Iliterasi Kemanusiaan PDF

Title Iliterasi Kemanusiaan
Author Ade Hidayat
Pages 4
File Size 84.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 436
Total Views 843

Summary

ILITERASI KEMANUSIAAN Oleh: Ade Hidayat, M.Pd *) Literasi dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun dewasa ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal...


Description

ILITERASI KEMANUSIAAN Oleh: Ade Hidayat, M.Pd *)

Literasi dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun dewasa ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti. Beragam pemaknaan keberaksaraan atau literasi, tergantung objek tertentu yang tengah digarap sebagai bahan pemahaman dan eksplorasinya, misal dalam bidang media, komputer, teknologi, informasi, ekonomi, dsb. Pesatnya perkembangan zaman membuat definisi literasi berevolusi. Freebody dan Luke (2010) menawarkan model literasi ke dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Berpikir kritis, dapat menghitung, memecahkan masalah, cara untuk mencapai tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi seseorang merupakan definisi baru mengenai literasi. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Misal lain dalam literasi teknologi, seorang literat teknologi berarti seseorang yang telah berhasil memiliki pemahaman yang benar tentang teknologi dan melakukan satu tindakan yang tepat dalam dimensi teknologi. Namun ada juga yang dimaksud dengan iliterasi. Tentunya kebalikan dari literasi. Logisnya, iliterasi berarti ketidakmampuan memiliki pemahaman yang benar dengan pengambilan tindakan yang kurang atau tidak tepat. Lalu, bagaimana bila padanan katanya adalah “kemanusiaan”, apa arti dari iliterasi kemanusiaan? Menyimak beberapa penjelasan di atas, memungkinkan kita untuk menarik makna, dan kurang lebih serupa dengan lanskap yang kita sergap dari sejarah praIslam dimana Allah mengutus Nabi Muhammad atau yang kita sebut dengan terma jahiliyah. Begitu spontannya kita dengan term masyarakat jahiliyah yang melekat pada bangsa arab pada zaman sebelum adanya Islam, atau yang kita sebut zaman pra-Islam, zaman kebodohan. Masyarakat jahiliyah sedemikian rupa terbayang

dalam benak kita sebagai serangkaian view peradaban dahulu bangsa arab yang kental dengan kemusyrikan, kekejaman, belum tersentuh kemajuan dan jauh dari peradaban tinggi. Padahal, pada waktu itu, masyarakat jahiliyah merupakan komunitas melek huruf dilingkupi para penyair mahir dengan penghormatan kesusastraan tinggi. Selain itu, masyarakat Arab bukanlah masyarakat primitif yang terisolasi sedemikian rupa. Mereka terkenal dengan kepaiwaiannya dalam ekspansi, bertualang serta perniagaan multi-nasional. Dan terpikir mungkin bagi kita begitu kontras dengan peradaban manusia sekarang yang serba modern dengan berbagai produk teknologi dan sainsnya. Apa memang benar demikian? Jahiliyah dari bahasa Arab yang berarti kebodohan, atau dalam padanan kata dalam bahasa Inggris adalah ignorance, kata benda dari kata ignore yang artinya mengabaikan, melengahkan, tidak peduli, tidak mengindahkan, memungkiri. Maka ignorance berarti kebodohan atau ketidaktahuan. Jahiliyah memang lahir dari ketidaktahuan

atau

kedunguan,

namun

seringkali

juga

terbentuk

dari

kesalahpahaman yang turun temurun, kekeliruan yang mentradisi atau ambisi hawa nafsu yang menampuk kuasa. Dalam Islam, jahiliyah adalah kata untuk seluruh perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam, baik pelanggaran besar atau kecil yang berakibat atau tidak pada kekafiran. Semua dikatakan jahiliyah, karena seluruh pelanggaran atau perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak mungkin bersumber dari ilmu, melainkan dari kebodohan. Baik pelanggaran itu disebabkan karena ketidaktahuan atau karena dominasi hawa nafsu yang mengalahkan dorongan keimanan. Dalam Alquran, kata jahiliyah disebutkan oleh Allah sebanyak empat kali. Masing-masing disebutkan dalam konteks sebagai sebuah keyakinan, sistem hukum, perilaku dan watak. Ketika masyarakat rancu dalam mengimani Allah serta ada yang keliru dalam tata cara ritual ibadah, maka mereka telah memasuki zona darurat iliterasi peribadatan. Jahiliyah dalam perkara keyakinan merupakan akar semua penyimpangan dan yang menciptakan fondasi iliterasi kemanusiaan dalam hampir semua bentuk rupanya. Kita bisa menengok masyarakat Arab kala itu, setelah rancu dalam hal peribadatan dengan paganisme Latta, Uzza, Manat dan sederetan tokoh shalih yang

telah wafat dan dijadikan ikon perantara ibadah pada Allah, hampir dipastikan diikuti merebaknya anomali sosial, sistem tata negara dan hukum yang salah, penyimpangan perilaku, pelanggaran hak azasi manusia, ketidakadilan ekonomi dan sebagainya. Mengubur anak hidup-hidup, minuman khamr, perjudian, perbudakan, riba, kacaunya nasab disebabkan perkawinan tanpa aturan serta perendahan derajat wanita merupakan settingan buruk peradaban yang dimiliki bangsa Arab kala itu. Maka dalam hal ini Islam telah dahulu menggunakan terma jahiliyah atau iliterasi dengan pemaknaan yang tinggi. Kebodohan, iliterasi atau jahiliyah yang sebenarnya adalah kondisi dimana manusia telah mengabaikan kompetensi agung yang mestinya tercapai, baik itu sebagai makhluk dan abdi Tuhan maupun sebagai manusia dalam lingkup sosialnya. Iliterasi peribadatan yang diikuti sederet iliterasi kemanusiaan adalah kondisi yang telah jauh dari fungsi dan tujuan manusia diturunkan. Manusia kemudian laksana zombie, mayat hidup, jasadnya bergerak hidup namun kosong misi dan arah gerakannya. Atau bahkan manusia di zona iliterasi ini adalah predator dimana keberadaannya hanya memangsa semua makhluk di sekitarnya dan merusak ekosistem sosial serta aturan yang ada, hanya demi memenuhi kepentingan pribadinya. Dan ternyata waktu tidak menjadi ukuran jahiliyah tidaknya komunitas manusia. Logisnya makin bertambah usia zaman, makin ia menemukan jati dirinya. Namun, setelah jauh berlalu masa Islam berkecambah, kini peradaban kembali kering gersang. Jahiliyah bereinkarnasi dalam jelmaan yang lebih modern seiring perkembangan zaman, namun secara nurani sama kotor bahkan mungkin lebih menjijikan. Paganisme zaman sekarang menempati beragam bentuk dari mulai yang nyata hingga virtual. Paganisme fashion, batu akik yang dianggap magis, aturan bernegara dan bermasyarakat diatur berdasarkan perspektif dangkal egosentris, hingga massifnya aneka penyakit sosial yang menghimpit masyarakat. Kejahiliyah mengepung dari berbagai sisi, struktural maupun kultural. Bahkan di negara kita iliterasi begitu maruk terjadi secara rangkap. Di satu tempat, iliterasi kemanusiaan terjadi akibat ketidakadilan menjadi tata aturan legal, dimana memungut kayu bakar atau memetik tiga biji coklat dianggap merampok harta

negara, maling ayam atau motor dicincang ramai-ramai, sementara maling trilyunan hanya melenggang kangkung. Tindakan tidak proporsional dalam hukum tentu mengusik rasa keadilan dan nurani bangsa ini. Ironi lain, proyek triliyunan digelontorkan pada ibukota, sementara di tempat lain para ibu harus was-was melihat semangat buah hatinya menelaah aksara bertaruh jiwa dengan bergelayutan pada seutas tali di atas sungai curam. Kalau di zaman pra Islam, hanya bayi perempuan yang dibunuh hidup-hidup, kini bayi laki-laki pun turut dibungkus koran bekas, dilempar ke tong sampah layaknya nasi bekas. Terkadang, kejahiliyah begitu samar hingga tak nampak isi aslinya terbungkus rapi dalam balutan sains teknologi dan modernitas yang dipandang sebagai bentuk kedewasaan pemikiran manusia. Paradoksial ini berlipat menciptaan banalitas paradigma manusia sehingga begitu sulit untuk diajak kembali pada trek yang semestinya manusia berjalan. Iliterasi kemanusiaan tidak tersekat sempit pada perkara pengabaian HAM saja. Ketika manusia tidak mampu membaca dan memahami teks kehidupan baik bersifat vertikal maupun horizontal, kemudian ia tidak dapat mengambil perilaku dan tindakan yang tepat dalam menghadapi permasalahannya atau lebih buruk lagi dengan melakukan penyalahgunaan atau penyelewengan potensinya sebagai manusia untuk digunakan dalam upaya tujuan hawa nafsunya yang bersifat desktruktif, maka senyatanya manusia tersebut telah masuk ke dalam zona darurat iliterasi kemanusiaan. Zona dimana manusia ada namun tidak berharga, bahkan ada namun tiada. Dalam Alquran, ayat pertama diwahyukan menyebutkan iqra! (bacalah!), perintah membaca diturunkan pertama kali sebelum yang lain, merupakan pondasi awal demi terbangunnya literasi diri manusia yang utuh dan tercapainya menara literasi utamanya yaitu kompetensi pemahaman tentang diri di hadapan Allah, pemahaman diri beserta fungsinya di tengah alam semesta dan dalam panjangan dimensi waktu yang telah digariskan. Disanalah manusia telah mencapai perannya sebagai makhluk literat tingkat tinggi. Semoga! *** _______________________ *) Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten...


Similar Free PDFs