Cricial Review "City Economic" PDF

Title Cricial Review "City Economic"
Author Nuur Awaliyah
Pages 19
File Size 3.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 145
Total Views 611

Summary

DOSEN PENGAMPU: DISUSUN OLEH : Ajeng Nugrahaning Dewanti, S.T., M.T., M.Sc. Nuur Awaliyah 08161061 Elindiyah Syafitri, S.T., M.Sc PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN 2018 REVIEW JURNAL Penulis : Dr. Sribas Goswami dan Prof. Sa...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Cricial Review "City Economic" Nuur Awaliyah

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

POLA PERMUKIMAN MASYARAKAT DI PINGGIRAN REL KERETA API (St udi Kasus : Permukiman … Abdul Aziz

Prosiding Hat aru 2016 Universit as Brawijaya Hijrah Anant a Analisis st rat egi bert ahan hidup penghuni pemukiman kumuh di sepanjang bant aran rel keret a api di k… Ara Auza

DOSEN PENGAMPU: Ajeng Nugrahaning Dewanti, S.T., M.T., M.Sc. Elindiyah Syafitri, S.T., M.Sc

DISUSUN OLEH : Nuur Awaliyah 08161061

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN 2018

REVIEW JURNAL Penulis

: Dr. Sribas Goswami dan Prof. Samita Manna

Judul Jurnal : Urban Poor Living in Slums, A Case Study of Raipur City in India Tahun Terbit : 2013 DESKIRPSI ISU POKOK Urbanisasi merupakan suatu fenomena yang sering terjadi di negara-negara berkembang. Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses berpindahnya masyarakat pedesaan menuju kota atau proses perubahan masyarakat dan kawasan dalam suatu wilayah dari non

urban menjadi urban (Ir. Triatno Yudo, 2010). Urbanisasi dapat memberikan dampak positif dan negatif pada suatu negara. Dampak positif dari urbanisasi yaitu dengan meningkatnya jumlah penduduk maka akan tersedia banyak tenaga kerja yang apabila diimbangi dengan lapangan pekerjaan maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Sedangkan dampak negatif dari urbanisasi yaitu urbanisasi menimbulkan permasalahan sosio-ekonomi dan masalah lingkungan. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin besar dan tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja akan menyebabkan permasalahan ekonomi dan sosial seperti kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas. Permasalahan ekonomi dan sosial tersebut akan mengakibatkan tumbuhnya masalah baru yaitu berkembangnya permukiman kumuh di perkotaan. Fenomena ini telah terjadi di negara India dimana permukiman kumuh terbentuk akibat dari urbanisasi. India merupakan suatu negara yang memiliki 28 negara bagian dan 7 wilayah persatuan. Salah satu kota di negara bagian yang memiliki fenomena permukiman kumuh sebagai akibat dari urbanisasi yaitu Kota Raipur. Kota Raipur menawarkan berbagai peluang pekerjaan dan pelayanan masyarakat seperti fasilitas kesehatan, fasilitas komersial maupun fasilitas perdagangan dan jasa. Oleh karena itu banyak masyarakat pedesaan tertarik untuk memperbaiki kehidupan dengan berpindah ke kota Raipur. Tetapi faktanya, terjadinya perpindahan tersebut menyebabkan terbentuknya masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh karena tidak mampu membeli lahan untuk tempat tinggal yang layak. Ketidakmampuan masyarakat dikarenakan tidak imbangnya antara tenaga kerja dengan lapangan pekerjaan yang tersedia sehingga menyebabkan pengangguran dan kemiskinan. Meningkatnya pengangguran dan kemiskinan berpengaruh pada keadaan ekonomi di kota tersebut. Sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan yaitu terbentuknya permukiman kumuh.

Berdasarkan isu yang terjadi dapat diketahui bahwa urbanisasi merupakan

fenomena yang cukup kompleks dan dapat mempengaruhi banyak sektor (multisektoral).

1

Dampak urbanisasi di suatu wilayah bisa positif maupun negatif, hal ini tergantung dengan bagaimana cara suatu wilayah tersebut dalam menghadapi urbanisasi. Berdasarkan jurnal penelitian, metode penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data secara primer dan sekunder. Diketahui bahwa terdapat 154 lokasi permukiman kumuh di kota Raipur, dimana 135 dari 154 lokasi resmi dinyatakan pemerintah sebagai permukiman kumuh. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan memilih 4 lokasi yang terbagi dalam 2 fase yaitu fase timur dan fase barat. Hal ini dikarenakan lokasi permukiman kumuh sebagian besar terletak di timur dan barat kota Gandhinagar timur dan Moulipara, dimana keduanya merupakan kota yang memiliki jumlah penduduk di permukiman kumuh sebanyak 5782 dan 4830 jiwa. Pada fase barat lokasi yang dipilih yaitu bagian barat kota Kushalpur dan kota Basti dengan jumlah penduduk di permukiman kumuh sebanyak 6021 dan 1037 jiwa. Jumlah responden pada penelitian ini yaitu sebanyak 300 responden dengan komposisi jenis kelamin laki-laki 52,33% dan perempuan 47,66%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa jumlah responden yang bekerja yaitu sebanyak 65,66 % dan sebanyak 34,34 % responden tidak bekerja. Mayoritas responden yang tinggal di permukiman kumuh termasuk kedalam kelas sosial ekonomi yang rendah. Dengan pendidikan yang rendah dan kurangnya keterampilan menyebabkan mereka bekerja sebagai buruh bangunan, pembantu rumah tangga, pekerja pabrik dan berdagang dengan penghasilan yang sedikit. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini menyebabkan rendah pula kualitas permukimannya. Kondisi perumahan pada permukiman kumuh memiliki kualitas yang buruk dengan kepadatan rumah yang tinggi, sanitasi buruk, lingkungan yang tidak sehat dan tidak ada ruang terbuka untuk rekreasi atau taman. Kondisi lingkungan yang buruk menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat Kota Raipur sehingga fenomena yang saling berkaitan ini disebut sebagai “vicious cycle” atau lingkaran setan. Fenomena urbanisasi yang sangat pesat menyebabkan tumbuhnya permukiman kumuh. Pertumbuhan permukiman kumuh di Kota Raipur ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya yaitu : a. Kurangnya ketersediaan lahan untuk permukiman, b. Penghasilan masyarakat yang rendah dan harga lahan untuk permukiman sangat tinggi, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu untuk membeli lahan tersebut, c. Banyaknya masyarakat yang bekerja di pusat kota menyebabkan mereka mencari tempat tinggal dekat dengan pusat kota. Karena tidak memiliki penghasilan yang cukup mengakibatkan mereka mendirikan bangunan liar/illegal disekitar pusat kota.

2

d. Tidak adanya perhatian dari pihak pemerintah e. Tidak adanya legislasi zonasi Kemiskinan merupakan penyebab utama dari adanya permukiman kumuh di negara India. Untuk mengatasi pertumbuhan permukiman kumuhyang semakin pesat maka pemerintah memiliki beberapa kebijakan. Adapun kebijakan pemerintah terkait kemiskinan di negara India yaitu dengan adanya jaminan sosial untuk masyarakat miskin. Kebijakan terkait jaminan sosial bagi masyarakat miskin ini tercantum dalam Undang-Undang Upah Minimum, Undang-Undang Santunan Bersalin, Undang-Undang Pekerja, Undang-Undang Kontrak Buruh. Bahkan, pemerintah juga menjamin buruh pekerja yang tidak terogranisir. Jaminan sosial tersebut terdiri atas dana pensiun, asuransi kehamilam, asuransi umum, asuransi kesejahteraan untuk pengrajin dan penenun serta asuransi kesehatan.

3

KAJIAN KRITIS

Urban poor living atau kehidupan kemiskinan perkotaan merupakan keadaan kekurangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak (Levitan dalam Effendi, 193:12). Kemiskinan adalah wujud dari kesenjangan antar kelompok sosial, jika ditinjau dalam segi keruangan, kemiskinan timbul karena ada sebagian daerah yang belum sepenuhnya tertangani, ada beberapa sektor yang menampung tenaga kerja berlebih dengan tingkat produktivitas yang renah dan ada pula kelompok masyarakat yang belum dapat merasakan hasil-hasil pembangunan secara memadai (Sumodiningrat, 1998). Urban poverty atau kemiskinan perkotaan biasanya dipicu oleh perkembangan kota yang pesat, tercermin dari pesatnya perluasan wilayah kota, tingginya tingkat urbanisasi, meningkatnya perkembangan ekonomi yang ditandai adanya konsentrasi berbagai macam kegiatan ekonomi terutama industri, perdagangan dan jasa (Shalimow, 2004). Urbanisasi merupakan salah satu isu perkotaan yang sering terjadi di negara berkembang dimana isu ini jika tidak ditangani dengan baik maka dapat menimbulkan permasalahan baru yaitu kemiskinan yang berujung pada terbentuknya slum area. Adanya permukiman dengan keterbatasan sarana dan prasarana pendukung menunjukkan terbentuknya kantong-kantong kemiskinan (slum area) di perkotaan. Slum area atau kawasan permukiman kumuh adalah lingkungan hunian yang kualitasnya sangat tidak layak huni, ciri-cirinya antara lain berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam luas lahan yang terbatas, rawan penyakit sosial dan lingkungan serta adanya kualitas bangunan yang sangat rendah, prasarana lingkungan kurang memadai dan dapat membahayakan penghuninya (Budiharjo, 1997). Berdasarkan jurnal ”Urban Poor Living in Slums, A case Study of Raipur City in India” ,

urban poor living di Kota Raipur diakibatkan oleh adanya urbanisasi. Dampak dari urbanisasi tersebut yaitu banyaknya masyarakat yang tinggal di kota dan hanya bekerja disektor informal karena rendahnya kualitas pendidikan mereka sehingga penghasilan yang mereka dapatkan tergolong rendah. Akibatnya masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu untuk memiliki hunian yang layak sehingga mereka membentuk suatu permukiman yang tidak layak huni dan menjadi permukiman kumuh. Urban poor living di Kota Raipur diukur berdasarkan jenis pekerjaan dan tingkat penghasilan masyarakat. Adapun jumlah masyarakat yang bekerja yaitu sebanyak 65,66 % dan sebanyak 34,34 % masyarakat tidak bekerja. Terdapat 1,66% masyarakat dengan penghasilan 1000 rupee atau 206.500 rupiah per bulan , 28% berpenghasilan 1001-2001 rupee atau 207.000-413.000 rupiah per bulan dan 17,33% memiliki penghasilan 2001-5000 rupee atau 413.000–1.000.000 rupiah per

4

bulan serta masyarakat yang memiliki penghasilan lebih dari 5000 rupee atau lebih dari 1.000.000 rupiah per bulan yaitu sebanyak 19,66%. Sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh termasuk kedalam kelas sosial ekonomi yang rendah. Dengan pendidikan yang rendah dan kurangmya keterampilan menyebabkan mereka bekerja sebagai buruh bangunan, pembantu rumah tangga, pekerja pabrik dan berdagang dengan penghasilan yang sedikit. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini menyebabkan rendah pula kualitas permukimannya. Selain jenis pekerjaan dan tingkat penghasilan masyarakat, berdasarkan jurnal tersebut urban poor

living di Kota Raipur juga diukur berdasarkan tingkat kesehatan dan gizi masyarakat di permukiman kumuh hanya saja hal tersebut tidak dijelaskan secara rinci. Pada jurnal tersebut dijelaskan bahwa kesehatan merupakan masalah utama bagi masyarakat permukiman kumuh tetapi tidak dijelaskan penyakit apa yang menyerang masyarakat hingga kesehatan menjadi masalah utama. Permasalahan kesehatan ini disebabkan oleh lingkungan fisik yang tidak sehat. Masyarakat permukiman kumuh ini sering mendapatkan pelayanan yang tidak baik dari staf medis rumah sakit seperti mereka mendapatkan sikap acuh tak acuh dan mengalami penanganan medis yang lama (pelayanan pengobatan lambat) dari staf medis. Selain itu tingkat gizi masyarakat permukiman kumuh tergolong rendah karena kekurangan asupan protein. Salah satu negara berkembang yang memiliki permasalahan yang sama dengan India adalah negara Indonesia. Di Indonesia terdapat pula banyak permukiman kumuh khususnya di kota-kota besar. Salah satu kota di Indonesia yang memiliki permasalahan permukiman kumuh yaitu di kota Semarang. Kota Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami perkembangan sangat pesat. Perkembangan dan pertumbuhan kota yang begitu pesat menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang. Pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang yang semakin meningkat diiringi dengan permasalahan perkotaan yaitu tumbuhnya kemiskinan di perkotaan karena adanya kesenjangan ekonomi dan sosial. Kemiskinan ini dapat dilihat dari adanya permukiman kumuh dan liar yang tersebar di Kota Semarang (Ridlo, 2002). Karakteristik kemiskinan di Kota Semarang dilihat dari tingkat perekonomian, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat keamanan dan tingkat kemampuan. Menurut jurnal “Kemiskinan dalam Perkembangan Kota Semarang Tahun 2009”, mata pencaharian penduduk Kota Semarang terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS), sektor industri, ABRI, petani, buruh tani, pengusaha, pedagang dan pensiunan. Sebanyak 25 % penduduk kota bekerja sebagai buruh industri, sebanyak 14 % bekerja sebagai PNS dan ABRI dan sisanya terbagi atas pekerjaan informal. Berdasarkan jurnal tersebut laju

5

pertumbuhan ekonomi di Kota Semarang mengalami kenaikan dari tahun 2001 hingga tahun 2006. Kondisi perekonomian di Jawa Tengah membaik ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif yaitu pada tahun 2006 tejadi kenaikan nilai PDRB paling tinggi pada rentang waktu tahun 2001-2006 yaitu nilai PDRB tumbuh sebesar 5,33%. Peningkatan pertumbuhan perekonomian Kota Semarang didorong oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 31%, sektor industri pengolahan sebanyak 27%, sektor jasa-jasa sebanyak 12%, sektor pengangkutan dan komunikasi sebanyak 9. Selain itu sektor pertambangan memberikan kontribusi paling kecil yaitu hanya sebanyak 0,18%. Seiring dengan laju perkembangan Kota Semarang maka permasalahan kemiskinan semakin

nyata.

Hal

ini

dikarenakan

distribusi

pendapatan

semakin

memperlebar

kesenjangan antara orang yang berpenghasilan tinggi dan orang yang berpenghasilan rendah. Untuk tingkat kesehatan masyarakat permukiman kumuh di Kota Semarang masih tergolong rendah karena sebagian besar tinggal di permukiman kumuh yang padat dengan lingkungan yang tidak sehat. Kebutuhan air bersih untuk minum, memasak, mandi dan mencuci didapatkan dari sumur dangkal sehingga hal ini berpengaruh pada kesehatan masyarakat di permukiman tersebut. Tingkat keamanan dan kemampuan masyarakat permukiman kumuh di Kota Semarang tergolong rendah karena sebagian besar mendirikan rumah di tanah pemerintah maupun pihak lain tanpa dilengkapi dengan sertifikat tanah dan bangunan. Terdapat pula sebagaian masyarakat yang mengontrak atau menyewa rumah. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan masyarakat masih lemah terhadap kepemilikan aset bangunan rumah dan tanah sehingga rumah mereka pun tidak aman untuk dijadikan tempat tinggal. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa tolak ukur kemiskinan yang sama di Kota Raipur dan Kota Semarang yaitu jenis pekerjaan dan tingkat kesehatan. Adapun tingkat pendidikan, tingkat keamanan dan tingkat kemampuan masyarakat permukiman kumuh tidak dijadikan tolak ukur di Kota Raipur tetapi hal tersebut menjadi tolak ukur di Kota Semarang. Pada Kota Raipur tolak ukur kemiskinan terkait perekonomian dilihat dari jumlah pendapatan masyarakat sedangkan pada Kota Semarang tolak ukur kemiskinan terkait perekonomian dilihat dari pertumbuhan ekonomi yaitu berdasarkan nilai PDRB. Adanya permukiman kumuh di Kota Raipur dan Kota Semarang memiliki kesamaan yaitu permukiman kumuh tersebut membentuk kampung kota. Kampung kota adalah suatu bentuk permukiman di wilayah perkotaan dengan ciri yaitu penduduk masih membawa sifat dan perilaku kehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak teratur, kepadatan bangunan dan penduduk tinggi, pelayanan sarana dan prasarana kurang memadai (Heriyati, 2011).

6

Berdasarkan jurnal “Kajian Karakteristik Kawasan Permukiman Kumuh Di Kampung Kota, Studi Kasus Kampung Gandekan Semarang”, meningkatnya laju pertumbuhan penduduk yang dipengaruhi oleh urbanisasi merupakan salah satu tanda perkembangan kota. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kampung kota di Semarang. Kampung kota yang padat penghuni memiliki berbagai permasalahan lingkungan fisik dan kondisi sosial, budaya, ekonomi penduduk sehingga menyebabkan terbentuknya suatu permukiman kumuh didalam kampung kota. Adapun kondisi permukiman kumuh di Kota Semarang yaitu permukiman kumuh memiliki jenis bangunan non permanen dan semi permanen, luasan bangunan berukuran kecil dan sempit, tidak adanya pemisahan bagian untuk ruang privat maupun ruang bersama, tidak adanya sertifikat kepemilikan yang sah oleh masyarakat terhadap hunian yang ditinggali. Berdasarkan jurnal tersebut diketahui bahwa tingkat kekumuhan permukiman tergolong sedang dan rendah. Selain itu permukiman kumuh di Kampung Gandekan ini memiliki sarana peribadatan, jaringan persampahan, drainase, sanitasi maupun jaringan pelayanan air bersih namun kualitasnya belum baik. Tetapi prasarana jaringan jalan yaitu lebar jalan telah sesuai standar perumahan dan telah memiliki perkerasan dengan kondisi sangat baik. Sumber kebutuhan air bersih dari sumur dangkal sedangkan kebutuhan air minum didapat dengan cara membeli eceran berupa galon/ember. Sebagian besar telah memiliki kamar mandi dan toilet pribadi namun kondisinya masih kurang layak dan sehat dan belum memiliki septic tank. Selain itu, telah tersedia jaringan drainase namun kondisinya masih cukup kotor tersumbat sampah dan akan tergenang jika musim hujan tiba. Tersedia pula TPS disekitar permukiman tetapi masyarakat biasanya membakar sampah atau mengumpulkan sampah di ruang terbuka. Berdasarkan jurnal ”Urban Poor Living in Slums, A case Study of Raipur City in India”, tidak dijelaskan bagaimana kondisi fisik atau kondisi eksisiting permukiman kumuh di Kota Raipur sehingga tidak dapat diketahui kondisi eksisting jenis bangunan pada permukiman kumuh. Tetapi, dapat diketahui bahwa permukiman kampung kota di Kota Raipur tidak memiliki fasilitas perumahan yang layak. Lebih dari 62% populasi di permukiman kumuh tidak memiliki akses ke layanan sanitasi dan 25 % tidak memiliki akses ke air. Sebagian besar rumah-rumah di permukiman kumuh tidak memiliki toilet/MCK. Berdasarkan kajian kritis diatas, dapat diketahui bahwa kaitan kemiskinan dan permukiman kumuh membentuk vicious cycle atau lingkaran setan dimana permasalahan ini akan terus berulang dan tidak terputus jika tidak ada penanganan yang tepat. Ilustrasi permasalahan ini dapat dilihat pada skema berikut ini.

7

Kemiskinan

Pendidikan Rendah

Tingkat Kesehatan Rendah

Pendapatan Rendah

Tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah yang layak

Permasalahan Lingkungan Permukiman Kumuh

Gambar 1. Vicious Cycle Sumber : Analisa Penulis, 2018

Pesatnya

pertumbuhan

penduduk

sebagai

dampak

dari

urbanisasi

ini

mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal untuk bermukim. Tetapi karena banyaknya penduduk miskin yang tidak dapat merasakan pendidikan maka akan berpengaruh pada jenis pekerjaan dimana penduduk di permukiman kumuh sebagian besar bekerja pada sektor informal. Penduduk di permukiman kumuh tidak memiliki keahlian dan jenjang pendidikan. Akibatnya mereka berada pada kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memilki penghasilan rendah sedangkan biaya hidup di kota cukup tinggi. Pada akhirnya mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah yang layak. Ketidakmampuan tersebut memicu mereka untuk membangun bangunan tempat tinggal secara illegal dan terbentuklah permukiman kumuh. Bagi mereka yang tidak mendapat tumpangan rumah dan tidak mampu menyewa rumah, akan membangun rumah darurat secara liar pada tanahtanah negara yang kosong atau pada jalur hijau sepanjang bantaran sungai, sepanjang bantaran rel kereta api, kolong jembatan maupun tempat lainnya yang seharusnya dibiarkan tanpa bangunan untuk kelestarian kota secara keseluruhan (Sinulingga, 1999). Jadi bagi mereka yang tidak mendapat tumpangan dan tidak mampu menyewa rumah, akan membangun rumah darurat secara liar pada tanah-tanah negara yang kosong atau pada jalur hijau sepanjang bantaran sungai, sepanjang bantaran rel kereta api, kolong jembatan maupun tempat lainnya yang seharusnya dibiarkan tanpa bangunan untuk kelestarian kota secara keseluruhan (Sinulingga, 1999). Akibat dari lingkungan yang tidak sehat pada

8

permukiman kumuh tersebut yaitu menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan penduduk di permukiman kumuh. Penduduk tidak dapat membiayai kebutuhan terkait kesehatannya karena tidak memiliki dana yang cukup. Berdasarkan hal terseb...


Similar Free PDFs