FK Universitas Brawijaya - Pedoman Diagnosis dan Terapi Urologi, PDF

Title FK Universitas Brawijaya - Pedoman Diagnosis dan Terapi Urologi,
Author Rini Marlina
Pages 60
File Size 991.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 6
Total Views 599

Summary

PEDOMAN DIAGNOSIS & TERAPI SMF UROLOGI LABORATORIUM ILMU BEDAH RSU Dr. SAIFUL ANWAR/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010 KATA PENGANTAR Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar Malang merupakan panduan bagi para dokter, baik para PPDS I maupun ma...


Description

PEDOMAN DIAGNOSIS & TERAPI SMF UROLOGI LABORATORIUM ILMU BEDAH

RSU Dr. SAIFUL ANWAR/ FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2010

KATA PENGANTAR Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar Malang merupakan panduan bagi para dokter, baik para PPDS I maupun mahasiswa kedokteran, dalam menyamakan persepsi utamanya yang berhubungan dengan perawatan dan penatalaksanaan pasien urologi. Adanya era globalisasi berdampak pada peningkatan kesadaran masyarakat akan hak yang dimilikinya, yang berdampak pula dalam peningkatan kompetisi pemberian pelayanan terhadap masyarakat di segala bidang. Hal ini juga mempengaruhi pelayanan di bidang kesehatan, sehingga menimbulkan tuntutan akuntabilitas, transparansi, serta peningkatan mutu dalam pelayan di institusi kesehatan. Buku ini disusun berdasarkan pola epidemiologi penyakit, perkembangan di bidang diagnostik dan terapi, serta berpedoman pada referensi yang mutakhir. Perbaikan dan penyempurnaan buku pedoman ini akan dilakukan secara berkala, sehingga relevan dengan perkembangan epidemiologi penyakit yang ada. Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya kesalahan dalam melayani dan menangani pasien serta dapat meningkatkan mutu pelayanan, pendidikan, dan penelitian.

A.n. Tim Penyusun PDT Urologi SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar Malang Ka SMF Urologi,

dr. Besut Daryanto, SpB, SpU NIP. 19620430 198901 1 002

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DIVISI LOWER URINARY TRACT ............................................................. 1 - 10 STRIKTUR URETRA ................................................................................... 1 BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) .................................................. 5 RUPTUR URETRA TRAUMATIKA............................................................... 8 DIVISI STONE ....................................................................................... 11 - 16 BATU SALURAN KEMIH (BSK) ................................................................ 11 DIVISI ANDROLOGY/MEN’S HEALTH ................................................... 11 - 25 TORSIO TESTIS ....................................................................................... 17 HIDROKEL .............................................................................................. 19 VARIKOKEL ............................................................................................. 21 DISFUNGSI EREKSI ................................................................................. 23 DIVISI URO-ONCOLOGY ...................................................................... 25 - 32 TUMOR TESTIS ....................................................................................... 25 HEMATURIA ........................................................................................... 28 DIVISI PEDIATRIC UROLOGY................................................................ 33 - 40 UNDESENSUS TESTIS ............................................................................. 33 HIPOSPADIA ........................................................................................... 36 PARAPHYMOSIS ..................................................................................... 38 FIMOSIS ................................................................................................. 39 DIVISI INFECTION ................................................................................ 41 - 42 UROSEPSIS ............................................................................................. 41

DIVISI LOWER URINARY TRACT

Tim Penyusun: 1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU 2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU 3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU

STRIKTUR URETRA BATASAN Penyempitan atau penyumbatan lumen uretra karena pembentukan jaringan fibrotik (parut) pada uretra dan/atau daerah peri uretra, yang pada tingkat lanjut dapat menyebabkan fibrosis pada korpus spongiosum. Striktur uretra dapat terjadi karena infeksi, trauma pada uretra, dan kelainan bawaan. Infeksi yang paling sering menjadi penyebabnya adalah infeksi oleh kuman gonokokus yang telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya. Trauma yang menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelvis, dan instrumentasi/tindakan transuretra uretra yang kurang hati-hati.

PATOFISIOLOGI Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatrik pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling. Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1) Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari sepertiga diameter lumen uretra 2) Sedang : jika terdapat oklusi setengah sampai sepertiga diameter lumen uretra 3) Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari setengah diameter lumen uretra Pada penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum, yang dikenal dengan spongiofibrosis.

GEJALA KLINIS Keluhan yang muncul berupa sulit kencing (harus mengejan), pancaran bercabang, menetes, sampai retensi urine. Selain itu, bisa juga disertai pembengkakan/abses di daerah perineum dan skrotum, serta bila terjadi infeksi sistematik juga timbul panas badan, menggigil, dan kencing berwarna keruh. [1]

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS Adapun pemeriksaan fisis yang dilakukan untuk mengetahui adanya striktur uretra adalah: 1. Anamnesis yang lengkap (uretritis, trauma dengan kerusakan pada panggul, straddle injury, instrumentasi pada uretra, penggunaan kateter uretra, kelainan sejak lahir) 2. Inspeksi: meatus eksternus sempit,pembengkakan serta fistula di daerah penis,skrotum,perineum,suprapubik. 3. Palpasi: teraba jaringan parut sepanjang perjalanan uretra anterior; pada bagian ventral penis, muara fistula bila dipijit mengeluarkan getah/nanah 4. Rectal toucher (colok dubur) Untuk mengetahui pola pancaran urine secara obyektif, dapat diukur dengan cara sederhana atau dengan memakai alat uroflowmetri. Kecepatan pancaran urine untuk pria normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi. Untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra dibuat foto uretrografi. Lebih lengkap lagi dibuat foto bipolar sisto-uretrografi untuk mengetahui panjang striktur, yaitu dengan memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Selain itu, untuk melihat pembuntuan uretra secara langsung dilakukan melalui uretroskopi, yaitu melihat striktur uretra transuretra.

DIAGNOSIS BANDING 1. Batu ureter dengan/tanpa infiltrate urin 2. Kelainan-kelainan dari kelenjar prostat

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan striktur uretra tergantung pada lokasinya, panjang/pendeknya striktur, serta keadaan darurat (retensi urin, sistostomi (trokar, terbuka), infiltrat urin, insisi multipel, dan drain). Jika pasien datang karena retensi urine, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika.

[2]

Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah: 1. Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan (false route). 2. Uretrotomi interna, yaitu memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis/Sachse. Otis dikerjakan bila belum terjadi striktur uretra total, sedangkan pada striktur yang lebih berat, pemotongan striktur dikerjakan secara visual dengan memakai pisau Sachse. 3. Uretrotomi eksterna, adalah tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra yang masih sehat. Untuk penggunaan antibiotik lihat standar antibiotik SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar Catatan untuk dokter umum: a. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, coba kateterisasi (kateter karet/ lateks) b. Bila terjadi retensi urin, maka dilakukan sistostomi, kemudian dirujuk c. Bila terjadi infiltrat urin, maka dilakukan sistostomi dan insisi multipel, kemudian dirujuk apabila proses infeksi sudah tenang.

PROGNOSIS Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah dilakukan observasi selama 1 tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan. Setiap pasien kontrol berkala dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang langsung dilihat oleh dokter atau dengan pemeriksaan uroflowmetri. Utuk mencegah terjadinya kekambuhan, sering kali pasien harus menjalani beberapa tindakan, antara lain dilatasi berkala dengan busi dan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB) atau CIC (clean intermitten catheterization), yaitu pasien dianjurkan melakukan kateterisasi secara periodik pada waktu tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu steril).

[3]

DAFTAR PUSTAKA 1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007, hal 153-156. 2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smith’s General Urology 17th ed., Mc Graw Hill 2004, hal. 77, 613, 620-623 3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbell’s Urology 9th ed., WB Saunders, Philadephia 2002, hal. 3915-3930

[4]

BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) BATASAN Benign prostate hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat, antara lain jaringan kelenjar dan jaringan fibro-muskular. Hiperplasia ini dapat menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.

PATOFISIOLOGI BPH diderita oleh lelaki berusia di atas 50 tahun. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, diduga antara lain karena perubahan hormonal dan ketidakseimbangan faktor pertumbuhan.

GEJALA KLINIS Berupa Lower Urinary Tract Symptom (LUTS), yaitu: 1. gangguan pengeluaran, berupa kelemahan pancaran urine, hesitansi, proses kencing berlangsung lebih lama, rasa tidak puas pada akhir kencing. 2. gangguan penyimpanan, berupa frekuensi, urgensi, nokturia, dan disuria. 3. residu urine makin banyak dan terjadi retensi urine. Untuk menentukan berat ringannya keluhan tersebut, maka digunakan penghitungan dengan IPPS (International Prostate Symptom Score)

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan fisis – Inspeksi buli-buli: ada/tidak penonjolan perut di daerah suprapubik (buli-buli penuh/kosong) –

Palpasi Buli-buli: tekanan di daerah suprapubik menimbulkan rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi/penuh



Perkusi: buli-buli penuh berisi urine memberi suara redup

2. Colok dubur

[5]

3. Laboratorium – darah lengkap, urine lengkap, biakan urine, serum kreatinin, BUN, PSA (prostate spesific antigen) 4. Radiologi – USG – IVP atas indikasi 5. Uroflowmetri

DIAGNOSIS BANDING 1. Prostatitis 2. Keganasan prostat

KOMPLIKASI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Infeksi pada saluran kemih (ISK) Urosepsis Trabekulasi buli, divertikuli buli Batu buli-buli Hidronefrosis Hematuria Penurunan fungsi ginjal (pada yang disertai retensi urin kronis)

PENATALAKSANAAN Tergantung pada berat ringan keluhan pasien 1. Ringan (IPPS15ml/s) → Watchful waiting 2. Sedang (IPPS 9-18, maks. flow rate 10-15 ml/s) → Medikamentosa: α-blocker (tamsulosin,doxazosin atau terazosin); anti androgen (inhibitor 5-α reduktase) 3. Berat (IPPS >18, maks. flow rate 380C atau 90 3. Frekuensi nafas >20 atau PaCO2 12000 atau 10% bentuk leukosit muda [41]

Dikatakan sepsis jika didapatkan SIRS dengan tanda infeksi dan sepsis berat jika disertai dengan hipotensi (sistole...


Similar Free PDFs