Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia PDF

Title Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia
Author Ade Sofyan Mulazid
Pages 24
File Size 832.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 715
Total Views 797

Summary

KEDUDUKAN SISTEM PEGADAIAN SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DI INDONESIA Oleh Ade Sofyan Mulazid1 Email: [email protected] Abstrak Penelitianini menemukan bahwa kedudukan hukum PP No.51 Tahun 2011 tentang PerubahanBentukBadanHukumPerum Pegadaian MenjadiPerusahaanPerseroanPegadaian(Perser...


Description

Accelerat ing t he world's research.

Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia Ade Sofyan Mulazid

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Skripsi 1 keke kinnant i

Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank Syariah Dian A L A S T A Selian KONSEP DAN APLIKASI GADAI SYARIAH (RAHN) PADA BANK JABAR BANT EN SYARIAH (BJB) CABANG S… Rian Widiant o

KEDUDUKAN SISTEM PEGADAIAN SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DI INDONESIA Oleh Ade Sofyan Mulazid1 Email: [email protected] Abstrak Penelitianini menemukan bahwa kedudukan hukum PP No.51 Tahun 2011 tentang PerubahanBentukBadanHukumPerum Pegadaian MenjadiPerusahaanPerseroanPegadaian(Persero) merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang secara langsung mengatur dan memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di PT Pegadaian (Persero). Dalam kaitan ini fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI telah menjadi rujukan yang melandasi pengembangan gadai syariah dan akomodasinya oleh regulasi pemerintah memberikan rambu-rambu kepada pemerintah dan masyarakat untuk pengembangan usaha gadai syariah. Selain itu, terdapat sebelas peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur, tetapi memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia, yaitu: (1) UUD 1945; (2) KUHPerdata; (3) UU Lelang (Vendu ReglementOrdonantie); (4) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi; (5) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; (6) UU No.42 Tahun 1999 tentangJaminanFidusia; (7) UU No.5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehat; (8) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN; (9) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; (10) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM; dan (11) UU No.8 Tahun 2010 tentangPencegahan dan PemberantasanTindakPidanaPencucianUang. Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah belum nampak pada periode 1945-2002. Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah diinisiasi sejak dibukanya unit layanan gadai syariah oleh Perum Pegadaian pada tahun 2003. Upaya pemerintah untuk menyiapkan RUU Pergadaian dan telah masuk ke dalam Prolegnas 2010-2014, menunjukkan politik hukum pemerintah yang semakin kuat agar usaha jasa gadai termasuk jasa gadai syariah dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Jika RUU tersebut disahkan oleh DPR akan berdampak pada perkembangan usaha gadai syariah oleh pemerintah dan swasta. Namun demikian, politik hukum Pegadaian Syariah dikatakan paripurna apabila para penggiat ekonomi syariah berhasil mengusung pengusulan RUU Pegadaian Syariah sebagaimana keberhasilan pengusulan dan pengesahan UU Perbankan Syariah. Sumber utama penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan tentang Pegadaian dan hasil wawancara, serta observasi pada PT Pegadaian, Bapepam-LK dan Badan Legislasi DPR RI. Data-data tersebut dibaca dengan menggunakan pendekatan analisis yuridis (normatif) dan politik hukum. Kata kunci: Pegadaian Syariah, Fatwa, Dewan Syariah Nasional, Program Legislasi Nasional. Abstract This paper found that the Government Regulation No.51 year 2011 that has decide the transformation of legal entity of Pawn Public Company in to Pawnshop Limited Company is the highest law which directly role and give the opportunity to the develop the Islamic Pawnshop in Pawnshop Limited Company. In this case, fatwa (legal opinion) stated by DSN (National Sharia Council) of MUI (Indonesian Ulama Council) become a reference that lay down the development of Islamic Pawnshop and its accommodation held by the Government gives some rules to the Government and community in order to develop the Islamic pawnshop business. Besides that, there were another eleven regulations that indirectly roles but gives the opportunity to develop the Islamic Pawnshop Unit in Indonesia. Those regulations are: 1

Dosen Tetap Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.

(1) Constitution of The Republic of Indonesia; (2) Indonesian Cicil Code; (3) Law on Auction (VenduReglementOrdonantie); (4) Cooperation Law No.25 of 1992; (5) Customer Protection Law No.8 of 1999; (6) Fidusia Protection Law No.42 of 1999; (7) Prohibited Monopoly‟s Practice and Unhealthy Business Competitions No.5 of 1999; (8) BUMN Law No.19 of 2003; (9) Limited Company Law No.40 of 2007; (10) UMKM Law No.20 of 2008; (11) Prevention and Eradication of Money Laundering Law No.8 of 2012. The legal politics of Indonesia about pawnshop did not exist in 1945 until 2002. The legal politics about Islamic pawnshop initiated since the first opening of the Islamic pawnshop service unit in 2003 that held by Pawnshop Corporation. The government effort on preparing the pawn regulation draft and placed it into National Legislation Program years 2010-2014 indicates the strength of the legal politics of the Government in order to establish the business of pawnshop service and Islamic Pawnshop service can achieved by the Indonesian people. If the draft passed a law by The Representative, it can be more influence to the development of pawnshop service including Islamic pawnshop which held by The Government and Private Sector. However, the legal politic of Islamic pawnshop can be accomplish if all of the Islamic Economy activists succeed in proposing Islamic pawnshop regulations draft as well as their successful in Islamic banking regulation. The main sourcesof this paper areIndonesian regulations about pawnshop, interviews, and observations on Pawnshop Limited Company. Those data read by using juridical analysis approach and legal political approach. Keywords: Islamic Pawnshop, Legal Opinion, National Sharia Council,National Legislation Program.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan Pegadaian Syariahdalamdasawarsa 2000-an semakin pesat, khususnya di Indonesia.Hal ini ditunjukkan oleh semakin banyaknya jumlah nasabah, jenis ragam produk dan jumlah kantor unit Pegadaian Syariah yang tersebar di setiap kabupaten dan kota di Tanah Air(Republika, 9 April 2010: 20). Untuk menjalankanPegadaian Syariah secara optimal,maka diperlukan regulasi yang memadai,

sehinggaPegadaian

Syariah

bisa

dikelola

dengan

sehat

dan

sesuai

prinsip

syariah(M.A.Sehan,2004: 3). Regulasi tersebut bertujuan untuk mengatur lebih lanjut mengenai aspek kelembagaan, organisasi, instrumen keuangan, operasional, pengembangan sumber daya manusia (SDM), dan pengawasan.Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah diinisiasi sejak dibukanyaunit layanan gadai syariah oleh Perum Pegadaian pada tahun 2003, upaya pemerintah untuk menyiapkan RUU Usaha Jasa Gadai (belakangan namanya dirubah menjadi RUU Pergadaian) telah masuk ke dalam Prolegnas tahun 2010-2014, menunjukkan politik hukum pemerintah semakin kuat agar usaha jasa gadai termasuk gadai syariah dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Hanya saja sampai tahun 2012, RUU tersebut belum masuk ke dalam Prolegnas Prioritas di DPR (http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=980diakses pada 3 Maret 2010). Padahal, adanya aturan hukum yang pasti dalam penyelenggaraan usaha gadai syariah, akan mendorong gairah pasar dan pada akhirnya memberikan kontribusi yang optimal bagi perekonomian nasional (Zainuddin Ali, 2008: 54-55).

Kurangnya pengaturan ini merupakan permasalahan yang belum terpecahkan olehPegadaian Syariah. Apa yang terjadi di Indonesia dihadapi pula oleh Pegadaian Syariah di negara lain seperti India, khususnya India Utara.Kajian Javed Ahmad Khan dan Shariq Nisar menjelaskan satu fakta, bahwa sepanjang empat dekade terakhir Funds Muslim di India Utara telah berhasil menerapkan norma-norma Islam dalam praktik utang-piutang dengan sistem hukum gadai(Javed Ahmed Khan dan Shariq Nisar, 2004:7). Namun, kegiatanFunds Muslimini masih labil dan mengalami instabilitas karena tidak ada ketegasan regulasi. Karena itu, pengesahanRUU Pergadaianmenjadi sangat urgen dalam memberikan kepastian hukum usaha gadai syariah untuk dirinya secara otonom. Selama RUU Pergadaian belum disahkan, akan ada dua masalah besar yang dihadapi: (1) pengembanganPegadaian Syariah, secara hukum, akan berbenturan dengan aturan perundang-undangan lainnya;dan (2) pelaksanaan prinsip-prinsip syariah tidak bisa dilakukan secara optimal dan memunculkan praktik tidak bertanggungjawab. Selain

permasalahan

regulasi,Pegadaian

Syariah

memiliki

kendala

dalam

pengembangannya, yaitu karena masih dimonopoli oleh pemerintah. Dengan sistem monopoli tersebut, pihak swasta seakan dipersempit ruang geraknya untuk membuka bisnis di sektor gadai syariah. Lain halnya dengan bisnis di sektor perbankan syariah yang telah banyak dibuka oleh swasta. Penulis berasumsi bahwa praktek monopoli tersebut menyebabkanPegadaian Syariah menjadi kurang inovatif dan efisien karena tidak adanya kompetitor lain di bidang usaha pegadaian.Memang bila dilihat dari segi produk gadai yang dikembangkan,Pegadaian Syariah saat ini tidak lagi menjadi pemegang monopoli karena telah ada produk subtitusinya seperti yang dikembangkan oleh perbankan syariah, yaitu produk Rahn Emas. Namun secara kelembagaan, usaha pegadaian ini tetap masih dimonopoli oleh satu perusahaan, yaitu PT Pegadaian (Persero) yang notabenenya adalah milik pemerintah. Meskipun Produk Rahn Emasini telah diadopsi menjadi salah satu produk perbankan syariah, namun sifatnya sebatas pada orientasi produk pelengkap, yakni sebagai akad tambahan, misalnya sebagai jaminan atau agunan produk pembiayaan almurabahah dan al-mudarabah (Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 64-65). Dalam perspektif kekinian, masuknya gadai menjadi salah satu produk perbankan syariah menurut sebagian kalangan menjadi ironi karena dikhawatirkan berbenturan denganPegadaian Syariah. Memasukkan produk RahnEmas dalam perbankan syariah seringkali terjebak di antara kedua aturan yang saling tarik-menarik antara perbankan syariah denganPT Pegadaian (Persero). Namun, jika sistem penyaluran pembiayaan ini dilakukan dengan optimal, justru PT Pegadaian (Persero) akan menjadi partnership perbankan yang saling menguntungkan dan bukan lagi produk pelengkap perbankan.

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, kedudukansistem Pegadaian Syariah dalamsistem hukum nasional di Indonesia menjadi relevan untuk diteliti lebih lanjut. Dengan studi ini

akan

diketahui

kedudukan

peraturan

perundang-undangan

yang

secara

langsung

mengaturPegadaian Syariah ditinjau dari hierarki perundang-undangan. Di samping itu, akan diketahui pula peluang pengembanganPegadaian Syariah di Indonesia dalam peraturan perundangundangan lainnya. Lebih dari itu, akan dapat diketahui pula politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah. Dengan demikian, studi ini dipandang layak untuk dilakukan.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Dari segi waktu, masalah ini dibatasi sejak periode 1945-2012. Sedangkan dari segi substansi atau variabel yang dicakup kedudukan Pegadaian Syariah di sini meliputi dua substansi utama, yaitu: (1) kedudukan Pegadaian Syariah dalam berbagai peraturan perundang-undangan yangsecara langsung maupun tidak langsung mengatur dan memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah; (2) politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah sejak periode 19452012. Dengan pembatasan tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana kedudukan peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur Pegadaian Syariah ditinjau dari hierarki perundang-undangan dan bagaimana peluang pengembanganPegadaian Syariah di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan lainnya? b. Bagaimana politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah?

C. Metodologi Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kajian bidang hukum ekonomi syariah yangbersifat kualitatif dengan pendekatan analisis yuridis (normatif) dan socio-legal research (penelitian non-doktrinal) (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: 164).Penelitian normatifditujukan kepada peraturan perundangundangan yang ada tentang Pegadaian Syariah dan penelitian socio-legal research ditujukan kepada bahan dan data tentang politik hukum. Jenis penelitian ini adalah studi literatur, yang mengungkap: (1)kedudukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara langsung mengenai Pegadaian Syariah ditinjau dari tata urut perundang-undangan dan peluang pengembanganPegadaian Syariah di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan lainnya; serta(2) politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah.

Sumber data primer penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan tentang Pegadaian dan hasil wawancara, serta observasi secara langsung. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah bahan hukum yang memberi penjelasan bahan hukum primer seperti buku-buku, paper, artikel, majalah, media cetak, makalah, jurnal, laporan penelitian, internet,serta tulisan lainnya yang relevan. Datayang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang diterbitkan sejak tahun 19452012dan fatwa DSN-MUIsejak tahun 2002-2008, serta dokumen lainnya yang terkait. Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa DSNini dianalisis dengan mengkaji keterpengaruhannya terhadap pengembanganPegadaian Syariah di Indonesia dihubungkan dengan hasil wawancara kepada narasumber. Sedangkan pihak yang diwawancara, yaitu:satu orang General Manager, satu orang Asisten Manager,satu orang Kepala Biro Hukum, satu orang Kepala Kanwil X Jakarta II, dan satu orang Manajer Humasdari PT Pegadaian (Persero);satu orang Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Bapepam-LKdari Kementerian Keuangan RI; dua orang Wakil Sekretaris BPH DSNMUI dan satu orang Staf Baleg DPR RI. Metode penelitian socio-legal research yang dilakukan dengan mewawancarai para narasumber terkait dengan sejumlah regulasiPegadaian Syariah dan peluang pengembangannya,serta politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah. Data yang berhasil diperoleh berupa peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara, sertafatwa DSN dianalisis dengan cara memilah-milah dan mengkaitkan pada kedudukan Pegadaian Syariah. Pada peraturan perundang-undangan dan fatwa DSN, analisis dilakukan dengan cara menganalisis isi peraturanPegadaian Syariah dalam sistem hukum nasional. Analisis tersebut dikaitkan dengan hasil wawancara dan peluang pengembanganPegadaian Syariahdalam peraturan perundang-undangan lainnya. Ditambah lagi, politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah.

PEMBAHASAN A. Gadai dalam Hukum Islam 1. Pengertian Gadai (Rahn) Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut al-Rahn. Kata al-Rahn berasal dari bahasa Arab “rahana-yarhanu-rahnan” yang berarti menetapkan sesuatu(Louis Ma‟luf, 1986: 284). Secara bahasa pengertian al-Rahnadalah al-Subutwaal-Dawamyang berarti “tetap” dan “kekal”(Abu Zakariyya Yahya bin Sharaf an-Nawawi, 1957: 121). Menurut Taqiyyuddin Abu Bakar al-Husayni (w. 829 H), al-Rahn adalah al-Subut “sesuatu yang tetap” dan al-Ihtibas “menahan sesuatu”(Taqiyyuddin Abu Bakar al-Husayni,tt: 263). Bagi Zakariyya al-Anshary (w. 936 H), alRahn adalah al-Subut yang berarti “tetap”(Zakariyya Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Zakariyya Al-

Anshary, tt: 328).Dengan demikian, pengertian al-Rahn secara bahasa seperti yang terungkap di atas adalah tetap, kekal dan menahan suatu barang sebagai pengikat utang. Secara istilah menurut Ibn Qudamah (w. 629 H), pengertian al-Rahn adalah al-mal al-ladhi yuj„alu wathiqatan bidaynin yustaufa min thamanihi in ta‟adhara istifa‟uhu mimman huwa „alayh “suatu benda yang dijadikan kepercayaan atas utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya” (Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Quddamah, 1994: 234). Bagi Zakariyya al-Anshary (w. 936 H), al-Rahn adalah ja„lu „ayni malin wathiqatan bidaynin yustaufa minha „inda ta„adhuri wafa‟ihi “menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta benda sebagai jaminan utang yang dipenuhi dari harganya ketika utang tersebut tidak bisa dibayar”(Zakariyya Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Zakariyya AlAnshary, tt: 328). Ia menyatakan bahwa tujuan rahn adalah menyerahkan barang jaminan yang dimiliki dan berpindah kepemilikannya itu ketika rahin tidak mampu membayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Karena itu, jenis barang yang dijaminkan adalah berupa harta benda yang dapat diperjualbelikan. Menurut S. M. Hasanuzzaman, al-Rahnmeans a pledge or a security related to a loan“alRahn adalah suatu akad untuk keamanan pembayaran atas utang”(S. M. Hasanuzzaman, 1995: 80). Ia juga menyatakan bahwa al-Rahn also refers to an arrangement where by a valuable asset is place collateral for a debt “al-Rahn dipergunakan untuk pengaturan suatu barang sebagai jaminan atas utang.”Lebih lanjut dikemukakan oleh Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam (1997), barang jaminan atau agunandalam istilah bank disebut dengan collateral. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa collateral ini sejalan dengan al-Marhun yang berlaku dalam akad rahn yang dibicarakan ulama klasik. Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran utang yang ditentukan oleh bank. Al-Rahn merupakan persetujuan untuk menyerahkan harta miliknya untuk dijadikan sebagai jaminan atau agunan(Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 86). Berdasarkan pengertian al-Rahndari berbagai pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa rahn adalah perjanjian penyerahan barang sebagai jaminan sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.Dengan demikian, tampak bahwa fungsi dari barang jaminan adalah untuk memberikan keyakinan, ketenangan dan keamanan atas utang yang dipinjamkan. 2. Dasar Hukum Rahn Dasar hukum rahn sebagai kegiatan muamalah dapat merujuk pada dalil-dalil yang didasarkan pada al-Qur'an, sunah, ijma„ dan fatwa DSN-MUI. Hasil pelacakan penulis atas Mu„jam al-Mufahras, sedikitnya terdapat tiga kata yang seakar dengan kata rahn dalam al-Qur'an: (1) rahin dalam Q.S al-Tur (52): 21; (2) rahina dalam Q.S al-Muddatsîr (74): 38; dan (3) farihan dalam Q.S al-Baqarah (2): 283. Dengan demikian, ketiga term rahn tersebut, digunakan untuk menegaskan

bahwa rahn merupakan konsekuensi dari sesuatu yang telah dijanjikan atau dilakukan(Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, 1981: 400). Al-Jaziri (w. 136 H) mengkaitkan istilah rahin dengan kasb dalam Q.S al-Tur (52): 21 di mana penggadai (rahin) akan bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.Ia juga menjelaskan bahwa term rahina dalam Q.S al-Muddatsîr (74): 38 adalah penahanan suatu barang disebabkan oleh perilaku dari pemilik barang tersebut. Dengan kata lain,Ia berpendapat bahwa diri seseorang akan tertahan utangnya sampai keadaan mampu melunasinya(Abd al-Rahman Ibn Muhammad „Aws al-Jaziri, 1999: 319). Selanjutnya, Muhammad „Ali al-Sayismenjelaskan bahwa kata farihan dalam Q.S alBaqarah (2): 283 adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam transaksi utangpiutang berjangka.Kehati-hatian ditujukkan dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (murtahin). Bila transaksi dilakukan saat kedua belah pihak dalam perjalanan (musafir), maka transaksi tersebut harus dicatat dihadapan saksi. Bahkan, Ia menganggap bahwa dengan adanya barang jaminan, rahin telah melampaui prinsip kehati-hatian suatu transaksi utang yang hanya ditulis dan dipersaksikan(Fadhilah al-Shaykh Muhammad „Ali al-Sayis, 1986: 179).Sekalipun kata farihandalam Q.S al-Baqarah (2): 283, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarangnya kegiatan tersebut bila dilakukan oleh orang yang menetap (bermukim). Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah syarat keabsahan transaksi rahn, melainkan contoh ekstrim dalam bertransaksi(Muhammad Ibn Rushd bin Ahmad Rushd al-Qurtubi, 1970:351). Hal itu, dikuatkan dengan hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan. Muhammad Akram Khan menyatakan bahwa paling tidak ada empat hadis yang dijadikan sebagai dasar rumusan gadai syariah, d...


Similar Free PDFs