Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa PDF

Title Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa
Author Aji Kusuma
Pages 279
File Size 1.8 MB
File Type PDF
Total Downloads 291
Total Views 471

Summary

Sekedear Berbagi Ilmu & Buku Attention!!! Please respect the author’s copyright and purchase a legal copy of this book AnesUlarNaga. BlogSpot. COM KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA DR. H.J. DE GRAAF dan DR. TH.G. TH. PIGEAUD Daftar Isi Pengantar Penerbit Sepatah Sambutan Kata Pengantar Pendahulua...


Description

Sekedear Berbagi Ilmu & Buku

Attention!!! Please respect the author’s copyright and purchase a legal copy of this book

AnesUlarNaga. BlogSpot. COM

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA DR. H.J. DE GRAAF dan DR. TH.G. TH. PIGEAUD

Daftar Isi Pengantar Penerbit Sepatah Sambutan Kata Pengantar Pendahuluan Bab I Permulaan Penyebaran Agama Islam di Jawa Bab II Lahirnya dan Jayanya Kerajaan Demak pada Dasawarsa-Dasawarsa Terakhir Abad ke-15 dan Paruh Pertama Abad ke-16 Bab III Mundur dan Runtuhnya Kesultanan Demak pada Pertengahan Abad ke-16 Bab IV Sejarah Kerajaan-Kerajaan yang Lebih Kecil di Daerah-Daerah Pesisir Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Pathi dan Juwana Bab V Sejarah Kerajaan-Kerajaan yang Lebih Kecil di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Kudus Bab VI Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Japara Kalinyamat Bab VII Riwayat Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-16: Cirebon Bab VIII Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-16:Banten Bab IX Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara di Sebelah Timur Demak pada Abad ke-16: Jipang-Panolan Bab X Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke-16: Tuban Bab XI Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pads Abad ke-16: Gresik-Giri Bab XII Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara JawaTimur pada Abad ke-16: Surabaya Bab XIII Sejarah Madura Barat pada Abad ke-16: Madura Barat Bab XIV

Sejarah Madura pada Abad ke-16: Madura Timur, Sumenepdan Pamekasan Bab XV Sejarah Ujung Timur Pulau Jawa pada Abad ke-16: Bagian Barat dari Ujung Timur Jawa, Pasuruan Bab XVI Sejarah Ujung Timur Pulau Jawa pada Abad ke-16,: Dari Probolinggo Sampai Panarukan Bab XVII Sejarah Ujung Timur Pulau Jawa pada Abad ke-16: Bagian Timur Ujung Timur: Blambangan Bab XVIII Sejarah Kerajaan Palembang pada Abad ke-16 Bab XIX Sejarah Kerajaan-Kerajaan Jawa Tengah Pedalaman, Pengging dan Pajang pada Abad ke-16 Bab XX Sejarah Kerajaan Mataram pada Abad ke-16 Bab XXI Sebab-Sebab Kekalahan Kerajaan-Kerajaan Jawa Timur dan Pesisir dalam Perang Melawan Mataram pada Abad ke-16 dan ke-17 Daftar Singkatan Daftar Kepustakaan Indeks

Pengantar Penerbit Karya Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud, De Eerste Moslimse Vorstendommen, yang sekarang diterbitkan sebagai buku kedua Seri Terjemahan Javanologi, mempunyai kedudukan dan arti tersendiri di dalam riwayat perkembangan penulisan sejarah Jawa-lama. Buku mi secara khusus menyoroti abad ke-15 dan ke-16 yang merupakan permulaan periode Islam di Jawa, sebuah episode sejarah yang sebelumnya banyak dilalaikan, bahkan hingga sekarang masih kurang sekali dijamah para sejarawan. Berbeda dengan penulis-penulis Barat terdahulu yang terutama mendasarkan uraiannya pada bahan-bahan keterangan asing, kedua sarjana kawakan Belanda ini memelopori penggunaan sumber-sumber pribumi. Dengan demikian, lebih dari sekadar mengisi kekosongan dalam penulisan sejarah Jawa, cakupan pembahasan dalam buku ini pun lebih menyeluruh. Jika gambaran sejarah Jawa oleh penulis-penulis asing sebelumnya lebih banyak berkisar di sekitar silsilah raja dan soal-soal keagamaan, maka dalam buku ini aspek-aspek sosial-ekonomis juga ditonjolkan. Tidak kurang pentingnya, kalau bukan yang terpenting dalam kaitan dengan studi Javanologi, ialah bahwa buku ini memberikan perspektif baru mengenai dinamika masyarakat Jawa dan kebudayaannya - paling tidak di dalam kurun zaman yang dibicarakan. Selain mengoreksi anggapan seolah-olah keruntuhan dinasti Majapahit berlangsung mendadak yang pada gilirannya diartikan sebagai keruntuhan suatu peradaban, De Graaf dan Pigeaud juga mengimbangi kecenderungan penulis-penulis lain yang melebih-lebihkan peranan istana dan melecehkan peristiwa-peristiwa dan perkembangan masyarakat di luarnya. Demikianlah, terjemahan buku ini disajikan sehingga memungkinkan pembaca Indonesia, khususnya mereka yang berminat mempelajari sejarah dan kebudayaan Jawa, untuk bisa pula dengan mudah mengikuti hasil penelitian dan pengkajian Dr. De Graaf dan Dr. Pigeaud. Penerbitan buku ini sekaligus diharapkan untuk berfungsi sebagai cara penerusan tradisi keilmuan yang telah dirintis oleh kedua penulisnya, kepada setiap mahasiswa Indonesia yang berketetapan menekuni sejarah.

Jakarta, awal Agustus 1985

Sepatah Kata BUKU yang disajikan sekarang ini merupakan buku kedua dalam Seri Terjemahan Javanologi, usaha bersama antara Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Jakarta dan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) di Yogyakarta. Buku pertama dalam rangkaian terbitan tersebut mengenai Sastra Jawa Mutakhir sejak tahun 1945. Kemudian menyusul enam buku mengenai Sejarah Jawa antara abad ke-15 dan ke-18. Dalam buku ke-2 ini Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud berusaha menggambarkan sebuah episode sejarah Jawa antara zaman pengaruh Hindu-Budha dan masuknya agama Islam di Indonesia berdasarkan sumber-sumber sejarah Jawa asli, seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, Babad Mataram, dan Babad Sangkala. Dengan demikian, para pengarang tersebut telah mengoreksi "wajah" sejarah Jawa olahan para ilmuwan Eropa yang selama ini diwarnai oleh informasi yang bersumber pada data-data asing saja. De Graaf dan Pigeaud berhasil melengkapi historiografi Jawa dengan menggunakan sumber-sumber Jawa sendiri. Hasil usaha kedua sarjana tangguh ini patut dihargai dan dijadikan pedoman dan bekal bagi penelitian Sejarah Jawa selanjutnya. Kepada Perwakilan KITLV dan Penerbit Grafiti Pers kami ucapkan terima kasih atas usahanya menerjemahkan karya ini dan menyuguhkannya dalam bentuk yang menarik.

Yogyakarta, April 1985

Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Dr. Soedarsono

Kata Pengantar Tulisan dalam bentuk terjemahan yang disajikan ini adalah hasil kerja sama dua sarjana Belanda kenamaan, Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th. G.Th. Pigeaud, yang keduanya, sampai usia yang telah lanjut (kedua-duanya lahir pada tahun 1899) telah dan masih memberikan perhatian sepenuhnya kepada Indonesia, khususnya Jawa, dalam bidang sejarah bagi Dr. de Graaf dan kesusastraan Jawa bagi Dr. Pigeaud. Lagi pula kedua-duanya mengenal Indonesia dengan baik, karena mereka bertahun-tahun bekerja dan menetap di Indonesia. Dr. Pigeaud lama di Yogyakarta sebagai seorang "taalambtenaar" dan Dr. de Graaf di kota-kota Malang, Probolinggo, Surakarta, dan Jakarta sebagai guru dan kemudian guru besar, Karangan-karangan Dr. de Graaf mencapai lebih dari 100 buah ditambah karangan buku lebih dari dua puluh, yang utama ialah Geschiedenis van Indonesie (s'Gravenhage,1949) dan mengenai pelakupelaku utama sejarah kerajaan-kerajaan dari Jawa Tengah, seperti Sultan Agung, Sunan Mangkurat, tentang Kajoran. Jasa utama beliau terletak pada digunakannya sumber dan naskah pribumi Sehingga karangan-karangan beliau terasa lebih menggambarkan pandangan dan perasaan yang "asli" Indonesia, lebih-lebih karena disertai pula dengan ilustrasi-ilustrasi detail yang meng-"hidup"-kan gaya nafasi dan memudahkan pengertian. Karangan-karangan Dr. Pigeaud pun sangat besar artinya bagi perkembangan penelitian ilmiah terhadap masyarakat Jawa terutama bidang kehidupan budayanya. Karya-karya beliau yang perlu dicatat ialah: Javaanse Voiksvertoningen (Jakarta, 1938), kemudian Java in the 14th Century yang terdiri dari lima jilid (Den Haag,1960-1963), dan Literature of Java (tiga jilid, Den Haag, 1967-1970, ditambah 1 Suplemen, th.1980) yang ketiganya merupakan karya besar yang menunjukkan ketekunan kerja dan luasnya pengetahuan yang beliau miliki tentang kebudayaan Jawa. Hasil karya itu pun masih ditambah dengan sebuah kamus JawaBelanda (Gropingen, Batavia, 1938) dan karangan-karangan di pelbagai majalah. Yang perlu diketahui juga ialah bahwa selama beliau di Yogyakarta, sebelum Perang Dunia II, sedang menyusun suatu ensiklopedi bahasa Jawa. Sayang, pekerjaan tersebut hingga kini masih belum terselesaikan dan disimpan di Jakarta. Terjemahan ini, yang judul aslinya De eerste Moslimse Vorstendommen op Java (s'Gravenhage,1974), berusaha menyajikan kepada para pembaca Indonesia suatu usaha mengisi kekosongan penulisan tentang sejarah politik di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16, suatu episode sejarah yang oleh orang-orang di Jawa Tengah dianggap sebagai suatu transisi dari kekuasaan Kerajaan Majapahit yang "Budha" ke Kerajaan Mataram yang Islam. Di situ diuraikan perkembangan kehidupan politik di pelbagai pusat kekuasaan di wilayah Pulau Jawa bagian utara, mulai Demak ke barat dan ke timur, dari Banten hingga Blambangan di ujung paling timur Jawa. Beberapa kekuasaan setempat di luar Pesisir: Pengging, Pajang, Mataram, juga Palembang mendapat

perhatian, tidak ayal lagi karena hubungannya dengan perkembangan agama dan kebudayaan Islam di Jawa. Bab pertama dan terakhir - buku ini terdiri dari 21 bab merupakan bab-bab yang mencoba mengintegrasikan tulisan ini dalam satu kerangka kaitan yang berarti, yaitu: meluasnya kekuasaan Islam dan usaha dominasi Mataram terhadap daerah-daerah Pesisir. Dimulainya dengan memaparkan sejarah Kerajaan Demak tentu saja mengikuti pendapat umum bahwa sejarah di Jawa pada mula abad ke-15 itu mengalami pemutusan yang tiba-tiba dan final, dan bahwa jatuhnya kekuasaan Majapahit yang sekaligus dianggap eksponen utama kebudayaan HinduBudha diikuti dengan timbulnya kekuasaan Demak yang sekaligus dianggap eksponen utama kebudayaan Islam. Para penulis sejak semula telah memperingatkan agar anggapan yang demikian ditinggalkan, karena masih banyak pusat pengislaman lain yang ada di pantai utara Jawa: Madura, Surabaya, Gresik, Tuban, mungkin Jepara, Juwana, kemudian Cirebon di barat dan Banten yang hingga kini masih belum pasti benar akan peranannya di dalam peng-Islam-an Pulau Jawa. Dengan menggunakan Demak dan kemudian Pajang sebagai pusat kegiatan politik maupun pusat penyebaran para pemuka Islam, berturut-turut dibicarakan Pati, Juwana, Kudus, Kalinyamat, kemudian mengarah ke barat hingga Banten. Dari Demak ke timur kemudian dibicarakan Jipang, Tuban, Gresik, Surabaya, Madura, lalu akhirnya menjamah daerah kekuasaan penguasa-penguasa yang masih beragama Hindu di ujung pulau sebelah timur: Blambangan. Untuk tiap daerah kekuasaan yang semua disebut "vorstendommen" (kerajaan kecil), ditelusuri sejarahnya dalam abad ke-15 dan ke-16 maupun abad-abad sekitarnya, dengan memakai berita-berita lama yang historis yang dapat diandalkan, terutama tulisan Tome Pires, Suma Oriental yang terkenal maupun catatan-catatan yang dibuat oleh pelaut dan pedagang Belanda, di samping banyak dan bermacam "legenda" (cerita) yang terdapat dalam tulisan-tulisan orang pribumi. Dengan demikian, maka kepada pembaca disajikan sumber dan bahan yang hingga sekarang kurang atau tidak dikenal orang, sehingga tulisan ini menjadi amat berharga, selain itu karena sampai kini masih kurang sekali orang menulis sejarah tentang zaman peralihan ini. Sesudah dibicarakan Kerajaan Palembang, terutama karena hubungan dan kaitannya dengan Kerajaan Demak, maka dengan menyinggung Pengging dan Pajang sebagai pendahulunya yang langsung, maka buku ini berakhir dengan mengemukakan keadaan dan usaha-usaha pemekaran daerah Mataram pada abad ke-16. Selain memaparkan perkembangan sejarah politik, para penulis buku ini juga berusaha di sana-sini mengemukakan keadaan kehidupan penduduk maupun keadaan ekonomi zaman tersebut, tetapi sesuai dengan judulnya, maka terutama disajikan peranan penting pusat-pusat kekuasaan Islam dan para tokoh politik maupun agama yang telah demikian besar jasanya dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, tentunya termasuk pula para "Wali Sanga". Buku ini dilengkapi pula dengan anotasi-anotasi yang ekstensif sebagai pelengkap dan petunjuk yang amat berharga, terutama dari tangan Dr. Pigeaud.

Tanpa mengurangi pentingnya jasa dan usaha kedua penulis buku ini untuk menyingkap tabir serta menjernihkan sejarah masa peralihan di Jawa ini - tetapi menurut pengakuan beliau-beliau sendiri, tidak ada dan belum lengkapnya bahanbahan, sumber-sumber untuk digali dan diselidiki - mengharuskan kita untuk memikirkan dan melengkapi lebih lanjut persoalan-persoalan tersebut yang masih belum jelas. 1. Penelitian sejarah selalu memerlukan pembatasan temporal dan spasial yang jelas, sehingga kita dapat menempatkan peristiwa-peristiwa dalam kaitan-hubungan yang bulat dan setuntas-tuntasnya, sehingga tidak diperoleh gambaran yang timpang dan mengambang. Melihat keadaan Pulau Jawa sepanjang sejarahnya, maka kita selalu tertarik pada adanya hubungan pergaulan antara pelbagai daerah yang letaknya berjauhan. Walaupun secara legendaris belaka, hubungan Jawa bagian barat dengan Jawa bagian timur digambarkan telah ada sejak dahulu kala seperti yang diceritakan oleh Babad Tanah Djawi. Hal ini didukung pula oleh kenyataankenyataan selanjutnya yang membawa orang-orang yang "lelana" (dan kemudian lagi para santri yang mencari "paguron-paguron" ternama seperti yang dikisahkan dalam babad Cirebon) ke pelbagai penjuru tanah Jawa (dan Seberang), maupun kenyataan juga bahwa orang-orang dari Yogyakarta dan juga dari Surakarta melakukan perlawatan-perlawatan dan banyak yang lalu menetap di daerah selatan ke arah timur hingga Jember melalui jalan terobos inroads yang agaknya terletak di bagian selatan Pulau Jawa yang tandus itu entahlah hal itu kapan dimulainya. Kenyataan-kenyataan sejarah yang demikian tadi kiranya akan mengundang pertanyaan, apakah cukup memberikan gambaran yang jelas, jika kita melihat jangkauan hubungan yang luas tadi hanya dari sudut perkembangan kekuasaankekuasaan Islam di pantai utara Jawa dengan mengabaikan pusat kekuasaan politik yang terletak di pedalaman yang (mungkin) terletak di Priangan Selatan, Pasir, daerah Kedu, dan Mataram sendiri, Ponorogo (dengan Betara Katong yang legendaris), Kediri, Ngrowo, serta Lumajang yang merupakan pusat-pusat kekuasaan yang bukan baru dan yang memang demikian sedikit kita ketahui perkembangannya. Dengan demikian, maka peta politik Pulau Jawa pada kurun waktu yang kita pandang sebagai transisi ini akan lebih lengkap kiranya karena di samping kekuasaan Islam masih ada kekuatan-kekuatan politik lainnya yang cukup penting untuk diperhatikan, terutama kedudukan penguasa daerah yang satu terhadap yang lain. Dalam konstelasi politik pada zaman kerajaan tradisional di Jawa (yang memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran pusat-pusat kekuaasaan karena pentingnya unsur kekuatan fisik), kiranya masih kita dapati pola kepatuhan - jika tidak boleh dikatakan: pengabdian antara penguasa pusat dan pengikut-pengikutnya di daerah yang didasarkan terutama atas tradisi dan kebiasaan, diperkuat dengan tali kekerabatan dan perkawinan maupun upayaupaya yang lain. Konstruksi-konstruksi yang simbolis untuk menjaga terjadinya

penyelewengan-penyelewengan dari pola politik yang sudah dianggap mantap jadi: keramat karena direstui oleh kekuatan-kekuatan gaib di luar jangkauan kemampuan manusia - sangat banyak dijumpai dalam literatur Jawa. Dalam alam pikiran yang demikian, maka tidak mudah agaknya bagi para penguasa lokal untuk menganggap dan membanggakan dirinya sebagai seorang raja (Jawa: "nata", "raja", "ratu") yang berdiri merdeka di atas penguasa-penguasa lain, walaupun dalam kenyataannya mereka mempunyai kekuatan nyata yang cukup besar untuk menumbangkan penguasa pusat. Melanggar pola tradisi rupanya dianggap suatu risiko yang amat berat, hingga lebih menguntungkan melakukan pelanggaranpelanggaran yang sifatnya lokal (mendirikan gerbang bea (Jawa: "rangkah") atau malahan mengambil sebagian kecil daerah dari daerah penguasa yang berbatasan daerah lain) daripada menentang dan menantang tata cara yang telah ditetapkan dari "atas". Dengan demikian, agak sulitlah bagi kita untuk melihat kesatuankesatuan kekuatan politik di Jawa sebagai kesatuan yang sama derajat dan kedudukannya. Keraton Demak atau Keraton Mataram tidak dapat disamakan dengan kabupaten atau kadipaten Pati, Madiun, atau Pasuruan, juga tidak dengan Surabaya yang ternyata sangat kuat itu. Mereka itu tidak menyebut dirinya lebih dari "bupati" atau "adipati", menyebut "Panembahan" mungkin dan tidak dengan gelar yang dipergunakan raja-raja. Lebih baik dalam penelitian peta politik Jawa pada zaman itu kita berusaha mencari dan memperhatikan pola ikatan afiliasi dan aliansi maupun pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalamnya. 2. Jika menilik pengetahuan kita tentang sejarah sosial dan ekonomi di Jawa waktu itu, maka lebih parah lagi kekurangan-kekurangannya, suatu hal yang diakui sepenuhnya oleh Dr. de Graaf dan Dr. Pigeaud. Tentang hubungan dagang keluar dari orang Jawa banyak yang kita ketahui, karena banyak sumber asing yang menyebut dan mencatatnya sehubungan dengan kepentingan perdagangan mereka, tetapi tentang pola produksi, distribusi, dan konsumsi di dalam negeri sendiri sangat sedikit diketahui. Mungkin kita harus memulai penelitian dari yang telah dirintis oleh Dr. J. Noorduyn1 tentang tempat-tempat penyeberangan utama zaman dahulu yang pada umumnya juga merupakan tempat-tempat penarikan bea dan cukai terhadap barang-barang yang lewat, yang dilakukan oleh penguasapenguasa setempat. Hal itu disebut "pabean", "bandar (an)" atau "rangkah" jika didirikan di jalan-jalan urat nadi perdagangan. Juga perlu diselidiki sistem "pasar" yang berpedoman pada perhitungan hari "pasaran" yang lima itu. Pasar-pasar tadi selain merupakan tempat penjualan barang-barang produksi lokal juga penting artinya bagi hash-hash kerajinan yang khusus menjadi ciri khas tempat-tempat atau desa-desa tertentu, apakah itu tenunan yang khusus ataupun sangkar burung perkutut yang halus buatannya yang dijajakan lewat pasar-pasar tersebut sampai

1

Dr. J. Noorduyn, Further Topographical Notes on the Ferry Charter of 1359. BKI 124 (1968), hal. 460-473

jauh dari tempat asainya. Masih perlunya diadakan penelitian-penelitian setempat terhadap kota-kota tua - jika perlu ditopang dengan ekskavasi-ekskavasi - sangat terasa, ditambah dengan penyelidikan-penyelidikan tentang kedudukan dan peranan orang-orang Cina di kota-kota pantai utara Jawa, terutama sebagai pemula dan pendorong usaha dan perusahaan di pelbagai bidang kegiatan ekonomi, tetapi juga peranan mereka di bidang kebudayaan, apalagi pada zaman mulai berkembangnya agama Islam, suatu masalah yang pada waktu sekarang sedang hangat dibicarakan orang. Beberapa pihak telah mulai mengadakan penelitian terhadap kola-kota pantai ini secara lebih luas, antara lain Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, tetapi hasil-hasilnya masih jauh dari cukup untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kehidupan kota-kota tersebut pada waktu lampau. Penyelidikan-penyelidikan Von Faber2 beberapa waktu yang lalu terhadap Surabaya perlu mendapat perhatian yang lebih besar, meskipun banyak dipergunakan cerita-cerita yang sulit diidentifikasikan secara kronologis-historis dalam konteks sejarah kota ini maupun kebenaran historisnya. Penggunaan legenda-legenda lokal kiranya perlu digalakkan karena dalam sejarah kebudayaan, anggapan dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat juga merupakan "fakta sejarah" yang mempunyai arti sendiri, di samping kemungkinan penggunaannya sebagai bahan perbandingan dan pengkajian yang akan memungkinkan ditemukannya kenyataan-kenyataan sejarah lebih lanjut, asal saja penggunaan cerita-cerita lokal tadi tidak dihadap-tentangkan dengan tulisan/catatan asing dari luar sebagai sumber sejarah yang "tidak dapat dipercaya" dengan yang "dapat dipercaya", apalagi dalam karya tulis orang Jawa lazim sekali dipaparkan sesuatu secara terselubung yang mempersilakan pembaca menginterpretasikannya sedekat atau setepat-tepatnya dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Tulisan-tulisan Prof. C.C. Berg3 tentang interpretasi terhadap tulisan-tulisan orang Jawa merupakan contoh-contoh yang berharga, bagaimana orang harus mampu membedakan antara apa yang tersurat dan apa yang tersirat (atau yang dimaksud) oleh tulisan tersebut. Masih dalam kategori sejarah budaya Jawa, kiranya masih ada satu hal yang perlu mendapat perhatian walaupun memang bukan merupakan tujuan dari penulisan buku yang kami sajikan ini, tetapi telah disinggung di sana-sini. Soal itu adalah apa yang disebut "kebudayaan Jaw...


Similar Free PDFs