Kestabilan Kinetik dan Termodinamik Senyawa Kompleks PDF

Title Kestabilan Kinetik dan Termodinamik Senyawa Kompleks
Author F Febiyanto
Pages 16
File Size 413.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 22
Total Views 58

Summary

KESTABILNA KINETIK DAN TERMODINAMIK SENYAWA KOMPLEKS Senyawa kompleks merupakan senyawa yang terbentuk melalui ikatan kovalen koordinasi diantara ion atau atom pusat dengan ligannya. Ikatan kovalen koordinasi merupakan ikatan yang terbentuk dimana pasangan elektron yang digunakan secara bersama-sama...


Description

KESTABILNA KINETIK DAN TERMODINAMIK SENYAWA KOMPLEKS Senyawa kompleks merupakan senyawa yang terbentuk melalui ikatan kovalen koordinasi diantara ion atau atom pusat dengan ligannya. Ikatan kovalen koordinasi merupakan ikatan yang terbentuk dimana pasangan elektron yang digunakan secara bersama-sama berasal dari salah satu atom. Dalam hal ini, ion atau atom pusat dalam senyawa kompleks berperan sebagai asam Lewis atau akseptor pasangan elektron bebas, sedangkan ligan-ligan yang mengelilingi atom pusat berperan sebagai donor elektron atau pemberi pasangan elektron bebas. Salah satu bahasan dalam senyawa kompleks adalah tinjauan kestabilan senyawa kompleks dilihat baik secara termodinamik maupun kinetiknya. Kestabilan realtif senyawa kompleks dibedakan kedalam kestabilan termodinamik dan kinetik. Kestabilan termodinamik yakni berbicara mengenai stabil dan tidak stabil. Kestabilan termodinamik berkaitan erat dengan energi ikatan diantara logam dengan ligan, tetapan kestabilan dan variabel-variabel turunannya atau potensial redoks yang mengukur kestabilan tingkat valensi logam. Sedangkan kestabilan kinetik membahas inert dan labil yang berkaitan dengan sifat senyawa kompleks dalam larutan baik menyangkut laju dan mekanisme reaksi kimiawi, misalnya subtitusi dan transfer elektron atau transfer gugus, termasuk juga pembentukan senyawa kompleks antara atau kompleks teraktivasi. Dengan kata lain kestabilan kinetik sangat berkaitan erat dengan mekanisme laju terhadap perubahan. 1. Kestabilan termodinamika senyawa kompleks Suatu senyawa kompleks relatif dapat dinyatakan stabil yakni secara termodinamika dapat dilihat dari nilai tetapan disosiasinya (Kd) yang relatif kecil dalam bentuk hubungan dengan ∆G=-2.303 RT log Kd. Secara sederhana, jika nilai Kd suatu senyawa kompleks semakin kecil maka kecil kemungkinan senyawa tersebut terdisosiasi atau dengan kata lain kestabilan senyawa kompleks tersebut akan semakin besar. Beberepa pertimbangan dalam menentukan apakah suatu senyawa kompleks stabil secara termodinamik atau tidak adalah potensial ionik atom pusat, konfigurasi elektron dx yang berkaitan dengan harga CFSE, sifat basa Lewis dan ikatan π ligan, serta efek khelat. Pertimbangan ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) Potensial ionik atom pusat. Potensial ionik adalah rasio antara muatan kationik efektif dengan jari-jari kationik efektif. Hal ini dapat dituliskan dengan q/r. Konsep ini sangat berkaitan erat dengan kemampuan menerima elektron dari ligan. Ligan-ligan dengan ukuran kecil, ligan ionik dengan muatan tinggi, dan ligan-ligan multidentat, kestabilan senyawa kompleksnya naik dengan kenaikan potensial ioniknya atau pusatnya. Untuk atom-atom yang pusat divalennya seri transisi pertama dalam senyawa kompleks dengan berbagai ligan, urutan stabilitas termodinamik secara umum adalah: Mn2+ < Fe2+ < Co2+ < Ni2+ < Cu2+ > Zn2+. Kenaikan kestabilan senyawa kompleks Mn2+ hingga Cu2+ adalah paralel dengan kenaikan potensial ionik. Namun, hal ini tidak berlaku bagi Zn2+ yang mempunyai konfigurasi penuh (d10). Oleh karena potensial ionik atom pusat ada hubungannya degan bilangan oksidasi, dimana semakin tinggi bilangan oksidasi semakin stabil senyawa kompleksnya dengan ligan-ligan tertentu (kekuatan ikatan M-L semakin besar bagi M dengan bilangan oksidasi tinggi). b) Konfigurasi elektronik dx yang berkaitan dengan harga CFSE. Konfigurasi elektronik yang memberikan kemungkina CFSE lebih besar akan menghasilkan senyawa kompleks yang lebih stabil. c) Sifat basa Lewis dan ikatan π ligan. Kestabilan senyawa kompleks akan meningkat seiring dengan meningkatnya kekuatan sifat basa Lewis. Secara umum, kestabilan senyawa kompleks halida menurun sesuai urutan I- > Br- > Cl-, dan senyawa kompleks dengan ligan CN- lebih stabil daripada senyawa kompleks dengan ligan halida (X-). d) Efek khelat. Sifat umum suatu senyawa kompleks yang membentuk kelat dengan cincin anggota lima atau enam adalah lebih stabil karena mempunyai nilai tetapan pembentukan yang lebih besar dibandingkan dengan seyawa kompleks sejenis yang tidak memiliki cincin-khelat. Contohnya adalah ion kompleks [Ni(en)3]2+ dan [Ni(NH3)6]2+ berikut:

2+

2+

H2 C H2C H2N

NH3 NH2

CH2

Ni

Ni H2N

NH2

N H2

NH3

H3N

H2 N

CH2 NH3

H3N

H2C

NH3

CH2

[Ni(en)3]2+

[Ni(NH3)6]2+

Gambar 1. Struktur ion kompleks oktahedral [Ni(en)3]2+ dan [Ni(NH3)6]2+.

Ni2+ (aq) + 6 NH3 (aq)

\

[Ni(NH3)6]2+ (aq)

K=108,6

Ni2+ (aq) + 3 en (aq)

\

[Ni(en)3]2+ (aq)

K=1018,3

Pada kedua senyawa kompleks tersebut, ion logam Ni2+ membentuk ikatan koordinasi dengan atom N sebagai atom donor atau basa Lewis dengan bilangan koordinasi yang serupa yakni bilangan koordinasi 6. Namun, senyawa ion kompleks [Ni(en)3]2+ jauh lebih stabil dibandingan dengan senyawa [Ni(NH3)6]2+ (~1010 kali lebih stabil) sebagaimana dilukiskan oleh nilai tetapan pembentukan (Kf) yang jauh lebih besar. Hal ini dapat disebabkan oleh ligan etilendiamin (en) yang mampu membentuk cincin kelat dengan ion logam. Kestabilan termodinamik selalu dikaitkan dengan perubahan energi bebas Gibbs, ∆G; maka hal ini dapat ditunjukkan oleh faktor entropi yang lebih menguntungkan pada pembentukan senyawa kompleks dengan ligan etilendiamin menurut persamaan reaksi berikut: [Ni(NH3)6]2+ (aq) + 3 en (aq)

\

[Ni(en)3]2+ (aq) + 6 NH3 (aq)

Oleh karena nilai koefisien di ruas kanan lebih besar dibandingkan dengan ruas kiri maka dapat disimpulkan bahwa sistem di ruas kanan lebih “disorder” dan reaksi keseimbangan yang menggeser kea rah kanan (lebih disorder) akan menaikkan perubahan entropi yang pada gilirannya akana menaikkan nilai negatif ∆G. Jadi, semakin banyak cincin kelat, maka semakin stabil suatu senyawa kompleks yang dihasilkan. Demikian juga semakin besar cincin kelat maka semakin stabil, yakni cincin-4 < cincin-5 < cincin-6; cincin dengan anggota > 6 ternyata tidak stabil.

2. Kestabilan kinetika senyawa kompleks 2.1 Laju reaksi senyawa kompleks Kelabilan suatu senyawa kompleks memiliki hubungan dengan laju disosiasi atau penguraian senyawa kompleks itu sendiri. Senyawa kompleks labil akan mengalami keseimbangan antara kation logam dan ligannya yang cepat, sebaliknya pada senyawa kompleks yang inert membutuhkan waktu yang lebih lama. Dalam pembahasan sifat kelabilan suatu kompleks akan melibatkan perbandingan antara garam-garam kompleks dengan tipe formula sejenis, misalnya jenis ligan, logam, dan bilangan koordinasinya. Misalnya senyawa kompleks tetraaminatembaga (II) dan heksaaminakobalt (II). Kedua senyawa kompleks tersebut secara termodinamik dalam larutan asam kuat menurut persamaan reaksi berikut: [Cu(NH3)4]2+ (aq) + 4 H3O+ (aq)

\

Cu2+ (aq) + 4 NH4+ (aq) + 4 H2O

[Co(NH3)6]2+ (aq) + 6 H3O+ (aq)

\

Co2+ (aq) + 6 NH4+ (aq) + 6 H2O

2+

2+ NH3

NH3

H3N

Co

Cu

H3N

NH3

H3N

NH3

NH3

H3N NH3

[Cu(NH3)4]2+

[Co(NH3)6]2+

Gambar 2. Struktur ion kompleks segi empat planar [Cu(NH3)4]2+ dan oktahedral [Co(NH3)6]2+. Kedua senyawa kompleks di atas memiliki harga Kf yang sangat besar. Ketika ditambahkan dengan asam kuat, senyawa kompleks tembaga dapat bereaksi dengan segera, namun hal ini tidak terjadi dengan senyawa kompleks kobalt sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa kompleks tembaga-amin relatif bersifat labil sedangkan kompleks kobalt-amin bersifat inert dalam suasana lingkungan asam kuat. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju reaksi dalam senyawa kompleks adalah sebagai berikut: a) Kejenuhana ikatan koordinasi. Senyawa kompleks dengan bilangan koordinasi rendah lebih cepat dijenuhkan sehingga laju reaksinya relatif lebih cepat dibandingkan dengan senyawa kompleks yang memiliki bilangan koordinasi yang tinggi. Contohnya, laju

pertukaran ligan sianido dalam kompleks [Ni(CN)4]2- lebih cepat dengan waktu paruh (t1/2) ~30 detik dibandingkan dengan laju pertukaran dalam kompleks [Fe(CN)6]4- (t1/2 ~53 jam). b) Kekuatan ikatan. Ikatan-ikatan suatu senyawa kompleks diantara atom pusat dengan ligannya yang kuat akan memperlambat laju reaksi. Hal ini dapat terjadi pada atom-atom pusat dengan muatan tinggi atau jari-jari ionik yang pendek. Contohnya pada pertukaran ligan F- suatu seri senyawa non-trasisi berikut: [AlF6]3- > [SiF6]2- > [PF6]- >> [SF6] (inert) 3-

2-

F F

F

F F

[AlF6]3-

F F

F

>

Al

F

-

F

>

Si

F

F F

[SiF6]2-

F F

F

>>

P

F

F

F

F S

F

F

F

[PF6]-

F

[SF6]

Gambar 3. Struktur kompleks oktahedral [AlF6]3-, [SiF6]2-, [PF6]-, dan [SF6]. Berdasarkan fenomena di atas, semakin kecil muatan ion kompleks atau semakin besar muatan atom pusat, maka akan semakin lambat laju pertukaran ligannya. Hal ini karena ligan-ligan yang mengelilingi atom pusat terikat dengan kuat. Contoh lainnya adalah pertukaran ligan H2O dalam kompleks [M(H2O)n]2+ diperoleh urutan sebagai berikut: Ba2+ > Sr2+ > Ca2+ > Mg2+ >> Be2+ Berdasarkan urutan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin kecil ukuran atom pusat dimana jarak diantara logam dengan ligan-ligannya yang semakin dekat atau terikat kuat maka akan semakin lambat laju pertukran ligannya. c) Konfigurasi elektron. Ion logam CrIII (d3) dan CoIII (d6) bereaksi cepat namun ion logam FeIII (d5) bereaksi lambat. Hal ini dapat dijelaskan dengan jari-jari ionik. Oleh karena konfigurasi elektroniknya r(CrIII) < r(FeIII) > r(CoIII); jadi laju reaksi lambat bagi atom pusat yang berukura kecil. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan menunjukkan bahwa laju reaksi sangat cepat terjadi pada konfigurasi elektronik d1, d2, d7, d9, dan spin tinggi d4d6, sedangkan laju reaksi sangat lambat terjadi pada konfigurasi d3dan spin rendah d4- d6, serta laju moderat atau medium terjadi pada konfigurasi elektronik d8. Jadi, secara umum dapat dinyatakan bahwa laju reaksi relatif lambat terjadi pada konfigurasi elektronik yang

menghasilkan CFSE besar. Hal ini karena menaikkan energi aktivasi, dan begitu sebaliknya. 2.2 Konfigurasi elektronik senyawa kompleks Seorang peneliti dari Universitas Stanford yakni Profesor Henry Taube mengembangkan teori sifat labil dan inert suatu senyawa kompleks yang dihubungkan dengan distribusi elektron dalam senyawa kompleks sebagaimana dilukiskan oleh teori ikatan valensi atau Valence Band Theory (VBT). Ion-ion logam transisi dengan bilangan koordinasi enam dalam senyawa kompleks menurut VBT terbagi kedalam dua kategori yakni ion logam dengan hibridisasi (1) inner d orbital atau orbital d dalam dan (2) outer d orbital atau orbital d luar. Kedua jenis hibridisasi ini dapat dirumuskan kedalam orbital hibrida (n-1) d2ns np3 dan ns np3 nd2 untuk masing-masing jenis inner orbital dan outer orbital. Tipe pertama yakni inner d orbital, pemisahan antara spesis inert dengan labil sangat tajam. Jenis orbital d-kosong bersifat labil dan sebaliknya orbital d-isi bersifat inert. Contohnya adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat kestabilan kinetik ion kompleks dengan inner-orbital terisi oleh ligan L Sistem

Ion kompleks

Konfigurasi 3d

Orbital hibrida (n-1) d2 ns np3

Sifat

d0

[ScL6]3+

.... .... ....

V V V V V V

Labil

d1

[TiL6]3+

b .... ....

V V V V V V

Labil

d2

[VL6]3+

b b ....

V V V V V V

Labil

d3

[CrL6]3+

b b b

V V V V V V

Inert

d4

[CrL6]2+

V b b

V V V V V V

Inert

d5

[FeL6]3+

V V b

V V V V V V

Inert

d6

[CoL6]3+

V V V

V V V V V V

Inert

Ion logam yang memiliki konfigurasi elektronik d4-d6 dengan ligan medan kuat membentuk senyawa kompleks inner orbital yang bersifat inert. Sebaliknya, jika pembentukan senyawa

kompleks terjadi dengan ligan lemah maka akan membentuk senyawa kompleks outer orbital yang bersifat labil. Misalnya adalah ion kompleks [Fe(CN)6]3- yang merupakan ion kompleks tipe inner orbital dan bersifat inert menurut model VBT, dan [FeF6]3- adalah ion kompleks tipe outer orbital dan bersifat labil. Hal ini dapat dijelaskan dalam konsep medan ligan kuat dimana elektron d5 Fe(III) dalam ion kompleks [Fe(CN)6]3- menempati ketiga orbital t2g atau σd non ikatan menurut model MOT. Tidak adanya orbital molekul yang menempati orbital molekul anti ikat maka ikatan diantara logam dengan ligan-ligannya bersifat kuat dan ion kompleks bersifat inert. Berbanding terbalik dengan ion kompleks [Fe(CN)6]3- , pada ion kompleks [FeF6]3- , elektron d5 Fe(III) dalam [FeF6]3- menempati dua orbital d anti ikat dalam medan ligan lemah seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 5, sehingga melemahkan ikatan-ikatan logam dan ligannya dan akhirnya mengakibatkan ion kompleks bersifat labil. 3-

3-

N N

C C

F N C Ni

Fe C

F

F

C C

N

N

F

F F

N

[FeF6]3-

[Fe(CN)6]3-

Gambar 4. Struktur ion kompleks oktahedral [Fe(CN)6]3- dan [FeF6]3-.

Gambar 5. Distribusi elektron d5 dalam ion [FeF6]3- (kiri) dan Fe(CN)6]3- (kanan) menurut model VBT-CFT-MOT.

Meskipun begitu, tidak selamanya senyawa kompleks tipe outer-orbital adalah bersifat labil. Melainkan dapat menjadi bersifat inert saat muatan formal ion pusat dan tingkat kovalen ikatan mengalami kenaikan. Contohnya golongan ini adalah elektron p yang ditunjukkan oleh seri senyawa koordinasi [AlF6]3-, [SiF6]2-, [PF6]-, dan [SF6] yang secara berurutan berubah sifat dari labil ke inert dengan kenaikan tingkat oksidasi III ke VI. 3-

2-

F

-

F F

F

F

F

Al

F F

S

F

F

F

[AlF6]3-

F

F

P

F

F

F

F

Si

F

F

F

[SiF6]2-

F

F F

F

[PF6]-

[SF6]

Gambar 6. Struktur kompleks oktahedral [AlF6]3-, [SiF6]2-, [PF6]-, dan [SF6]. Dalam konsep dasar labil dan inert suatu senyawa kompleks adalah laju reaksi dan akan berkaitan dengan energi yang diperlukan untuk pembentukan unit kompleks reaktan dengan pemecahan ikatan-ikatan serta energi pembentukan kembali suatu senyawa baru. Energi ini disebut dengan energi aktivasi dan unit kompleks reaktan disebut keadaan transisi dengan tingkat energi masing-masing komponen yang terlibat secara kualitatif ditunjukkan pada diagram Gambar 7. Suatu reaksi yang berjalan lambat akan mempunyai energi aktivasi yang tinggi, dan sebaliknya reaksi yang cepat mempunyai energi aktivasi yang rendah.

Gambar 7. Energi aktivasi dalam klasifikasi labil-inert.

Perbedaan konsep sifat labil dan inert suatu senyawa kompleks dan faktor-faktor yang mempengaruhi laju transfer elektron dijabarkan setidaknya kedalam dua mekanisme reaksi yakni reaksi subtitusi dan reaksi redoks. Penjabaran ketiga mekanisme reaksi ini berguna dalam memahami sifat inert dan labil yang berkaitan dengan mekanisme reaksi, perbedaan antara tahapan terjadinya reaksi dan pembentukan senyawa kompleks teraktivasi. 2.3 Mekanisme reaksi senyawa kompleks 2.3.1 Reaksi subtitusi ligan Bilangan koordinasi 6 Reaksi subtitusi ligan adalah reaksi yang melibatkan suatu basa Lewis menggantikan posisi ligan lain yang terikat secara langsung dengan logam atom pusat yang memiliki sifat relatif lebih lemah kebasaannya. Basa Lewis yang menggantikan ligan basa lainnya dalam suatu senyawa kompleks dikenal dengan gugus penyingkir atau entering group sedangkan gugus ligan yang tergantikan disebut dengan gugus tersingkir atau leaving group. Gugus teringkir ini dapat berupa molekul pelarut. Secara umum, reaksi subtitusi ini dirumuskan kedalam persamaan reaksi berikut: Y + M-X → M-Y + X Mekanisme subtitusi ligan tidak hanya didasarkan atas kekuatan basa Lewis yang terlibat, malainkan juga menurut laju reaksinya. Dalam hal ini ada dua kemungkinan mekanisme tipe reaksi subtitui yakni subtitusi nukleofilik monomolekuler atau SN1 dan subtitusi nukleofilik bimolekuler atau SN2. a) Mekanisme SN1. Mekanisme SN1 dapat disebut juga sebagai mekanisme disosiatif karena pada keadaan mula-mula suatu senyawa kompleks akan terdisosiasi dengan melepas salah satu ligan sehingga terjadi koordinasi kosong atau terjadi senyawa kompleks antara dengan bilangan koordinasi yang lebih rendah. Koordinasi kosong ini yang kemudian akan diisi dengan ligan pengganti atau entering group. Bagi senyawa yang berstruktur oktahedron, saat berlangsungnya proses pelepasan salah satu ligan ini, maka akan membentuk senyawa kompleks antara piramida bujursangkar dengan bilangan koordinasi lima. Proses ini kemudian dengan segera diikuti dengan pengikatan ligan baru untuk membentuk senyawa kompleks dengan bilangan koordinasi enam kembali. Mekanisme ini dapat dituliskan sebagai berikut:

[L5MX]n+

lambat

[L5M]n+

-X

+Y cepat

[L5MY]n+

bilangan koordinasi 5

bilangan koordinasi 6

Gambar 8. Ilustrasi mekanisme reaksi SN1 melalui kompleks teraktivasi dengan bilangan koordinasi 5. Umumnya reaksi pelepasan ligan (X) berlangsung lambat karena terjadinya pemecahan ikatan. Oleh karena itu, tahapan atau proses ini merupakan tahap penentu laju reaksi dengan mengikuti persamaan sebagai berikut: ‫=ט‬k[L5MX]n+. Namun, ketika senyawa kompleks antara dengan bilangan koordinasi lima terbentuk, senyawa antara ini dapat langsung bereaksi dengan ligan pengganti (Y) membentuk senyawa kompleks baru dengan bilangan koordinasi enam kembali. Proses ini berlangsung dengan sangat cepat sehingga laju reaksi tidak bergantung pada konsentrasi ligan pengganti (Y). Contoh reaksi subtitusi SN1 adalah sebagai berikut:

[Co(CN)5H2O]2- + Br-

-H2O

[Co(CN)5Br]3- + H2O

Penggantian gugus air (H2O) dengan Br- mula-mulai diawali dengan pelepasan gugus H2O yang berlangsung lambat sehingga membentuk struktur geometri senyawa ion kompleks Co(III) piramida bujursangkar. Kemudian segerea setelah terbentuk senyawa kompleks teraktivasi, ligan Br- menyerang membentuk senyawa ion kompleks [Co(CN)5Br]3- dengan struktur geometri oktahedron. b) Mekanisme SN2. Berbeda dengan mekanisme SN2, mekanisme reaksi subtitusi ligan SN2 merupakan mekanisme asosiatif. Hal ini karena dalam mekanisme reaksi ini suatu senyawa kompleks pada keadaan mula-mula tidak melepaskan salah satu ligannya, melainkan

sebaliknya kompleks mengalami serangan langsung dari ligan pengganti sehingga diperoleh senyawa kompleks antara dengan bilangan koordinasi yang lebih tinggi. Senyawa kompleks antara ini adalah kompleks dengan bilangan koordinasi tujuh atau pentagon bipiramida. Namun, setelah senyawa kompleks antara ini terbentuk, dengan segera terjadi pelepasan salah satu ligan lamanya dan membentuk senyawa kompleks baru dengan bilangan koordinasi enam kembali. Mekanisme ini dapat dituliskan sebagai berikut: X n+

...


Similar Free PDFs