Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan PDF

Title Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan
Author Muhammad Fremaldin
Pages 34
File Size 455.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 241
Total Views 708

Summary

Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan Heddy Shri Ahimsa-Putra Universitas Gadjah Mada Catatan Redaksi Pendekatan etnosains dan etnometodologi masih tetap merupakan masalah yang diperdebatkan di antara para ilmuwan sosial, khususnya para antropolog dan para sosiolog. Hal ini terlihat dari...


Description

Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan Heddy Shri Ahimsa-Putra Universitas Gadjah Mada Catatan Redaksi Pendekatan etnosains dan etnometodologi masih tetap merupakan masalah yang diperdebatkan di antara para ilmuwan sosial, khususnya para antropolog dan para sosiolog. Hal ini terlihat dari terus munculnya tulisan mengenai kedua pendekatan ini, dari mereka yang menganutnya maupun mereka yang mengecamnya. Bagi kita di Indonesia agak sukar untuk mengikuti perkembangan perdebatan ini, karena lamanya terbitan baru dapat diperoleh di Indonesia. Ditambah lagi harga buku bukan kepalang. Salah satu publikasi yang lebih baru dari yang dipelajari penulis karangan ini adalah antologi yang disunting oleh Ronald W. Casson Language, Culture and Cognition: Anthropological Perspectives (New York: MacMillan Publishing Co. 1981) yang kebanyakan memuat tulisan dari tahun 1975—1979. Penyunting buku mengatakan bahwa ia merasa perlu membuat antologi ini karena antologi dari Tyler (1969) dan Spradley (1972) sudah agak usang. Yang menarik adalah bahwa istilah etnosains hampir tidak digunakan dan istilah yang lebih lazim dipakai adalah cognitive anthropology, suatu istilah yang sudah dipakai oleh Tyler pada antologinya tahun 1969. Demikian pula dengan perkembangan pemikiran mengenai etnometodologi. Seperti halnya dengan antropologi kognitif, pendekatan etnometodologi (yang oleh Aaron Cicourel dinamakan sosiologi kognitif dalam bukunya yang berjudul Cognitive Sociology: Language and Meaning in Social Interaction (Penguin Books, 19...) dimaksudkan oleh penganutnya sebagai tantangan terhadap pendekatan-pendekatan ...etis dari antropologi dan sosiologi yang dianggapnya ―established‖ atau ―mainstream‖. Bagi penganut yang moderat, pendekatan mereka dianggap sebagai suatu alternatif dan bagi yang fanatik, pendekatan mereka dianggap benar, sedangkan semua yang sebelumnya dianggap salah. Pandangan bertentangan yang begitu tajam dengan sendirinya menimbulkan perdebatan yang sering hangat, walaupun ada juga ilmuwan sosial yang sama sekali tidak menghiraukan perdebatan tersebut dan bertindak seakan-akan tidak ada sama sekali. Rupanya ke..aan yang terakhir ini terdapat pada para ilmuwan sosial di Indonesia. Dengan karangan mengenai etnosains dan etnometodologi yang dimuat dalam nomor ini, Redaksi berharap bahwa para ilmuwan sosial tergugah untuk menanggapinya atau menulis mengenai pemikiran teoretis dan metodologis yang lain. Abstract On this article the author discusses two perspectives that have developed since the 1960‘s: ethnoscience in anthropology and ethnomethodology in sociology. The first part of the paper faces the origins, principles and concepts of these new schools of thought in the social sciences. In the second part the author attempts to compare them in terms of their similarities ant differences. He also discusses some of the criticism that has been launched at ethnoscience. And the last and final part the author presents his own ideas about the relevance of these two perspectives in the analysis of Indonesian society.

1

Dua aliran yang relatif baru telah muncul dalam ilmu sosial, yakni etnosains (ethnoscience) dan etnometodologi (ethnomethodology). Etnosains, yang sering juga disebut Etnografi Baru (The New Ethnography) muncul dalam antropologi, sedang etnometodologi menampakkan dirinya dalam sosiologi. Sepintas lalu kita dapat menangkap persamaan di antara keduanya, yaitu prefix ethno, yang bisa diartikan sebagai folk. Maksudnya adalah bahwa dalam pendekatan ini si peneliti mencoba memandang gejala sosial tidak dari sudut dirinya sebagai peneliti, melainkan dari kacamata orang-orang yang terlibat di dalamnya. Peneliti juga tidak bermaksud menilai apakah pandangan mereka salah atau benar, baik atau buruk, tetapi mencoba memahami dan menjelaskan pandangan-pendangan mereka. Dalam antropologi langkah semacam ini bukan merupakan suatu hal yang baru, juga tidak dalam sosiologi, yang sudah sejak lama mengenal metode verstehen. Jadi apabila ditinjau dari perpektifnya, kedua aliran ini bukanlah aliran yang sama sekali baru. Kendati demikian, kedatangan etnosains dalam antropologi dan etnometodologi dalam sosiologi tetap merupakan angin baru yang segar. Di samping persamaan, kita juga melihat perbedaan dalam kata sains dan metodologi. Kata sains membawa pikiran kita pada sesuatu yang sudah jadi, tinggal pakai saja, sesuatu yang (seolah-olah) pasif, sedang kata metodologi membawa asosiasi kita pada metode atau cara-cara, jadi lebih berkonotasi aktif. Perbedaan aktif dan pasif tidaklah berarti bahwa yang pasih kurang begitu bernilai dibanding yang aktif, sebab di sini persoalannya bukan baik dan kurang baik, melainkan lebih erat kaitannya denan masalah yang ingin dipecahkan oleh masing-masing aliran. Mengetahui persamaan dan perbedaan seperti ini belum cukup bagi kita. Masih banyak hal-hal yang perlu diungkapkan dari masing-masing pendekatan tersebut. Dalam tulisan ini saya akan mencoba membandingkan keduanya, dengan maksud agar kita dapat lebih memahami dan bila mungkin menerapkan serta mengembangkannya di Indonesia. Suatu cabang ilmu pada dasarnya membedakan dirinya dari cabang ilmu yang lain dalam asumsi-asumsi dasarnya mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkannya (Cuff and Payne, 1980:3). Perbandingan dua aliran seperti etnosains dan etnometodologi, yang ideal, tentunya mencakup kelima hal tersebut, namun mengingat ruang yang tidak memungkinkan saya hanya akan membicarakan beberapa pokok masalah saja. Pertama, saya akan mencoba menelusuri akar-akar pemikiran dari masing-masing aliran dan beberapa sebab yang mendorong timbulnya pemikiran tersebut. Dalam hal ini tercakup antara lain asumsi dasar kedua pendekatan serta cabang-cabang ilmu mana yang mempengaruhinya. Uraian kedua merupakan isi dari tulisan ini, yakni perbandingan metode atau cara analisis etnosains dan etnometodologi. Untuk memudahkan penjelasan tentang masalah yang ingin dipecahkan oleh masing-masing aliran, saya akan memulainya dengan mengajukan data setengah fiktif. Kemudian saya paparkan beberapa kesamaan

2

serta perbedaan di antara keduanya. Beberapa kritik yang dilontarkan terhadap Etnosains juga akan saya singgung sedikit di sini. Bagian terakhir berisi ringkasan serta pandangan saya mengenai hubungan yang ada antara pendekatan-pendekatan ini dengan kegiatan pembangunan, yang sekarang juga sedang ramainya dilaksanakan di Indonesia.

ETNOSAINS Dalam antropologi, aliran etnosains dapat dikatakan sebagai pendekatan yang menggunakan metode baru, walaupun dasar dari pendekatan ini tidaklah baru. Kita dapat meruntutnya kembali pada Malinowski, yang pada tahun 1920-an telah mencanangkan bahwa tujuan seorang penulis etnografi (baca: ahli antropologi) adalah ―to grasp the native‘s pont of view, his relation to life to realize his vision of his world‖ (Malinowski, 1961:25). Sejauh mana pernyataan Malinowski ini diikuti oleh ahli-ahli antropologi lainnya, dapat kita lihat dari beberapa masalah yang kemudian muncul ketika mereka membandingkan berbagai masalah kebudayaan suku-sukubangsa di dunia guna mendapatkan prinsip-prinsip kebudayaan yang universal sifatnya. Usaha perbandingan ini dipelopori oleh G.P. Murdock, yang telah menyusun suatu sistem data dari ratusan kebudayaan untuk memudahkan usaha tersebut, yang sekarang dikenal dengan nama Human Relation Area Files (HRAF). Beberapa hal yang pada mulanya tidak disadari sebagai masalah oleh ahli-ahli antropologi, kemudian muncul ke permukaan dan menjadi penghambat studi perbandingan tersebut. Menurut Goodenough (1964:7—9) ada tiga masalah pokok di situ. Pertama mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi sendiri. Misalnya saja, ahli antropologi A, karena begitu tertarik pada sistem kekerabatan maka dalam etnografinya hal-hal yang bersangkutan dengan sistem kekerabatan maka dalam etnografinya hal-hal yang bersangkutan dengan sistem kekerabatan itulah yang diuraikan dengan sangat mendalam, sedang masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, ekologi, dan teknologi tidak begitu diperhatikan. Di pihak lain, ahli antropologi B yang sangat berminat pada soal mata pencaharian, atau sistem ekonomi dan politik, mengupas masalah ini dengan sangat luas tapi mengabaikan soal-soal sistem kekerabatan dan kesenian. Akibatnya terjadi kepincangan data dalam etnografi mereka, dan ini kemudian akan menyulitkan usaha-usaha untuk menemukan prinsip-prinsip kebudayaan lewat studi perbandingan. Kedua, masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat dibandingkan, atau seberapa jauh data tersebut bisa dikatakan melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, mengingat para ahli antropologi sendiri menggunakan metode yang berbeda-beda dalam mendapatkan data tersebut, di samping tujuan mereka yang berlainan pula. Masalah ketiga menyangkut soal klasifikasi. Agar data dapat dibandingkan biasanya diadakan

3

pengklasifikasian terlebih dulu, dan di sini diperlukan kriteria lagi yang rupanya antara ahli antropologi sendiri juga terdapat perbedaan. Sebagai contoh bisa kita ambil misalnya penggolongan suatu sukubangsa dalam kelompok dengan sistem patrilineal, double descent, atau matrilineal. Pada saat menentukan apakah suatu sukubangsa mempunyai sistem patrilineal atau bukan seorang ahli antropologi seringkali tidak menyebutkan kriteria apa yang dipakainya. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi apa yang dikatakan oleh seorang ahli sebagai patrilineal, menurut kriteria yang lain bisa menjadi double descent, atau sebaliknya. Dua ahli antropologi yang memiliki konsep-konsep yang sama dapat berlainan dalam menggunakan konsep tersebut untuk masyarakat yang mereka teliti. Jadi, pada dasarnya masalah-masalah dalam studi perbandingan di atas melihat dua hal pokok seperti yang ditunjukkan dengan tepat oleh Tyler, ―... comparision between system can only be useful if the facts compared are truly comparable, and we cannot know what facts are comparable until the facts themselves are adequately described.‖ (Tyler, 1969:15). Beberapa masalah di atas menimbulkan kesadaran di kalangan ahli antropologi akan kelemahan cara pelukisan kebudayaan yang selama ini ditempuh, dan ini mendorong mereka untuk mencari model-model yang lebih tepat. Salah satu model yang kemudian dipakai adalah model dari linguistik (Goodenough, 1964a, 1964b), yakni dari fonologi. Dalam cabang ilmu ini dikenal dua cara penulisan bunyi bahasa, yaitu secara fonemik dan fonetik. Fonemik menggunakan cara penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa sedang fonetik adalah sebaliknya, yakni memakai simbol-simbol bunyi bahasa yang ada pada si peneliti (ahli bahasa) atau alphabet fonetia. Pada cara yang kedua ini setiap bunyi bahasa yang membedakan arti akan ditulis dengan simbol yang berada. Sebagai contoh akta teras, yang berarti serambi rumah dan teras yang berarti inti dalam pejabat teras. Teras yang pertama akan ditulis [teras] dan yang kedua ditulis [tǝras]. Dalam hal ini si peneliti menuliskan dua kata dengan simbol yang dipakai secara universal (dalam arti dipakai oleh para ahli bahasa di dunia), namun bertitik tolak dari perbedaan arti yang diberikan oleh si pemakai bahasa, atau lebih tepat perbedaan bunyi yang ada pada pemakai bahasa tersebut.* situasi yang dihadapi oleh seorang ahli bahasa di sini mirip dengan situasi yang dialami oleh seorang ahli antropologi sewaktu melakukan penelitian. Ahli antropologi harus melukiskan kebudayaan masyarakat yang didatanginya, di mana di satu pihak dia perlu memakai cara-cara yang bersifat universal (dipakai dalam dunia antropologi), di lain pihak pelukisan tersebut perlu mengikuti pandangan atau makna yang diberikan oleh si pendukung kebudayaan (Goodenough, 1964a:36–37, 1964b:9–10). Dengan demikian, model dari ilmu bahasa tadi dapat dipakai oleh para ahli antropologi. Cara pelukisan seperti itu dalam antropologi kemudian dikenal sebagai pelukisan etik dan

*

Saya ucapkan terima kasih kepada Drs. Dendi dari Pusat Penelitian Bahasa yang telah memberikan penjelasan tentang fonemik dan fonetik dengan contoh tersebut.

4

emik (diambil dari fonetik dan fonemik). Melalui model pelukisan seperti ini diharapkan hasilnya nanti akan dapat dipakai dengan tepat untuk studi perbandingan. Mengingat penggunaan model tersebut menuntut peneliti berangkat dari ―dalam‖— yaitu dari sudut pandang orang orang yang diteliti—timbul kemudian kesadaran baru di antara para ahli antropologi bahwa konsep kebudayaan yang mereka pakai selama ini tidak mengandung isi pengertian yang sama. Hal ini tampak jelas dalam etnografi mereka. Sebagian ahli antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai pola tingkah-laku manusia dalam masyarakat tertentu; sebagian lagi menafsirkan kebudayaan sebagai keseluruhan tindakan manusia, pikirannya, serta hasilnya; ahli antropologi yang lain beranggapan bahwa para ahli antropologi tidak sepenuhnya mengikuti apa yang telah dilontarkan oleh Malinowski jauh-jauh sebelumnya. Penggunaan model linguistik guna menggambarkan suatu kebudayaan mempunyai implikasi bahwa definisi kebudayaan yang dipakai adalah kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan atau sistem ide, karena dalam definisi inilah ―makna‖ yang diberikan oleh pendukung kebudayaan turut diperhitungkan serta menduduki posisi yang penting. Dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat sebenarnya terdiri dari: ―whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage must consist of the end product of learning: knowledge...― (Goodenough, 1964a:36).

Oleh karena itu, ―culture is not a material phenomenon; it does not consist of things, people, behavior or emotions. It is rather the organisation of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating and otherwise interpreting them as such. The things that people say and do, their social arrangement and events are products or by products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances...‖ (Goodenough, 1964a:36).

Ada beberapa akibat yang timbul dengan dipakainya definisi kebudayaan ini, baik pada metode penelitiannya ataupun pada masalah dalam antropologi sendiri. Sehubungan dengan metode, berarti ahli antropologi harus menguasai bahasa setempat, bahasa masyarakat yang ditelitinya. Di sini terselip suatu asumsi bahwa jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan suatu masyarakat, yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan sebagainya, adalah melalui bahasa. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam lingkungan mereka. Pemberian nama memang merupakan proses penting dalam kehidupan manusia, sebab melalui proses ini manusia lantas dapat ―menciptakan‖ keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan. Perbedaan-perbedaan persepsi yang ada pada tiap benda bisa

5

diabaikan selama perbedaan tersebut tidak penting. Oleh karena itu, nama juga merupakan indeks dari klasifikasi; dari apa yang dianggap penting (significant) dalam lingkungan manusia (Tyler, 1969:6). Dari nama-nama ini kita dapat mengetahui patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga kita dapat mengetahui ―pandangan hidup‖ pendukung kebudayaan tersebut. Di samping itu melalui bahasa inilah berbagai pengetahuan, baik yang tersembunyi (tacit) maupun yang tidak (explicit) terungkap pada si peneliti. Dampak metodologis yang kedua, yakni dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan peneliti sebaiknya menggunakan konsep-konsep yang dimiliki oleh warga masyarakat yang diteliti. Di sini pendapat Malinowski kembali relevan. Kata Malinowski, ―... we cannot expect to obtain a definite, precise and abstract statement from a philosopher, belonging to the community itself. The native takes his fundamental assumptions for granted and if he reasons or inquiries into matters or belief, it would be only as regards details and concrete applications. Any attempts on the part of the Ethnographer to induce his informant to formulate such a general statement would have to be in the form of leading questions of the worst type, because in these leading questions he would have to introduce words and concepts essentially foreign to the native. Once the informant grasped their meaning, his outlook would be warped by our own ideas having been poured into it. Thus the ethnographer must draw the generalization for himself must formulate the abstract statement without the direct help of a native informant.‖ (Malinowski, 1961:396).

Ini berarti si peneliti harus mempelajari bahasa masyarakat yang akan ditelitinya dengan baik dan kemudian mencoba merumuskan berbagai pertanyaan sesuai dengan karangka berpikir mereka. Konsep-konsep seperti patrilineal, matrilineal, double descent, asymmetrical connumbium yang ada dalam antropologi untuk sementara harus disimpan dulu. Berkenaan dengan implikasi-implikasi terhadap masalah-masalah antropologi, kita dapat menggolongkannya dalam tiga kelompok. Semuanya bertitik-tolak dari definisi kebudayaan tersebut di atas, namun masing-masing memberi tekanan pada aspek yang berbeda. Masalah pertama dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan ―form of things that people have in mind‖, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi. Pengkajian mereka di sini bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan bagaimana mereka mengorganisir berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka. Bilamana ini dapat diketahui maka akan terungkap pula berbagai prinsip yang mereka pakai guna memahami lingkungan yang dihadapi, yang menjadi landasan bagi tingkah-laku mereka (Tyler, 1969:3). Tiap masyarakat pada dasarnya membuat klasifikasi yang berbeda-beda terhadap lingkungan yang sama. Dengan pengetahuan mengenai pengkategorisasian berbagai

6

macam gejala ini akan dapat diketahui juga ―peta kognitif‖ mengenai ―jagad‖ dari suatu masyarakat tertentu (Frake, 1962:75). Pendeknya, si ahli antropologi di sini berusaha untuk menyingkapkan suatu struktur yang dipakai untuk mengklasisfikasikan berbagai gejala atau lingkungan. Dalam bidang ini para ahli antropologi juga berbeda-beda minatnya. Ada yang meneliti soal pengklasifikasian makanan, klasifikasi warna, kategorisasi penyakti, kategorisasi tumbuh-tumbuhan, kategorisasi kayu-kayu, dan sebagainya. Selain itu, di antara mereka ada juga yang mempunyai tujuan lebih jauh lagi, yaitu ingin mendapatkan prinsip-prinsip klasifikasi yang universal sifatnya. Dengan metode yang ketat dalam penelitian maupun analisis serta dapat diulang atau diadakan perbandingan atas hasil analisis yang dicapai, sehingga hipotesis-hipotesis yang dilontarkan dapat diuji dengan tepat keuniversalannya. Kelompok kedua adalah mereka yang menagrahkan perhatiannya pada bidang rules atau aturan-aturan. Mereka berpijak pada definisi kebudayaan yang pertama, yaitu kebudayaan sebagai hal-hal yang harus diketahui seseorang agar dapat mewujudkan tingkah-laku (bertindak) menurut cara yang dapat diterima oleh warga masyarakat di tempat di berada. Persoalan kategorisasi masih tetap ada di sini, akan tetapi perhatian lebih banyak ditujukan pada kategorisasi-kategorisasi sosial, artinya kategorisasi-kategorisasi yang dipakai dalam interaksi sosial. Oleh karena sejak dulu antrpologi telah banyak berkecimpung dalam soal-soal kekerabatan, maka dalam hal inipun yang diperhatikan pada umumnya adalah klasifikasi kerabat. Meskipun begitu kategorisasi kerabat saja tidak akan banyak menolong seseorang untuk bisa bertindak secara tepat. Di situ masih terdapat konteks-konteks tertentu yang erat kaitannya dengan hak dan kewajiban seseorang terhadap yang lain, yang terlibat dalam interaksi. Karena itu, si peneliti juga memperhatikan berbagai kategorisasi konteks sosial, hak-hak dan kewajiban, serta bermacam-ma...


Similar Free PDFs