HUKUM DELIK ADAT PDF

Title HUKUM DELIK ADAT
Author Yang Meliana
Pages 25
File Size 347.8 KB
File Type PDF
Total Downloads 18
Total Views 328

Summary

HUKUM DELIK ADAT Y A NG MELIANA S.H., M.H A.Dasar-dasar hukum delik adat Delik : Sesuatu yg mengakibatkan kegoncangan dlm neraca keseimbangan masya (Ter Haar) jadi, Kegoncangan terjadi tidak hanya jika peraturan2 hukum dilanggar tapi juga norma2 kesusilaan, agama & kesopanan dalam masyarakat Soe...


Description

HUKUM DELIK ADAT

Y A NG MELIANA S.H., M.H

A.Dasar-dasar hukum delik adat Delik : Sesuatu yg mengakibatkan kegoncangan dlm neraca keseimbangan masya (Ter Haar) jadi, Kegoncangan terjadi tidak hanya jika peraturan2 hukum dilanggar tapi juga norma2 kesusilaan, agama & kesopanan dalam masyarakat

Soerojo Wignjodipoero berpendapat Delik : suatu tindakan yg melanggar perasaan keadilan & kepatutan yg hidup dlm masya, shg menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masya ybs guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi2 adat

PERBEDAAN Sistem Hukum Adat

Sistem Hukum Barat

-Istilah teoretisnya Hukum pelanggaran adat/hukum delik adat

-Istilah teoretisnya hukum pidana

- Tidak membedakan lap pidana & perdata -Hanya mengenal satu prosedur penuntutan oleh petugas adat (kepala adat/perskutuan)

-Ada pembedaan lap pidana & perdata -Mengenal beberapa prosedur penuntutan

B. Lahirnya Delik Adat

Kapan lahirnya delik adat ? berdasar teori beslissingen teer (ajaran keputusan) bahwa suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia akan bersifat hukum manakala diputuskan & dipertahankan oleh petugas hukum Hukum delik adat bersifat tdk statis (dinamis) artinya suatu perbuatan yg tadinya bukan delik pada suatu waktu dapat dianggap delik oleh hakim (kepala adat) karena menentang tata tertib masya shg perlu ada reaksi (upaya) adat utk memulihkan kembali

Jadi, hukum delik adat akan timbul, berkembang & lenyap dengan menyesuaikan diri dengan perasaan keadilan masyarakat

Hukum delik adat juga bersifat TERBUKA ? Suatu perbuatan dipandang melanggar hukum tidak harus ada ketentuan (norma) terlebih dulu mengaturnya sebelum perbuatan itu dilakukan. Jadi, indikatornya jika mengganggu keseimbangan (equilibrium) dalam masy Analogikan, sifat delik hukum pidana barat yg bersifat TERTUTUP, yg hanya mengenal perbuatan pidana jika sebelumnya perbuatan itu telah diatur. Selengkapnya baca Pasal 1 Wetboek van Straafrecht (KUHP) yg dikenal dg istilah asas legalitas

Menurut sistem hukum pidana barat, suatu delik lahir dengan di undngundangkan dan di ancam dengan pidana, sedangkan dalam hukum adat (hukum tak tertulis), Lahirnya suatu delik itu serupa sama lahirnya dengan peraturan hukum yang tak tertulis. Suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat sistem hukum pada saat petugas hukum yang kompotent mempertahankan terhadap orang melanggar peraturan itu, atau pada saat petugas hukum bertindak untuk mencegah pelnggaran peraturan itu. Hukum adat tidak mengenal sistem peraturan yang statis, dengan sendirinya tidak ada sistem hukum pelanggaran adat yang statis pula. Tiap-tiap peraturan hukum adat yang timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedagkan peraturan baru itu berkembang juga,tetapi kemudian akan lenyap pila denga adanya perubahan rasa keadilan yang menimbilkan perubahan peraturan. Begitu pula dengan delik adat (pelanggran hukum adat) lahir, berkembang dan kemudian lenyap.

C. Berlakunya Delik Adat menurut KUHP - Pra 1918  hukum delik adat berlaku di wil masing2 -Th 1918  berlaku WvS (KUHP)  unifikasi hkm pidana berdasar Pasal 1 WvS (asas legalitas), “Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali” Konsekuensinya: Pengadilan Negeri (Landraad) tdk dapat lagi mengadili delik2 adat -Ordonansi 9 Maret 1935 (S. 1935 No. 102), Pemrth Hindia Belanda mengakui Hakim Perdamaian Desa (dorprechter) yg dipertahankan Pmrth RI melalui UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yg berwenang memeriksa sgl perkara delik adat tetapi tdk bersifat delik mnrt WvS

BAHKAN….

Bahkan thp delik WvS jika sanksi pidananya dianggap tdk memenuhi rasa keadilan masya, dapat dilakukan upaya2 adat utk memulihkan keseimbangan yg tergaggu Ex: dlm delik Perkosaan walau tlh mendpt sanksi KUHP, Hakim Perdamaian desa berwenang menghukum si terpidana utk melakukan upaya2 adat spt minta maaf scr adat, melaksanakan selamatan “pembersih desa” dsb -Th 1951  berdasar Pasal 5 ayat (3) UU Darurat No.1Tahun 1951 terdapat pengakuan kembali bahwa “hukum yg hidup” (hukum adat) dpt menjadi sumber hukum pidana tertulis (WvS) selama tdk ada padanan/kesamaan pengaturan dalam WvS

Contoh delik yg tdk ada padanannya dlm WvS -

Delik “Logika Sanggraha” (menghamili wanita & tdk bersedia bertangungjawab/mengawini),oleh Pengdilan Negri Gianjar No. 11/Pid/1972, terdakwa dipidana 3 bulan penjara & upacara adat widhi widhama

-

Masih delik yg sama PN Denpasar berdasar putusan No.2/Pid/B/1985, No.25/Pid/D/I986,dg unsur2nya : persetubuhan yg dilakukan diluar perkawinan, antara 2 org yg sdh akil balig, atas dasar suka sama suka, si laki2 berjanji akan mengawini. Dasar pmidanaan Psl 5 ayat (3) sub b UU Darurat No.1/1951 jo Pasal 359 Kitab Adigama (BPHN,1992:39).

D. Delik Adat dalam RUU KUHP

Bagaimanakah posisi hukum delik adat dlm RUU KUHP? Apakah semakin bersinar ato redup alias semakin diakui ato terbuang ? Dapat dilihat dlm Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP, yg menyatakan bhw asas legalitas tdk boleh ditafsirkan sbg “…mengurai berlakunya hukum yg hidup yg menentukan bhw adat setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan itu tdk ada persamaan dlm peraturan perUU”. Artinya asas legalitas RUU KUHP tidak bersifat mutlak atau asas legalitas terbuka

Peranan (hakim) pengadilan tdk hanya menerapkan hukum perUU tapi juga bisa membuat hukum (judge made law) dg cara menafsirkan suatu delik adat yg tdk ada padanannya dlm KUHP, berarti hakim telah, “membuat hukum tertulis baru”

Hukum adat mendapat “tempat” memadai tidak hanya pada penerapan asas legalitas yg terbuka, tapi juga pada tujuan pemidanaan, yg mana salah satunya berbunyi, “…menyelesaikan konflik yg ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, & mendatangkan rasa damai dalam masyarakat”

Dlm RUU KUHP Nas, ada pencantuman sanksi delik adat berupa “pemenuhan kewajiban adat” “Hakim dapat menetapkan kewajiban setempat yang harus dilakukan oleh terpidana” Dijelaskan bhw sanksi ini hanya dpt dijatuhkan apabila scr nyata keadaan setempat menghendaki hal ini, karena apabila tdk diberikan akan menimbulkan kegoncangan yg serius dlm masyarkt. Namun, hakim hrs menjaga agar sanksi ini tdk melanggar asas2 kepatutan & kesusilaan

Ruang Lingkup Hukum Adat Delik Peraturan UU tahun 1918 hukum delik adat berlaku di wilayah masing-masing : Tahun 1918 berlaku KUHP, unifikasi hakim pidana berdasar Pasal 1 KUHP (asas legalitas),

“Nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali” . Konsekuensinya: Pengadilan Negeri (Landraad) tidak dapat lagi mengadili delik-delik adat. Tahun 1951 berdasar Pasal 5 ayat (3) UU Darurat No.1 Tahun 1951 terdapat pengakuan kembali bahwa “hukum yang hidup” (hukum adat) dapat menjadi sumber hukum pidana tertulis (KUHP) selama tidak ada padanan/kesamaan pengaturan dalam KUHP. Dalam pasal 1 ayat (3) RUU KUHP, menyatakan bahwa asas legalitas tidak boleh ditafsirkan sebagaimana “…mengurai berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa adat setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan itu tdk ada persamaan dalam peraturan perundang-undangan”. Dengan kata lain RUU KUHP, tidak bersifat mutlak atau bersifat terbuka.

Adat atau sebuah kebiasaan yang menjadi kebudayaan yang telah mendarah daging pada sebuah masyarakat, akan sulit untuk merubahnya. Karena dalam kaidah Ushul Fiqih “Kebiasaan itu menjadi Hukum”, dengan kata lain adat yang ada dalam suatu golongan menjadi hukum dalam kehidupannya sehari-hari yang mana akan sangat sulit untuk merubahnya ke arah adat yang lain. Seperti

seorang Muslimah yang sudah baligh (dewasa) membuka jilbabnya dengan tanpa alasan yang jelas, dalam islam itu adalah suatu perbuatan delik yang kotor.

Beberapa Jenis Delik Dalam Lapangan Hukum Adat a.

Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahirdan dunia gaib serta segala pelanggaran yang memperkosa susunan masyarakat

b. Delik terhadap diri sendiri, kepala adat juga masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan masyarakat. c. Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung

d. Segala perbutan dan kekuatan yang menggangu batin masyarakat, dan mencemarkan suasana batin masyarakat e. Delik yang merusak dasar susunan masyarkat, misalnya incest

f. Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili g.

Delik yang melanggar kehormatan famili serta melanggar kepentingan hukum seorang sebagai suami.

h. Delik mengenai badan seseorang misalnya malukai

Obyek Delik Adat Didalam bagian ini akan dijelaskan perihal reaksi masyarakat terhadap perilaku yang dianggap menyeleweng. Untuk hal ini, masyarakat yang diwakili oleh pemimpinpemimpinnya, telah menggariskan ketentuan-ketentuan tertentu didalam hukum adat, yang fungsi utamanya, adalah sebagai berikut : a. Merumuskan pedoman bagaiman warga masyarakat seharusnya berperilaku , sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat b. Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban. c. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali

d. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antara warga-warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan-perubahan.

Dengan demikian maka perilaku tertentu akan mendapatkan reaksi tertentu pula. Apabila reaksi tersebut bersifat negative, maka masyarakat menghendaki adanya pemulihan keadaan yang dianggap telah rusak oleh sebab perilakuperilaku tertentu (yang dianggap sebagai penyelewengan) Didalam praktek kehidupan sehari-hari, memang sulit untuk memisahkan reaksi adat

dengan koreksi, yang seringkali dianggap sebagai tahap-tahap yang saling mengikuti. Secara teoritis, maka reaksi merupakan suatu perilaku serta merta terhadap perilaku tertentu, yang kemudian diikuti dengan usaha untuk memperbaiki keadaan, yaitu koreksi

yang mungkin berwujud sanksi negatif . Rekasi adat merupakan suatu perilaku untuk memberikan, klasifikasi tertentu pada perilaku tertentu, sedangkan koreksi merupakan usaha untuk memulihkan perimbangan antara dunia lahir dengan gaib. Betapa sulitnya untuk memisahkan kedua tahap tersebut, tampak, antara lain dari pernyataan Soepomo yang mencakup :

a. pengganti kerugian “imateriel” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikah gadis yang telah dicemarkan b. bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib d. Penutup malu, permintaan maaf

e. Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di lua tata hukum Dengan demikian, maka baik reaksi adat maupunkoreksi, terutama bertujuan untuk emmulihkan keseimbangan kosmis, yang mungkin sekali mempunyai akibat pada warga masyarakat yang melakukan penyelewengan.

Perbedaan Pokok Aliran Van Vollenhoven melukiskan perbedan pokok aliran antara sistem hukum pidana menurut KUHP dan sistem hukum delik adat HDA sebagai berikut: a. Yang Dapat dipidana

1.

KUHP Yang dapat dipidana hanya badan pribadi (person) yang berupa manusia /orang.

2.

HDA Sering terjadi bahwa sipenjahat melakukan delik yang dilakukan disuatu tempat atau kampung, hukuman yang dikenakan adalah wajib membayar denda atau ganti rugi kepada golangan krabat korban. b. 1.

Dolus Dan Culpa KUHP Seorang hanya dapat dipidana apabila perbuatan dilakukan dengan sengaja(opzet,dolus) ataupun dalam kelalaian, kekilafan,(culpa) 2.

HDA Dilapangan hukum adat lebih banyak terdapat kejadian-kejadian yang tidak memerlukan Pembuktian tetang adanya kesengajaan ataupun kelalaian dari kejahatan dilapangan.

c. Kepentingan Yang Dilanggar 1. KUHP Tiap delik menatang kepentingan negara, sehingga setiap delik adalah persoalan negara, bukanlah persoalan perseorangan atau pribadi yang terkena. 2.

HDA Ada delik terutama menjadi persoalan orang yang terkena, sekali juga menjadi persoalan golongan krabat orang terkena dan pula mengenai kepentingan desa. d. 1.

2.

Pertanggung jawaban KUHP Orang yang dapat dipidana dapat bertanggung jawab atas perbuatanya.

HDA Didalam leteratur Hukum adat terdapat pemberintaan dari wilayah minang kabau bahwa disana upaya pertahanan masyarakat terhadap oarang gila yang membunuh orang adalah sama dengan upaya terhadap orang normal yang melakukan tindakan yang serupa.

e. 1.

Posisi Sosial KUHP Hukum pidana barat memperlakukan orang yang satu sma dengan yang lain, tampa diskriminasi. 2.

HDA Besar kecilnya kepentingan hukuman seseorang sebagai individu bergntung pada kedudukan/fungsinya didalam masyarkat. f. 1.

Menghakimi sendiri KUHP Orang dilarang bertindak sendiri untuk menegakan hukum yang dilanggar, larangan ini berdasarkan prinsip bahwa delik adalah persolan negara, bukan persoalan orang persorangan (pribadi). 2.

HDA Didalam sitem hukum adat terdapat keadan yang mengizinkan kan orang terkena untuk bertindak sebagai hakim sendiri, misalnya bila seseorang melarikan gadis, bezina, mencuri dan perbuatan itu tertangkap tangan sedangkan pelaku di pegang oleh pihak yang terkena, pada saat itu boleh malukan Hakim sendiri.

g. 1.

Penilaian Barang KUHP Didalam Hukum Pidana barat tidak ada perbedaan barang anatara satu dengan yang lain, sehingga mencuri setangkai bunga sama berat hukmannya dengan mencuri sebutir Mutiara. 2.

HDA Mencuri, Menggelapkan atau merusak barang asal dari nenek moyang adalah lebih berat dari pada tindakan serupa dari barang duniawi biasa.

Petugas Hukum Untuk Perkara Adat Menurut

Undang-Undang

Darurat

No.

1/1951

yang

mempertahankan

ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun

1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.

Didalam kenyataan sekarang ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganmgap sebagai sutu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana....


Similar Free PDFs