FENOMENOLOGI SIMBOLIK AL-QUR'AN: KRITIK EPISTEMOLOGI ATAS BUKU PENGANTAR FENOMENOLOGI AL-QUR'AN DIMENSI KEILMUAN DI BALIK MUSHAF UTSMANI PDF

Title FENOMENOLOGI SIMBOLIK AL-QUR'AN: KRITIK EPISTEMOLOGI ATAS BUKU PENGANTAR FENOMENOLOGI AL-QUR'AN DIMENSI KEILMUAN DI BALIK MUSHAF UTSMANI
Author Jurnal QOF
Pages 15
File Size 2.3 MB
File Type PDF
Total Downloads 183
Total Views 702

Summary

FENOMENOLOGI SIMBOLIK AL-QUR’AN: KRITIK EPISTEMOLOGI ATAS BUKU PENGANTAR FENOMENOLOGI AL-QUR’AN DIMENSI KEILMUAN DI BALIK MUSHAF UTSMANI Nunung Lasmana, MA IIQ Jakarta email: [email protected] Abstract In the midst of a general phenomenon of rampant tafsir study that occurred in the middle ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

FENOMENOLOGI SIMBOLIK ALQUR'AN: KRITIK EPISTEMOLOGI ATAS BUKU PENGANTAR FENOMENOLOGI AL-QUR'AN DIMENSI KEILMUAN... Jurnal QOF QOF Vol. 1, No. 2

Cite this paper

Downloaded from Academia.edu 

Get the citation in MLA, APA, or Chicago styles

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Koleksi St udy al-Qur'an Baharuddin AR Abd. Rahman Hermeneut ika Pembebasan Hasan Hanafi, Jurnal al-Aqidah Vol. 6, Edisi 2, Desember 2014, Jurusan Aqi… Fadhli Lukman Krit ik St udi Al-Qur'an Liberal | Fahmi Salim, MA Aqil Aziz

FENOMENOLOGI SIMBOLIK AL-QUR’AN: KRITIK EPISTEMOLOGI ATAS BUKU PENGANTAR FENOMENOLOGI AL-QUR’AN DIMENSI KEILMUAN DI BALIK MUSHAF UTSMANI Nunung Lasmana, MA IIQ Jakarta email: [email protected] Abstract In the midst of a general phenomenon of rampant tafsir study that occurred in the middle of Muslims, the study of the interpretation of the Mushaf or symbolic aspects of the format of the Qur’an is still very minimal. This effort was done by Lukman Abdul Qohar Sumabrata, Lukman Saksono, and Anharudin. The method of interpretation, they describe in their work entitled Introduction to Phenomenology of the Qur’an Scientific Dimension behind the Ottoman Manuscripts. The method seeks to interpret the Qur’an from a different point of view, namely to interpret the Qur’an through its format and structure. This interpretation leads to the variables of the Qur’an, in which each variable has a meaning and is interconnected with one another. This is because there is a significant difference between the interpretation of symbolic phenomenology and other interpretations that lie in the object of interpretation. The object of the method of interpretation of symbolic phenomenology is not the verbal language, but the symbol and structure of the Qur’an that is contained in the Ottoman Manuscripts. Therefore, this method cannot be categorized as an interpretation of the Qur’an. The interpretation of symbolic phenomenology here is not an interpretation of the content of verses of the Qur’an as it is known in general. However, this interpretation is done to find the scientific messages behind the symbolic elements in the Qur’an, such as letters, numbers, surahs, juz, and ‘ain signs. So, the problem in this method is about whether the Qur’an consists only of the composition of the 6236 number of verses? Why is the Qur’an arranged in sections called juz, and why are there 30? Is the ‘ain’ sign only a stop sign? Why is the letter ‘ain not another letter used? and so forth. Keyword: Interpretation,al-Qur’an, Symbolic Phenomenology, Mystical.

PENDAHULUAN Studi al-Qur’an pada umumnya didasarkan atas asumsi bahwa al-Qur’an merupakan kitab berisi kumpulan ayat atau bahasa verbal.1 Di samping mengingat format mushaf al1

Lukman Abdul Qahar Sumabrata (dkk.), Pengantar Fenomenologi al-Qur’an Dimensi Keilmuan di Balik Mushaf Utsmani (Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 12. Secara umum istilah verbal tidak digunakan karena memang dalam setiap kajian tidak dinyatakan, namun disebutkan demikian untuk memudahkan pengertian tentang klasifikasi yang dinotasikan pada notasi simbol. Kajian yang dikelompokan pada paradigma verbal lebih dikenal dalam pendekatan berbagai disiplin ilmu, seperti sejarah, hukum, bahasa, dan lain sebagainya. Lihat: Iskandar Ag. Sumabrata, Pesan-pesan Numerik al-Qur’an (Jakarta: Republika, 2006), hlm. v.

QOF, Volume 1 Nomor 2 Juli 2017

Qur’an yang sangat beragam.2 Maka dari itulah perhatian para pengkaji al-Qur’an lebih terpacu pada makna di balik kandungan ayat-ayat alQur’an ketimbang pada format dan struktur mushaf al-Qur’an. Namun, pada dekade 1970an, kajian tafsir al-Qur’an di Indonesia tampil dengan beragam kecenderungan3 sampai pada akhirnya muncul sebuah metode penafsiran sebagai upaya pertama di Indonesia dalam menafsirkan al-Qur’an dengan memperhatikan

2

3

H. Ziyad Ul-Haq At- Tubany, Srtuktur Matematika alQur’an (Surakarta: Rahma Media Pustaka, 2009), hlm. 56. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutik Hingga Ideologi (Jakarta Selatan: Teraju, 2003), hlm. 49-50.

89

Fenomenologi Simbolik al-Qur'an aspek fenomenologi dan psikologi al-Qur’an.4 Upaya ini dilakukan oleh Lukman Abdul Qohar Sumabrata, Lukman Saksono, dan Anharudin. Mereka menuangkan dalam karyanya yang berjudul Pengantar Fenomenologi al-Qur’an Dimensi Keilmuan Di Balik Mushaf Utsmani.5 Metode tersebut berupaya menafsirkan alQur’an dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu menginterpretasikan al-Qur’an melalui format dan strukturnya. Penafsiran ini mengarah kepada variabel al-Qur’an, di mana setiap variabel memiliki makna dan saling terkait satu sama lain.6 Metode ini ditemukan oleh Lukman Abdul Qohar Sumabrata melalui pergulatan intelektual dan spiritual selama kurang lebih 20 tahun. Proses kreatif ini terjadi setelah ia berkali-kali berhasil menamatkan membaca al-Qur’an. Seluruh anggota tubuhnya berbicara secara simbolik melalui gerakan-gerakan tertentu dan menuntut diberi pemaknaan.7 Yang pada 4

5

6

7

90

Yang dimaksud dengan tafsir fenomenologi simbolik di sini adalah penafsiran yang dilakukan untuk menemukan pesan-pesan keilmuan di balik unsurunsur simbolik dalam al-Qur’an, seperti huruf, angka, surat, juz, dan tanda ‘ain. Lihat. Lukman Abdul Qahar Sumabrata (dkk.), Pengantar Fenomenologi al-Qur’an Dimensi Keilmuan di Balik Mushaf Usmani (Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 14. Terkait dengan kajian ini, Lukman menganggap bahwa ada beberapa permasalahan yang belum terjawab, yaitu: Pertama, Benarkah al-Qur’an itu hanya terdiri dari susunan ayat yang jumlahnya 6236? Kedua, Mengapa alQur’an disusun dalam bagian-bagian yang disebut juz, dan mengapa jumlahnya ada 30? Ketiga, Apakah tanda ‘ain hanya diartikan sebagai tanda berhenti membaca? Mengapa yang digunakan huruf ‘ain bukan huruf lainnya? dan lain sebagainya. Lihat: Lukman Abdul Qahar Sumabrata (dkk.), Pengantar Fenomenologi al-Qur’an Dimensi Keilmuan di Balik Mushaf Usmani, hlm. 9. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutik Hingga Ideologi (Jakarta Selatan: Teraju, 2003), hlm. 49-50. H. Ziyad Ul-Haq At-Tubany, Srtuktur Matematika alQur’an (Surakarta: Rahma Media Pustaka, 2009), hlm. 51. Lukman Abdul Qahar Sumabrata (dkk.), Pengantar Fenomenologi al-Qur’an Dimensi Keilmuan di Balik Mushaf Usmani (Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991), hlm. 43.

akhirnya ia menemukan sebuah metode penafsiran baru dengan memperhatikan aspekaspek mikrokosmis di dalam diri manusia dan makrokosmis di dalam alam semesta ini. Kajian tafsir fenomenologi simbolik ini merupakan kajian yang kontroversial bagi kalangan akademik. Kajian ini masih seringkali dipertanyakan tentang validitasnya dalam disiplin keilmuan tafsir al-Qur’an. Bagi penulis, titik perbedaan antara tafsir fenomenologi simbolik dan kajian tafsir konvensional ini berangkat dari perbedaan cara pandang mereka tentang makna esensi al-Qur’an. Di samping itu, upaya penafsiran yang dilakukan oleh Lukman A.Q. Sumabrata berangkat dari pemahaman mereka bahwa letak kewahyuan al-Qur’an yang paling dalam adalah terletak pada unsur-unsur simbolik bukan pada bahasa verbal. Hal inilah yang menyebabkan kajian ini menjadi kajian kontroversial di kalangan para akademisi. Tawaran metodologi dan hasil kreatif yang ditawarkan oleh Lukman A.Q. Sumabrata (dkk.) ini memang sangat menggelitik dan terbuka untuk didiskusikan sekaligus sangat riskan karena keberaniannya berseberangan jalan dengan metodologi yang selama ini dianut oleh umat Islam, mulai dari proses kreatif, asumsi dasar yang dipakai, penggunaan standar mushaf Usmani versi mereka, hasil-hasil kreatif, sampai klaimnya sebagai sebuah metode orisinil, yang proses memperolehnya atas dasar mistissupranatural-metafisis.8 Oleh karena itu, penelitian tentang bagaimana nuansa mistis yang terkandung dalam kajian fenomenologi al-Qur’an ini dan bagaimana posisi tafsir mistis fenomenologi simbolik dalam kerangka tafsir konvensional perlu dilakukan. Dalam artikel ini, penulis menggunakan pendekatan komparatif. Pendekatan komparatif disini dimaksudkan sebagai usaha menggali kebenaran pengetahuan tentang metode penafsiran fenomenologi simbolik yang diterapkan oleh Lukman A.Q. 8

Indal Abror, “Metodologi Fenomenologi Simbolik dalam Menafsirkan al-Qur’ān” dalam jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits, Vol 1, no. 1, th. 2000, hlm. 11.

QOF, Volume 1 Nomor 2 Juli 2017

Nunung Lasman Sumabrata dan kawan-kawannya dengan cara membandingkan dengan tafsir-tafsir mistis lainnya untuk mengetahui perbedaan dan persamaan di antara keduanya sehingga dapat diketahui dimana posisi tafsir fenomenologi simbolik ini dalam kerangka tafsir konvensional. TELAAH KONSTRUKSI FENOMENOLOGI Secara etimologis, istilah “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti kata, pikiran, percakapan, ataupun ilmu. Jadi, epistemologi adalah percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.9 Menurut Dagobert D. Runes, epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan.10 Azyumardi Azra berpendapat bahwa epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.11 Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pada dasarnya pengetahuan itu diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui? Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaianpengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban secara rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Epistemologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif12 manusia dalam 9

10

11

12

Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 37. Dagobert D. Runes, “Dictionary of Philosophy” dalam Hendrik Rapar, Jan. Pengantar Logika Asas-asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta: Kanisius. T.Th), hlm. 4. Azyumardi Azra, “Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru” dalam Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 4. Penilaian aspek kognitif adalah kemampuan menggali dan mengolah informasi atau pengetahuan. Penilaian

QOF, Volume 1 Nomor 2 Juli 2017

interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya.13 Berdasarkan uraian di atas, maka epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur penalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberikan deskripsi atau pemaparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi. Akan tetapi, harus membuat penentu mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan norma epistemik. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji penalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik asumsi-asumsi, cara kerja atau pendekatan yang diambil, maupun kesimpulan yang ditarik dalam pelbagai kegiatan kognitif manusia.14 Ada beberapa materi yang menjadi pokok persoalan dalam kajian epistemologi, yaitu: sumber, asal muasal, ruang lingkup pengetahuan, serta validitas dan reliabilitas15 dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh karena itu, pertanyaan yang biasa diajukan dalam kajian epistemologi, di antaranya adalah apakah pengetahuan itu? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman, atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?16

13

14 15

16

ini juga mencapai kemampuan memberikan pendapat atau tanggapan dan mendeskripsikannya. Baca: Heribertus Joko Warwanto, Pendidikan Religiositas (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 67-68. J. Sudarminta, Epistemologi Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 18. J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, hlm. 18-19. Validitas (kesahihan) menyatakan apa yang seharusnya diukur, sedangkan reliabilitas (keandalan) adalah adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda. Lihat: Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan (Jakarta: Salemba Medika, 2008), hlm. 103. Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm. 37.

91

Fenomenologi Simbolik al-Qur'an Tujuan utama epistemologi bukanlah menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.17 Hal ini menunjukkan bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai ia puas dengan sekadar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses.18 Penguasaan terhadap proses tersebut berfungsi untuk mengetahui dan memahami pemikiran seseorang secara komprehensif dan utuh, termasuk juga ide, gagasan, konsep, dan teorinya, sebab tidak ada pemikiran yang terpenggal begitu saja tanpa ada alasanalasan yang mendasarinya. Dalam kehidupan masyarakat tidak jarang terjadi sikap saling menyalahkan pemikiran seseorang, padahal mereka belum melacak proses terjadinya pemikiran tersebut. Timbulnya suatu pemikiran senantiasa sebagai akibat adanya faktor-faktor yang mempengaruhi, alasan-alasan yang melatarbelakangi, maupun motif-motif yang mendasarinya. Jika seseorang terlebih dahulu berupaya mengenali faktor, alasan, dan motif tersebut, maka dia akan mampu memahami pemikiran orang lain dengan baik.19 17

18

19

92

Jacques Maritain,”The Degrees of Knowledge, terj. Gerold B. Phelan” dalam Mujamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 8. Mujamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 8-9. Mujamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam, hlm. 9-10.

Objek material epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya merupakan hakikat pengetahuan.20 Menurut Jujun S Suriasumantri, objek epistemologi berupa segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.21 Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantar yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi titik terarah sama sekali.22 Setiap ilmu pengetahuan berasal dari sumber yang berbeda-beda. Terkadang untuk validitas ilmu pengetahuan tidak dapat diukur dengan teori yang sama. Dalam kajian epistemologi dikenal beberapa teori yang sering digunakan dalam mengukur sebuah validitas ilmu pengetahuan, yaitu: a. Teori Koherensi Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau informasi) akan diakui benar apabila memiliki hubungan dengan gagasangagasan dari proporsi sebelumnya yang juga benar dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika. Teori ini melihat sesuatu itu benar ketika terdapat adanya konsistensi yang ditangkap subjek yang satu dengan subjek lainnya tentang sesuatu objek yang sama. Makin konsisten ide-ide atau kesan yang ditangkap beberapa subjek tentang sesuatu objek yang sama, makin benarlah ide-ide atau kesan itu.23 20

21

22

23

Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010), hlm. 139. Jujun S. Suriasumantri, “Tentang Hakikat Ilmu Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Suriasumantri, “Ilmu dalam Perspektif”, dalam Muzamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, hlm. 8. Muzamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, hlm. 8. Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 121.

QOF, Volume 1 Nomor 2 Juli 2017

Nunung Lasman b.

c.

d.

e.

24

25

26

Teori Korespondensi Dalam teori ini, suatu pengetahuan dianggap benar apabila proporsi bersesuaian dengan realitas menjadi obyek pengetahuan itu. Kebenaran korespondensi ini berkaitan erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Dengan demikian, kebenaran pengetahuan itu dapat dibuktikan secara langsung. Teori ini juga mendasarkan diri kepada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan tersebut. Sesuatu dianggap benar apabila apa yang diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ideide) di lapangan.24 Teori Pragmatisme Teori pragmatisme mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam ruang lingkup dan waktu tertentu. Teori ini berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi yang keduanya berhubungan langsung dengan realita objektif. Teori ini berusaha menguji kebenaran ide-ide melalui konsekuensikonsekuensi daripada praktik atau pelaksanaannya. Artinya, ide-ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji.25 Teori Religiusisme Teori ini memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluk jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah. Oleh karena itu, munculah teori religious ini yang kebenarannya secara ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melaui wahyu.26 Teori Positivisme Positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Dalam pandangan ini menganggap Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. hlm. 121122. Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, hlm. 123. Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, hlm. 124125.

QOF, Volume 1 Nomor 2 Juli 2017

bahwa yang dapat diselidiki dan dipelajari hanyalah data-data yang nyata/empirik atau yang mereka namakan positif.27 EPISTEMOLOGI PENAFSIRAN FENOMENOLOGI SIMBOLIK Apabila ditinjau dari segi sumber penafsiran, penafsiran fenomenologi simbolik yang dilakukan oleh pengarang mengacu pada pengalaman spiritual. Kedua unsur tersebut menggambarkan hubungan antara objek penafsiran dan subjek penafsiran. Format dan struktur al-Qur’an sebagai objek penafsiran ditafsirkan dengan pengalaman spiritual yang dialami oleh Lukman A.Q. Sumabrata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karakteristik ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh Lukman A.Q. Sumabrata ini bersandar pada kekuatan spiritual. Produk dari pengalaman spiritualnya terlihat pada penemuan-penemuannya tentang makna simbolik dari huruf-huruf Hijaiyyah dan kriteria masing-masing juz yang melekat pada setiap jiwa manusia. Pemaknaan yang ia ungkapkan sangat bersifat subjektif dan sulit untuk dipertanggungjawabkan secara logika. Kekuatan subjektif inilah yang biasa disebut dengan sesuatu yang transendental.28 Terkait dengan pembahasan i...


Similar Free PDFs