Hilmar Farid_Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik PDF

Title Hilmar Farid_Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik
Author Hilmar Farid
Pages 19
File Size 168 KB
File Type PDF
Total Downloads 774
Total Views 885

Summary

Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu Selamat malam, ibu-bapak, saudara sekalian, yang saya hormati. Selamat datang, terima kasih sudah menyempatkan diri hadir d...


Description

Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik Bukan lautan hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu Tiada badai tiada topan kau temui Ikan dan udang menghampiri dirimu Selamat malam, ibu-bapak, saudara sekalian, yang saya hormati. Selamat datang, terima kasih sudah menyempatkan diri hadir dalam acara pidato kebudayaan ini. Sengaja saya memilih lagu Kolam Susu karya Koes Plus sebagai pembuka pidato ini, karena lagu ini begitu sederhana musik maupun liriknya, dan berbicara mengenai fakta yang begitu gamblang, bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya. Tepatnya negeri maritim yang kaya. Perjalanan saya berkeliling ke berbagai tempat di negeri ini beberapa kali mengkonfirmasi kebenaran syair lagu itu, bahwa “kail dan jala cukup menghidupimu.” Koes Plus tentu tidak sendirian dalam keyakinannya bahwa Indonesia adalah negeri maritim yang kaya. Di bangku sekolah kita belajar tentang wilayah lautan Indonesia yang luasnya mencapai 3,2 juta kilometer persegi. Kita belajar tentang panjang pantai Indonesia yang lebih dari 95.000 kilometer dan membuat Indonesia menjadi negeri dengan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Kita juga belajar tentang 17.000 lebih pulau dengan sumber daya alam yang beragam, baik yang berada di darat, daerah pesisir maupun lautnya. Saat ini diperkirakan lebih dari 160 juta orang atau lebih dari 60 persen penduduk Indonesia bermukim di daerah pesisir. Dengan geografi dan demografi seperti itu potensi Indonesia sebagai negeri maritim memang luar biasa. Para ahli mengatakan, jika potensi ini, potensi sebagai negeri maritim ini digarap dengan baik, maka nilainya bisa mencapai Rp 3.000 trilyun per tahun. Kegiatan ekonominya akan menyerap lebih dari 40 juta tenaga kerja di berbagai bidang, mulai dari perikanan, pengembangan wilayah pesisir, sampai bioteknologi dan transportasi laut. Luar biasa. Tapi mengapa sampai hari ini perekonomian Indonesia masih bertumpu pada industri pengolahan, pertambangan dan kehutanan, pertanian dan peternakan, yang semuanya berbasis di daratan? Total kontribusi sektor kelautan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini hanya sekitar 20 persen, di bawah Thailand dan Korea Selatan, dua negeri yang kalau panjang pantainya digabung pun tidak sampai sepuluh persen dari panjang pantai Indonesia. Ini bukan perkara preferensi atau prioritas dalam pembangunan tapi menyangkut keselamatan dan masa depan. Pembangunan ekonomi yang bertumpu di daratan memang berhasil membawa Indonesia ke dalam kelompok 16 besar perekonomian dunia. Tapi harga yang harus dibayar oleh masyarakat Indonesia untuk sampai pada posisi itu sangatlah mahal dan boleh jadi tidak seimbang dengan pencapaiannya. Antara tahun 2001-2013 setiap hari ada areal hutan seluas 500 lapangan sepakbola yang habis dibabat. Tidak perlu menjadi ahli lingkungan hidup kitanya untuk melihat korelasi antara pembabatan hutan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang sering terjadi belakangan ini. Setiap tahun kita mendengar ribuan orang mengungsi karena banjir di seluruh negeri.

Belum lagi yang tewas tertimbun tanah longsor. Pada tahun 2012 saja, kerugian yang diderita masyarakat karena banjir dan tanah longsor mencapai Rp 30 trilyun atau lebih dari separuh pendapatan dari sektor kehutanan pada tahun yang sama. Areal hutan yang dibabat kemudian ditanami kelapa sawit atau tanaman keras lainnya, yang kemudian membawa bermacam persoalan baru, mulai dari kerusakan lingkungan hidup, meningkatnya konflik sosial dalam masyarakat akibat kehadiran perkebunan dan kegiatan ekonomi esktraktif lainnya di atas tanah yang dihuni masyarakat. Proses ini begitu intensifnya sehingga tumpang-tindih klaim terjadi bukan lagi antara perusahaan dengan masyarakat tapi antara perusahaan dengan perusahaan. Saat ini jumlah total konsesi lahan di Kalimantan Barat itu mencapai lebih dari 19 juta hektar, padahal luas provinsi itu hanya 14 juta hektar. Semua ini tentu berkait-kelindan dengan praktek korupsi. Dan tidak sedikit kasus yang diurus dan sudah diputus oleh pengadilan tindak pidana korupsi dalam beberapa tahun terakhir ini terkait pengurusan hak guna usaha perkebunan. Pembangunan yang bertumpu pada daratan ini berhasil meningkatkan PDB per kapita dari USD 1.161 pada tahun 2004 menjadi USD 3.556 pada tahun 2012. Meningkat tiga kali lipat! Ini adalah fakta yang tidak dapat disangkal. Masalahnya pada saat bersamaan indeks pembangunan manusia kita merosot dari 0,697 menjadi 0,629 pada kurun yang sama. Ketimpangan sosial juga meningkat seperti terlihat dari distribusi pendapatan nasional itu. Diperkirakan 20 persen penduduk terkaya di negeri ini menguasai hampir separuh pendapatan nasional sementara 40 persen penduduk termiskin menguasai hanya 16 persen dari pendapatan nasional. Seperempat dari 40 persen penduduk termiskin itu tergolong orang dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Dalam bahasa yang lebih lugas: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Ketimpangan geografis juga meningkat dalam kurun yang sama antara daerah yang berpendapatan tinggi seperti Kalimantan Timur dan Jakarta dengan daerah yang berpendapatan sangat rendah seperti Nusa Tenggara dan Maluku Utara. Saya kira bukan kebetulan bahwa daerah yang berpendapatan tinggi itu kehidupan ekonominya bertumpu di daratan yakni kehutanan, pertambangan, dan pajak kendaraan, sementara daerah yang berpendapatan sangat rendah adalah gugus kepulauan di kawasan timur: Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara. Presiden Jokowi benar ketika dalam pidato pertamanya sebagai pada tanggal 20 Oktober lalu mengatakan bahwa kita telah lama memunggungi laut. Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat kita sampai pada keadaan seperti itu? Apakah karena kurangnya investasi? Atau karena kurangnya pengetahuan dan teknologi? Atau semata karena kurangnya infrastruktur? Menurut saya tidak. Masalah kita lebih mendasar dari itu, yaitu terpisahnya laut dan dunia maritim dari kebudayaan kita. Sikap memunggungi laut terjadi karena berbagai perubahan penting dalam sejarah yang membalik arus kebudayaan kita. Dalam perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks inilah kita harus mencari jawaban atas pertanyaan mendasar di atas, dan bukan dengan menyalahkan apa yang disebut watak atau karakter bangsa. Kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup, baik pemikiran maupun praktek, yang tidak dapat direduksi menjadi sederet ciri yang seolah esensial. Pada 1977 budayawan Mochtar Lubis menulis buku yang berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Di dalam buku itu a menyebut enam ciri manusia Indonesia:[1]

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Munafik Enggan bertanggungjawab Bersikap dan berperilaku feodal Percaya takhyul Berbakat seni Lemah watak

Daftar ini masih bisa kita perpanjang dengan bermacam ciri negatif lain seperti mau menang sendiri, tidak bisa menghargai waktu, cepat puas diri, tidak telaten dalam pekerjaan, menjilat ke atas dan menindas ke bawah, mencuri kesempatan dalam kesempitan, dan sebagainya. Dan memang tidak sulit bagi kita untuk menjumpai berbagai ciri negatif itu dalam kehidupan sehari-hari – kalau mau jujur, kita sendiri juga tidak lepas dari ciri negatif seperti itu. Tapi menganggap ciri negatif itu adalah sesuatu yang melekat pada kebudayaan adalah kekeliruan ganda. Pertama, karena dasar berpijaknya adalah generalisasi dan stereotyping yang salah satu manifestasi terburuknya dalam pergaulan manusia adalah rasisme. Dalam konteks sejarah kita, generalisasi dan stereotyping ini dipakai oleh penguasa kolonial untuk nenanamkan perasaan rendah diri di kalangan orang pribumi sehingga menjadi lebih mudah diatur.[2] Dalam pidato pembelaannya di sidang pengadilan kolonial, yang dikenal dengan judul Indonesia Menggugat, Bung Karno mencatat: “Berabad-abad kami mendapat cekokan ‘Inlander bodo’, berabad-abad kita diinjeksi rasakurang karaat, turun-temurun kita menerima systeem ini … dipadam-padamkan segenap kita punya energi, sekarang percayalah kita, bahwa kita, sesungguhnya, memang adalah bangsa kurang karat yang tak bisa apa-apa.” Kekeliruan kedua yang menyangkut solusi. Jika benar ciri negatif, yang munafik, enggan bertanggungjawab, percaya takhyul dan sebagainya, adalah persoalan utama kita, maka solusinya bisa kita cari dalam industri kebajikan yang rajin memproduksi nasehat agar orang meninggalkan ciri negatif tersebut. Jika ini benar, maka kita tidak perlu presiden dan menteri yang mumpuni, cukup seorang motivator yang bisa mengubah segala yang negatif menjadi positif. Super sekali! Tidak perlu ada perdebatan di parlemen atau uraian pemikiran, cukup beberapa jumput nasehat dari seri buku Chicken Soup for the Soul atau The Seven Habits of Highly Effective People. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis tetapi produk dari perjalanan sejarah yang dinamis dalam ruang sosial dan kultural yang konkret. Karena itu generalisasi dan stereotipe harus kita buang jauh-jauh karena keduanya mencoba beberapa ciri dan manifestasi dari kebudayaan menjadi berlaku umum dan abadi, padalah pelajaran penting yang ditarik setiap orang yang membaca sejarah adalah bahwa yang abadi hanyalah perubahan. Karena itu pula usaha untuk menelusuri jejak sejarah dari arus balik kebudayaan yang membuat kita dalam keadaan seperti sekarang tidak bisa bersandar pada kisah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya atau kisah ketangguhan pelaut Mandar yang dengan kapal sandeq bisa mengarungi samudera. Kisah seperti itu mungkin berguna untuk membangkitkan semangat patriotisme, cinta tanah air, atau tujuan lain semacam itu, tapi jelas tidak ada gunanya untuk memahami sejarah yang konkret. Justru sebaliknya kisah kejayaan masa lalu bisa membius dan menenggelamkan kita dalam kebanggaan semu dan keyakinan teleologis bahwa suatu saat nanti di masa depan, Indonesia akan kembali pada kejayaan itu.

Di masa lalu keyakinan teleologis bahwa akan datang suatu “zaman keemasan” sangat kuat dalam gerakan Ratu Adil dan milenarianisme yang biasanya berusia pendek. Dan saya tidak melihat alasan bahwa jika hari ini ada gerakan yang berpijak pada keyakinan seperti itu maka usianya akan lebih panjang. Kita perlu narasi sejarah yang tidak sekadar mengagungkan masa lalu tapi bisa menggambarkan pergulatan sosial, pergulatan kuasa di antara kekuatan sosial, dari masa ke masa. Pergulatan itulah yang membawa kita sampai pada keadaan seperti sekarang. Kita perlu memahami kekuatan apa yang membuat kita secara kolektif bergerak memunggungi laut karena hanya dengan begitu kita bisa memahami apa yang harus dilakukan untuk bergerak ke arah sebaliknya. Inilah fungsi sejarah sebagai kritik. Kita belajar tentang Majapahit, tapi bukan tentang kejayaannya di masa lalu, melainkan mengenai pergulatan kekuatan yang memungkinkannya muncul sebagai kerajaan maritim yang besar dan kemudian runtuh sehingga menimbulkan arus balik yang hebat dalam sejarah. Kita belajar tentang pelaut Mandar bukan sekadar untuk mengagumi kehebatannya berlayar tapi untuk memahami bagaimana mereka bisa bertahan hidup sebagai komunitas maritim di tengah gerak memunggungi laut yang semakin menguat. Kita belajar tentang orang Bajau dan Suku Laut bukan karena keunikan sejarah dan budaya mereka yang terkesan eksotik, tetapi karena dalam pandangan dunia merekalah kita bisa menemukan landasan untuk membayangkan negeri maritim di masa mendatang. Saat ini sudah cukup banyak studi mengenai berbagai segi dan aspek sejarah yang berkaitan dengan dunia maritim. Ada yang mempelajari perikehidupan masyarakat pesisir, ada yang mempelajari jaringan perdagangan maritim yang terus berubah dari masa ke masa, ada yang mempelajari ragam dan jenis kapal serta teknologi kelautan, dan ada pula yang menekuni studi tentang barang dagangan seperti rempah-rempah yang membentuk jalur perdagangan dalam sejarah. Produksi pengetahuan di bidang ini tidak kurang. Masalahnya hampir semuanya masih berbentuk monografi dan belum banyak usaha untuk menghimpun berbagai studi itu sehingga ada semacam kesimpulan, betapapun sementara sifatnya, mengenai perkembangan dunia maritim di Nusantara. Salah satu pengecualian yang perlu disebut di sini adalah karya Adrian Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17.[3] Profesor Lapian adalah pelopor studi sejarah maritim di Indonesia, satu dari sedikit orang yang mencurahkan seluruh karirnya untuk bidang kajian yang spesifik. Saya beruntung pernah menjadi mahasiswanya. Salah satu hal yang sering ditekankannya adalah bahwa keragaman pengalaman historis dan letak geografis dari berbagai polity dan community di Nusantara mestinya membuat kita sadar bahwa Indonesia bukan sesuatu yang terberi atau given. Indonesia adalah sebuah konstruksi historis. Tapi ini bukan berarti bahwa Indonesia hanyalah produk pemikiran kaum nasionalis pada awal abad keduapulun, tanpa referensi ke dunia nyata. Gerak mempersatukan berbagai komunitas di bawah sebuah polity sudah ada sejak lama dan apa yang kita sebut sebagai sejarah Indonesia atau sejarah nasional tidak lain adalah produk interaksi yang konkret antara berbagai komunitas di Nusantara. Peringatan itu menjadi penting karena kuatnya kecenderungan melihat sejarah seolah berjalan melintasi garis lurus, seolah semua masyarakat melalui tahap perkembangan yang sama, dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Kecenderungan itu sangat kuat di kalangan pegawai dan sarjana kolonial yang mempelajari sejarah dan kebudayaan masyarakat

jajahan. Mereka melihat perbedaan antara kebudayaan masyarakat jajahan dengan kebudayaan orang Eropa bukan sebagai keragaman antara dua masyarakat yang berbeda, tapi sebagai perbedaan tahap perkembangan. Bahwa orang Melayu, Jawa, dan non-Eropa lainnya belum hidup, bersikap dan berperilaku seperti orang Eropa adalah bukti ketertinggalan yang satu dari yang lain. Cara pandang linear dan teleologis ini pada akhirnya menciptakan semacam “hirarki arti penting” atau hierarchy of significance, di mana peristiwa, tokoh atau tempat yang satu dianggap lebih penting daripada yang lain, semata karena dianggap punya peran lebih besar dalam membawa masyarakat menuju kehidupan modern. Saya kira ketertarikan sebagian elite politik belakangan ini terhadap Majapahit atau Sriwijaya misalnya, bukan semata karena silau kemegahannya itu sendiri, tapi karena narasi yang dominan mengenai Majapahit dan Sriwijaya cocok dengan mimpi mengenai kebangkitan Indonesia sebagai bangsa yang modern dan besar. Dalam sejarah sebagai kritik arti penting suatu peristiwa, seorang tokoh atau sebuah tempat, tidak ditentukan oleh hasil akhirnya (telos) tetapi karena kedudukannya dalam waktu dan tempat tertentu. Hanya dengan begitu kita bisa kembali mengangkat peristiwa, tokoh atau tempat yang dalam pandangan dominan dianggap tidak penting menjadi penting. Hanya dengan begini pemahaman kita mengenai sejarah, dan juga masa kini dan masa depan, akan menjadi lebih adil. Geografi menjadi sangat penting di sini karena gerak memunggungi laut tidak terjadi secara serempak di semua tempat, tapi secara bertahap dari tempat ke tempat lain. Kita perlu studi lebih mendalam untuk mendokumentasi perkembangan itu dan melihat pola hubungan di antara munculnya sebuah kekuatan maritim di satu tempat dengan kemunduran kekuatan maritim yang lain. Kemunculan Makassar dan Banten jelas dipengaruhi oleh pencaplokan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511. Sepanjang abad ketujuhbelas kerajaan berbagai kerajaan maritim muncul silih-berganti di Aceh, Banten, Makassar, Ternate dan Tiodore, Sumbawa, dan sebagainya, sampai akhirnya semua kerajaan maritim tersebut tunduk pada kekuasaan Eropa. Dalam hal ini kekuasaan VOC, perusahaan multinasional pertama di dunia. Kalau memang kenyataan sejarah dan geografi Indonesia begitu cair dan elusive lantas bagaimana kita bisa menangani himpunan kenyataan yang kompleks itu sebagai kesatuan? Ini bukan sebuah pertanyaan akademik yang hanya menarik bagi ahli sejarah, tapi sebuah pertanyaan mendasar yang juga menghantui para pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan. Dalam sidang BPUPKI yang membahas masalah batas negara, pimpinan sidang Dr Radjiman Wediodiningrat, mengatakan agenda itu tidak perlu dibahas mendalam karena semua anggota kiranya sudah sepakat bahwa republik yang baru nantinya akan mengikuti batas negara kolonial Hindia Belanda. Adalah Mohammad Hatta yang kemudian mengusulkan agar para peserta sidang diizinkan menyampaikan pandangan mereka mengenai masalah tersebut. Sidang yang oleh Dr Radjiman Wediodiningrat dibayangkan akan berlangsung singkat ternyata memakan waktu dua hari karena banyaknya usulan dan perdebatan. Setelah kemerdekaan masalah kesatuan wilayah republik tetap berlanjut. Selama lima tahun pertama, antara 1945 dan 1950, batas wilayah republik terus bergeser sesuai perkembangan perang dan diplomasi. Ketika akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 hanyalah satu negara bagian yang wilayahnya mencakup Banten, sebagian Jawa Tengah

dan Yogyakarta, serta seluruh Sumatera kecuali Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Bangka dan Belitung. RIS akhirnya dibubarkan pada bulan Agustus 1950 dan semua negara bagian bersedia menyatukan diri di bawah Republik Indonesia. Tetapi ketegangan di sekitar hubungan pusat dan daerah terus berlanjut. Pada tahun 1950an ketegangan itu meledak ke dalam serangkaian konflik terbuka yang menandakan bahwa integrasi Indonesia sebagai sebuah negara dan juga sebuah bangsa masih belum selesai. Kegagalan mendorong integrasi yang wajar ini adalah produk dari kegagalan menangkap dan mengelola kompleksitas sejarah dan geografi Indonesia. Lalu bagaimana cara kita memelihara keragaman di satu sisi dan mendorong kesatuan di sisi lain? Bagaimana semboyan bhinneka tunggal ika bisa terwujud dalam praktek? Apakah kesatuan dengan sendirinya berarti setiap unsur yang membentuknya harus kehilangan karakter yang khas? Pada 1932 Dr Soetomo, pendiri Budi Utomo dan tokoh gerakan nasionalis di masa awal, menulis sebuah artikel singkat berjudul Gamelan dan Kewadjiban. Ia berpendapat bahwa gamelan adalah model masyarakat yang harmonis karena setiap pemain gamelan tahu tempat dan perannya masing-masing dan menerima kedudukan yang diberikan kepada oleh masyarakat tanpa reserve. Prinsip manut kepada aturan yang ditetapkan adalah prasyarat dasar bagi terbentuknya harmoni dalam gamelan maupun masyarakat. Gagasan Soetomo saya kira tidak menjawab berbagai pertanyaan di atas. Azas kepatuhan tanpa syarat dan keharusan untuk membentuk harmoni tanpa ruang bagi perbedaan dan keragaman berarti tunggal ika tanpa bhinneka. Tetapi rujukannya ke dunia musik, dalam hal ini gamelan, menawarkan kemungkinan melihat masalah ini dengan cara yang berbeda. Dua tahun sebelum Soetomo menulis artikel itu Sukarno membacakan pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, di hadapan pengadilan kolonial di Bandung, dari bulan Agustus sampai Desember 1929. Berbeda dengan Soetomo yang tampil memberikan wejangan tentang persatuan dalam harmoni, Sukarno justru menjadikan dirinya semacam interlocutor yang menyuarakan bermacam masalah yang dihadapi rakyat. Sumber suara yang diangkatnya sangat beragam, mulai dari berita suratkabar seperti Darmokondo, Pertja Selatan, Aksi, Siang Po, Pewarta Deli, Sin Po, sampai suara para pegawai dan sarjana kolonial, para pemimpin pergerakan Indonesia dan dunia, keluh kesah rakyat jelata, dan tentunya suara Sukarno sendiri. Dengan telaten ia mencari ritme dari bermacam suara yang sepintas nampak tak beraturan dan memahaminya sebagai kesatuan. Sukarno termasuk sedikit pemimpin gerakan nasionalis yang mengalami Indonesia secara ekstensif sejak sebelum kemerdekaan. Setelah lepas dari penjara pada tahun 1931 ia berkeliling di seluruh Jawa untuk melancarkan propaganda kemerdekaan. Dua tahun kemudian ia ditangkap lagi dan dibuang ke Ende selama beberapa tahun sampai kemudian dipindah ke Bengkulu. Sebelum Jepang menyerbu masuk ia dipindahkan ke Padang. Selama masa revolusi ia pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan berkunjung ke beberapa daerah yang berada di bawah kekuasaan republik sampai akhirnya ditangkap oleh tentara Belanda dan ditahan di Bangka selama beberapa bulan. Perjalanan keliling ini memberinya kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan realitas negerinya. Referensi ke dunia musik berulangkali muncul dalam tulisannya. Dalam risalah Mentjapai Indonesia Merdeka yang disusun tahun 1933 Sukarno menguraikan kritiknya terhadap


Similar Free PDFs