DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP SURPLUS PRODUSEN DAN KONSUMEN PDF

Title DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP SURPLUS PRODUSEN DAN KONSUMEN
Author Akhmad Pide
Pages 19
File Size 17.1 MB
File Type PDF
Total Downloads 177
Total Views 431

Summary

DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS could at the same time incentivise all actors in the value chain. For example: a better final product The local government of South Sulawesi Province, supported by district governments, plays an TERHADAP SURPLUS PRODUSEN DAN which is a demand from certain market co...


Description

Accelerat ing t he world's research.

DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP SURPLUS PRODUSEN DAN KONSUMEN Akhmad Pide

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Jurnal Pappenas 2 akhmad pide PERTANIAN, BANGKIT ATAU BANGKRUT ? Made Ant ara ST RUKT UR PASAR DAN PEMASARAN GABAH-BERAS DAN KOMODITAS KOMPET IT OR UTAMA Riza Apriyant i

DAMPAK KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS TERHADAP SURPLUS PRODUSEN DAN KONSUMEN Akhmad Dosen Koper s Wil.IX Sulawesi Dipekerjakan pada STIE-YPUP Makassar dan Alumni S3 Ilmu Eknomi Pertanian PPs-IPB (Email: [email protected])

Abstrak

P

eneli an ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. Data yang digunakan dalam peneli an ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber yaitu; Badan Pusat Sta s k (BPS), Bulog, Kementerian Perdagangan, Keuangan dan Pertanian, yang mencakup harga beras domes k, harga beras dunia (CIF), konsumsi, produksi, impor, dan tarif impor beras. Data tahun 2010, dijadikan sebagai data dasar dalam analisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan beras (pembebasan tarif) memberikan surplus ekonomi nasional yang makin besar, hal tersebut berar ekonomi nasional makin efisien. Namun dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang semakin kecil daripada konsumen, yang berar aspek pemerataan manfaat dari kebijakan pemerintah dak terwujud. Oleh karena petani padi pada umumnya miskin, maka keberpihakan pemerintah kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan. Dengan alasan tersebut, dan penyediaan lapangan kerja serta pembangunan perdesaan, maka kebijakan yang bersifat protek f sangat diperlukan, baik dengan pengenaan tarif impor beras, pengaturan, pengawasan, dan pembatasan impor beras. Kata Kunci: Tarif Impor Beras, Surplus Produsen dan Konsumen

PENDAHULUAN Latar Belakang

I

ndonesia adalah negara konsumen beras terbesar ke ga di dunia setelah RRC dan India. Di samping faktor besarnya jumlah penduduk, hal ini juga disebabkan oleh kenyataan bahwa 95 persen penduduk Indonesia masih menggantungkan konsumsi utama pangannya pada beras. Tingginya ketergantungan penduduk Indonesia terhadap beras mengakibatkan komodi ini dak hanya memiliki nilai strategis secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan poli k (Simbolon, 2005).

14

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Komodi beras merupakan bahan pangan utama bagi masyarakat Indonesia sehingga komodi ini menjadi komodi pen ng dalam pembangunan nasional. Ar pen ng beras dilihat dari dua sisi yaitu : Pertama, sebagai pangan utama beras harus tersedia dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia terutama masyarakat pedesaan. (Sapuan, 2000)

Konsumsi beras masyarakat Indonesia dapat dikatakan nggi karena se ap orang di Indonesia mengkonsumsi beras se ap tahun sebesar 139,5 kg. Konsumsi beras Indonesia lebih besar dua kali lipat dari konsumsi beras dunia pada angka 60 kg per tahun (EOCD; 2013; Chris anto, E., 2013) Begitu pen ngnya beras, maka negara-negara berkembang terutama Indonesia telah menjadikan swasembada beras sebagai tujuan kebijakan nasional. Dalam sejarah, Indonesia pernah menjadi pelopor dalam revolusi hijau yang mendorong peningkatan produksi pangan terutama padi pada tahun 1960-an. Mulai saat itu ngkat kesejahteraan penduduk meningkat dan penduduk miskin berkurang secara signifikan. Tingkat ketahanan pangan pun terus meningkat yang dicirikan dengan terjadinya surplus beras sehingga negara mencapai swasembada pangan pada tahun 1984 (Riyadi, 2002;) Garis kebijakan perberasan Indonesia adalah mengupayakan pemenuhan kebutuhan beras domes k dari produksi dalam negeri atau swasembada. Dengan garis kebijakan tersebut, kebijakan impor ditempatkan sebagai residual atau menutupi defisit kebutuhan beras dalam negeri (Irawan, 2001). Oleh karena itu, pen ng untuk diketahui posisi neraca beras nasional. Sebagai komoditas yang strategis, produksi beras domes k yang tersedia untuk dikonsumsi merupakan tolak ukur bagi ketersediaan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produksi padi dan pendapatan petani, pemerintah telah mengimplementasikan berbagai kebijakan perberasan. Pada periode sebelum krisis (1970-1996), pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan harga dasar gabah (HDG), kebijakan subsidi benih, kebijakan subsidi pupuk, kebijakan subsidi kredit usaha tani padi, manajemen stok dan monopoli impor oleh bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk pengadaan gabah oleh Bulog, subsidi untuk Bulog dalam melakukan operasi pasar yaitu pada saat harga beras nggi Bulog harus menjual dengan harga murah, dan kebijakan tarif impor beras. Pada periode krisis (19971999), pemerintah menerapkan kebijakan transisi yaitu menghapus semua kebijakan kecuali kebijakan harga dasar gabah dan melakukan liberalisasi impor beras

dengan mencabut monopoli impor yang dipegang oleh Bulog dan menetapkan tarif bea masuk beras sebesar nol persen. Pada periode pasca krisis (2000-2004), pemerintah kembali menerapkan kebijakan harga dasar pembelian gabah oleh pemerintah (HDPP), dan kebijakan tarif impor beras sejak 7 Januari 2004 sampai dengan saat ini. Peningkatan jumlah penduduk dan ngkat konsumsi rata-rata per kapita beras mengakibatkan konsumsi beras sering kali melebihi produksi. Sampai saat ini swasembada beras masih tetap diupayakan dan menjadi salah satu prioritas kebijakan pemerintah meskipun konsepsi swasembada telah berubah dengan membuka kemungkinan impor sampai batas tertentu yaitu terutama pada saat kekeringan, dan melakukan ekspor pada saat surplus. Adanya kecenderungan melakukan impor beras pada saat konsumsi beras lebih besar dibanding produksi, perlu mendapat perha an dari pemerintah agar supply beras dalam negeri dak meningkat yang akan berakibat pada penurunan harga beras yang dapat menurunkan pendapatan petani. Oleh karena itu pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan tarif impor beras untuk melindungi produsen beras dalam hal ini petani. Murahnya harga beras akan menguntungkan konsumen akan tetapi sebaliknya produsen (petani) akan dirugikan. Oleh karena itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bea masuk impor beras untuk melindungi produsen (petani) dari gejolak pasar dunia. Tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 180/ PMK.011/2007 sebesar Rp 450per kg. Ketersediaan beras sangat pen ng bagi penduduk Indonesia, karena beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Dikalangan masyarakat ada is lah yang berkembang bahwa belum makan kalau belum makan nasi (beras), hal ini membuk kan betapa pen ngnya beras bagi penduduk Indonesia. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan terhadap beras. Permasalahan mbul dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang dak diiku dengan peningkatan produksi beras di Indonesia.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

15

Tabel 1. menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir produksi beras mengalami peningkatan, hal disebabkan antara lain karena ngkat produk vitas lahan akibat menggunakan teknologi produksi yang semakin membaik. Akan tetapi peningkatan produksi beras tersebut, belum dapat memenuhi kebutuhan akan konsumsi beras masyarakat yang juga semakin meningkat disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk. Oleh karena itu impor beras diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

terutama mengandalkan kemampuan produksi domes k (Amrullah, S. 2005). Bagi Indonesia, rumusan di atas merupakan definisi ketahanan pangan yang diformulasikan dalam Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Untuk implementasinya, GBHN 1999-2004 mengarahkan agar ketahanan pangan ini dicapai dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal; serta memperha kan kesejahteraan para produsennya, yang

Tabel 1. Data Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Indonesia Tahun 2001 sampai 2010 Tahun

Produksi Beras Indonesia

Konsumsi Beras Indonesia

Impor Beras Indonesia

2001

30.283.326

32.771.264

649.488

2002

30.586.159

33.073.152

1.811.988

2003

30.892.021

33.372.463

1.437.472

2004

31.200.941

33.669.384

246.256

2005

31.669.630

34.297.000

189.617

2006

34.306.610

35.438.000

438.108

2007

35.940.591

36.350.000

1.300.000

2008

36.061.545

37.100.000

289.000

2009

36.702.237

38.000.000

250.473

2010

37.854.537

38.550.000

687.581

Sumber : BPS, 2002-2012

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka maka peneli an ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap kesejahteraan produsen (petani), konsumen, pemerintah dan perekonomian secara keseluruhan.

TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Perberasan Indonesia Terpenuhinya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau oleh seluruh rumah tangga merupakan sasaran utama dalam pembangunan ekonomi se ap negara di dunia, apakah itu negara produsen dan net ekspor r maupun pengimpor pangan. Bagi negara industri yang miskin sumber daya pertanian seper Singapura, sasaran tersebut dapat dipenuhi dengan meningkatkan daya beli rakyat dan kemampuan ekonomi negaranya. Bagi sebagian besar negara berkembang, pemenuhan kebutuhan pangan itu

16

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

pada umumnya adalah para petani, peternak dan nelayan kecil. Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan pengembangan ekonomi pedesaan, pemerintah telah menetapkan kebijakan perberasan melalui Inpres Nomor 9 tahun 2002. Inpres tersebut sebenarnya merupakan penyempurnaan dari Inpres Nomor 9 tahun 2001, yang mengatur tentang kebijakan perberasan secara komprehensif. Perubahan pada Inpres Nomor 9 Tahun 2002 dan terakhir adalah Inpres No.13/2005 yang berlaku 1 Januari 2006. Salah satu ketentuan yang diatur di sana adalah penetapan impor dan ekspor beras dalam kerangka menjaga kepen ngan petani dan konsumen; serta impor manakala ketersediaan beras dalam negeri dak mencukupi. Ketentuan ini bermakna bahwa, perlindungan terhadap petani diutamakan. Rasionalnya adalah karena harga beras murah di pasar dunia dak merefleksikan

ngkat efisiensi, namun telah terdistorsi oleh berbagai bantuan dan subsidi. Hasil peneli an Husein Sawit dan Rusastra (2005) memperlihatkan bahwa hampir 80% pendapatan petani padi di negara kaya kelompok OECD misalnya, berasal dari bantuan pemerintah. Oleh karena itu, adalah dak adil buat petani padi/beras, yang sebagian besar petani dengan lahan yang sempit untuk bersaing dalam dunia perdagangan yang amat dak adil itu. Perlindungan dari serbuan impor, dak terkecuali beras dapat ditempuh dengan dua cara yaitu hambatan tarif (tariff Barrier; TB) dan hambatan bukan tarif (non tariff Barrier; NTB). Instrumen yang paling primi f dalam NTB adalah pelarangan impor atau pelarangan ekspor. Namun, ada juga yang menempuh kebijakan monopoli dan penetapan kuota impor untuk mengelola impor/ ekspor suatu produk. Hambatan tarif dianggap paling transparan, sehingga semua hambatan non tarif wajib dihapus dan dikonversikan ke dalam hambatan tarif sesuai dengan ketentuan perdagangan mul lateral World Trade Organiza on (WTO). Indonesia telah meno fikasikan tarif beras di WTO sebesar 180% dan diturunkan menjadi 160% untuk 2004, membuka pasar minimum (minimum market access) sebesar 70 ribu ton/tahun dengan ngkat tarif dalam kuota (in-quota tariff) 90%. Mulai Januari 2000, pemerintah menetapkan tarif spesifik sebesar Rp 430/kg atau setara dengan 30% ad valorem. Impor dikontrol ketat, misalnya harus melalui jalur merah guna mencegah penyelundupan, dan terakhir adalah tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007 sebesar Rp 450 per kg.

Konsep Surplus Produsen dan Surplus Konsumen Kebijakan harga dasar (floor price) dilakukan untuk melindungi produsen pada saat panen raya dan kebijakan harga ter nggi (ceiling price) dilakukan untuk melindungi konsumen pada saat paceklik. Sementara itu dalam hal perdagangan dunia, pemerintah dapat

melindungi produsen maupun konsumen domes k berupa kebijakan tarif, kuota dan monopoli impor untuk kasus negara pengimpor dalam upaya melindungi atau subsidi ekspor untuk Negara pengekspor. Kebijakan ini umumnya berdampak terhadap konsumen, produsen dan pemerintah. Dampak yang di mbulkan dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics), yaitu dengan konsep pengukuran surplus konsumen (consumer surplus) dan surplus produsen (producer’s surplus). Surplus konsumen didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah maksimum yang ingin dibayar oleh konsumen terhadap jumlah tertentu dari produksi. Sedangkan surplus produsen adalah perbedaan antara jumlah uang yang benar-benar diterima produsen dengan jumlah uang minimum yang diinginkan oleh produsen tersebut (Tweeten, L. 1989; Pindiyck, R.S., dan D.L. Rubinfeld. 2007). Terdapat ga dasar postulat yang pen ng dalam penggunaan surplus konsumen dan surplus produsen untuk mengukur kesejahteraan yaitu: pertama permintaan merupakan refleksi dari keinginan untuk membayar, kedua penawaran merupakan refleksi dari biaya marginal (marginal cost), dan ke ga perubahan pada pendapatan individu bersifat penambahan (addi ve) (Krugman, P.R., and M. Obs eld. 2002; Pindiyck, R.S., dan D.L. Rubinfeld. 2007 ).

Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras Menurut Nopirin (1990), kebijakan tarif maupun non-tarif mempunyai dampak pada perubahan surplus konsumen dan surplus produsen. Pemberlakuan tarif impor akan menguntungkan produsen domes k karena dengan adanya tarif impor maka harga impor komodi sejenis cenderung lebih mahal dengan harga domes k. Pemberlakuan tarif impor akan menyebabkan kenaikan harga produk di negara impor r, penurunan konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor dan adanya penerimaan pemerintah yang berasal dari tarif impor tersebut. Gambar 2. menunjukkan dampak kebijakan tarif impor terhadap surplus konsumen dan surplus produsen.

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

|

17

P

dari sentra produsen terhambat mengalir ke wilayah konsumen, terutama ke perkotaan, (Ir anta, 2004).

S

DATA DAN METODE ANALISIS

a Pd

b

Pt Pw

e

c g f

d h

i

j

D Q1

Q2

Q0

Q3

Q4

Q

Sumber: Ellis, 1992.

Gambar 2. Dampak Kebijakan Tarif impor terhadap Surplus Produsen dan Konsumen Ti k keseimbangan pada pasar domes k adalah Pd dan Qo. Pada kondisi sebelum tarif ditetapkan, surplus konsumen sebesar a,b,c.d.e,f,g,h, dan i, sementara surplus produsen j. Di mana Pw, merupakan harga beras dunia. Sedangkan setelah diberlakukannya tarif impor sebesar t, maka surplus konsumen berkurang menjadi a,b,c,d, sementara surplus produsen meningkat menjadi j dan e. Pemerintah melakukan impor sebesar Q3-Q2 untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Besarnya tarif impor adalah Pt-Pw sehingga memberikan penerimaan pemerintah sebesar g dan h. Namun perekonomian secara keseluruhan mengalami kerugian sosial (dead weight loss) sebesar f dan i. Husain Sawit (2007) mengatakan pada saat Indonesia menerapkan ngkat tarif moderat terhadap beras, ternyata kurang efek f, dan penyelundupan bertambah. Pada periode 2000-2003 misalnya, ditaksir dak kurang dari 50 persen beras yang masuk ke Indonesia melalui berbagai pelabuhan, terbanyak melalui Selat Malaka adalah illegal (Tabor, 2002). Akibatnya adalah pola pergerakan harga gabah yang musiman menjadi porak poranda. Karena kekurangan beras di kantong-kantong konsumen sebagian besar diisi oleh beras impor. Harga gabah ngkat produsen di musim panen raya dalam beberapa tahun malah lebih nggi dari musim paceklik atau musim panen padi gadu. Akibatnya perdagangan antar pulau dan antar wilayah dak bergairah, beras

18

|

EDISI 01 • TAHUN XX • MEI 2014

Data yang digunakan peneli an ini adalah data tahun 2010 berasal dari berbagai sumber di antaranya adalah Badan Pusat Sta s k (BPS) Bulog dan Kementerian keuangan, perdagangan, dan pertanian, berupa harga beras dunia (CIF), konsumsi beras, produksi beras, jumlah impor beras, dan tarif impor beras. Data tahun 2010 akan dijadikan sebagai data dasar dalam analisis. Selain itu dalam melakukan analisis terhadap dampak kebijakan tarif impor beras, penulis menggunakan angka elas sitas permintaan dan penawaran beras dari peneli an terdahulu yaitu Hadi dan Wiryanto (2005). Analisis dampak kebijakan tarif impor beras dilakukan dengan menghitung distribusi manfaat (gains) dan kerugian (losses) yang diperoleh produsen, konsumen, pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Adapun teknik perhitungan yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras terhadap produsen, konsumen, pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam pengukuran pada Tabel 3 diantaranya sebagai berikut : 1. Harga CIF beras adalah harga dunia (Rupiah per kg) ditambah dengan biaya transportasi dan asuransi sebesar 7,5% 2. Angka elas sitas permintaan dan penawaran beras didasarkan pada hasil peneli an Hadi dan Budi (2005) masing-masing sebesar -0.14589 dan 0.15607 3. Tarif bea masuk berdasarkan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 93/PMK.011/2007 sebesar Rp 450 per kg. 4. Efek kesejahteraan bersih menunjukkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan selain diukur seper pada Tabel 4, juga dapat diukur dengan menjumlahkan perubahan surplus konsumen (SK), perubahan surplus produsen (SP) dan penerimaan pemerintah (PP) atau dituliskan sebagai berikut : SK + SP + PP.

Tabel 2. Pengukuran Dampak Kebijakan Peningkatan Tarif Impor Beras Variabel

Notasi dan Formula

Harga CIF (Rp/kg)

P

Tarif impor (Rp/kg)

T

Harga beras (Rp/kg)

P’

Konsumsi beras (Ribu ton)

Qc

Produksi beras (Ribu ton)

Qp

Impor beras (Ribu ton)

Qc - Qp

Elas sitas permintaan

Ed

Elas sitas penawaran

Es

Peningkatan harga beras dengan tarif baru (Rp/kg)

P’ - P

Penambahan produksi (Ribu ton)

∆ Qp = Es Qp (P’ - P)/P

Kehilangan konsumsi (Ribu ton)

∆ Qc = Ed Qc(P’ - P)/P

Produksi setelah tarif impor (Ribu ton)

Qp’ = Qp + ∆ QP

Konsumsi setelah tarif impor (Ribu ton)

Qc’ = Qc + ∆ Qc

Impor setelah tarif impor (Ribu ton)

Qc’- Qp’

Perubahan surplus konsumen (Rp)

Qc (P’ - P) - 0.5 (P’ - P) (Qc’ - Qc)

Perubahan surplus produsen (Rp

Qp(P’ - P) + 0.5 (P’ - P) ( Qp’- Qp)

Penerimaan pemerintah dari tarif (Rp)

T (Qc’ – Qp’)

Efek kesejahteraan bersih (Rp)

0.5(P’- P)(Qp’-Qp)+ 0.5 (P’ - P) (Qc-Qc’)

Skenario Kebijakan Tarif Impor Beras Tulisan ini menganalisis dampak kebijakan tarif impor beras dengan menggunakan dua skenario kebijakan sebagai berikut: 1. Skenario 1 dengan tarif impor beras diturunkan dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 200 per kg. 2. Skenario 2 dengan peningkatan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 700 per kg.

...


Similar Free PDFs