Etika Bisnis Dalam Prespektif Al-Qur’an PDF

Title Etika Bisnis Dalam Prespektif Al-Qur’an
Author Tirta septian
Pages 8
File Size 119.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 194
Total Views 519

Summary

Etika Bisnis Dalam Prespektif Al-Qur’an: Upaya Membangun Bisnis Yang Islami Untuk Menghadapi Tantangan Bisnis Di Masa Depan Haris Hidayatulloh Prodi AS, Fakultas Agama Islam, Unipdu Jombang Email:[email protected] Abstrak Bisnis merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tidak h...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Etika Bisnis Dalam Prespektif AlQur’an Tirta septian

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Perilaku yang Menyimpang dalam Et ika Perbankan Syariah irgi ahmadfachrezi

bank lembaga keuangan syari'ah eris park Et bis Kelompok - Et ika Bisnis Dalam Perspekt if Islam Firda Shania

Etika Bisnis Dalam Prespektif Al-Qur’an: Upaya Membangun Bisnis Yang Islami Untuk Menghadapi Tantangan Bisnis Di Masa Depan Haris Hidayatulloh Prodi AS, Fakultas Agama Islam, Unipdu Jombang Email:[email protected] Abstrak Bisnis merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tidak heran jika Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah memberi tuntunan dalam bidang usaha. Bisnis selama ini, dikesankan sebagai usaha mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, bahkan harus ditempuh dengan cara kotor dan tidak etis. Etika bisnis sangat penting untuk dikemukakan dalam era globalilasasi yang seringkali mengabaikan nilai-nilai moral dan etika. Karena itu, Islam menekankan agar aktifitas bisnis manusia dimaksudkan tidak semata-mata sebagai alat pemuas keinginan tetapi lebih pada upaya pencarian kehidupan berkeseimbangan disertai prilaku positif bukan destruktif. Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji etika bisnis dari sudut pandang al-qur’an dalam upaya membangun bisnis yang Islami untuk menghadapi tantangan bisnis di masa depan. Kesimpulannya Bisnis dalam alQur’an disebut sebagai aktivitas yang bersifat material sekaligus immaterial. Suatu bisnis bernilai, apabila memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara seimbang, tidak mengandung kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Akan tetapi mengandung nilai kesatuan,keseimbangan, kehendak bebas, pertanggung-jawaban, kebenaran, kebajikan dan kejujuran Abstract Business is something very important in human life. No wonder Islam is rooted in the Qur'an and Sunnah provide guidance in the field of business. Business over the years, suggested as a business for profit as much as possible, even to go to the dirty and unethical manner. Business ethics is essential to put forward in the era globalilasasi often ignores moral values and ethics. Thus, Islam emphasizes that human business activity is not solely intended as a means of satisfying the desire, but rather on the search for life berkeseimbangan with a positive attitude rather than destructive. This paper aims to examine business ethics from the perspective of the Qur'an in an effort to build an Islamic business to business challenges in the future. Business in the conclusion of the Koran called the activity that is at once immaterial material. A business is worth, if it meets the material and spiritual needs in a balanced, contains no falsehood, destruction and injustice. But it contains the value of unity, balance, free will, accountability, truth, virtue and honesty Keywords: Ehtics, Business,

PENDAHULUAN Salah satu keunikan ajaran Islam adalah mengajarkan para penganutnya untuk melakukan praktik ekonomi berdasarkan norma-norma dan etika Islam. Bahkan diakui oleh para ekonom muslim maupun non-muslim, dalam Islam diajarkan nilai-nilai dasar ekonomi yang bersumber kepada ajaran tauhid. Sudah menjadi kodrat manusia untuk diciptakan sebagai makhluk bergelut di bidang ekonomi, baik secara personal maupun kolektif, dalam memenuhi kebutuhan hidup, yang pada satu sisi tidak terbatas dan pada sisi lain dihadapkan pada sumber-sumber terbatas. Sebagai bagian integral aktifitas manusia, kegiatan ekonomi tak dapat dielakkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam rangka menjalankan tanggungjawab manusia sebagai pihak yang berpartisipasi aktif dalam peningkatan taraf hidup manusia secara individu, kolektif atau universal. Keterlibatan manusia dalam aktifitas bisnis tidak semata karena faktor pemenuhan kebutuhan fisik, tapi pembinaan komunikasi positif, prilaku saling menguntungkan, realisasi keadilan, dan prilaku tidak saling merugikan merupakan sebagian dari sekian banyak faktor krusial bagi terciptanya tatanan kehidupan

manusia. Betapapun peredaran perekonomian lancar dengan laju ekonomi tinggi dan tingkat inflasi rendah, namun jika tidak diimbangi dengan nilai-nilai luhur itu, maka pada titik tertentu akan tercipta kondisi yang membawa malapetaka baik langsung atau jangka panjang. Karena itu, Islam menekankan agar aktifitas bisnis manusia dimaksudkan tidak semata-mata sebagai alat pemuas keinginan (al-syahwat), tetapi lebih pada upaya pencarian kehidupan berkeseimbangan dunia-akhirat disertai prilaku positif bukan destruktif. Sementara itu pada sisi yang lain perkembangan dunia bisnis dan ekonomi telah berjalan cepat dalam dunianya sendiri, yang seringkali berjauhan dengan nilai-nilai moralitas dan agama. Sehingga dalam pelaksanaannya dipenuhi oleh praktek- praktek mal-bisnis. Oleh karena itu diperlukan adanya etika dalam berbisnis. Yang dimaksud praktek mal-bisnis dalam pengertian ini adalah mencakup semua perbuatan bisnis yang tidak baik, jelek, membawa akibat kerugian, maupun melanggar hukum. (Suwantoro 1990:20). Padahal al-Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai prinsipil untuk mengenali perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an khususnya dalam bidang bisnis. Pada mulanya etika bisnis muncul ketika kegiatan bisnis tidak luput dari sorotan etika. Menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan atau takaran, merupakan contoh- contoh konkrit adanya hubungan antara etika dan bisnis. Dari fenomena-fenomena itulah etika bisnis mendapat perhatian yang intensif hingga menjadi bidang kajian ilmiah yang berdiri sendiri. (George, 1986: 43). Menurut sementara pihak, problem etika bisnis terletak pada kesangsian apakah moralitas mempunyai tempat dalam kegiatan bisnis (Keraf, 1997: 49.) Bagi kalangan ini bisnis adalah kegiatan manusia yang bertujuan mencari laba semata-mata. Bisnis telah ada dalam sistem dan struktur dunianya yang baku untuk mencari pemenuhan hidup. Sementara, etika merupakan disiplin ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar atau salah, yang baik atau buruk, sehingga dianggap tidak seiring dengan sistem dan struktur bisnis (Rahardjo,1995:2). Kesangsian-kesangsian inilah yang melahirkan mitos bisnis amoral PEMBAHASAN A. Etika dan Bisnis Dalam Islam Al-Qur’an dari sudut pandang isinya, lebih banyak membahas tema-tema tentang kehidupan manusia baik pada tataran individual maupun kolektivitas. Hal ini dibuktikan bahwa, tema pertama dan tema terakhir dalam al- Qur’an adalah mengenai perilaku manusia (Rahman, 1992: 59). Etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti adat istiadat atau kebiasaan (Sonny Keraf, 1991: 14). Dalam pemahaman umum, etika selalu dikaitkan dengan kebiasaan hidup yang baik, yang berlaku pada diri sendiri, dan pada masyarakat. Dalam pengertian yang lain, etika diartikan sebagai sistem atau kode yang dianut (Dahlan Yacub,2001:154). Terminologi lain yang dekat dengan pengertian etika, adalah moralitas. Term ini berasal dari bahasa Latin mos, dan bentuk jamaknya mores, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Walaupun terminologi ini berasal dari dua bahasa yang berbeda, kedua-duanya memiliki titik temu, yaitu adat kebiasaan yang baik yang harus dijunjung tinggi oleh individu atau masyarakat. Oleh karena itu, individu atau kelompok masyarakat yang tidak menjunjung tinggi nilai tersebut dapat dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Dalam bahasa Arab, kata etika atau moralitas disebut al-khuluq dan jamaknya al-akhlaq , yang berarti usaha manusia untuk membiasakan diri dengan adat istiadat yang baik, mulia dan utama (Al-Raghib,tt:159) Terminologi alkhuluq itu sendiri berasal dari kata dasar al-khalq, yang berarti menciptakan (Lewis,tt: 520). Dengan demikian seseorang dikatakan berakhlak atau bermoral yang baik, karena ia membiasakan diri dengan adat istiadat yang baik, yang seakan-akan ia dilahirkan dan diciptakan dalam keadaan demikian. Lalu bagaimanakah pandangan al-qura’an tentang bisnis. Bisnis merupakan salah satu hal yang amat penting dalam kehidupan manusia. Tidak heran jika Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi memberi tuntunan menyeluruh sekaligus petunjuk-petunjuknya berkaitan dengan interaksi dalam bidang usaha dagang. Rasulullah SAW yang diutus oleh Allah SWT sebagai penyempurna akhlak juga memberi tuntunan yang berkaitan dengan bisnis, lebih-lebih bahwa Rasulullah SAW sendiri pada masa mudanya adalah seorang pelaku bisnis yang sukses. Al-Qur’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan tuntutan-tuntutannya dalam

segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah- istilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual-beli, untung-rugi dan sebagai- nya (al-Taubah, 9: 111). Dari sudut pandang terminologis tentang bisnis, al-Qur’an mempunyai terma- terma yang mewakili apa yang dimaksud dengan bisnis. Diantaranya Terma-terma itu adalah altijarah, al-bai’u, tadayantum, dan isytara. Terma tijarah, berawal dari kata dasar tj-r, tajara, tajran wa tijaratan, yang bermakna berdagang, berniaga. At-tijaratun walmutjar; perdagangan, perniagaan, atti- jariyy wal mutjariyy; mengenai perdagangan atau perniagaaan (al-Munawwir, 1984: 139). Dalam penggunaan terma-terma di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat al-Baqarah: 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum. Yang menarik dalam pengertian- pengertian ini, dihubungkan dengan konteksnya masing-masing adalah bahwa pengertian perniagaan tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat material, tetapi kebanyakan dari pengertian perniagaan lebih tertuju kepada hal yang bersifat immaterial-kualitatif. Yang memperlihatkan makna perniagaan dalam konteks material misalnya disebutkan dalam al-Qur’an surat alTaubah: 24, an-Nur: 37, al-Jumu’ah: 11. Adapun perniagaan dalam konteks material sekaligus immaterial terlihat pada pemahaman tijarah dalam beberapa ayat Al-Qur’an yaitu dalam surat Fatir: 29. Demikian pula terma al-bai’ digunakan al-Qur’an, dalam pengertian jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh atau mengembangkan harta benda dengan jalan riba. (al-Baqarah: 275). Adapun terma baya’tum, bibai’ikum,(al-Taubah 9:111) dan tabaya’tum (al- Baqarah: 282), digunakan dalam pengertian jual beli yang dilakukan oleh kedua belah pihak harus dilakukan dengan ketelitian dan dipersaksikan dalam pengertian dengan cara terbuka dan dengan tulisan. Jual beli di sini tidak hanya berarti jual beli sebagai aspek bisnis tetapi juga jual beli antara manusia dan Allah yaitu ketika manusia melakukan jihad di jalan Allah, mati syahid, menepati perjanjian dengan Allah, maka Allah membeli diri dan harta orang mukmin dengan syurga. Jual beli yang demikian dijanjikan oleh Allah dengan syurga dan disebut kemenangan yang besar. Uraian di atas menjelaskan bahwa, pertama, al-Qur’an memberikan tuntunan bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan sesaat, melainkan mencari keuntungan yang hakiki baik dan berakibat baik pula bagi kesudahannya. Kedua, Keuntungan bisnis menurut al-Qur’an bukan semata- mata bersifat material tetapi bersifat material sekaligus immaterial, bahkan lebih mengutamakan hal yang bersifat immaterial atau kualitas. Ketiga, bahwa bisnis bukan semata- mata berhubungan dengan manusia tetapi juga berhubungan dengan Allah. B. Prinsip Berperilaku Yang Bertentangan Dengan Nilai Etis Dalam Dunia Bisnis Menurut al-Qur’an Etika bisnis merupakan ilmu yang dibutuhkan banyak pihak tetapi masih bersifat problematis dari sisi metodologis. Ilmu ini dibutuhkan untuk merubah performen dunia bisnis yang dipenuhi oleh praktek praktek mal bisnis. Yang dimaksud praktek mal-bisnis adalah mencakup baik business crimes maupun business tort, yakni business crimes sebagai perbuatan bisnis yang melanggar hukum pidana atau business tort sebagai perbuatan bisnis yang melanggar etika. (Suwantoro, 1990: 20-21). Al-Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai prinsipil untuk mengenali perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an. Dalam al-Qur’an terdapat terma-terma, al-bathil, al- fasad dan azh-zhalim yang dapat difungsikan sebagai landasan-landasan atau muara perilaku yang bertentangan dengan nilai perilaku yang dibolehkan atau dianjurkan al- Qur’an khususnya dalam dunia bisnis. Hal ini beralasan bahwa beberapa ayat yang mempunyai kandungan tentang bisnis, seringkali mengunakan terma-terma di atas ketika menjelaskan tentang perilaku bisnis yang buruk. Pertama, Al-bathil dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 36 kali dalam berbagai derivasinya. Menurut pengertiannya, al-bathil yang berasal dari kata dasar bathala, berarti fasada atau rusak, sia-sia, tidak berguna, bohong. Al-Bathil sendiri berarti; yang batil, yang salah, yang palsu, yang tidak berharga, yang sia-sia dan syaitan(alMunawwir, 1984: 99-100).Menurut al-Maraghi, albathil berasal dari al-buthlu dan al-buthlan, berarti kesia-siaan dan kerugian, yang menurut syara’ mengambil harta tanpa pengganti hakiki dan tanpa keridlaan dari pemilik harta yang diambil tersebut (al-Maraghi,1998:24). Penggunaan al-bathil dalam konteks bisnis tersebut dalam al-Qur’an sebanyak empat kali. Pertama dalam surat (alBaqarah:188) ditegaskan bahwa sifat kebatilan seringkali digunakan untuk memperoleh harta benda secara sengaja. Pada ayat kedua, yaitu dalam ( surat an-Nisa:29) ditegaskan

larangan bisnis yang dilakukan dengan proses kebatilan. Pada ayat ketiga, yaitu dalam surat an-Nisa: 160-161; al-bathil disebutkan dalam konteks kezhaliman kaum Yahudi yang suka melakukan riba dan memakan harta orang lain dengan jalan batil. Pada ayat keempat disebutkan bahwa kebatilan dalam bisnis telah banyak dilakukan baik dengan menghalang-halangi dari jalan Allah, menimbun harta atau tidak mengeluarkan infak (al-Taubah (9): 34). Di sinilah posisi strategisnya etika bisnis, untuk menjaga pengelolaan dan pengembangan harta benda yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dari jalan kebatilan. Kedua dari praktek mal bisnis adalah al-fasad. Terma ini disebut 48 kali dalam al-Qur’an. Dalam penggunaannya terma al-fasad kebanyakan mempunyai pengertian kebinasaan, kerusakan, membuat kerusakan, kekacauan di muka bumi, mengadakan kerusakan di muka bumi. Misalnya dalam Dalam (surat Hud: 85) ditegaskan bahwa mengurangi takaran dan timbangan merupakan kedzaliman. Demikian pula dalam surat (al-A’raf: 85) atau (al- Baqarah: 205) ditegaskan tentang perintah menyempurnakan takaran dan timbangan disandingkan dengan larangan mengadakan kerusakan atau kedzaliman di muka bumi. Di tempat lain pada surat ( al-Maidah: 32) menyatakan bagaimana besar dan luasnya akibat yang ditimbulkan oleh suatu kezaliman. Dari ayat-ayat di atas dapat diambil pemahaman bahwa perbuatan yang mengakibatkan kerusakan atau kebinasaan, walaupun kelihatannya sedikit dianggap oleh al-Qur’an sebagai kerusakan yang banyak. Mengurangi hak atas suatu barang (komoditas) yang didapat atau diproses dengan menggunakan media takaran atau timbangan dinilai alQur’an seperti telah membuat kerusakan di muka bumi. Ketiga, dari praktek mal bisnis adalah Azh-zulm terambil dari kata dasar zh-l-m bermakna, meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan, tindakan sewenang-wenang, kegelapan (al-Munawwir, 1984: 946-947). Dalam konteks hubungan kemanusiaan, alQur’an pada beberapa tempat menyatakan kandungan makna kezhaliman sebagai landasan praktek yang berlawanan dengan nilai-nilai etika, termasuk dalam mal bisnis. Dalam (al-Baqarah: 279) mengatakan, bahwa kita seharusnya tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya oleh pihak lain. Dengan demikian dari pemahaman al-bathil, alfasad dan az-zalim di atas dihubungkan dengan pengertian hakikat bisnis, dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu landasan praktek mal bisnis adalah setiap praktek bisnis yang mengandung unsur kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun banyak, tersembunyi maupun terang-terangan. Dapat menimbulkan kerugian secara material maupun immateri baik bagi si pelaku, pihak lain maupun masyarakat. Dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan. Menimbulkan akibat-akibat moral maupun akibat hukum yang mengikutinya, baik menurut hukum agama maupun hukum positif. Namun demikian penilaian terhadap suatu praktek mal bisnis tidak disyaratkan adanya tiga. landasan kebatilan, kerusakan dan kezhaliman sekaligus, melainkan adanya salah satu dari ketiga landasan di atas secara otomatis telah memasukan suatu aktivitas maupun entitas bisnis ke dalam kategori praktek mal bisnis. C. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Al-Qur’an 1. Kesatuan (unity) Adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama,ekonomi,dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal,membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam (Naqvi, 1993: 50-51). 2. Keseimbangan (keadilan) Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis,Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah:8. Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang kita lihat pada alam semesta mencerminkan keseimbangan yang harmonis. (Beekun, 1997: 23.) Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemoderatan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis. 3. Kehendak Bebas

Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam,tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.Kepentingan individu dibuka lebar.Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya.Sampai pada tingakat tertentu, manusia dianugerahi kehendak bebas untuk memberi arahan dan membimbing kehidupannya sendiri sebagai khalifah di mukabumi (Qal-Baqarah, 2:30). Berdasarkan prinsip kehendak bebas ini, manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian termasuk menepati janji atau mengingkarinya. Tentu saja seorang muslim yang percaya kepada kehendak Allah akan memuliakan semua janji yang dibuatnya. (Beekun,1997: 24). 4. Pertanggungjawaban Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal mustahil, lantaran tidak menuntut tanggung jawab. Menurut Al-Ghozali, konsep adil meliputi hal bukan hanya equilibrium tapi juga keadilan dan pemerataan. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung jawabkan tindakannya. Allah menekankan konsep tanggung jawab moral tindakan manusia, (Q.S. 4:123-124).) Karena itu menurut Sayyid Qutub prinsip pertanggungjawaban Islam adalah pertanggungjawaban yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga, individu dan sosial antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. (Beekun, 1997: 103) 5. Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Adapun kebajikan adalah sikap ihsan,yang merupakan tindakan yang dapat memberi keuntungan terhadap orang lain (Beekun, 1997: 28). Dalam al-Qur’an prinsip kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat diambil dari penegasan keharusan menunaikan atau memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis.Termasuk ke dalam kebajikan dalam bisnis adalah sikap kesukarelaan dan keramahtamahan. Kesukarelaan dalam pengertian, sikap suka-rela antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian bisnis. Hal ini ditekankan untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan serta cinta mencintai antar mitra bisnis. Adapun kejujuran adalah sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya pen...


Similar Free PDFs