Dispepsia PDF

Title Dispepsia
Author Najmarani D
Pages 5
File Size 157.1 KB
File Type PDF
Total Downloads 202
Total Views 597

Summary

CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi IDI – 4 SKP Dispepsia Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan Divisi Gastroenterologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia ABSTRAK Dispepsia fungsional adalah sindrom yang mencakup salah satu atau lebih gejala-geja...


Description

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi IDI – 4 SKP

Dispepsia Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan Divisi Gastroenterologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Dispepsia fungsional adalah sindrom yang mencakup salah satu atau lebih gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Dispepsia terbagi menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional diklasiikasikan kembali menjadi postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome (Kriteria Roma III). Selain itu juga dibagi menjadi ulcer-like dyspepsia dan dysmotilitylike dyspepsia. Penelitian-penelitian patomekanisme dispepsia berfokus pada mekanisme patoisiologi abnormalitas fungsi motorik lambung, infeksi Helicobacter pylori, dan faktor-faktor psikososial, khususnya terkait gangguan cemas dan depresi. Diagnosis dispepsia hendaknya lebih ditekankan pada upaya mengeksklusi penyakit-penyakit serius atau penyebab spesiik organik yang mungkin, bukan pada karakteristik detail gejala-gejala dispepsia. Diagnosis dispepsia fungsional dilakukan berdasarkan Kriteria Roma III. Penting mendeteksi tanda-tanda bahaya (alarming features) pada pasien dengan keluhan dispepsia agar segera dirujuk. Kata kunci: dispepsia fungsional, Helicobacter pylori, ulcer-like dyspepsia

ABSTRACT Functional dyspepsia is a syndrome with symptoms of stomach fullness and heartburn during the last 3 months, with onset at least 6 months before diagnosis. It can be divided into organic and functional type; functional dyspepsia is further classiied to postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome (Rome Criteria III). It also can be classiied to ulcer-like dyspepsia and dysmotility-like dyspepsia. Research on pathomechanism focus on gastric motoric function, H. pylori infection and pscyhosocial factors, particularly on anxiety and depression. Diagnosis is based on Rome Criteria III, stressed on exclusion of organic causes. It is important to detect alarming features and referred accordingly to more complete facilities. Murdani Abdullah, Jeffri Gunawan. Dyspepsia. Key words: functional dyspepsia, Helicobacter pylori, ulcer-like dyspepsia

BATASAN DAN EPIDEMIOLOGI Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein (pencernaan).1 Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigators, dispepsia dideinisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas,2 sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru,3,4 dispepsia fungsional dideinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 647

Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik klinis seharihari.5 Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003.6 Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya

penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.5 Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer.7 Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.8 KLASIFIKASI Dispepsia terbagi atas dua subklasiikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia fungsional,

647 9/14/2012 10:11:02 AM

CONTINUING MEDICAL EDUCATION jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieksklusi.9 Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome. Dalam praktik klinis, sering dijumpai kesulitan untuk membedakan antara gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome (IBS), dan dispepsia itu sendiri. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh ketidakseragaman berbagai institusi dalam mendeinisikan masing-masing entitas klinis tersebut.10

juk lokasi di perut yang terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut dapat didiferensiasi.10,16 Quigley et al. mengemukakan sebuah pendekatan baru, yaitu dengan menyatakan IBS dan dispepsia fungsional sebagai bagian dari spektrum penyakit fungsional saluran cerna.10

Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of Gastroenterology, menegaskan kriteria diagnostik dispepsia fungsional seperti tertera pada boks 1. 4 Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS. Pasien IBS, khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami keterlambatan pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas yang menyerupai gejala dispepsia. Sebaliknya, pada pasien dispepsia, sering kali juga disertai dengan gejala-gejala saluran pencernaan bawah yang menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli mengemukakan sebuah cara, yakni dengan meminta pasien menun-

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab lain dispepsia berhasil dieksklusi.17 Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada upaya mengeksklusi penyakitpenyakit serius atau penyebab spesiik organik yang mungkin, bukan menggali karakteristik detail dan mendalam dari gejala-gejala dispepsia yang dikeluhkan pasien.18

Boks 1 Kriteria diagnostik Roma III untuk dispepsia fungsional Dispepsia fungsional Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

El-Serag dan Talley (2004) melaporkan bahwa sebagian besar pasien dengan uninvestigated dyspepsia, setelah diperiksa lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis dispepsia fungsional.11 Talley secara khusus melaporkan sebuah sistem klasiikasi dispepsia, yaitu Nepean Dyspepsia Index, yang hingga kini banyak divalidasi dan digunakan dalam penelitian di berbagai negara, termasuk baru-baru ini di China.12,13

1.

Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:

a.

Rasa penuh setelah makan yang mengganggu

b.

Perasaan cepat kenyang

c.

Nyeri ulu hati

d.

Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

2.

Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi

saat endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA]) * Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. a. Postprandial distress syndrome Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

PENDEKATAN DIAGNOSTIK Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem penggolongan, dispepsia fungsional diklasiikasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasiikasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesiik. Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.9,14,15

648 CDK-197_vol39_no9_th2012 ok.indd 648

1.

Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi

beberapa kali seminggu 2.

Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi

beberapa kali seminggu * Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang 1.

Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan

2.

Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

b. Epigastric pain syndrome Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi: 1.

Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang,

paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu 2.

Nyeri timbul berulang

3.

Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium

4.

Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

5.

Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan singter Oddi

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis. Kriteria penunjang 1.

Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal

2.

Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa

3.

Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan. 4

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

9/14/2012 10:11:02 AM

CONTINUING MEDICAL EDUCATION FAKTOR RISIKO Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia: konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili di daerah dengan prevalensi H. pylori tinggi.15 MEKANISME PATOLOGIS Dari sudut pandang patoisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.5 Ferri et al. (2012) menegaskan bahwa patoisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki peranan bermakna, seperti di bawah ini:17 1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah. 2. Infeksi Helicobacter pylori 3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.

Sekresi asam lambung Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.5 Helicobacter pylori Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.5 Dismotilitas Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal.19

Tabel 1 Diagnosis banding dispepsia fungsional dan prevalensinya16

Diagnosis banding

Prevalensi*

Dispepsia fungsional (nonulkus)

mencapai 70%

Ulkus peptikum

15-25%

Esofagitis refluks

5-15%

Kanker esofageal atau kanker lambung

10%), sedangkan alternatif (2) disarankan pada populasi dengan prevalensi infeksi H. pylori rendah.11 Sebuah studi di Denmark (2011) telah berhasil menerapkan test-and-treat secara massal dengan cara melakukan urea breath test (UBT) di rumah-rumah.9 Namun, dalam upaya eradikasi H. Pylori, perlu diwaspadai adanya resistensi tehadap pengobatan antibiotik yang diberikan; dalam studi di Spanyol (2012), ditemukan peningkatan resistensi terhadap levofloksasin yang hampir menyamai tingkat resistensi terhadap klaritromisin.23 Selanjutnya, langkah yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan penyebab organik. Apabila kemungkinan tersebut telah disingkirkan, untuk makin mengoptimalkan pengelolaan pasien dispepsia fungsional, perlu diketahui subklasiikasi dispepsia fungsional tersebut. Apabila ditemukan ulcer-like dyspepsia, pengobatan antasida, antagonis reseptor H2, dan PPI sangat dianjurkan. Apabila didapatkan dysmotility-like dyspepsia, pengobatan dengan agen prokinetik merupakan pilihan yang lebih baik.7 Mengingat adanya hubungan dengan faktor psikosomatis pada pasien dispepsia fungsional, patut dipertimbangkan pemberian obat-obat psikotropik dan intervensi secara psikologis,

sekalipun bukti keuntungan terapi ini belum secara ekstensif didapatkan.22 Terapi terbaru, seperti ekstrak herbal STW 5, masih memerlukan penelitianpenelitian preklinis yang intensif sebelum dapat digunakan.9 Guo (2011) melaporkan efektivitas akupunktur dalam meningkatkan motilin plasma, frekuensi elektrogastrograik, pengosongan lambung, dan meredakan gejala-gejala dispepsia fungsional, terlebih bila dikombinasikan dengan obat-obat yang sudah ada.24 PROGNOSIS Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional.25 Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris.18 KAPAN HARUS MERUJUK? Pasien dispepsia harus dirujuk ke dokter spesialis terkait jika ditemukan tanda dan gejala di bawah ini17: 1. Jika pasien mengalami gejala dan tanda bahaya (alarming features) seperti berikut: perdarahan saluran cerna, sulit menelan, nyeri saat menelan, anemia yang tidak bisa dijelaskan sebabnya, perubahan nafsu makan, dan penurunan berat badan, atau ada indikasi endoskopi. Segera rujuk pasien ke spesialis gastroenterologi atau rumah sakit dengan fasilitas endoskopi. 2. Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada kelainan jantung, segera rujuk ke spesialis jantung. SIMPULAN Dispepsia fungsional adalah sindrom yang mencakup salah satu atau lebih gejala-gejala berikut ini: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Dispepsia secara klasik terbagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional diklasiikasikan kembali menjadi

CDK-197/ vol. 39 no. 9, th. 2012

9/14/2012 10:11:06 AM

CONTINUING MEDICAL EDUCATION postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome (Kriteria Roma III). Selain itu, juga dibagi menjadi ulcer-like dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia.

Dispepsia (belum terinvestigasi)

Usia >55 tahun atau adanya tanda-tanda bahaya*

EGD

Usia < 55 th. tanpa tandatanda bahaya*

Prevalensi Hp 10%

Terapi percobaan dengan PPI

Terapi test and treat untuk Hp

Bila gagal Terapi test and treat untuk Hp

Bila gagal

Pertimbangkan EGD

Bila gagal Terapi percobaan dengan PPI

Bila gagal

Pertimbangkan EGD

Skema 2 Algoritma pengelolaan pasien dengan dispepsia11, 14 EGD: esofagogastroduodenoskopi, PPI: proton-pump inhibitor, Hp: Helicobacter pylori *

Tanda-tanda bahaya sebagaimana yang disebutkan pada paragraf di atas

Hingga tahun 2012, penelitian-penelitian mengenai patomekanisme dispepsia berfokus pada upaya mengurai mekanisme patoisiologis yang disebabkan abnormalitas fungsi motorik lambung, infeksi Helicobacter pylori, dan faktor-faktor psikososial, khususnya terkait gangguan cemas dan depresi. Diagnosis dispepsia hendaknya lebih ditekankan pada upaya mengeksklusi penyakit-penyakit serius atau penyebab spesiik organik yang mungkin, bukan menggali karakteristik detail gejalagejala dispepsia yang dikemukakan pasien. Diagnosis dispepsia fungsional dilakukan berdasarkan Kriteria Roma III. American College of Gastroenterology Guidelines for the Management of Dyspepsia (2005) mengemukakan pentingnya mendeteksi tanda-tanda bahaya (alarming features) pada pasien dengan keluhan dispepsia, yang penting untuk menentukan pengelolaan selanjutnya. Segera rujuk apabila didapatkan tanda-tanda bahaya tersebut atau terdapat tanda-tanda yang mengarah pada gangguan jantung.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Bonner GF. Upper gastrointestinal evaluation related to the pelvic loor. In: Davila GW, Ghoniem GM, Wexner SD, editors. Pelvic Floor Dysfunction. 1st ed. Springer-Verlag London Limited; 2006. p. 67-8.

2.

Talley NJ, Colin-Jones D, Koch KL, Koch M, Nyren O, Stanghellini V. Functional dyspepsia: a classiication with guidelines for diagnosis and management. Gastroenterol Int. 1991;4:145.

3.

Talley NJ, Stanghellini V, Heading RC, Koch KL, Malagelada JR, Tytgat GN. Functional gastroduodenal disorders. Gastroenterology. 2006;130:1466-79.

4.

Appendix B: Rome III Diagnostic criteria for functional gastrointestinal disorders. Am J Gastroenterol. 2010;105:798–801.

5.

Djojodiningrat D. Dispepsia fungsional. In: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen

6.

Halder SL, Locke GR 3rd, Schleck CD, Zinsmeister AR, Melton LJ 3rd, Talley NJ. Natural history of functional gastrointestinal disorders: a 12-year longitudinal population-based study. Gas-

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 354-6. troenterology. 2007;133:799-807. 7.

Lacy BE, Talley NJ, Camilleri M. Functional dyspepsia: Time to change clinical trial design. Am J Gastroenterol. 2010;105:2525-9.

8.

Dahlerup S, Andersen RC, Nielsen BS, Schjødt I, Christensen LA, Gerdes LU, et al. First-time urea breath tests performed at home by 36,629 patien...


Similar Free PDFs