HUKUM PEGADAIAN SYARIAH PDF

Title HUKUM PEGADAIAN SYARIAH
Author B. Dzumirroh Ariny
Pages 15
File Size 1 MB
File Type PDF
Total Downloads 377
Total Views 1,014

Summary

HUKUM PEGADAIAN SYARIAH Oleh: Bintan Dzumirroh Ariny1 Latar Belakang Munculnya pegadaian syariah pada awalnya didorong oleh perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Selain itu, pengembangan pegadaian syariah didukung oleh mayoritas masyarakat muslim yang menjadi nasabah. Perlu diketahui b...


Description

Accelerat ing t he world's research.

HUKUM PEGADAIAN SYARIAH Bintan Dzumirroh Ariny

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Gadai Syariah Akunt ansi14 A

DESAIN KONT RAK ROHN nurul faizah GADAI BERAGUANAN EMAS DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA Jurnal Qist ie

HUKUM PEGADAIAN SYARIAH Oleh: Bintan Dzumirroh Ariny1 Latar Belakang Munculnya pegadaian syariah pada awalnya didorong oleh perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Selain itu, pengembangan pegadaian syariah didukung oleh mayoritas masyarakat muslim yang menjadi nasabah. Perlu diketahui bahwa Pegadaian Syariah merupakan hasil kerjasama Perum Pegadaian dengan Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 14 Mei 2002. Kerjasama antara keduanya dengan tujuan untuk membangun sinergitas yang dimiliki keduanya dalam pengembangan pegadaian syariah.2 Pegadaian Syariah merupakan salah satu lembaga keuangan non bank yang diperuntukkan bagi masyarakat luas yang berpenghasilan menengah ke bawah yang membutuhkan dana dalam waktu yang segera.3 Dana ini biasa digunakan untuk membiayai kebutuhan tertentu yang sangat mendesak. Sebagai dasar hukum pelaksanaan gadai syariah ini tercantum dalam firman Allah SWT Surat Al-Baqarah (2) Ayat 283. Operasional gadai syariah di Indonesia diatur oleh regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa (keputusan) tentang produk serta akad dalam ekonomi syariah.4 Berdasarkan uraian diatas, pada makalah ini penulis akan membahas tentang pegadaian syariah yang ditinjau dari sistem operasional (praktek) dan regulasi.

A. Definisi Gadai dalam Islam Pengertian “gadai” dalam fikih Islam disebut dengan Ar-Rahn, secara etimologis berarti tsubut (tetap) dan dawam (kekal). Secara terminologi Rahn adalah menjadikan

1

Alumni Program Magister Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, S1 Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan S1 Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang 2 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Cet.2. Jakarta: Lembaga Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), h. 501-502 3 Abdul Ghafur Anshori, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008), h. 51 4 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Cet.1. Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h. 2

1

harta benda sebagai jaminan hutan agar hutangnya dapat dibayarkan atau dilunasi. Pengertian lain juga menyebutkan bahwa rahn adalah jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang.5 Menurut Sayyid Sabiq, rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut syara‟ sebagai jaminan hutang sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutan atau bisa mengambil sebagian dari manfaat barang tersebut. Pada penjelasan singkatnya

bahwa orang yang mengutangkan sesuatu biasanya meminta

jaminan dari pihak yang berhutang, baik jaminan barang bergerak maupun tidak bergerak.6 Pengertian gadai oleh para ulama madzhab didefinisikan sebagaimana berikut: 1. Menurut Syafi‟iyyah, rahn adalah menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila hutang tersebut tidak bisa dibayarkan. 2. Menurut Hanabilah, rahn adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu hutang, untuk dipenuhi dari harganya apabila berhutang tidak sanggup membayar hutangnya. 3. Menurut Malikiyyah, rahn adalah suatu nilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas hutang yang tetap.7 Pengertian gadai dalam perspektif Islam dan hukum positif sedikit berbeda sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) , yaitu gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang berhutang atau oleh orang lain atas namanya dan memberi kekuasaan pada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang tersebut dan biaya-biaya mana yang harus di dahulukan.

B. Rukun dan Syarat Gadai Pada pelaksanaan gadai, terdapat beberapa rukun diantaranya:8 1) Orang yang memberikan gadai (Rahin). 2) Orang yang menerima gadai (Murtahin). 3) Jaminan hutang (Marhun) 5

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, h. 1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jilid III, Beirut:Daar al Fikr, 1403/1983 M), h. 182 7 Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Cet.1, Jakarta:Prenadamedia, 2015),

6

h. 171 8

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung:Pustaka Setia, 2001), h. 162

2

4) Pinjaman hutang (Marhum Bih) 5) Ijab Qabul (kesepakatan) Terdapat syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan gadai menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, sebagaimana berikut: 1) Penerima dan pemberi gadai haruslah memiliki kecakapan hukum. Oleh karena itu tidak sah gadai yang dilakukan oleh para pihak yang tidak memiliki kecakapan hukum dalam hal ini orang gila. 2) Akad gadai sempurna apabila harta gadai telah dikuasai oleh penerima gadai. 3) Akad gadai harus dinyatakan oleh para pihak secara lisa, tulisan, atau isyarat. 4) Harta gadai harus bernilai dan dapat diserah terimakan. 5) Harta gadai harus ada ketika akad dibuat.9

C. Hukum Pemanfaatan Barang Gadai (Marhun) Pada pandangan Ulama Madzhab terdapat perbedaan dalam hal pemanfaatan barang yang dijaminkan dalam gadai. Menurur Sayyid Sabiq, pada prinsipnya penerima gadai tidak boleh memanfaatkan harta gadai atau mengambil keuntungan dari benda yang digadaikan, meskipun diizinkan oleh pihak penggadai, karena utang-piutang yang mengambil manfaat itu riba.10 Berikut perbedaan pandangan ulama madzhab terhadap pemanfataan rahin atas marhun:11 1) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murtahin. begitupula sebaliknya bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. 2) Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika barang gadai sudah berada di tangan murtahin, rahin mempunyai hak untuk memanfaatkan. 3) Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa rahin diperbolehkan untuk memanfaatkan barang gadai tersebut namun jika tidak mengurangi barang tersebut, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, dan menyimpannya. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang maka rahin harus meminta izin kepada murtahin. Selanjutnya pandangan Ulama Madzhab tentang pemanfaatan murtahin atas barang yang digadaikan:12 9

Pasal 372 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 188 11 Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Cet..1, Yogyakarta:UGM Press, 2010),

10

h. 127 12

Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, h. 128

3

1) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkannya, sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkan. 2) Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan barang tersebut, jika diizinkan oleh rahin atau diisyartkan ketika akad dan barang tersebut adalah barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini juga disampaikan oleh Ulama Syafiyyah. 3) Ulama Hanabilah berbeda dengan ulama madzhab lainnya. Mereka berpendapat bahwa jika barang yang digadaikan tersebut adalah hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarainya atau sekedar memerah susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun benda gadai selain hewan, tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.

D. Musnahnya Barang Jaminan Gadai Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang bertanggung jawab ketika kerusakan atas musnahnya barang jaminan gadai. Perbedaan itu sebagai berikut:13 1) Ulama Syafii, Ahmad, Abu Tsur menyatakan bahwa pemegang gadai sebagai pemegang amanah tidak dapat mengambil tanggung jawab atas kehilangan tanggungannya. Pendapat mereka sebagaimana hadist Rasullulah SAW: “Barang

jaminan

tidak

boleh

disembunyikan

dari

pemiliknya,

karena

hasil/keuntungan (dari barang jaminan) dan risiko/kerugian (yang timbul atas barang itu) menjadi tanggung jawabnya)”. (H.R. Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah) 2) Menurut Abu Hanifah dan Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa kerugian atau kehilangan barang gadai ditanggung oleh penerima gadai. Alasannya adalah barang itu merupakan jaminan atas hutang, sehingga jika barang itu musnah, kewajiban melunasi hutang juga hilang dengan musnahnya barang tersebut. Hal ini sebagaimana dalam Hadist Rasulullah: “Seseorang laki-laki menerima gadai seekor kuda dari lelaki lain, kemudian kuda tersebut lepas (hilang), Maka Nabi SAW bersabda, Hilanglah hakmu.” Ketentuan rusaknya barang gadai telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sebagai berikut:14

13

Fathurahman Jamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah, (Cet.1, Jakarta:Sinar Grafika), h. 242-243

4

a. Pasal 410: “Apabila harta gadai rusak karena kelalaiannya, penerima gadai harus mengganti harta gadai” . b. Pasal 411: “Jika yang merusak harta gadau adalah pihak ketiga, maka yang bersangkutan harus menggantinya.” c. Pasal 412: “Penyimpanan harta gadai harus mengganti kerugian jika harta gadai itu rusak karena kelalaiannya.” E. Berakhirnya Akad Gadai Akad gadai akan berakhir jika terjadi hal-hal sebagaimana berikut: 1) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya. 2) Rahin telah membayar hutangnya. 3) Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin. 4) Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin. 5) Pembatalan oleh pihak murtahin. 6) Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin. 7) Meninggalnya rahin (menurut Malikiyyah) dan/atau murtahin (menurut Hanafiah), sedangkan menurut Syafiyyah dan Hanabilah menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad rahn.15

F. Pegadaian Syariah Di Indonesia, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP)10 Tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan sebagai tonggak awal kebangkitan pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP/10 menegaskan misi yang harus diemban pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP/103/2000 yang dijadikan landasan kegiatan usaha perum pegadaian sampai sekarang.16 Pegadaian Syariah merupakan suatu lembaga yang relatif baru di Indonesia. Konsep lembaga keuangan yang melaksanakan tugas utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain dengan prinsip syariah. Konsep

14 15

Pasal 410-412 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Fathurrahman Jamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah,

h. 243 16

Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, h. 188

5

pegadaian syariah mengacu kepada sistem administrasi modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektivitas yang diselaraskan dengan nilai-nilai Islam.17 Usaha pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) cabang Dewi Sartika di bulan Januari 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di beberapa kota, Surabaya, Makassar, Semarang, Surakarta dan Yogyakarta ditahun yang sama September 2003. Pada konsep perbankan syariah, aplikasi rahn digunakan sebagaimana: 1) Sebagai tambahan (pelengkap), digunakan sebagai akad tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan. 2) Sebagai produk dalam pegadaian syariah dengan melakukan kesepakatan (akad) kepada nasabah yang disertai pembebanan biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran yang dihubungkan dengan akad ijarah.18 Pada dasarnya pegadaian syariah dilaksanakan dengan dua akad transaksi syariah yaitu:19 1) Akad Qardu Hasan (Akad Rahn), yaitu suatu akad yang dibuat oleh pihak pemberi gadai kepada penerima gadai dalam hal transaksi gadai harta benda yang bertujuan untuk mendapatkan uang tunai yang diperuntukkan untuk konsumtif. Hal ini dimaksudkan pemberi gadai (rahin) dikenakan upah (fee/ujrah) oleh penerima gadai (murtahin) yang telah menjaga dan merawat barang gadaian (marhun). 2) Akad Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa. Melalui akad inilah dimungkinkan bagi pegadaian syariah untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad. Perkembangan saat ini, bentuk perolehan pendapatan pegadaian syariah dapat berupa transaksi yang berasal dari biaya administrasi (qardh hasan), jasa penyimpanan, jasa taksiran.

Diantara produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah kepada masyarakat,

diantaranya:20 1) Gadai syariah/rahn. Pemberian pinjaman atas dasar hukum gadai syariah. Artinya, dengan menyerahkan barang yang dijaminkan oleh rahin. Dengan konsekuensi, 17

Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, h. 189 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Cet. 5. Jakarta:Prenadamedia, 2015), h. 393 19 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.390 20 Sasli Rais, Pegadaian Syariah:Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta:UI Press, 2005), h. 66 18

6

jumlah pinjaman yang diberikan kepada peminjam sangat dipengaruhi oleh nilai barang yang di gadaikan. 2) Penaksiran nilai barang. Jasa ini diberikan kepada masyarakat yang memerlukan harga/nilai harta benda miliknya yang ditaksir oleh pegadaian syariah karena dengan juru taksir yang berpengalaman. Barang yang ditaksir, terutama perhiasan: seperti emas, perak dan berlian. Biasanya masyarakat menggunakan jasa ini untuk mngetahui nilai jual wajar atas barang berharganya yang akan dijual. 3) Jasa Titipan. Layanan titipan barang berharga seperti perhiasan, emas, batu permata, kendaraan bermotor, surat-surat berharga (sertifikat tanah,Ijazah) kepada masyarakat. Untuk menjamin rasa aman terhadap harta yang ditinggalkan terutama hendak meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama. 4) ARRUM (Ar-Rahn untuk Usaha Mikro Kecil Menengah) merupakan pembiayaan bagi para pengusaha mikro kecil, untuk usaha pengembangan usaha yang berprinsip syariah.

G. Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Konvensional dengan Pegadaian Syariah Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan pegadaian konvensional dan pegadaian syariah yaitu sebagai berikut:21 Persamaan

Perbedaan

a. Hak gadai atas pinjaman uang

a. Rahn dalam Hukum Islam dilakukan atas

b. Adanya agunan sebagai jaminan hutang

dasar

c. Tidak boleh mengambil manfaat barang

mencari keuntungan, sedangkan gadai

yang digadaikan d. Biaya

barang

prinsip

menurut yang

digadaikan

ditanggung oleh para pemberi gadai.

tolong-menolong

hukum

berprinsip

perdata

tanpa

disamping

tolong-menolong

namun

menarik keuntungan dengan bunga.

e. Apabila batas waktu pinjaman habis, b. Dasar hukum perdata hak gadai hanya barang yang digadaikan boleh dijual

berlaku pada benda bergerak, sedangkan

atau dilelang

Hukum Islam Rahn berlaku pada seluruh benda

baik

bergerak

maupun

tidak

bergerak. c. Dalam Rahn tidak ada bunga.

21

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Cet.2, Yogyakarta:Ekonisia, 2012) h. 173

7

d. Gadai

menurut

hukum

perdata

dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di

Indonesia

disebut

Pegadaian,

Sedangkan Rahn menurut Hukum Islam dapat

dilaksanakan

tanpa

melalui

lembaga.

Pada hal teknis (operasional) terdapat perbedaan pegadaian konvensional dan pegadaian syariah, sebagaimana berikut ini:22 Pegadaian Syariah

Pegadaian Konvensional

1. Biaya administrasi berdasarkan barang

Biaya administrasi berupa presentase yang didasarkan pada golongan barang

2. Apabila

pinjaman

tidak

dilunasi,

Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang

barang jaminan akan dijual kepada

jaminan dilelang kepada masyarakat.

masyarakat. 3. Uang pinjaman 90% dari taksiran

Uang pinjaman untu golongan A 92%, sedangkan untuk golongan B, C, D 8886%

4. Maksimal jangka waktu 3 bulan

Maksimal jangka waktu 4 bulan

5. Kelebihan uang dari penjualan tidak Kelebihan hasil lelang tidak diambil oleh diambil

oleh

nasabah,

tetapi nasabah, tetapi menjadi milik pegadaian.

diserahkan kepada lembaga ZIS

H. Regulasi Gadai Syariah/Rahn di Indonesia Adapun dasar hukum rahn dalam Al-Quran Surat Al Baqarah (2) Ayat 283 sebagaimana sebagai berikut: “ Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”

22

M. Nur Riyanto Arif, Lembaga Keuangan Syariah:Suatu Kajian Teoritis dan Praktis, (Cet.1, Bandung:Pustaka Setia), h.296

8

Selanjutnya dalam Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari „Aisyah r.a., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” Hadist kedua, Hadits Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda, “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. Pada pelaksanaan gadai syariah di Indonesia, terdapat beberapa fatwa dan peraturan yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai lembaga yang berwenang menerbitkan regulasi produk dalam perbankan syariah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang mengawasi usaha pegadaian di Indonesia. Berikut adalah regulasi gadai syariah/rahn yang telah diterbitkan oleh DSN-MUI dan OJK sebagai berikut: No 1.

Regulasi

Ketentuan Regulasi

Fatwa No. 25/DSN- Ketentuan Hukum: MUI/III/2002

bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai

tentang Rahn

jaminan utang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut. Ketentuan Umum : 1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan

pemanfaatannya

itu

sekedar

pengganti

biaya

pemeliharaan dan perawatannya. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin 4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 9

5. Penjualan Marhun a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya. b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahi...


Similar Free PDFs