Kekurangan Energi Protein: Devinisi, Klasifikasi, Gejala, Pemeriksaan, Penatalaksaan, Pencegahan, Distribusi Frekuensi, Faktor Resiko PDF

Title Kekurangan Energi Protein: Devinisi, Klasifikasi, Gejala, Pemeriksaan, Penatalaksaan, Pencegahan, Distribusi Frekuensi, Faktor Resiko
Author Rahma Ismayanti
Pages 43
File Size 1.3 MB
File Type PDF
Total Downloads 29
Total Views 37

Summary

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri, M.PH Oleh : Betrix Rifana K.I 130612607896/2013 Emma Dhara Marini 130612607872/2013 Putri Sarifatul Mila 130612607845/2013 Rahma Ismayanti 130612607891/...


Description

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Yang dibina oleh Ibu drg. Rara Warih Gayatri, M.PH

Oleh : Betrix Rifana K.I Emma Dhara Marini Putri Sarifatul Mila Rahma Ismayanti

130612607896/2013 130612607872/2013 130612607845/2013 130612607891/2013

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT MARET 2015

i

DAFTAR ISI Halaman Sampul ................................................................................................ i Daftar Isi ............................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2 1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3 2.1 Kekurangan Energi Protein ......................................................................... 3 2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein .................................................. 3 2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein ............................................ 3 2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein

.............. 4

2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein ................... 6 2.1.5 Penatalaksanaan Kekurangan Energi Protein ....................................16 2.1.6 Pencegahan Kekurangan Energi Protein ............................................28 2.2 Distribusi Frekuensi Kekurangan Energi Protein .......................................29 2.2.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia ..............................................30 2.2.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin ..............................30 2.2.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Waktu ..........................................32 2.2.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Penghasilan ....................33 2.3 Faktor Resiko Kekurangan Energi Protein .................................................34 BAB III PENUTUP ..........................................................................................38 3.1 Kesimpulan ..................................................................................................38 Daftar Pustaka ....................................................................................................40

ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang KEP (Kekurangan Energi dan Protein) atau Protein Energy Malnutrition merupakan salah satu gangguan gizi yang penting bagi banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. KEP terdapat terutama pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Dari berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa KEP merupakan salah satu bentuk kurang gizi yang mempunyai dampak menurunkan mutu fisik dan intelektual, serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian terutama pada kelompok rentan biologis. Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi makro nutrien ke defisiensi mikro nutrien, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih tinggi (> 30 %) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP. Berbagai upaya untuk menanggulangi kejadian KEP antara lain pemberdayaan keluarga, perbaikan lingkungan, menjaga ketersediaan pangan, perbaikan pola konsumsi dan pengembangan pola asuh, melakukan KIE, melakukan penjaringan dan pelacakan kasus KEP, memberikan PMT penyuluhan, pendampingan petugas kesehatan, mengoptimalkan Poli Gizi di Puskesmas, dan revitalisasi Posyandu. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun tetap saja kasus KEP bermunculan di setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kompleksnya penyebab KEP itu sendiri. Mengingat pentingnya pengetahuan akan KEP tersebut, maka kami menyusun makalah berjudul “Kekurangan Energi Protein” ini yang didalamnya memaparkan hal-hal yang berhubungan dengan KEP itu sendiri.

1

1.2 Rumusan Masalah Berikut rumusan masalah yang terkait dengan makalah ini; 1. Apa definisi dari kekurangan energi protein ? 2. Apa saja jenis dari kekurangan energi protein ? 3. Apa tanda dan gejala kekurangan energi protein ? 4. Bagaimana pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein ? 5. Bagaimana penatalaksanaan kekurangan energi protein ? 6. Bagaimana pencegahan kekurangan energi protein ? 7. Bagaimana distribusi frekuensi kekurangan energi protein ? 8. Apa saja faktor resiko kekurangan energi protein ? 1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini antara lain; 1. Mengetahui definisi dari kekurangan energi protein 2. Mengetahui jenis dari kekurangan energi protein 3. Mengetahui tanda dan gejala kekurangan energi protein 4. Mengetahui pemeriksaan dan diagnosa kekurangan energi protein 5. Mengetahui penatalaksanaan kekurangan energi protein 6. Mengetahui pencegahan kekurangan energi protein 7. Mengetahui distribusi frekuensi kekurangan energi protein 8. Mengetahui faktor resiko kekurangan energi protein

2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kekurangan Energi Protein 2.1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Pudjiani, 2000). Sedangkan menurut Depkes RI (1999) Kurang Energi Protein (KEP) adalah masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. KEP sendiri lebih sering dijumpai pada anak prasekolah (Soekirman, 2000). Jadi dapat disimpulkan bahwa Kekurangan Energi Protein adalah keadaan kurang gizi yang dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu konsumsi energi dan protein kurang dan gangguan kesehatan. 2.1.2 Klasifikasi Kekurangan Energi Protein Penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya KEP. Tingkat KEP I dan KEP II disebut tingkat KEP ringan dan sedang dan KEP III disebut KEP berat. KEP berat ini terdiri dari marasmus, kwashiorkor dan gabungan keduanya. Maksud utama penggolongan ini adalah untuk keperluan perawatan dan pengobatan. Untuk menentukan klasifikasi diperlukan batasan-batasan yang disebut dengan ambang batas. Batasan ini di setiap negara relatif berbeda, hal ini tergantung dari kesepakatan para ahli gizi di negara tersebut, berdasarkan hasil penelitian empiris dan keadaan klinis. Klasifikasi KEP menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI Tahun 1999 dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu KEP I(ringan), KEP II (sedang) dan KEP III (berat). Baku rujukan yang digunakan adalah WHO-NCHS, dengan indeks berat badan menurut umur.

3

Klasifikasi KEP menurut Depkes RI (1999) : Kategori

Status

BB/U (%Baku WHO-NCHS, 1983)

Gizi Sedang

70 % – 79,9 % Median BB/U

KEP II (KEP Sedang) Gizi Kurang

60 % – 69,9 % Median BB/U

KEP I (KEP Ringan)

KEP III (KEP Berat)

Gizi Buruk

< 60 % Median BB/U

Sumber: Depkes RI (1999) Sedangkan klasifikasi kurang Energi Protein menurut standar WHO:

Klasifikasi Malnutrisi sedang

Malnutrisi Berat

Edema

Tanpa edema

Dengan edema

BB/TB

-3SD s/d -2 SD

< -3 SD

TB/U

-3SD s/d -2 SD

< -3 SD

2.1.3 Tanda dan Gejala Kekurangan Energi Protein Berikut beberapa tanda klinis dari Kekurangan Energi Protein (KEP): 1. Pada Rambut terdapat tanda-tanda kurang bercahaya (lack of clustee): rambut kusam dan kering;

Rambut tipis dan jarang (thinness and

aparseness); Rambut kurang kuat/ mudah putus (straightness); Kekurangan pigmen rambut (dispigmentation): berkilat terang, terang pada ujung, mengalami perubahan warna : coklat gelap/ terang, coklat merah/ pirang dan kelabu; Tanda bendera (flag sign) dikarakteristikkan dengan pita selang-seling dari terang/ gelapnya warna sepanjang rambut dan mencerminkan episode selang-seling. 2. Sementara tanda-tanda pada wajah diantaranya terjadi penurunan pigmentasi (defuse depigmentation) yang tersebar berlebih apabila disertai anemia; 3. Wajah seperti bulan (moon face), wajah menonjol ke luar, lipatan naso labial; Pengeringan selaput mata (conjunction xerosis); Bintik bilot (Bilot’s sport); Pengeringan kornea (cornea xerosis).

4

4. Tanda-tanda pada mata, antara lain pada Selaput mata pucat; Keratomalasia, keadaan permukaan halus/ lembut dari keseluruhan bagian tebal atau keseluruhan kornea;

Angular palpebritis. Sedangkan pada bibir

terjadi Angular stomatitis; Jaringan parut angular; Cheilosis. 5. Tanda-tanda pada lidah, Edema dari lidah; Lidah mentah atau scarlet; Lidah magenta; Atrofi papila (papilla atrophic). 6. Tanda-tanda pada gigi: Mottled enamel; Karies gigi; Pengikisan (attrition); Hipolasia enamel (enamel hypoplasia); Erosi email (enamel erosion). 7. Tanda-tanda pada gusi : Spongy bleeding gums, yaitu bunga karang keunguan atau merah yang membengkak pada papila gigi bagian dalam dan atau tepi gusi. 8. Tanda pada Kulit, antara lain : Xerosis, yaitu keadaan kulit yang mengalami kekeringan tanpa mengandung air;Follicular hyperkeratosis; Petechiae. Bintik haemorhagic kecil pada kulit atau membran berlendir yang sulit dilihat pada orang kulit gelap; Pellagrous rash atau dermatosis (spermatitis). Lesi kulit pelagra yang khas adalah area simetris, terdemarkasi (batas) jelas, berpigmen berlebihan dengan atau tanpa pengelupasan kulit (exfoliasi); Flaky-paint rash atau dermatosis;Scrotal and vulval dermatosis; Lesi dari kulit skrotum atau vulva, sering terasa sangat gatal. Infeksi sekunder bisa saja terjadi. 9. Sedangkan tanda-tanda pada kuku, diantaranya : Koilonychia, yaitu keadaan kuku bagian bilateral cacat berbentuk sendok pada kuku orang dewasa atau karena sugestif anemia (kurang zat besi). Kuku yang sedikit berbentuk sendok dapat ditemukan secara umum hanya pada kuku jempol dan pada masyarakat yang sering berkaki telanjang Marasmus 1. sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit 2. wajah seperti orang tua 3. cengeng dan rewel 4. kulit keriput 5. jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada sering disertai diare kronik dan penyakit kronik ,tekanan darah dan jantung serta pernafasan kurang.

5

Kwashiorkor 1. Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh, 2. wajah sembab dan membulat 3. mata sayu 4. rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut

dan

rontok 5. cengeng, rewel dan apatis 6. pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak

merah ke coklatan di

kulit dan mudah terkelupas (crazy pavement dermatosis) sering disertai penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia. Marasmus-Kwashiorkor Gabungan dari marasmus dan kwashiorkor 2.1.4 Pemeriksaan dan Diagnosa Kekurangan Energi Protein Kekurangan Energi Protein mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangannya, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit. Pengkajian status gizi adalah proses yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang mengalami kekurangan energi protein. Mengkaji status gizi sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat. Pengkajian status gizi pada usia lanjut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Anamnesis Hal-hal yang perlu diketahui antara lain: Identitas, orang terdekat yang dapat dihubungi, keluhan dan riwayat penyakit, riwayat asupan makanan, riwayat operasi yang mengganggu asupan makanan, riwayat penyakit keluarga, aktivitas sehari-hari, riwayat buang air besar atau buang air kecil, dan kebiasaan lain yang dapat mengganggu asupan makanan (Supariasa, 2002). b. Pengukuran antopometri Pengukuran antropometri adalah pengukuran tentang ukuran, berat badan, dan proporsi tubuh manusia dengan tujuan untuk mengkaji status nutrisi dan ketersediaan energi pada tubuh serta mendeteksi adanya masalahmasalah nutrisi pada seseorang. (Nurachmah, 2001).

6

Pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk menetukan status gizi meliputi tinggi badan, berat badan, tinggi lutut (knee high), tebal lipatan kulit (pengukuran skinfold), dan lingkar lengan atas. Cara yang paling sederhanan dan banyak digunakan adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) (Fatmah, 2010). Adapun beberapa pengukuran antropometri yang dapat dilakukan pada adalah sebagai berikut: 1) Tinggi Badan Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Tinggi Badan merupakan parameter paling penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat, serta dapat digunakan sebagai ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan BB terhadap TB (quac stick) faktor umur dapat dikesampingkan. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoise dengan kepekaan 0,1 cm dengan menggunakan satuan sentimeter atau inci. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki. 2) Berat Badan Merupakan ukuran antropometri terpenting dan paling sering digunakan. Pengukuran berat badan juga dapat memberikan gambaran status gizi seseorang dengan mengetahui indeks massa tubuh. Pengukuran berat badan ini menggunakan timbangan injak seca. 3) Tinggi Lutut Tinggi lutut erat kaitannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi badan bisa didapatkan dari tinggi lutut bagi orang tidak dapat berdiri atau lansia. Tinggi lutut dapat dilakukan pada usia lanjut yang tulang punggungnya mengalami osteoporosis, sehingga terjadi penurunan tinggi badan (Fatmah, 2010). Dari tinggi lutut dapat dihitung tinggi badan sesungguhnya dengan rumus persamaan Chumlea (1988): Tinggi Badan (laki-laki)

=

64,19- (0,04-usia dalam tahun) +(2,02 – tinggi lutut dalam cm)

7

Tinggi Badan (perempuan) =

84,88 - (0,24-usia dalam tahun) +(1,83 – tinggi lutut dalam cm)

4) Tebal lipatan kulit Pengukuran ketebalan lipatan kulit merupakan salah satu cara menentukan presentasi lemak pada tubuh. Lemak tubuh merupakan penyusun komposisi tubuh yang merupakan salah satu indikator yang bisa digunakan untuk memantau keadaan nutrisi melalui kadar lemak dalam tubuh .Pengukuran lipatan kulit mencerminkan lemak pada jaringan subkutan, massa otot dan status kalori. Pengukuran ini dapat juga digunakan untuk mengkaji kemungkinan malnutrsi, berat badan normal atau obesitas (Nurachmah, 2001) Untuk menentukan tebal lipatan kulit digunakan sebuah jangka lengkung (caliper) yang dijepit pada bagian-bagian kulit yang telah ditentukan. Adapun standar tempat pengukuran Skinfold menurut Heyward Vivian H dan Stolarczyk L.M. dalam Supariasa (2002) ada sembilan tempat, yaitu dada,subscapula, midaxilaris, suprailiaka, perut, trisep, bisep, paha, dan betis. Berikut

menunjukkan tempat-tempat dan petunjuk

pengukuran skinfold.

8

(Sumber: Supariasa, 2002) Hasil pengukuran tebal lipatan lemak bawah kulit pada empat sisi tubuh yakni trisep, bisep, suprailiaka, dan subskapula dapat digunakan untuk melihat presentase lemak tubuh melalui rumus matematis menurut Durmin & Wormersley dalam Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004). Persen lemak tubuh :

9

Sumber: Durmin & Wormersley Body Fat Assessed from total body Density and its estimation from skinfold Thickness dalam Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) Hasil dari persentase lemak tubuh berdasarkan rumus matematis dari Durmin & Wormersley kemudian dibandingkan dengan kategori nilai presentasi lemak tubuh berdasarkan jenis kelamin dan umur pada tabel berikut (Morrow et al, 2005)

Rumus persamaan prediksi persentasi total lemak tubuh yang ditemukan oleh Durmin & Wormersley dengan pengukuran tebal lemak bawah kulit berdasarkan empat titik pada tubuh ini telah banyak digunakan dalam penelitian luar maupun dalam negeri. Budiharjo, Romi, & Prakosa (2004) telah menggunakan persamaan Durmin & Wormersley

tersebut untuk melihat pengaruh latihan fisik

terhadap persentase lemak tubuh wanita lanjut usia di Yogyakarta. 5) Lingkar lengan atas Lingkar lengan atas merupakan pengkajian umum yang digunakan untuk menilai status nutrisi. Pengukuran LLA dilakukan dengan menggunakan sentimeter kain (tape around). Pengukuran dilakukan pada titik tengah lengan yang tidak dominan (Nurachmah, 2001). 6) Indeks Massa Tubuh (IMT) IMT merupakan indikator status gizi yang cukup peka digunakan untuk menilai status gizi orang dewasa diatas umur 18 tahun dan mempunyai hubungan yang cukup tinggi dengan persen lemak dalam tubuh (Fatmah,

10

2010). IMT juga merupakan sebuah ukuran “berat terhadap tinggi” badan yang umum digunakan untuk menggolongkan orang dewasa ke dalam kategori Underweight (kekurangan berat badan), Overweight (kelebihan berat badan) dan Obesitas (kegemukan). Rumus atau cara menghitung IMT yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2) (Andaka,2008).

Pengukuran berat badan menggunakan timbangan dengan ketelitian hingga 0,5 kg dengan pakaian seminimal mungkin dan tanpa alas kaki. Pengukuran tinggi badan dapat menggunakan alat pengukur tinggi badan dengan kepekaan 0,1 cm. pengukuran dilakukan pada posisi berdiri lurus dan tanpa menggunakan alas kaki. Status gizi ditentukan berdasarkan indeks IMT.

7) Pemeriksaan Biokimia Dalam pengkajian nutrisi umumnya digunakan nilai-nilai biokimia seperti kadar total limposit, serum albumin, zat besi, serum transferin, kreatinin, hemoglobin, dan hematokrit. Nilai-nilai ini, bersama dengan hasil pemeriksaan antropometrik akan membantu memberi gambaran tentang status nutrisi dan respon imunologi seseorang (Arisman, 2004). Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan resiko status nutrisi kurang bila hasilnya menunjukkan penurunan hemoglobin dan hematokrit, penurunan nilai limposit, serum albumin kurang dari 3,5 gram/dl dan peningkatan atau penurunan kadar kolesterol (Nurachmah, 2001). a. Hemoglobin dan Hematokrit

11

Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Pengukuran Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) adalah pengukuran yang mengindikasikan defisiensi berbagai bahan nutrisi. Pada malnutrisi berat, kadar hemoglobin dapat mencerminkan status protein. Pengukuran hemoglobin menggunakan satuan gram/desiliter dan hematokrit menggunakan satuan persen.

Adapun kadar normal

hemoglobin berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin menurut WHO dalam Arisman (2004) terdapat pada tabel dibawah ini:

b. Transferrin Nilai serum transferin adalah parameter lain yang digunakan dalam mengkaji status protein viseral. Serum transferin dihitung menggunakan kapasitas total ikatan zat besi atau total iron binding capacity (TIBC), dengan menggunakanrumus dibawah ini (Nurachmah, 2001) Satuan yang digunakan dalam rumus diatas adalah miligram/desiliter. Nilai normal transferin serum adalah 170-250 mg/dl. c. Serum Albumin Nilai serum albumin adalah indikator penting status nutrisi dan sintesa protein. Kadar albumin rendah sering terjadi pada keadaan infeksi, injuri, atau penyakit yang mempengaruhi kerja hepar, ginjal, dan saluran pencernaan. d. Keseimbangan nitrogen Pemeriksaan keseimbangan nitrogen digunakan untuk menentukan kadar pemecahan protein di dalam tubuh. Dalam keadaan normal tubuh

12

memperoleh nitrogen melalui makanan dan mengel...


Similar Free PDFs