DAMPAK BURUK AKTIVITAS PERTAMBANGAN PT. FREEPORT INDONESIA PDF

Title DAMPAK BURUK AKTIVITAS PERTAMBANGAN PT. FREEPORT INDONESIA
Author H. Amelia
Pages 25
File Size 503.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 637
Total Views 874

Summary

DAMPAK BURUK AKTIVITAS PERTAMBANGAN PT. FREEPORT INDONESIA Paper Healing Earth Disusun Oleh: Andy Saputra (141434038) Patricia Dita (141434077) Hendrika Micelyn (141434077) UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bimbingan dan...


Description

Accelerat ing t he world's research.

DAMPAK BURUK AKTIVITAS PERTAMBANGAN PT. FREEPORT INDONESIA Hendrika M I C E L Y N Amelia

Related papers Freeport Indonesia josemiguel longkut oy 90527838-Free-Port Eka HaT t a Mengint ip Akt ifit as Pert ambangan di Wilayah Pesisir Gendewa Tunas Rancak

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

DAMPAK BURUK AKTIVITAS PERTAMBANGAN PT. FREEPORT INDONESIA Paper Healing Earth

Disusun Oleh: Andy Saputra

(141434038)

Patricia Dita

(141434077)

Hendrika Micelyn

(141434077)

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bimbingan dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Dampak Buruk Aktivitas Pertambangan PT. Freeport Indonesia”. Paper ini berisi paparan dan ulasan yang cukup mendalam mengenai berbagai dampak yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan PT. Freeport Indonesia di Papua, yang telah mengakibatkan kerugian besar serta kerusakan alam. Selain itu, aktivitas pertambangan PT. Freeport Indonesia juga mengganggu berbagai siklus alam sehingga tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan tetapi juga pada kematian makhluk hidup. Penulis berharap paper ini dapat menjadi sumber belajar yang bermanfaat bagi para pembaca sehingga pembaca memeroleh pengetahuan mengenai apa saja dampak buruk aktivitas tambang PT. Freeport Indonesia dan dapat berefleksi untuk melakukan tindakan nyata sebagai sumbangsih bagi kebaikan lingkungan dan kesejahteraan manusia. Penulis sadar bahwa paper ini masih perlu pengembangan lagi agar lebih baik, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Selamat berkarya dan Tuhan memberkati.

Yogyakarta, 06 Juni 2017 Penulis

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam sehingga sejak dahulu kala negeri ini dijajah oleh kaum asing yang rakus dan ingin mengambil hasil buminya. Meski telah merdeka selama 70 tahun, Indonesia masih saja dijajah oleh negara asing yang berusaha menguasai hasil bumi Indonesia, seperti PT. Freeport yang telah berdiri sejak era orde baru. PT.

Freeport

Indonesia (PTFI)

adalah

sebuah

perusahaan pertambangan yang

mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar

kepada

Indonesia

dan

merupakan

perusahaan

penghasil

konstentrat emas dan tembaga terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di

kawasan Tembaga

Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Dalam melakukan eksplorasi di dua tempat tersebut PTFI melakukan perjanjian kontrak sebanyak dua kali dengan pemerintah Indonesia. Perbandingan kontrak karya I dan II adalah pada kontrak karya I luas arena kawasan pertambangan adalah 27.000 acres (11 ribu Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1967 sampai 1997. Fasilitas fiskalnya antara lain, pajak hariannya selama 3 tahun setelah berproduksi dan tidak ada royalti sampai tahun 1986. Kewajiban fiskalnya yaitu, pajak penghasilannya selama tahun 1976-1983 sebesar 35% dan pada tahun 1983-kontrak berakhir sebesar 41,75%. Sedangkan kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Kepemilikannya sebesar 100% oleh pihak asing sejak tahun 1967-1986 dan 0,5% oleh pihak pemerintah Indonesia serta 91,5 FCX pada tahun 1986 sampai masa kontrak berakhir. Sedangkan pada kontrak karya ke II luas arena kawasan pertambangan adalah 6,5 juta acres (26 juta Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1991 sampai 2021 dan

kemudian diperpanjang 20 tahun hingga tahun 2041. Dalam kontrak karya II tidak ada fasilitas fiskal, namun kewajiban fiskalnya antara lain, pajak penghasilan 35%, pajak dividen dan interest 15%, iuran tetap untuk wilayah KK, pajak penghasilan karyawan, PPn dan pajak barang mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, pungutan, pajak, beban dan bea pemda serta bea pungutan lainnya. Kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Sedangkan kepemilikannya 81,28% oleh FCX, 9,36% oleh pemerintah Indonesia dan 9,36% oleh PT. Indocopper Investama. Dalam sejarah dan perkembangannya, PTFI memulai operasional penambangannya setelah diresmikan melalui penanda tanganan Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia, yang lalu berkembang hingga konstruksi skala besar yang lalu dilanjutkan hingga ekspor perdana konsentrat emas dan tembaga yang pada saat itu operasional penambangan masih dilakukan di areal bijih Ertsberg. Berkembangnya industri penambangan PTFI ini semakin melejit

setelah

ditemukannya

cadangan



cadangan

bijih

baru

kelas

dunia

seperti Grasberg oleh para geologis. Adapun bahan-bahan tambang yang dihasilkan oleh PT. Freeport Indonesia yaitu tembaga, emas, silver, molibdenum, dan Rhenium. Atas aktivitas pertambangannya, PTFI telah menjadi perusahaan tambang emas terbesar di dunia. Aktivitas pertambangan PTFI menimbulkan pro kontra di negara ini, sebab selain menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi warga negara Indonesia dan sumber pemasukan devisa negara yang besar, aktivitas pertambangan mereka telah merusak ribuan hektar hutan dan mencemari sungai di sekitar lokasi tambang. Isu ini selama beberapa tahun menjadi sangat hangat dan ramai diperbincangkan oleh khalayak umum, pemerintah dituntut untuk segera mengambil tindakan untuk menanggulangi kasus ini sehingga dampak buruk dapat diminimalisir. Berdasarkan masalah ini, penulis mencoba mengulas secara mendalam dan kritis tentang apa sebenarnya yang terjadi dan solusi apa yang hendak dihadirkan untuk mengatasi masalah ini. Sehingga, para pembaca dapat menambah wawasan dan ikut terinspirasi dalam melakukan gerakan hijau untuk lingkungan.

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana dampak pertambangan PTFI dilihat dari perspektif ekologis, sosial-ekonomi dan hukum? 2. Nilai apa saja yang hilang akibat adanya pertambangan PTFI?

3. Bagaimana solusi yang dapat ditawarkan dalam menghadapi masalah ini?

C. Tujuan 1. Untuk menguraikan dampak pertambangan PTFI dilihat dari perspektif ekologis, sosialekonomi, dan hukum. 2. Untuk mengetahui nilai apa saja yang hilang akibat adanya pertambangan PTFI. 3. Untuk menjelaskan upaya penanganan limbah PT. Freeport.

D. Manfaat Penulis berharap paper ini dapat memberi manfaat bagi seluruh pembaca sehingga pembaca dapat memiliki wawasan mengenai dampak buruk aktivitas pertambangan PTFI di lihat dari berbagai perspektif. Selain itu, penulis berharap paper ini dapat menyadarkan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk segera melakukan tindakan nyata dalam mengatasi kasus ini.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi Pertambangan Pertambangan

merupakan

suatu

aktivitas

penggalian,

pembongkaran,

serta

pengangkutan suatu endapan mineral yang terkandung dalam suatu area berdasarkan beberapa tahapan kegiatan secara efektif dan ekonomis, dengan menggunakan peralatan mekanis serta beberapa peralatan sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini (Sulton, 2011). Hakikatnya pembangunan sektor tambang dan energi mengupayakan suatu proses pengembangan sumber daya mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara hemat dan optimal bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya mineral merupakan suatu sumber daya yang bersifat tidak terbaharui (unrenewable). Oleh karena itu, penerapannya diharapkan mampu menjaga keseimbangan serta keselamatan kinerja dan kelestarian lingkunga hidup maupun masyarakat sekitar (Sulton, 2011). Salim (dalam Sulton 2011) menyatakan bahwa paradigma baru kegiatan industri pertambangan ialah mengacu pada konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, yang meliputi; 1) Penyelidikan Umum (prospecting), 2) Eksplorasi: eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci, 3) Studi Kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal), 4) Persiapan produksi (development, construction), 5) Penambangan (pembongkaran, pemuatan, pengangkutan, penimbunan), 6) Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan, 7) Pengolahan (mineral dressing), 8) Pemurnian/metalurgi ekstraksi, 9) Pemasaran, 10) Corporate Social Responsibility (CSR), 11) Pengakhiran tambang.

B. Penggolongan Hasil Tambang Dalam penggolongan hasil tambang, Ngadiran (dalam Sulton 2011) menjelaskan bahwa izin usaha pertambangan meliputi izin untuk memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C. Ada banyak jenis sumberdaya alam bahan tambang yang terdapat di bumi Indonesia.

Dari sekian jenis bahan tambang yang ada itu dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: 1.) Bahan galian strategis golongan A, terdiri atas : minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam, lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahanbahan galian radio aktif lainnya (antara lain kobalt, nikel dan timah); 2.) Bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium, vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit, belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa, yodium, dan zirkom); dan 3.) Bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan batu kerikil. Bahan ini merupakan bahan tambang yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua macam yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang ditunjuk secara langsung oleh negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun Kontrak Karya (KK), dan penambangan yang dilakukan oleh rakyat secara manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya dilakukan dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga hasil yang diharapkan lebih banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan rakyat merupakan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat-alat sederhana.

C. Peraturan Pemerintah tentang Pertambangan Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian. Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara (Putri, 2012). Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Perubahan mendasar yang terjadi

adalah perubahan dari sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara. Kehadiran UU Minerba tersebut menuai pro dan kontra. Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa beberapa kebijakan dalam UU Minerba tersebut tidak memberikan kepastian hukum terkait dengan kegiatan usaha di bidang pertambangan mineral dan batubara dan memberikan hambatan masuk bagi pelaku usaha tertentu. Industri mineral dan batubara menyangkut kepentingan banyak orang, oleh karena itu kondisi di industri tersebut harus berada di dalam persaingan usaha yang sehat. Salah satu syarat terciptanya persaingan yang sehat tersebut adalah tidak adanya hambatan masuk yang berlebihan ke dalam industri tersebut, termasuk hambatan yang berasal dari kebijakan Pemerintah (Putri, 2012). Undang-undang Mineral dan batu bara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 1)

Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.

2)

Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batu bara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

3)

Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah.

4)

Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesarbesar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

5)

Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan mencegah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

6)

Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

7)

Pertambangan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparasnsi dan akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, maka

tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah: 1)

Menjamin

efektifitas

pelaksanaan

dan

pengendalian

kegiatan

usaha

pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan baerdaya saing; 2)

Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;

3)

Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;

4)

Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;

5)

Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan

6)

Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba) dapat

dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang bagi peran daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undang-undang ini. Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU No.32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No.4 tahun 2009, maka substansi yang terkandung dalam UU No.4 Tahun 2009 menggariskan kewenangan eksklusif pemerintah (pusat) dalam hal sebagai berikut: 1) Penetapan kebijakan nasional; 2) Pembuatan peraturan perundang-undangan; 3) Penetapan standar, pedoman dan kriteria; 4) Penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional;

5) Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan Pemda dan DPR. Tahapan Mengenai UU No. 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara 1) Penguasaan mineral dan batubara oleh Negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah. (Pasal 4) 2) Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan batubara bagi kepentingan nasional. (Pasal5) 3) Pengelompokan usaha pertambangan : Mineral dan Batubara 4) Penggolongan tambang mineral: radioaktif, logam, non logam dan batuan. (Pasal 34) 5) 21 kewenangan berada di tangan pusat. (Pasal 6) 6) 14 kewenangan berada di tangan provinsi. (Pasal 7) 7) 12 kewenangan berada di tangan kabupaten/kota. (Pasal 8) 8) Wilayah pertambangan adalah bagian dari tata ruang nasional, ditetapkan pemerintah setelah koordinasi dengan Pemda dan DPR. (Pasal 10) 9) Wilayah pertambangan terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Nasional (WPN). (Pasal 14 – 33) Sistem/Rezim Perijinan (Pasal 35), terdiri atas 2 tahapan yang berkonsekuensi pada adanya 2 tingkatan perijinan: 1)

Eksplorasi yang meliputi : Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan

2)

Operasi produksi yang meliputi: Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, Pengankutan serta Penjualan. (Pasal 36)

3)

IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN), koperasi, perseorangan. (Pasal 38)

4)

IPR bagi penduduk local dan koperasi. (Pasal 67)

5)

IUPK bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia dengan prioritas pada BUMN/BUMD. (Pasal 75)

6)

Kewajiban keuangan bagi Negara: Pajak dan PNBP. Tambahan bagi IUPK pembayaran 10% dari keuntungan bersih.

7)

Pemeliharaan lingkungan: Konservasi, reklamasi. (Pasal 96 – 100)

8)

Kepentingan nasional: Pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. (Pasal 103 – 104)

9)

Pemanfaatan tenaga kerja setempat, partisipasi pengusaha local pada tahap produksi, program pengembangan masyarakat. (Pasal 106 – 107)

10) Penggunaan perusahaan jasa pertambangan local dan atau nasional. (Pasal 124) 11) Pusat : terhadap provinsi dan kabupaten/kota terkait penyelenggaraan pengelolaan pertambangan 12) Pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai kewenangan terhadap pemegang IUP dilakukan 13) Kabupaten/kota terhadap IPR. (Pasal 139 – 142) D. Dampak Pembangunan Pertambangan Kegiatan pertambangan pada dasarnya merupakan proses pengalihan sumberdaya alam menjadi modal nyata ekonomi bagi negara dan selanjutnya menjadi modal social. Modal yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan nilai kualitas insan bangsa untuk menghadapi hari depannya secara mandiri. Dalam proses pengalihan tersebut perlu memperhatikan interaksi antara faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup sehingga dampak yang terjadi dapat diketahui sedini mungkin. Menurut Salim (2007) dalam Ali Sulton (2011) setiap kegiatan pembangunan dibidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak

negatif.

Dampak positif dari kegiatan

pembangunan di bidang pertambangan adalah: 1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional; 2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD); 3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; 4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang; 5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; 6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan 7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang. Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah: 1. Kehancuran lingkungan hidup; 2. Penderitaan masyarakat adat; 3. Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal; 4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan;

5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan 6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan

BAB III ANALISIS

A. Kajian Ekologis Menurut data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), aktivitas pertambangan Freeport telah menghasilkan 1 milyar ton limbah industri dalam bentuk tailin...


Similar Free PDFs