FILSAFAT ILMU PSIKOLOGI PDF

Title FILSAFAT ILMU PSIKOLOGI
Author Syurawasti Muhiddin
Pages 19
File Size 1.3 MB
File Type PDF
Total Downloads 517
Total Views 975

Summary

FILSAFAT ILMU PSIKOLOGI: KAITANNYA DENGAN METODE PENELITIAN DAN PENERAPAN KODE ETIK PSIKOLOGI Syurawasti Muhiddin 1. Pendahuluan Psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang relatif baru mengalami perkembangan yang pesat terutama pada abad ke-20. Awalnya, psikologi merupakan bagian dari filsafat. S...


Description

Accelerat ing t he world's research.

FILSAFAT ILMU PSIKOLOGI Syurawasti Muhiddin

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

MET ODOLOGI DALAM KAJIAN PSIKOLOGI ISLAM Jurnal St udia Insania

KUMPULAN MAT ERI T UGAS MEMBUAT MAKALAH PENGANTAR FILSAFAT ILMU Deby Shint ya1 FILSAFAT ILMU Dian Fit ri Argarini

FILSAFAT ILMU PSIKOLOGI: KAITANNYA DENGAN METODE PENELITIAN DAN PENERAPAN KODE ETIK PSIKOLOGI

Syurawasti Muhiddin

1. Pendahuluan Psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang relatif baru mengalami perkembangan yang pesat terutama pada abad ke-20. Awalnya, psikologi merupakan bagian dari filsafat. Saat bergabung dalam filsafat, kajian psikologi masih relatif abtsrak tentang pikiran dan jiwa itu sendiri. Pada masa tersebut muncul nama-nama seperti Democritus, Plato, Aristoteles, Descartes dan Spinoza yang mengkaji konsepkonsep psikologi. Aristoteles kemudian dipandang sebagai “bapak psikologi” karena dia yang pertama kali yang menuliskan pembahasan mengenai jiwa secara keseluruhan dalam bukunya The Anima et Vita yang berarti jiwa dan kehidupan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kajian psikologi menjadi lebih eksplisit. Akhirnya secara resmi psikologi sebagai sebuah ilmu yang otonom berhasil diletakkan pertama kali oleh Wilhelm Wundt dengan didirikannya laboratorium psikologi yang pertama di Universitas Leipzig di Jerman pada tahun 1879 (awal abad ke-19). Psikologi Wundt bertumpu pada introspeksi sebagai metode untuk mengkaji mental. Metode introspeksi memang berasal dari filsafat, tetapi Wundt telah menambahkan dimensi baru dalam konsep itu berupa pengamatan dalam eksperimen di laboraturium. Psikologi yang berakar pada filsafat mengalami perkembangan secara gradual sebagai ilmu yang diterima secara luas dalam proses lebih dari 200 tahun. Cabang-cabang baru dalam psikologi terus mengalami perkembangan, demikian juga dengan bukti-bukti ilmiah baru tentang fenomena psikologis dalam kehidupan manusia.

2 Filsafat psikologi yang dimaksud dalam paper ini bukanlah merupakan cabang filsafat yang membahas mengenai dasar hakikat dan mekanisme kognisi atau mental. Filsafat psikologi yang dimasud adalah landasan filosofis psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Namun, tentulah keduanya berkaitan. Dalam membahas psikologi sebagai ilmu maka pembahasannya tidak dapat dilepaskan dari landasan yang menjadi cakupan filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Kajian filsafat yang luas

berimplikasi pada munculnya cabang-cabang kajian tersebut dan pada gilirannya berimplikasi pada pemisahan berbagai ilmu dari filsafat menjadi ilmu yang mandiri. Agar psikologi dapat diakui sebagai suatu ilmu dan dibedakan dari ilmu lainnya yang pernah menjadi bagian dari filsafat maka psikologi perlu memberikan jawaban dari pertanyaan yang berkaitan dengan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Secara sederhana, landasan ontologis menjawab pertanyaan mengenai apa yang dikaji oleh ilmu pengetahuan itu? Landasan epistemologi menjawab pertanyaan mengenai bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan itu? Sedangkan landasan aksiologi menjawab pertanyaan mengenai untuk apa ilmu itu dipergunakan? Paper ini bertujuan untuk menjelaskan landasan filosofis psikologi sebagai suatu ilmu pengetahuan, khususnya landasan ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Setelah memahami ketiga landasan filosofis tersebut maka akan diketahui bagaimana implementasinya dalam pengembangan ilmu psikologi dan dalam kehidupan manusia secara keseluruhan. Dengan demikian dalam paper ini juga akan dijelaskan kaitan landasan filosofis tersebut dengan metode penelitian psikologi dan penerapan kode etik psikologi.

2. Landasan Filosofis Psikologi sebagai Ilmu 2.1 Ontologi Ontologi merupakan cabang filsafat yang membahas hakikat “ada” dan “realitas” (Lombardo; Reber, dalam Schuh dan Barab, t.t.). Dengan kata lain, ontologi mendefinisikan apa yang nyata (riil) di dunia baik itu struktur fisik maupun abstrak (Schuh dan Barab, t.t). Suriasumantri (1990) mengemukakan bahwa ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau

3

suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan: (a) apakah objek ilmu yang akan ditelaah, (b) bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, dan (c) bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan suatu pengetahuan. Secara sederhana, ontologi dapat dianalogikan sebagai “lahan garapan” sehingga harus jelas batas-batasanya. Begitu pula dengan objek suatu ilmu pengetahuan. Objeknya harus jelas sehingga dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu lain. Ada beberapa ilmu yang objek materialnya sama. Namun, objek formalnya tidak boleh sama. Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat, khususnya terkait sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “apakah yang ada itu? (What is being?)”, “bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “dimanakah yang ada itu? (What is being?)”. Pertanyaan-pertanyaan itu melahirkan aliran-aliran besar dalam filsafat yaitu monoisme yang terbagi menjadi materialisme/naturalistik dan idealisme; dualisme; pluralisme; nihilisme dan agnostisisme. Aliran ini memengaruhi pemikiran-pemikiran berbagai ilmuwan terkenal di dunia ini termasuk ilmuwan psikologi. Ontologi psikologi dapat diketahui dari makna psikologi itu sendiri secara harfiah. Psikologi berasal dari bahasa yunani, yaitu psyche dan logos. Psyche berarti jiwa, sedangkan logos berarti mengetahui atau ilmu. Jadi secara harfiah psikologi adalah ilmu tentang jiwa. Pertanyaan yang muncul kemudian bahwa bagaimanakah wujud jiwa itu? Paradigma positivistik kemudian mereduksi “jiwa” yang subjektif dan dianggap bersifat pseudo-ilmiah menjadi tingkah laku. Dengan demikian, objek material psikologi sama dengan beberapa ilmu lainnya (sosiologi, antropologi, kedokteran, dsb.) yaitu manusia,

namun objek formalnya adalah tingkah laku.

Bagaimana wujud dari tingkah laku itu? Akhirnya dikembangkan pengertian psikologi menurut istilah yaitu ilmu pengetahuan yang berusaha memahami perilaku manusia dan proses-proses yang melatarbelakanginya. Hal ini berarti bahwa objek kajian psikologi pada dasarnya tidak hanya sebatas tingkah laku nampak yang dapat

4

diistilahkan

overt

behavior,

tetapi

termasuk

proses-proses

mental

yang

melatarbelakanginya ataupun yang menjadi predisposisi dalam berperilaku, yang dapat diistilahkan dengan covert behavior. Tingkah laku dan proses mental tidaklah sederhana. Bermudez (2005) mengemukakan bahwa objek psikologi adalah hal yang rumit dan kompleks

karena psikologi menghendaki objek kajian yang mudah

diamati, terukur, sistematis, dan objektif. Namun, di sisi lain kajian psikologi juga mencakup proses-proses mental. Lebih lanjut, Bermudez (2005) mengatakan bahwa psikologi adalah studi tentang pikiran, perilaku dan sifat kognisi serta tindakan. Filsafat psikologi (dari segi ontologisnya) pada awalnya berfokus pada pikiran dan kognisi. Ketika memutuskan untuk berpisah dengan filsafat sebagai ilmu mandiri pada akhir abad ke-19 maka psikologi lebih banyak mengkaji pikiran dan kognisi (Wilson, 2005). Salah satu keputusan yang dihadapi saat itu adalah apakah psikologi harus berafiliasi lebih dekat dengan ilmu fisik atau tetap menjadi subdisiplin ilmu filsafat (Sokal dalam Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2007). Dengan perkembangan metode-metode psikofisik dan metode-metode waktu-reaksi untuk memahami transmisi sistem saraf maka para ahli psikologi memercayai bahwa mereka pada akhirnya dapat mengukur pikiran (Coon dalam Shaughnessy, Zechmeister & Zechmeister, 2007). Sebagaimana pertanyaan-pertanyaan terkait ontologi melahirkan aliran-aliran dalam filsafat, pertanyaan-pertanyaan filosofis terkait objek yang dikaji psikologi juga melahirkan aliran-aliran besar dalam ilmu psikologi sepanjang sejarah perkembangannya sampai sekarang ini. Apalagi manusia merupakan makhluk yang multidimensional. Penekanan dimensi tertentu yang dianggap lebih dibandingkan yang lainnya melahirkan perspektif yang berbeda dalam memandang tingkah laku manusia dan manusia itu sendiri secara keseluruhan. Aliran filsafat pun memengaruhi perkembangan aliran psikologi. Banyak tokoh psikologi yang mengembangkan mazhabnya dipengaruhi oleh aliran filsafat tertentu dan tokoh-tokoh pembesarnya. Terdapat beberapa aliran-aliran dalam psikologi dari fase munculnya hingga perkembangannya saat ini. Struktualisme muncul pada awal berdirinya ilmu psikologi yang berfokus pada struktur pikiran. Fungsionalisme berfokus pada fungsi dari

5

pikiran atau proses-proses mental. Minat utama dalam aliran ini adalah apa yang terjadi dalam sebuah aktivitas psikologis dan apa yang menjadi tujuan dari aktivitas itu (Hewstone, Fincham & Foster, 2005). Aliran Behaviorisme menekankan studi pada perilaku yang diamati sebagai respon terhadap stimulus dari lingkungan. Para psikolog seharusnya mempelajari kejadian-kejadian yang terjadi di sekeliling (rangsangan/stimulus) dan perilaku yang dapat diamati (respon). Aliran Kognitif menekankan bahwa psikologi seharusnya mempelajari proses-proses mental, seperti pikiran, persepsi, ingatan, perhatian, pemecahan masalah, penggunaan bahasa, serta berusaha untuk memperoleh pengetahuan yang setepat-tepatnya mengenai cara kerja dari proses-proses tersebut dan bagaimana proses-proses ini dapat dipergunakan di dalam kehidupan sehari-harinya (Schultz, 2014). Psikologi Gestalt muncul sebagai ketidakpuasan terhadap aliran strukturalis. Aliran Gestalt meyakini bahwa pengalaman seseorang mempunyai kualitas kesatuan dan struktur (Schultz, 2014). Persepsi bukanlah penjumlahan rangsang-rangsang kecil (detail) yang ditangkap oleh alat-alat indera, melainkan merupakan suatu keseluruhan yang berarti dari detaildetail tersebut. Aliran Psikoanalisis berfokus pada ketidaksadaran yang tertutup oleh alam kesadaran sehingga seseorang termotivasi sebagain besar oleh daya ketidaksadaran termasuk tingkah lakunya. Aliran Humanistik berfokus pada studi tentang makna hidup sebagai seorang manusia dan memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi, tujuan hidup, nilai-nilai dan keyakinan, kreativitas, dan mampu bertanggung jawab atas perilakunya sendiri (Schultz, 2014; McLeod, 2008). Aliran yang belakangan berkembang di abad ke-21 ini adalah aliran psikologi positif yang melihat manusia dengan segala kekuatan dan potensi dirinya untuk dikembangkan. Manusia tidak dipandang sebagai manusia yang penuh masalah yang perlu diatasi masalahnya sebagaimana pandangan psikologi negatif sebelumnya. Semua aliran-aliran yang berbeda itu dapat memunculkan ontologi yang berbeda bahkan dalam lingkup ilmu psikologi itu sendiri. Psikolog behavioristik akan beda penakanannya dengan psikolog humanistik dalam melihat tingkah laku individu dan proses mentalnya sebagai ontologi psikologi. Salah satu argumen yang dipersoalkan dalam debat terkait kedudukan psikologi sebagai sains adalah tidak adanya paradigma

6

teori yang dominan karena psikologi mempunyai beberapa aliran besar yang memiliki paradigam berbeda (McLeod, 2008). Manusia

merupakan

makhluk

multidimensional.

Beberapa

pendapat

mengemukakan bahwa manusia terdiri atas dimensi spiritual, dimensi psikis/kejiwaan dan dimensi jasmani. Secara bahasa maka psikologi seyogianya mengkaji dimensi psikis/kejiwaan. Namun ketiga dimensi itu tidak dapat dipisahkan untuk mewujudkan suatu manusia. Kenyataan bahwa tingkah laku diwujudkan dalam ranah jasmani menunjukkan hal tersebut. Beberapa kajian psikologi belakangan ini bahkan merambah ranah spiritual yang dikenal secara umum sebagai kajian filsafat dan teologi. Hal ini dikarena pada dasarnya dimensi spiritual akan dapat memengaruhi tingkah laku manusia. Sudut pandang terkait dimensi manusia ini pun akan memunculkan perbedaan ontologi dalam ilmu psikologi sejalan dengan mazhab psikologi yang diikuti.

2.2 Epistimiologi Epistimologi

membahas

asal-usul,

hakikat,

metode,

dan

keterbatasan-

keterbatasan dari pengetahuan manusia (Reber dalam Schuh dan Barab, t.t.), yang menfokuskan pada pertanyaan tentang pengetahuan dan hakikat pengetahuan (Everitt dan Fisher dalam Schuh dan Barab, t.t). Epistimologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah) (Siswomiharjo dalam Setyaningtyas, 2013). Salah satu persoalan terkait dengan epistemologi adalah dengan cara apa kita bisa mengetahui suatu ilmu (Daito, 2011). Dari persoalan ini dapat dipahami bahwa prosedur-proseder ilmiah yang melahirkan ilmu pengetahuan merupakan suatu bagian dari epistimologi. Secara khusus pembahasan terkait metode penelitian akan dikaji dalam epistimologi Akal, pengalaman, atau kombinasi antara pengalaman dan akal, serta intuisi merupakan sarana yang dimaksud dalam epistimologi (Siswomiharjo dalam Setyaningtyas, 2013). Dengan demikian terdapat metode-metode epistemologik berdasarkan cara memperoleh pengetahuan, yakni rasionalisme, empirisme, fenomenologi dan intusionisme. Daito (2011) mengemukakan dua pendekatan dalam

7 proses epistemologi yang disebut dualisme deducto hypothetico – empirico verivication. Hal ini berkaitan dengan metode memperoleh ilmu dengan dua cara yaitu : a) logika matematika (deduksi/normative) – deducto hypothetico, dan b) statistika (induksi/positive) – inducto empirico.

Epistimologi psikologi pada dasarnya terkait dengan bagaimana bidang kajian psikologi, yaitu perilaku dan proses-proses mental dapat menjadi studi yang ilmiah, objektif, dan valid; serta bagaimana menggunakan sarana-sarana untuk mencapai pengetahuan yang objektif (Bermudez, 2005). Dalam perjalanan sejarahnya sebagai ilmu, metode-metode dalam epistimologi secara umum (rasionalisme, empirisme, fenomenologi, dsb.) memberikan pengaruh pada epistimologi psikologi. Tentunya epistimologi psikologi juga akan dipengaruhi oleh ontologi yang digunakan dalam kaitannya dengan cara memandang manusia (dualisme, pluralisme, agnostisime, dsb.). Masing-masing mazhab psikologi memiliki ciri khas epistimologinya. Epistimologi aliran psikoanalisis akan memunculkan perbedaan dengan epistimologi aliran behaviorisme. Botterill dan Carruthers (1999) mengemukakan bahwa ada hubungan antara folk psychology dan scientific psychology. Konsep-konsep untuk menjelaskan tentang perilaku pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari common sense. Folk Psychology mendasarkan pada pandangan realist dalam menjelaskan tingkah laku dan proses mental. Beberapa teoritikus berpendapat bahwa Freud dari aliran psikoanalisisnya mengadopsi bagian tertentu dari konsep folk psychology dalam menjelaskan perilaku dan proses mental (Botterill, & Carruthers, 1999) sehingga memunculkan pertanyaan mengenai keilmiahan teorinya. Metode yang digunakan Freud yang berupa asosiasi bebas dapat mengalihkan perhatian banyak orang dari perilaku menuju proses-proses mental. Metode psikoanalisis dalam memahami manusia sangat berbeda dengan para ahli yang menganut aliran behaviorisme yang cukup dipengaruhi oleh empirisme. Pendekatan empiris menekankan pada observasi langsung dan eksperimentasi. Aliran behaviorisme menguasai perkembangan ilmu yang menfokuskan diri pada perilaku dan pengalaman yang dapat diobservasi secara langsung sampai pada pertengahan abad ke-20. Fokus ini kembali bergeser pada proses-proses mental sehingga

8

muncullah dominasi psikologi kognitif dengan metode eksperimen di laboratorium untuk meneliti perihal proses kognitif. Revolusi komupter menjadi faktor kunci bagi terjadinya pergeseran tersebut (Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2007). Hingga kemudian aliran humanistik muncul dengan asumsi bahwa perilaku indivudu berhubungan dengan inner feeling dan self-image sehingga hanya individu itu sendiri yang mampu memahami dan mengontrol perilakunya, bukan dari pihak observer saja (McLeod, 2008). Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa penekanan-penekakan dan perspektif yang berbeda dalam memandang tingkah laku dan proses mental manusia dapat memunculkan metode-metode yang berbeda pula. Tingkah laku dan proses mental manusia dianalisis ataupun dijelaskan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang memengaruhinya. Suatu perdebatan panjang yang tidak pernah terjawab secara pasti dalam sejarah perkembangan ilmu psikologi adalah isu terkait nature vs nurture (Myers, 2010), misalnya saja pertanyaan bahwa apakah perilaku dan kepribadian individu adalah predisposisi genetik ataukah merupakan bentukan dari lingkungannya? Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh aliran filsafat yang dianut. Hal yang dapat dimunculkan untuk menengahi perdebatan itu adalah tingkah laku dipengaruhi oleh keduanya, baik nature maupun nurture. Dalam kaitannya dengan hal ini, psikologi sebagai ilmu yang mengkaji tingkah laku manusia memiliki level analisis dan perspektif-perspektif yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Ini bisa dikaji juga sebagai bagian dari ontologi psikologi, namun dalam paper ini dibahas pada bagian epistimologi karena akan menekankan pada penjelasan mengenai cara menjelaskan suatu tingkah laku sebagai ontologi psikologi. Level analisis psikologi terdiri atas tiga yaitu level biologis yang menelaah pengaruh faktorfaktor biologis terhadap tingkah laku inidvidu; level psikologis yang menelaah pengaruh faktor-faktor intra-psikis; serta level sosio-kultural yang menelaah faktorfaktor sosial dan budaya (konteks lingkungan individu). Level analisis ini dipengaruhi oleh perspektif yang digunakan seperti neuroscience, evolutionary, behavior-genetic,

behavior-learning, psycodynamic, cognitive dan socio-cultral

(Myers, 2010) dan akan melahirkan metode-metode yang berbeda dalam memahami tingkah laku dan proses mental.

9

Berkaitan dengan cara dan sarana yang digunakan dalam mengkaji objek psikologi maka hal tersebut memengaruhi asumsi yang digunakan peneliti untuk mengkaji teori psikologi dalam risetnya. Dengan demikian aliran filsafat dan mazhab ilmu psikologi yang dirujuk akan sangat menetukan asumsi yang digunakan. Ada asumsi postpositivism, social contructivism, emancipatory dan pragmatism. Postpositivism

melahirkan

pendekatan

kuantitatif

dalam

penelitian.

Social

contructivism dan emancipatory melahirkan pendekatan kualitatif sementara pragmatism melahirkan pendekatan campuran (Creswell, 2003). Ketiga pendekatan tersebut digunakan dalam psikologi. Strategi dari pendekatan kuantitatif dalam psikologi seperti eksperimen dan survey (non-ekseperimen). Metode eksperimen dalam psikologi umumnya berupa eksperimen kuasi (semi-eksperimen). Namun ada juga beberapa yang berupaya menerapkan eksperimen murni. Metode survey terdiri dari beberapa desain seperti cross-sectional dan logitudinal. Strategi dari pendekatan kualitatif seperti studi kasus, naratif, fenomenologi dan grounded theory. Keduanya dapat menerapkan teknik berupa observasi, interview maupun kuesioner. Semua metode yang disebutkan di atas digunakan untuk mengamati perilaku manusia yang tampak dalam kehidupan sehari-hari maupun indikator dari potensi manusia yang ditunjukkan dengan melakukan suatu tindakan tertentu. Di samping itu, digunakan untuk mengamati gejala-gejala yang tampak pada sekitar manusia yang diteliti tersebut sehingga dapat diambil sebuah pernyataan yang menghasilkan kesimpulan.

2.3 Aksiologi Aksiologi berarti teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai (Setyaningtyas, 2013). Secara sederhana landasan aksiologis akan menjawab pertanyaan mengenai manfaat suatu ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Pembahasan tentang nilai dibagi ke dalam tiga cabang, yaitu logika, etika, dan estetika. Logika membahas tentang n...


Similar Free PDFs