Buku 3. Efisiensi dan Kinerja Bank.pdf PDF

Title Buku 3. Efisiensi dan Kinerja Bank.pdf
Author D. Takdir Syaifuddin
Pages 91
File Size 916.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 463
Total Views 876

Summary

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memasuki millenium ketiga yang ditandai oleh perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, seperti teknologi di bidang informasi yang sangat pesat, menyebabkan dunia seperti tanpa batas (bordered less), apa yang terjadi dibelahan bumi ini dengan se...


Description

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memasuki millenium ketiga yang ditandai oleh perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, seperti teknologi di bidang informasi yang sangat pesat, menyebabkan dunia seperti tanpa batas (bordered less), apa yang terjadi dibelahan bumi ini dengan seketika dapat diketahui di belahan bumi lainnya. Di dalam bidang perbankan millenium ketiga ini sering juga disebut oleh berbagai kalangan sebagai era globalisasi yang memunculkan terjadinya perubahan-perubahan sebagai berikut: (1) Modernisasi, (2) Deregulasi, (3) Privatisasi, (4) Internalisasi, (5) Jaminan Keamanan Dana, (6) Kecanggihan Nasabah, (7) Rasio Kecukupan Modal” (Riyadi, 2003 : 2 - 9) Pendapat Riyadi, menggambarkan tuntutan bagi dunia perbankan ditengah-tengah perubahan dan perkembangan zaman yang tidak dapat dielakkan oleh perbankan sebagai lembaga intermediasi antara surplus dana dengan defisit dana. Implikasi dari modernisasi perbankan adalah terjadinya pergeseran pendapatan bank dari peningkatan pendapatan spread bunga (lending base income), atau sering disebut sebagai kegiatan on balance sheet kepada peningkatan pendapatan berdasarkan fee (fee base income), atau sering disebut sebagai kegiatan off balance sheet, baik melalui sarana pasar uang (money market), maupun melalui pasar modal (stock market), ataupun pendapatan bunga dari aktivitas money market dan fee atas jasa-jasa yang diberikannya, seperti advising Letter of Credit L/C), pembukaan L/C, penerbitan bank garansi, kartu kredit, serta jasa bank lainnya. Implikasi dari deregulasi perbankan sejak dikeluarkannya paket kebijakan oktober (pakto 1988) yang memuat peraturan tentang; peniadaan plafon kredit, pengurangan kredit bersubsidi (Kredit Likuiditas Bank Indonesia), deregulasi tingkat bunga deposito dan loan, serta penghapusan subsidi deposito. Paket kebijakan desember (pakdes 1988) yang memuat tentang; pengendoran izin dan persyaratan

pembukaan cabang, menurunkan reserve requirement dari 15 % menjadi 2 %,

mengizinkan Badan Usaha Milik Negara untuk menempatkan dananya pada bank swasta dan memperbaiki peraturan lending limits. Begitupula dengan Program Rekapitalisasi Perbankan Tahun 1999, maka dampaknya dapat terlihat yaitu; a. Ekspansi pemberian kredit besar-besaran kepada nasabah baik dalam group sendiri, maupun kepada nasabah lain yang memunculkan potensi terjadinya

kredit macet, b. peningkatan jumlah bank yang mengakibatkan persaingan menjadi semakin ketat, sehingga banyak bank yang menjadi collaps. Dilain pihak Kuntjoro dan Suhardjono (2002 : 315 – 316) mengemukakan bahwa,



Deregulasi perbankan memunculkan liberalisasi yang mendorong munculnya bank-bank baru dan masuknya cabang-cabang bank asing di Indonesia, sehingga persaingan antar bank dalam memperebutkan pasar yang semakin ketat dan dengan makin ketatnya persaingan bank dalam memperebutkan pasar menyebabkan pergeseran yang mendasar dalam pola pemasaran “. Dari pendapat Kuntjoro dan Suhardono, mengindikasikan perlunya upaya perbaikan pola pemasaran bank, jika sebelumnya bank-bank melakukan kegiatan pemasaran lebih pasif, maka saat ini dipaksa harus melaksanakan pemasaran secara aktif dengan mendatangi calon nasabah, baik dirumah maupun di kantor disertai dengan promosi di media-media. Selanjutnya implikasi dari fenomena privatisasi (privatization) pada negara-negara yang masih tergolong developing countries mendorong bank-bank badan usaha milik negara (BUMN : state commercial bank) untuk menjadi bank milik publik melalui go public di pasar modal yang mengandung beberapa konsekwensi antara lain : bank-bank dimaksud dituntut untuk lebih meningkatkan sumberdaya manusia (SDM), lebih transparan dan menyempurnakan tata kerjanya. Implikasi dari Internalisasi (Internalization) adalah munculnya World Trade Organization (WTO), maka persaingan dalam dunia internasional semakin lebih tajam lagi, karena setiap negara yang menjadi anggota WTO termasuk Indonesia harus mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh badan dunia itu, sehingga terjadi cross border di atara anggota-angotanya yang memberikan dampak yang cukup luas, yakni bank-bank saat ini telah berubah orientasinya. Begitu pula hubungan dengan institusi yang terkait dari nasional menjadi internasional. Lebih lanjut implikasi dari sekuritisasi (securitization) dalam sektor perbankan memunculkan perlunya faktor jaminan keamanan yang sangat mempengaruhi performance (kinerja) dari setiap bank. Bagi negara yang tingkat keamanannya yang rendah, dalam arti sering terjadi kekacauan baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik, maka akan mempengaruhi kinerja bisnis perbankan dinegara yang bersangkutan. Walaupun faktor ini berada di luar lembaga perbankan, namun tetap mempunyai dampak langsung pada operasional bank di negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, lembaga perbankan seyogyanya memperhatikan faktor–faktor yang dapat mepengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, faktor–faktor eksternal seperti ; gejolak–gejolak sosial dan politik, regulasi pemerintah, perkembagan valuta asing, sedangkan faktor–faktor internal seperti; Investor, komisaris, direksi, karyawan. Pihak otoritas moneter dan manajemen bank harus dapat membuat kebijakan yang dapat mengeliminir risiko yang ditimbulkannya, misalnya melalui kebijakan penjaminan simpanan dana masyarakat yang dihimpun, sehingga masyarakat yang menyimpan dananya, baik dalam bentuk giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito berjangka, maupun dalam bentuk simpanan lainnya di bank, akan merasa aman bahwa dananya dapat ditarik setiap saat sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan antara nasabah dengan banknya. Implikasi dari adanya Customer’s Sophistication (Pelanggan canggih) yang memunculkan orientasi pasar dari bank-bank yang mengandung makna demi kepuasan pelanggan atau nasabah.

Persaingan tidak hanya dari segi pricing dalam arti dari sudut sumber maupun penggunaannya, tetapi juga dari segi kemudahan dalam pemberian pelayanannya. Oleh karena itu, kalangan perbankan akan mengeluarkan biaya lebih besar dibanding sebelumnya, atau paling tidak mengurangi margin yang telah dinikmatinya selama ini. Tetapi ditinjau dari sisi yang positif, maka hal ini juga telah memaksa kalangan perbankan untuk selalu inovatif dalam menekan cost dan meningkatkan income dari sisi fee base line-nya, atau kegiatan off balance sheetnya, atau kegiatan off balance sheet. Implikasi dari Capital Adequacy Ratio yang merupakan peraturan prudential banking dari BIS (Bank for International Settlement) yang mengatur tingkat kesehatan bank, maka setiap bank yang beroperasi diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pemenuhan modal minimum, atau yang lebih dikenal dengan Capital Adequacy Ratio (CAR). Sebelum masa krisis perbankan di Indonesia diwajibkan memenuhi CAR sebesar 8 % dan secara bertahap menjadi 12 % pada tahun 2001. Tetapi pada saat krisis, sementara diubah menjadi 4 % dan pada saatnya akan mengacu sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BIS (SK. BI. Nomor : 30/277/KEP/DIR, 1998). Pemenuhan kebutuhan modal minimum ini sangat dipengaruhi oleh cara perhitungan Aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR), besarnya modal yang dimiliki bank, besarnya penyisihan penghapusan aktiva produktif dan laba yang dihasilkan, atau rugi yang diterima oleh bank tersebut. Modal juga akan mempengaruhi langsung pada kemampuan bank dalam menyalurkan dananya dalam bentuk kredit kepada masyarakat dan kemampuan bank untuk mengelola valuta asing atau foreign exchange yang dimilikinya. Krisis ekonomi dan moneter yang dialami Indonesia sejak akhir tahun 1997 menyebabkan banyak perusahaan termasuk lembaga perbankan yang mengalami krisis likuiditas, bahkan tidak sedikit yang mengalami kebangkrutan. Menurut Ali (2002 : 3 - 7).

“ Melihat luas dan dalamnya

jangkauan serta cengkeraman krisis yang telah berlangsung selama lima tahun terakhir, terutama berakar pada cara penanganan yang kurang tepat dan tidak efisien yang meliputi aspek-aspek berikut : a. kesalahan penerapan perangkat prudential banking practise secara lebih tegas. Begitupula dengan perubahan beberapa kali BMPK dan ketentuan setoran modal nominal bagi perbankan, menyebabkan CAR perbankan semakin merosot tajam, b. pemerintah dan Bank Sentral serta BPPN tidak menetapkan pentahapan atas periode penanganan krisis dengan jelas. Tampaknya tidak ada strategi yang jelas apa yang akan dilakukan pemerintah setelah periode rekap perbankan dan rekstrukturisasi sektor riil “. Dari pendapat Ali, maka dibutuhkan langkah–langkah penerapan

prudential banking

practise lebih tegas dan untuk semua kalangan, serta perlunya strategi yang jelas. Dilain pihak Sinkey (2002 : 26) mengatakan bahwa fluktuasi di dalam perbankan memiliki volatilitas sebagai suatu refleksi dari perubahan tingkat bunga, nilai tukar dan harga barang yang merupakan sumber risiko bagi perbankan, maka dibutuhkan metode-metode modern untuk mengelola risiko yaitu metode TRICK (T:Transparency, R: Risk yang mungkin timbul, I: Information technology, C: Customer, dan K: Kapital). Dari pendapat Ali dan Sinkey dapat disimpulkan bahwa bank dewasa ini memerlukan penerapan manajemen prudential banking practise, manajemen risiko secara terintegrasi, transparan (transparency), akuntabel (accountability) dan tata kelola yang baik (good governance)

B. Pengertian Bank dan Sistem Perbankan Indonesia Menurut Undang–Undang Tentang Perbankan No: 7 Tahun 1992 bab 1 pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat kembali dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kemudian pada Undang–Undang Tentang Perbankan No: 10 Tahun 1998, Tentang Perubahan atas Undang–Undang Tentang Perbankan No. 7 tahun 1992 memberikan pengertian yang sama namun mengalami perubahan menjadi pasal 1 ayat 1. Disamping itu, bank juga berfungsi sebagai tempat untuk penitipan atau penyimpanan uang dengan cara bank memberikan surat atau selembar kertas dalam bentuk sebagai berikut : 1.

Rekening koran atau giro (demand deposit), yaitu simpanan yang setiap saat dapat dipergunakan untuk melakukan pembayaran dengan mempergunakan cek (perintah membayar). Kalau menyimpan uang dalam bentuk ini, biasanya tidak mendapatkan bunga deposito.

2.

Deposito berjangka (time deposit), yaitu simpanan yang ditipkan ke bank untuk suatu jangka waktu tertentu, misalnya, 1,3, 6 dan 12 bulan. Dalam artian bahwa uang tersebut dapat dipergunakan kalau waktu yang telah ditetapkan tiba (jatuh tempo). Dan untuk simpanan dalam bentuk ini, biasanya bank membayara bunga kepada pemilik uang.

3.

Tabungan, pada hakekatnya sama dengan time deposit, tetapi tabungan mempunyai persyaratan tertentu yang berbeda dengan time deposit. Misalnya tabanas dan lain–lain.

Ketentuan–ketentuan penting dalam Undang–Undang No. 10 Tahun 1998 terdapat dalam pasal–pasal Dendawidjaya (2000 : 19) sebagai berikut : Pasal 1 (Ketentuan Umum) dijelaskan; 1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. 2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 3. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Tabungan

dan/ atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu. 5. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. 6. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah penyimpan dan bank. 7. Sertifikat deposito adalah simpanan dalam bentuk Deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.

8. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. 9. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 10.Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank. 11.Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian antara bank dan nasabah yang bersangkutan. 12.Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian antara bank dan nasabah yang bersangkutan. 13.Kantor Cabang adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas di mana kantor cabang tersebut melakukan usahanya. Afiff, et al. (1996 : 34) mengemukakan bahwa lembaga-lembaga yang kegiatannya di bidang keuangan dan lembaga keuangan non bank tergabung dalam suatu sistem yang lazim disebut sistem keuangan. Berdasarkan Undang–Undang RI No. 10 Tahun 1998 pasal 29 ayat 1 dan Undang–Undang RI No. 7 Tahun 1992 tentang terdapatnya tiga kelompok bank dan berdasarkan Undang–Undang RI No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, sistem perbankan di Indonesia terdiri dari :

1. Bank Sentral (Bank Indonesia) selaku pembina dan pengawas bank 2. Bank Umum 3. Bank Perkreditan Rakyat 4. Bank Campuran. Dari uraian yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan, pertama, sistem perbankan merupakan kelompok bank secara keseluruhan beserta hubungannya dengan seseorang, kedua, sistem perbankan merupakan bagian dari sistem keuangan. Lebih lanjut Afiff, et al. (1996 : 36) mengatakan bahwa : “ melihat dari jenis uang yang beredar dimasayarakat terdiri dari dua jenis, yaitu : (1) Uang kartal adalah uang yang beredar dalam bentuk uang kertas bank dan uang logam yang merupakan alat pembayaran yang sah (wewenang Bank Sentral), (2) Uang giral adalah utang suatu bank yang pengambilannya dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan cek maupun dengan giro (Bank umum dan bank campuran) “. Dari pengertian Afiff et al., maka terdapat dua macam uang yang beradar di masyarakat yaitu ; uang kartal (uang kertas dan logam) dan uang giral (cek dan giro). Kelompok bank yang menciptakan uang kartal dan uang giral disebut sistem moneter. Jika disimak lebih mendalam tentang tugas Bank Indonesia, peranan sebagai lembaga negara dalam sistem moneter Indonesia, menyatakan ; bahwa Dewan Moneter di Indonesia memberikan pengarahan dan pedoman kerja kepada Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter, untuk melakukan pengendalian secara langsung agar nilai Rupiah terpelihara kestabilannya, juga mengusahakan

terjadinya peningkatan taraf hidup masyarakat dengan menciptakan kesempatan kerja. Kebijaksanaan Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan pengendalian moneter di Indonesia dapat menggunakan instrumen moneter yaitu: (1) pengaturan pagu kredit, dan (2) pengaturan suku bunga.

C.

Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan ketentuan–ketentuan penting dalam Undang–Undang No. 10 Tahun 1998

Pasal 6 tentang kegiatan usaha bank umum: 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, setifikat deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 2. Memberikan kredit. 3. Menerbitkan surat pengakuan utang. 4. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya : a.

surat – surat wesel

b.

surat pengakuan utang

c.

kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan Pemerintah

d.

sertifikat Bank Indonesia (SBI)

e.

obligasi

f.

surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun.

5. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah. 6. Mendapatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya. 7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga. 8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga. 9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. 10.

Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.

11.

Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali amanat.

12.

Menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai ketentuan Bank Indonesia.

13.

Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang–undang ini dan

peraturan perundang–undangan yang berlaku.

D. Fungsi Bank Umum Koch dan Donald, 2000 (2001 : 76) mengatakan : “ intermediasi keuangan adalah proses pembelian surplus dana dari unit ekonomi yaitu sektor usaha, pemerintah dan individu atau rumah tangga, untuk disalurkan kepada unit ekonomi defisit. Dengan kata lain, intermediasi keuangan

merupakan kegiatan pengalihan dana dari penabung (ultimate lenders) kepada peminjam (ultimate borrowers)”. Dari pengertian Koch dan Donald, dapat dipahami fungsi intermediasi bank adalah mempertemukan antara surplus dana (para penabung) dengan defisit dana (para kreditur). Di lain pihak Kuntjoro dan Suhardjono (2002 : ) mengungkapkan bahwa :“ dalam berbagai buku perbankan, suatu bank didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang “. Dari definisi kedua pakar tersebut, dapat disimpulkan tiga fungsi utama bank dalam pembagunan ekonomi, yaitu ; 1.

Bank sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan.

2.

Bank sebagai lembaga yang penyalur dana ke masayarakat dalam bentuk kredit.

3.

Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang.

1. Fungsi menghimpun dana Dalam melakukan kegiatan usahanya sehari-hari, bank harus mempunyai dana agar dapat memberikan kredit kepada masyarakat. Dana tersebut dapat diperoleh dari pemilik bank (pemegang saham), pemerintah, bank Indonesia, pihak-pihak di luar negeri, maupun masyarakat di dalam negeri. Dana dari pemilik bank berupa setoran modal yang dilakukan pada saat pendirian bank. Dana dari pemerintah, diperoleh bank antara lain apabila bank yang bersangkutan ditunjuk oleh pemerintah untuk menyalurkan dana-dana bantuan yang berkaitan dengan pembiayaan proyek-proyek pemerintah, misalnya Proyek Inpres Desa Tertinggal. Sebelum dana tersebut diteruskan kepada penerima, bank dapat menggunakan dana tersebut untuk mendapatkan keuntungan, misalnya dipinjamkan dalam bentuk pinjaman antar bank (interbank call money) berjangka 1 – 7 hari. Dana dari Bank Indonesia dapat diperoleh Bank Pelaksana untuk menyalurkan kredit kepada usaha-usaha yang mendapatkan prioritas untuk dikembangkan, misalnya kredit usaha tani (KUT), kredit pengadaan pangan, dan sebagainya. Dalam hal ini bank penyalur kredit akan memperoleh dana dari Bank Indonesia (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) sebesar bagian dana (sharing) yang ditanggung oleh Bank Indonesia. Selanjutnya bank dapat menempatkan dana tersebut sebelum disalurkan kepada penerima dalam bentuk pinjaman antar bank (interbank call mo...


Similar Free PDFs