini melandasi beberapa riset tentang pengukuran tingkat penerapan corporate governance pada perusahaan. Keenam prinsip tersebut adalah:

1. Menjamin kerangka dasar Corporate Governance yang efektif Prinsip pertama menyatakan bahwa corporate governance harus dapat mendorong terciptanya pasar yang transparan dan efisien, sejalan dengan perundangan dan peraturan yang berlaku, dan dapat dengan jelas memisahkan fungsi dan tanggung jawab otoritas-otoritas yang memiliki pengaturan, pengawasan, dan penegakan hukum

2. Hak-hak pemegang saham dan peran kunci kepemilikan saham Prinsip corporate governance yang kedua dari OECD pada dasarnya mengatur mengenai hak-hak pemegang saham dan fungsi – fungsi kepemilikan saham. Hal ini terutama mengingat investor saham terutama dari suatu perusahaan publik, memiliki hak-hak khusus seperti saham tersebut dapat dibeli, dijual ataupun ditransfer. Pemegang saham tersebut juga berhak atas keuntungan perusahaan sebesar porsi kepemilikannya. Selain itu kepemilikan atas suatu saham mempunyai

hak atas semua informasi perusahaan dan mempunyai hak untuk mempengaruhi jalannya perusahaan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

3. Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham Prinsip ketiga ini ditekankan perlunya persamaan perlakuan kepada seluruh pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Prinsip ini menekankan pentingnya kepercayaan investor di pasar modal. Untuk itu industri pasar modal harus dapat melindungi investor dari perlakuan yang tidak benar yang mungkin dilakukan oleh manajer, dewan komisaris, dewan direksi, atau pemegang saham utama perusahaan. Untuk melindungi investor, perlu suatu informasi yang jelas mengenai hak dari pemegang saham, seperti hak untuk memesan efek terlebih dahulu dan hak pemegang saham utama untuk memutuskan suatu keputusan tertetu dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika suatu saat terjadi pelanggaran atas hak pemegang saham tersebut.

4. Peranan pemangku kepentingan dalam Corporate Governance Prinsip ini menyatakan bahwa kerangka corporate governance harus mengakui hak stakeholders yang dicakup oleh perundang-undangan atau perjanjian (mutual agreements) dan mendukung secara aktif kerjasama antara perusahaan dan stakeholders dalam menciptakan kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan yang bekesinambungan (sustainibilitas) dari kondisi keuangan perusahaan yang dapat diandalkan. Para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti investor, karyawan, kreditur dan pemasok memiliki sumberdaya yang dibutuhkan oleh perusahaan. Sumberdaya yang dimiliki oleh stakeholder tersebut harus dialokasikan secara efektif untuk meningkatkan efisiensi dan kompetisi perusahaan dalam jangka panjang. Alokasi yang efektif dapat dilakukan dengan cara memelihara dan mengoptimalkan kerja sama para stakeholder dengan perusahaan. Hal tersebut dapat tercapai dengan penerapan kerangka corporate governance dalam pengelolaan perusahaan yaitu dengan adanya jaminan dari perusahaan tentang perlindungan kepentingan para pemangku kepentingan baik melalui perundang-undangan maupun perjanjian.

5. Keterbukaan dan Transparansi Pada prinsip kelima ini ditegaskan bahwa kerangka kerja corporate governance harus memastikan bahwa keterbukaan informasi yang tepat waktu dan akurat dilakukan atas semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan, termasuk di dalamnya keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan dan tata kelola perusahaan. Dalam rangka perlindungan kepada pemegang saham, perusahaan berkewajiban untuk melakukan keterbukaan (disclosure) atas informasi atau perkembangan yang material baik secara periodik maupun secara insindentil. Pengalaman di banyak negara yang mempunyai pasar modal yang aktif menunjukkan bahwa keterbukaan menjadi alat yang efektif dalam rangka mempengaruhi perilaku perusahaan dan perlindungan investor. Keyakinan yang kuat di pasar modal dengan sendirinya akan menarik investor untuk menanamkan modalnya.

6. Tanggung Jawab Dewan Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa kerangka kerja tata kelola perusahaan harus memastikan pedoman strategis perusahaan, monitoring yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, serta akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham. Menurut prinsip ini, tanggung jawab dewan yang utama adalah memonitor kinerja manajerial dan mencapai tingkat imbal balik (return) yang memadai bagi pemegang saham. Di lain pihak, dewan juga harus mencegah timbulnya benturan kepentingan dan menyeimbangkan berbagai kepentingan di perusahaan. Agar dewan dapat menjalankan tanggung jawab tersebut secara efektif, maka dewan perlu dapat melakukan penilaian yang obyektif dan independen. Selain itu, tanggung jawab lain yang tidak kalah penting yaitu memastikan bahwa perusahaan selalu mematuhi ketentuan peraturan hukum yang berlaku, terutama di bidang perpajakan, persaingan usaha, perburuhan, dan lingkungan hidup. Dewan perlu memiliki akuntabilitas terhadap perusahaan dan pemegang saham serta bertindak yang terbaik untuk kepentingan mereka. Dewan juga diharapkan bertindak secara adil kepada pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya, seperti kepada karyawan, kreditur, pelanggan, pemasok dan masyarakat sekitar perusahaan. Di Indonesia sendiri, Komite Nasional Kebijakan Good Corporate Governance (KNKGCG) yang dibentuk tahun 1999 berdasarkan SK Menko Ekuin Nomor: KEP/31/M.EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan pedoman Good Coporate Governance (GCG). Pedoman tersebut telah beberapa kali disempurnakan, terbaru pada tahun 2006 oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai pengganti KNKGCG. KNKG mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Lima prinsip dasar GCG menurut KNKG (2006) adalah sebagai berikut : 1. Transparansi Untuk menjaga objektivitas dalam menjaankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Dalam mewujudkan transparansi ini, perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundangundangan, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya. 2. Akuntabilitas Perusahaan harus dapat mempertanggungjelaskan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Akuntabilitas juga berlaku bagi Direksi yang mengelola perusahaan dan Dewan Komisaris yang mengawasi Direksi.

3. Responsibilitas Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapatkan pengakuan sebagai good corporate citizen. 4. Independensi Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5. Kewajaran dan Kesetaraan Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.

C. DAMPAK KASUS WELLS FARGO Kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh karyawan Wells Fargo disebabkan oleh beberapa hal : 

Opportunity



Pressure or Insentif



Rasionalisasi

- Konsumen lengah - Lemahnya Internal Control - Staff (teller or Front Liner) terancam dipecat jika tidak memenuhi target. - Staff (teller or Front Liner) bisa mendapatkan bonus jika target tercapai - Staff (teller or Front Liner) berpikir bahwa yang dilakukan adalah hal yang lumrah karena banyak rekan yang melakukan hal yang sama

Kasus ini berdampak bagi seluruh stakeholder. Wells Fargo akan memberhentikan sekitar 5.300 pegawai karena skandal penjualan ilegal ini. Pemecatan ini akan berjalan selama lima tahun. Saat ini Wells Fargo memiliki lebih dari 100.000 pegawai di semua kantornya. Artinya, 5,3%

pegawainya akan dipecat atau menurut CNN Money atau Forbes adalah 2% dari sekitar total pegawai 265.000 orang mulai dari tingkatan manajer sampai dengan pegawai biasa. Selain itu, dampak dari kasus ini adalah banyak nasabah yang dirugikan karena tidak mendapatkan perlindungan terhadap akun rekening mereka.

Kasus ini sudah terjadi dari tahun 2011, dan begitu banyak karyawan yang terlibat dalam melakukan fraud ini. Sehingga, muncullah beberapa pertanyaan atau keraguan seperti : i.

ii.

Apakah lembaga pengawas dan pembuat kebijakan di Wells Fargo yang merupakan elemen kunci governance (governance body) menutup mata, tidak tahu mengenai potensi resiko fraud sekaligus pelanggaran hukum yang dipicu adanya tekanan mencapai target bisnis dan reward insentif? Sebab menurut teori fraud triangle – Opportunity, Pressure dan Rasionalisasi- tekanan untuk mencapai target bisnis dan reward insentif yang merupakan sebab terjadinya fraud. Bagaimana dengan budaya organisasi, khususnya integritas. Dalam websitenya bank Wells Fargo menyatakan bahwa : “compliance and risk management are part of our culture and are an extension of our code of ethics; first, ensure safe and sound management practices are in place; second, achieve acceptable profitability; and third, grow the business and have fun succeeding; If we do what’s right for our team members, customers, and communities, then — and only then — we will earn sustained profits and have our shareholders see us as a great investment”. Dengan adanya pernyataan diatas menunjukkan harusnya budaya positif berlaku di Wells Fargo. Namun dengan skandal ini apakah dapat dipercaya Wells Fargo telah membuat dan mengimplementasikan budayanya dengan efektif. Sebab nyatanya jumlah 5.300 pegawai yang dipecat karena terkait dengan skandal ini merupakan jumlah yang sangat banyak. Artinya, secara massal telah terjadi fraud dan penipuan. Bisa jadi banyak pegawai yang tahu dan seharusnya tahu tentang praktik ilegal ini.

iii.

Dengan adanya kasus ini juga meragukan kinerja dari internal audit, manajemen resiko , serta pengawas seperti direksi, komisaris dan komite audit. Karena skandal ini terjadi pada perusahaan besar dan global maka patut dipertanyakan bagaimana pelaksanaan tata kelola oleh elite-elite pengawasan tersebut. Apabila skandal ini terjadi di perusahaan kecil atau tidak ternama maka pantas saja orang tidak mempersoalkan pertanggungjawaban tata kelolanya.

Dan, jika dikaitkan dengan prinsip tata kelola perusahaan yang dikeluarkan oleh OECD dan KNKG, terdapat beberapa prinsip yang dilanggar dalam kasus ini, yaitu : Pada Prinsip OECD : 1. Keterbukaan dan Transaparansi : Tidak adanya transparansi kepada nasabah sehingga dengan mudahnya pihak Wells Fargo melakukan tindakan melanggar etika dengan cara membuka rekening simpanan

dan kartu kredit atas nama nasabah tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari nasabah yang bersangkutan. 2. Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi : Lemahnya control dari komisaris dan direksi terhadap kinerja frontliner. Frontliner diberi beri target penjualan agar menguntungkan perusahaan tetapi komisaris dan direksi kurang memperhatihan fraud yang mungkin akan dilakukan oleh karyawannya demi mencapai target dan mendapat reward tersebut.

Lalu pada kasus ini terdapat pula prinsip yang dilanggar pada KNKG, yaitu : 1. Akuntabilitas Pemangku kepentingan di Wells Fargo kami anggap tidak mampu untuk mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan, hal tersebut dapat dibuktikan dengan pembukaan rekening simpanan dan kartu kredit atas nama nasabah yang dilakukan secara diam-diam dan tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan. 2. Responsibilitas Pihak Wells Fargo seharusnya merahasiakan informasi tentang nasabahnya, tetapi dalam kasus ini, ia menggunakan informasi tersebut untuk meningkatkan penjualan dan pencapaian target perusahaan

3. Independensi Dengan adanya target penjualan memang baik bagi perusahaan, karna akan meningkatkan penjualan dan kinerja perusahaan akan lebih baik. Akan tetapi hal ini tidak sesuai dengan prinsip GCG yaitu independensi, karena adanya conflict of interest dengan adanya reward bagi front liner jika target tercapai.

D. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari kasus bank Wells Fargo, yaitu : 1. Tidak adanya control yang dilakukan oleh pihak management atas target yang telah ditetapkan, sehingga menimbulkan adanya tindakan fraud yang dilakukan oleh pemangku kepentingan (karyawan) untuk mencapai target tersebut dan mendapatkan reward 2. Tidak adanya keamanan yang dilakukan oleh pihak internal untuk mencegah adanya kebocoran data nasabah yang dapat merugikan nasabah dan perusahaan dikemudian hari 3. Kurangnya tanggung jawab dari masing-masing pemangku kepentingan atas kinerja yang mereka lakukan, sehingga mereka hanya bekerja dengan orientasi untuk kepentingan dan kemajuan diri sendiri tanpa memikirkan dampak bagi perusahaan

Saran yang kelompok kami berikan, berkaitan dengan kasus ini yaitu L 1. Diadakannya sistem untuk mencegah dan mengontrol adanya fraud yang dapat masing-masing pegawai hingga level management lakukan 2. Melakukan sharing session diantara dua belah pihak yaitu pihak management dan karyawan sehingga dapat menemukan satu terobosan baru yang dapat meningkatkan harga dari perusahaan dan penjualan tanpa adanya pihak yang merasa diberatkan atas keputusan tersebut....


Similar Free PDFs