FENOMENA POLITIK UANG DALAM PILKADA PDF

Title FENOMENA POLITIK UANG DALAM PILKADA
Author Hantu Belau
Pages 10
File Size 144.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 126
Total Views 221

Summary

FENOMENA POLITIK UANG DALAM PILKADA Fitriyah Abstract Money politics happens in districts and provinces head local elections. The regulation (Law Number 32 of 2004) is not sufficiently strong in regulating money politics and providing sanctions on the money politics, beside the problem is also on th...


Description

FENOMENA POLITIK UANG DALAM PILKADA Fitriyah Abstract Money politics happens in districts and provinces head local elections. The regulation (Law Number 32 of 2004) is not sufficiently strong in regulating money politics and providing sanctions on the money politics, beside the problem is also on the law enforcement itself. This activity (money politics) threatens not only clean and effective governance but also clean and honest elections. Those who spend money politics to win elections are normally expected to recover after elections their investment with a profit. If unchecked, the defense of public interests and the common weal may be on the retreat. These are crimes, and seriously undermine the integrity of elections. We need law making bodies are pay attention how to enforce controls on money politics. In this case, The Draft which regulated head local elections relevant to push on eradicating and controlling money politics. Keywords : money politics, head local elections

A. PENDAHULUAN Salah satu pertimbangan peralihan mekanisme pilkada oleh DPRD menjadi pilkada langsung adalah untuk memangkas politik uang (money politics), logikanya calon tidak punya kemampuan untuk membeli suara rakyat yang jumlahnya banyak. Namun fakta menunjukkan bahwa dalam pilkada langsung pun politik uang berlangsung meski dengan ongkos yang makin mahal karena melibatkan pemilih dalam satu daerah pemilihan. Sewaktu pemilihan kepala daerah oleh DPRD politik uang juga mengemuka namun dalam pilkada secara langsung semakin meluas, misalnya, 147 warga Kampung Bantarpanjang, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi, mendapat amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pesan agar memilih salah satu peserta pilkada (Kompas, 10 April 2008). Uang ini digunakan mulai dari menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya memengaruhi pilihan masyarakat. Syamsuddin Haris mengatakan bahwa partai politik dalam mengusung calon di pilkada lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang bersangkutan. Dalam rekrutmen, lebih terkesan para sang calon yang membutuhkan “perahu” partai politik (www.komunitasdemokrasi.or.id/article/pilkada.pdf, diunduh tgl. 27 Maret 2011). Disebutkan harga yang dipatok oleh partai politik antara Rp 1 miliar hingga 2 miliar bagi satu calon bupati yang didaftarkan ke KPUD (Kompas, 19 April 2005). Di Pemilihan Gubernur Riau seorang kandidat harus menyediakan “uang pinangan” sedikitnya Rp 400 juta per kursi demi mendapatkan “perahu”. Dalam hal ini semakin strategis posisi parpol, jumlah uang lamaran semakin besar (Kompas, 6 Juli 2011). Ketika kemampuan dana calon menjadi pertimbangan, maka terbuka ruang bagi masuknya sumber-sumber dana dari pihak luar, termasuk kemungkinan masuknya dana ilegal. Seperti studi Syarif Hidayat (Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggara Pemerintahan Pasca Pilkada) (2006: 276) yang menemukan bahwa modal ekonomi yang dimiliki oleh masingmasing kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah cenderung merupakan kombinasi antara modal pribadi dan bantuan donator politik (Pengusaha), serta sumber-sumber lain. Dalam artikelnya, Leo Agustinino dan Muhammad Agus Yusoff (Pilkada dan Pemekaran Daerah dalam Demokrasi Lokal di Indonesia: Local Strongmen dan Roving Bandits) (2010) mengatakan bahwa: “untuk membiayai itu semua (mendanai pelbagai biaya aktiviti kempen, biaya menyewa pakar political marketing, biaya untuk membangun sarana fisik di

kantung-kantung undi, biaya image building dan image bubbling (pensuksesan diri calon) dan banyak lagi), banyak calon yang tidak memiliki cukup dana. Maka dari itu, calon kepala daerah acap kali mencari para pengusaha untuk bergabung sebagai „investor politik. Sebagai imbalan investasi atas keikutsertaan mereka (sebagai pelabur/investor politik) dalam menjayakan calon dalam pilkada, maka para pengusaha dijanjikan akan mendapat banyak hak istimewa (perlindungan ekonomi dan politik)”. Logikanya mereka yang berhutang untuk biaya pilkada, akan membalas jasa melalui berbagai konsensi kepada pihak yang mengongkosinya pascapilkada, dan pada akhirnya meminggirkan aspirasi masyarakat luas. Situasi ini pula yang belakangan melahirkan perilaku korup para kepala daerah guna mengembalikan hutang-hutang semasa pilkada, karena seperti pendapat Eko Prasojo, bahwa biaya yang dikeluarkan ini (menentukan parpol pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya mempengaruhi pilihan masyarakat) harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada (ditpolkom.bappenas.go.id/.../007. pdf, diunduh tgl. 11 Desember 2011). Selain secara finansial merugikan masyarakat daerah dengan korupsi APBD, praktik politik uang juga mencendarai terwujudnya pemilu yang demokratis. Suatu pemilu yang demokratis, jujur dan adil (free and fair elections) adalah pemilu yang bebas dari kekerasan, penyuapan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi (2003: 228). Studi Nico L. Kana di Kecamatan Suruh, misalnya menemukan bahwa pemberian uang (money politics) sudah biasa berlangsung di tiap pilkades pada masa sebelumnya, oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali asih (2001:9). Perihal politik uang dari sudut pemilih di pilkada, Sutoro Eko (2004) juga punya penjelasan. Menurutnya politik uang terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya dialektika untuk mencari nilai-nilai ideal dan membangun visi bersama, lemahnya aturan main, dan seterusnya. Hal-hal yang disebut oleh Sutoro Eko itu setidaknya dapat dilihat dari penelitian Ahmad Yani (dkk) (2008), yang menemukan pemilih lebih menyukai bentuk kampanye terbuka dan sebagian besar dari mereka menyarankan bagi yang ikut kampanye layak dikasih uang saku sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 perkali kampanye. Soal politik uang dalam pilkada ini menarik untuk diangkat sebagai tulisan seiring dengan kegelisahan banyak pihak atas mahalnya biaya pilkada, terutama bagi kandidat dengan segala implikasinya pada pascapilkada. Tulisan ini bermaksud menyajikan ulasan teoritis tentang apa dan bagaimana politik uang dalam pilkada.

B. PEMBAHASAN

Dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi landasan normatif bagi penerapan pilkada secara langsung telah membuat sistem pemerintahan di daerah seharusnya semakin demokratis karena rakyat dapat menentukan siapa calon yang paling disukainya. Atas dasar undang-undang itu mulai tahun 2005, tepatnya pada bulan Juni 2005, pergantian kepala daerah di seluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung. Pilkada secara langsung juga diharapkan dapat meminimalkan praktik politik uang karena calon pemimpin politik tidak mungkin “membayar” suara seluruh rakyat, maupun kecurangan-kecurangan lain yang selama ini menjadi kekurangan dalam pilkada-pilkada sebelumnya. Sebagai gambaran, sebagian besar pemilihan kepala daerah yang berlangsung selama UU No. 22 Tahun 1999 selalu menimbulkan gejolak di daerah, seperti di Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Madura, dan sejumlah daerah lainnya. Dalam kasuskasus ini, timbulnya gejolak selalu disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan yang sama, yakni distorsi aspirasi publik, indikasi politik uang, dan oligarkhi partai yang tampak dari intervensi DPP partai dalam menentukan calon kepala daerah yang didukung fraksi (Dede Mariana, 2007: 47). Namun pelaksanaan pilkada secara langsung tidak menyelesaikan persoalan tersebut, melainkan hanya sebatas hingar-bingar peristiwa pemungutan suara pada hari pemilu dan bahkan kini menimbulkan paradoks. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, pilkada langsung berdampak pada biaya politik yang tinggi. Dikaitkan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, Mendagri menambahkan, biaya besar tersebut seperti menjadi paradoks karena untuk menjadi kepala daerah dibutuhkan uang miliaran rupiah dan setelah menjadi kepala daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (Kompas, 21 Juli 2010). Dibandingkan model memilih kepala daerah oleh anggota DPRD, model memilih kepala daerah secara langsung memerlukan biaya lebih besar yang harus di sediakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan maupun oleh para kandidat yang berkompetisi. Belanja kandidat antara lain: (1) belanja kampanye, (2) belanja saksi, (3) belanja kandidasi di partai politik/pendukung di jalur perseorangan. Bank Indonesia memperkirakan pilkada yang berlangsung di 244 daerah tahun 2010 menelan biaya sekitar Rp 4,2 triliun dari anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk penyelenggaraan dan dana kampanye, yang ditanggung para kandidat kepala daerah (www.antaranews.com/.../bi-perkirakan-biaya-pilkada-2010-capai-rp4..., diunduh tgl. 26 Desember 2011). Memang dalam pemilu tidak semua uang yang dikeluarkan kadidat dan digunakan dalam kegiatan pemilu termasuk dalam kategori politik uang, yang dikonotasikan sebagai uang haram. Untuk membedakannya, simak definisi uang politik dan politik uang. Yang dimaksud dengan uang politik adalah, uang yang diperlukan secara wajar untuk mendukung operasionalisasi aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan oleh peserta pilkada. Besarannya ditetapkan dengan UU dan PP. Contohnya biaya administrasi pendaftaran pasangan kandidat, biaya operasional kampanye pasangan kandidat, pembelian spanduk dan stiker, dan lain sebagainya. Sumbernya bisa berasal dari simpatisan dengan tidak memiliki kepentingan khusus dan besarannya ditentukan dalam UU dan PP. Adapun yang dimaksud dengan politik uang adalah, uang yang ditujukan dengan maksud-maksud tertentu seperti contohnya untuk melindungi kepentingan bisnis dan kepentingan politik tertentu. Politik uang bisa juga terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan parpol tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial. Politik uang bisa juga terjadi ketika pihak penyandang dana berkepentingan bisnis maupun politik tertentu. Bentuknya bisa

berupa uang, namun bisa pula berupa bantuan-bantuan sarana fisik pendukung kampanye pasangan kandidat tertentu (Teddy Lesmana, 2011). Sumbangan politik uang terhadap kebutuhan dana dalam jumlah besar, terutama untuk komponen tidak resmi yang harus dikeluarkan kandidat, signifikan. Ini setidaknya dapat dilihat dari pendapat Hanta Yuda AR. Menurutnya, biaya besar yang karena pilkada kerap disertai dengan praktek politik uang dan pemakelaran pencalonan kepala daerah. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin menggelembung dan ongkos demokrasi semakin tinggi (Koran Tempo, 23 November 2010). Menurut Wahyudi Kumorotomo (2009) ada beragam cara untuk melakukan politik uang dalam pilkada langsung, yakni: (1) Politik uang secara langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari "tim sukses" calon tertentu kepada konstituen yang potensial, (2) sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang telah mendukungnya, atau (3) "sumbangan wajib" yang disyaratkan oleh suatu parpol kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota. Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya. Para calon bahkan tidak bisa menghitung secara persis berapa yang mereka telah habiskan untuk sumbangan, hadiah, spanduk, dan sebagainya, disamping biaya resmi untuk pendaftaran keanggotaan, membayar saksi, dan kebutuhan administratif lainnya. Ramlan Surbakti (Kompas, 2 April 2005), mencatat bahwa peluang munculnya politik uang dalam pilkada dapat diidentifikasi sejak awal, yakni Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa. Keempat, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon”. Jika Ramlan Surbakti masih melihat potensi politik uang dalam Pilkada, Didik Supriyanto mengangkatnya dari fakta empiris. Menurutnya, berdasarkan aktor dan wilayah operasinya, politik uang dalam pilkada bisa dibedakan menjadi empat lingkaran sebagai berikut: (1) Lingkaran satu, adalah transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pascapilkada; (2) Lingkaran dua, adalah transaksi antara

pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan; (3) Lingkaran tiga, adalah transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan petugas-petugas pilkada yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara; dan (4) Lingkaran empat, adalah transaksi antara calon dan tim kampanye dengan massa pemilih (pembelian suara) (Transkrip Diskusi Publik Terbatas, ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/politik-uang-dalampilkada.pdf, diunduh tgl. 24 Desember 2011). Menurut Didik Supriyanto, politik uang lingkaran empat ini biasa disebut dengan political buying, atau pembelian suara langsung kepada pemilih. Lebih lanjut dikatakannya, ada banyak macam bentuk political buying, yakni pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uang/barang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, „serangan fajar‟, dan lain-lain. Modus politik uang tersebut berlangsung dari pemilu ke pemilu, tidak terkecuali dalam pilkada dan praktik-praktik jual beli suara ini bukan semata-mata didasari oleh kebutuhan ekonomi sebagian besar pemilih, tetapi juga karena hal tersebut sudah lama berlangsung setiap kali ada pemilihan (misalnya pilkades) sehingga masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, meski mereka tahu bahwa hal itu melanggar ketentuan. Namun berbagai kejadian politik uang dalam pilkada langsung seringkali tidak tersentuh oleh penegakan hukum karena sulitnya pembuktian akibat tidak adanya batasan yang jelas mengenai politik uang, disamping sebagian masyarakat menganggap sebagai sesuatu yang lumrah. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah masyarakat kian permisif dengan praktek politik uang dalam pemilu. Hasil polling Litbang Harian Kompas, menemukan bahwa sebagian besar publik tidak menolak kegiatan bagi-bagi uang yang dilakukan caleg/parpol (Kompas, 16 Maret 2009). Terkait politik uang yang makin menguat, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pernah membuat survei khusus untuk mengukur tingkat skala politik uang dalam pilkada. Survei tersebut dilakukan dengan populasi nasional pada bulan Oktober 2005 dan Oktober 2010. Survei menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling (MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang responden dengan tingkat kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus 4%. Hasil survey menunjukkan publik yang menyatakan akan menerima uang yang diberikan oleh kandidat mengalami kenaikan. Pada tahun 2005, sebanyak 27,5% publik menyatakan akan menerima uang yang diberikan calon dan memilih calon yang memberi uang. Angka ini naik menjadi 37,5% di tahun 2010. Demikian pula Publik yang mempersepsi bahwa politik uang akan mempengaruhi pilihan atas kandidat, juga mengalami kenaikan dari 53,9% di tahun 2005 menjadi 63% di tahun 2010 (suarapublik.co.id/index/index.php?...politik-uang.. diunduh tgl. 24 Desember 2011). Situasi ini tidak lepas dari adanya perubahan radikal terhadap karakter dan perilaku pemilih pascareformasi, khususnya setelah Pemilu 1999. Kacung Marijan (Kompas, 7 Agustus 2008) menyebut keikutsertaan pemilih dalam pemilu 1999 sebagai pemilih bercorak sukarela (voluntary). Di mana terjadi keterlibatan yang intens dari pemilih selama proses pemilu. Hal ini tidak lepas dari euforia reformasi yang masih dirasakan masyarakat serta harapan yang besar terhadap perubahan. Pemilu 2004 menunjukkan perilaku pemilih yang berbeda. Antusiasme pemilih mulai menurun dan perilakunya sudah mulai bercorak rasional. Bahkan menurut Kacung Marijan sudah tergolong rasional pragmatis dengan melakukan praktik-praktik transaksional (jual beli suara) di mana pemilih mulai menghitung imbalan dari suara yang diberikan. Perilaku ini tidak lepas dari penilaian bahwa wakil-wakil rakyat hasil pemilu 1999 yang mereka harapkan ternyata tak mampu berbuat banyak dan tidak

memberikan perubahan berarti (Marijan dalam Taufiqurrahman, 2010). Survei LSI juga menemukan kecenderungan yang sama, bahwa ada rasionalitas pragmatis pemilih, meski selain rasionalitas pragmatis, muncul juga semangat kedaerahan, etnisitas, agama dan kelompok dalam preferensi pemilih (www.lsi.or.id ) Kebutuhan dana yang semakin besar mendorong politisi menggali dana dari berbagai sumber. Fenomena ini tidaklah khas Indonesia. Sebagai gambaran, sebagaimana yang ditulis Denny JA (2006) tentang “Uang dan Politik”, di negara Amerika Serikat yang kaya sekalipun seorang calon tidak dapat membiayai pengeluaran pemilu sendirian. Pemilu, mulai dari anggota Kongres, gubernur, dan presiden, yang sangat kompetitif, sudah sedemikian mahalnya. Pada 1996, di Amerika Serikat, biayanya sudah mencapai US$ 64 milyar atau sekitar Rp 150 trilyun berdasarkan nilai tukar saat itu (1996). Bagusnya Amerika Serikat memiliki mekanisme untuk meminimalisasi pengaruh uang swasta di dunia politik. Federal Election Campaign Act of 1974 hanya membolehkan sumbangan pihak swasta ke politisi dalam jumlah yang sangat kecil. Sumbangan perorangan hanya dibolehkan menyumbang uang ke seorang politikus paling banyak US$ 1.000 (Rp 2,3 juta berdasarkan nilai tukar 1996). Jika menyumbang ke banyak politikus, total sumbangannya tidak boleh lebih dari US$ 25.000 (Rp 57,5 juta) dalam satu masa pemilihan. Sedangkan sumbangan perusahaan ke seorang kandidat dibatasi US$ 5.000 (Rp 11,5 juta). Di dalam UU No. 32 Tahun 2004 besaran sumbangan juga dibatasi, namun pengaturannya tidak jelas dan karenanya mudah disalahgunakan. Lemahnya regulasi ini ikut menyumbang potensi masuknya dana ilegal kepada calon dan terjadinya politik uang dalam pilkada. Identifikasi Badoh (2010) atas lemahnya regulasi pemilukada, baik soal pengaturan dana kampanye maupun pengaturan politik uang, yang nyata-nyata gagal membentengi praktik politik uang dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel1. Kelemahan Pengaturan Dana Kampanye Pilkada UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005 Prinsip-prinsip pengaturan politik Sumber dana

Batasan sumbangan

dana

jumlah

Pencatatan serta pelaporan rekening khusus dana kampanye

Pengaturan

Permasalahan

Pasal 83 UU 32/2004 Pasal 83 UU 12/2008 Pasal 65 PP 6/2005 Pasal 83 ...


Similar Free PDFs