Koefisien Distribusi PDF

Title Koefisien Distribusi
Author Aisyah Nur Izah
Course Kimia
Institution Universitas Jenderal Soedirman
Pages 14
File Size 411.9 KB
File Type PDF
Total Downloads 339
Total Views 741

Summary

1KOEFISIEN DISTRIBUSI (KD)I. TUJUAN PRAKTIKUM Menentukan koefisien distribusi (KD) Iodium dalam CCl 4 dan H 2 O. Membuktikan Hukum Distribusi Nernst II. TINJAUAN PUSTAKA Penentuan koefisien distribusi disebabkan oleh dua pelarut yang dicampurkan, tetapi tidak saling melarutkan. Proses penentuan koef...


Description

KOEFISIEN DISTRIBUSI (KD)

I.

TUJUAN PRAKTIKUM 1. Menentukan koefisien distribusi (KD) Iodium dalam CCl4 dan H2O. 2. Membuktikan Hukum Distribusi Nernst

II.

TINJAUAN PUSTAKA Penentuan koefisien distribusi disebabkan oleh dua pelarut yang dicampurkan, tetapi tidak saling melarutkan. Proses penentuan koefisien distribusi dikenal dengan hukum distribusi Nernst. Dua pelarut yang tidak saling melarutkan, seperti air dan karbontetraklorida ketika dicampurkan akan terbentuk dua fasa yang terpisah. Jika kedalamnya ditambahkan zat terlarut yang dapat larut di kedua fasa tersebut, seperti iodium yang dapat larut dalam air dan CCl4 maka zat terlarut akan terdistribusi di kedua pelarut tersebut sampai tercapai kesetimbangan. Potensial kimia pada saat tersebut zat terlarut di fasa satu sama dengan potensial kimianya di fasa dua. Keduanya tidak bergantung pada komposisi, maka T tetap. K=

𝑋2 𝑋1

K adalah koefisien distribusi atau koefisien partisi yang harganya tidak bergantung pada konsentrasi zat terlarut pada T yang sama (Day and Underwood, 1998). Jika sejumlah zat terlarut tertentu sudah setimbang dalam dua fasa yang berbeda dan kemudian ditambahkan lagi zat terlarut ke dalamnya, maka zat terlarut itu akan terdistribusi lagi dalam kedua pelarut sampai diperoleh keadaan kesetimbangan baru yang konsentrasinya berbeda. Angka banding konsentrasi pada kesetimbangan adalah konstanta pada suatu temperatur tertentu. Angka banding tersebut hanya konstanta bila zat yang terlarut mempunyai massa molekul relatif yang sama untuk kedua pelarut itu (Mulyani, 2007). Bila suatu zat terlarut terdistribusi antar dua pelarut yang tidak dapat campur, maka pada suatu temperatur yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi yang konstan antara kedua pelarut. Angka banding distribusi ini tidak bergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga angka banding berubah dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperatur (Svehla, 1990). Cukup diketahui bahwa zat-zat tertentu lebih mudah larut dalam pelarutpelarut tertentu dibandingkan pelarut-pelarut yang lain. Contohnya yaitu karbon disulfida dengan air, dan eter dengan air. Bila cairan tersebut dikocok bersama-sama dalam satu bejana, dan campuran kemudian dibiarkan, maka kedua cairan akan memisah menjadi dua lapisan. Cairan itu 1

2

dikatakan sebagai tak dapat campur atau setengah campur. Hal ini bergantung pada apakah satu terhadap yang lain hampir tak dapat larut atau setengah dapat larut (Vogel, 1985). Faktor-faktor yang mempengaruhi koenfisien distribusi diantaranya: 1. Temperatur yang digunakan Semakin tinggi suhu, maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai K. 2. Jenis pelarut Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya mempengaruhi harga K. 3. Jenis terlarut Apabila zat yang akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap/higroskopis, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya mempengaruhi harga K. 4. Konsentrasi Semakin besar konsentrasi suatu zat yang terlarut, semakin besar pula harga K. (Ayu, 2013). Harga K berubah dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga K juga tergantung dari jenis pelarut dan zat terlarutnya. Hukum distribusi sendiri banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan penentuan tetapan kesetimbangan. Dalam laboratorium, ekstraksi dipakai untuk mengambil zat-zat terlarut dalam air dengan menggunakan pelarut organik yang tidak bercampur, seperti eter, CHCl3, CCl4, dan benzena. Dalam industri, ekstraksi dipakai untuk menghilangkan zat-zat yang tidak disukai dalam hasil, seperti minyak tanah, minyak goreng dan sebagainya (Azma, 2012).

III.

PROSEDUR PERCOBAAN 3.1 Alat Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah alat pengocok (shaker), pipet ukur (5;10;25 ml), corong pisah 250 ml, buret 50 ml, erlenmeyer 100 ml, empat unit botol bertutup, filler dan corong pisah 250 ml. 3.2 Bahan Bahan yang digunakan pada praktikum koefisien distribusi ada lima, yaitu CCl4, larutan Iodium dalam CCl4, KI padat, Na2S2O3 0,1 N, dan indikator amilum. 3.3 Skema Kerja a. Kalibrasi Pipet Ukur 5 ml CCl4 -

-

Pipet ukur 5 ml ibersihkan dan dikeringkan. Erlenmeyer 100 ml kosong ditimbang dan dibersihkan Dimasukkan ke dalam pipet ukur yang telah dikeringkan, dipindahkan ke dalam erlenmeyer kosong yang telah ditimbang. Erlenmeyer+CCl4 ditimbang. Ditentukan kerapatan dengan menggunakan piknometer. Dihitung volume sebenarnya.

Hasil b. Penentuan Harga KD I2 dalam CCl4, CCl4, dan H2O -

Dimasukkan ke dalam botol tertutup. Dikocok ketiga botol tersebut selama 30 menit. Didiamkan 20 menit sampai kedua fasa terpisah sempurna. I2 dalam CCl4 dipipet 5 ml, ditambahkan KI dan dititrasi dengan Na2S2O3 (secara Iodometri). - I2 dalam air dipipet 25 ml, dititrasi dengan Na2S2O3. Hasil

3

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Pengamatan 4.1.1 Kalibrasi Pipet Ukur 5 ml Perlakuan

• Pipet ukur 5 ml dibersihkan dan dikeringkan • Erlenmeyer kosong 100 ml ditimbang • CCl4 dimasukkan ke dalam erlenmeyer dengan menggunakan pipet ukur 5 ml • Erlenmeyer + CCl4 ditimbang • Kerapatan CCl4 ditentukan dengan piknometer • Volume CCl4 sebenarnya dicatat • Piknometer ditimbang

Pengamatan

• m = 68,0715 gram

• m = 75,0161 gram

• V = 10 ml • m pikno I = 20,6215 gram • m pikno I + aquades = 47,0292 gram • m pikno II = 17,6838 gram • m pikno II + CCl4 = 55,4223 gram

4.1.2 Penentuan Harga KD Botol

V Fasa Air

V Na2S2O3

Harga KD

Fasa Air

Fasa Original

1

10 ml

1,9

0,2

2 3

10 ml 10 ml

0,5 0,4

0,1 0,05

4

4.2 Data Perhitungan 4.2.1 Kalibrasi Pipet Ukur 5 ml a. m H2O = (m piknometer + air) – (m piknometer kosong) = 47,0292 – 20,6215 = 26,4077 gram b. P 28˚C = P 28˚C (1 + ΔTα) = 6,9982 (1 + (28 – 20˚C) α) α = 1,0002 gram/mL c. V piknometer = =

𝑚 𝐻2𝑂 𝑃 𝐻2𝑂 26,4077 1,0002

= 26,4024 mL d. m CCl4 = (m piknometer + CCl4) – (m piknometer kosong) = 55,4223 – 17,6838 = 37,7385 gram e. P CCl4 = =

𝑚 CCl4 𝑉 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 37,7385 26,4024

= 1,4294 gram/mL f. V pipet ukur

= = =

(𝑚 𝐸𝑟𝑙𝑒𝑛𝑚𝑒𝑦𝑒𝑟 + CCl4) −m Erlenmeyer kosong 𝑃 CCl4 75,0161 − 68,0715 1,4294 6,9446 1,4294

= 4,8584 mL 4.2.2 Penentuan Harga KD a. Normalitas I2 dalam air V1 × N1 = V2 × N2 0,93 × 0,1 = 25 × N2 N2 = 0,00372 N b. Normalitas I2 dalam CCl4 - Botol 1 V1 × N1 = V2 × N2 0,2 × 0,1 = 5 × N2 N2 = 0,004 N - Botol 2 V1 × N1 = V2 × N2 0,1 × 0,1 = 5 × N2 N2 = 0,002 N

5

6

- Botol 3 V1 × N1 = V2 × N2 0,05 × 0,1 = 5 × N2 N2 = 0,001 N c. Koefisien Distribusi - KD Botol 1 = =

[ I2 dalam CCl4 ] [ I2 dalam air ] 0,004 0,00372

= 1,075 - KD Botol 2 = =

[ I2 dalam CCl4 ] [ I2 dalam air ] 0,002 0,00372

= 0,538 - KD Botol 3 = =

[ I2 dalam CCl4 ] [ I2 dalam air ] 0,001 0,00372

= 0,269 - KD rata-rata = = =

KD1 + KD2 + KD3 3 1,075 + 0,538 + 0,269 3 1,882 3

= 0,627

4.3 Pembahasan Kalibrasi adalah serangkaian kegiatan penyesuaian unjuk kerja peralatan terhadap standar yang dapat ditelusuri pada standar nasional atau internasional. Dengan dilakukannya kalibrasi ini kinerja alat dapat terpantau dan pada saat terjadi penyimpangan hasil pengukuran yang berada diluar batas toleransi yang diperbolehkan maka dapat segera diketahui dan segera dilakukan evaluasi. Kalibrasi dilakukan setiap kali akan melakukan analisis sampel, setelah perawatan atau perbaikan dan menurut jadwal yang telah ditetapkan. Tujuan kalibrasi adalah untuk mencapai ketertelusuran pengukuran. Hasil pengukuran dapat dikaitkan atau ditelusur sampai ke standar yang lebih tinggi atau teliti (standar primer nasional dan atau internasional), melalui rangkaian perbandingan yang tak terputus (Galuh, 2013). Tujuan kalibrasi adalah menentukan deviasa atau penyimpangan kebenaran nilai konvensional penunjukkan suatu instrumen ukur, menjamin hasil-hasil pengukuran sesuai dengan standar nasional maupun internasional. Manfaat kalibrasi ini adalah menjaga kondisi instrumen ukur dan bahan ukur agar tetap sesuai dengan spesifikasinya. Kemampuan untuk tepat mengukur volume larutan sangat penting untuk akurasi dalam kimia analisis. Periode kalibrasi tergantung pada beberapa faktor antara lain pada kualitas metrologis alat ukur tersebut, frekuensi pemakaian, pemeliharaan atau penyimpanan dan tingkat ketelitianya. Periode kalibrasi dapat ditetapkan berdasarkan lamanya pemakaian alat, waktu kalender atau gabungan dari keduanya (Fatimah, 2005). Percobaan pertama adalah dengan melakukan kalibrasi pipet ukur 5 ml. Mula-mula pipet ukur 5 ml dibersihkan dan dikeringkan. Selanjutnya, erlenmeyer 100 ml dan dua buah piknometer 10 ml kosong yang telah dibersihkan dan dikeringkan ditimbang. Piknometer ini nantinya digunakan untuk menentukan kerapatan. Berat dari erlenmeyer kosong sebesar 68,0715 gram, berat piknometer kosong I adalah 20,6215 gram dan piknometer kosong II adalah 17,6838 gram. Erlenmeyer kosong diisi dengan 5 ml CCl4 dengan menggunakan pipet ukur 5 ml, adapun piknometer I diisi dengan air dan piknometer II dengan CCl4. Berat erlenmeyer + CCl4 adalah 75,0161 gram. Berat piknometer + air yaitu 47,0292 gram dan piknometer + CCl4 adalah 55,4223 gram.

7

8

Gambar 1 Erlenmeyer yang Berisi 5 ml CCl4 Untuk menentukan nilai kalibrasi volume pipet ukur 5 ml sebenarnya, pertama-tama adalah dengan mencari berat air, dengan mengurangi berat piknometer yang berisi air dengan piknometer kosong. Hasil dari berat air yaitu 26,4077 gram. Selanjutnya mencari massa jenis air, hasil yang dipeproleh adalah 1,0002 gram/mL. berikutnya adalah menghitung volume piknometer, yaitu membagi berat air dengan massa jenis air, hasilnya yaitu 26,4024 mL. Perhitungan berikutnya adalah dengan mencari berat CCl4, dan diperoleh berat 37,7385 gram. Selanjutnya mencari massa jenis CCl4, hasil yang diperoleh yaitu 1,4294 gram/mL. Nilai massa jenis ini sudah mendekati nilai sebenarnya. Menurut Lide (2001), massa jenis dari CCl4 pada suhu 25˚C adalah 1,599 gram/mL.

Gambar 2 Dua Buah Piknometer yang Digunakan dalam Percobaan Pipet ukur 5 ml selanjutnya di kalibrasi. Tujuan dari kalibrasi ini adalah untuk mengetahui volume sebenarnya dari pipet ukur ketika suatu larutan diukur apakah masih sesuai dengan standar pemakaian yang telah ditentukan. Volume pipet ukur adalah selisih massa erlenmeyer yang berisi CCl4 dengan massa erlenmeyer kosong dibagi dengan massa jenis CCl4. Volume yang diperoleh setelah perhitungan

9

adalah 4,8548 mL. Nilai ini hampir mendekati nilai pipet ukur sebenarnya yaitu 5 ml. Ketidaksesuaian ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: 1. Prosedur Kalibrasi harus dilakukan sesuai dengan prosedur standar yang telah diakui. Kesalahpahaman prosedur akan membuahkan hasil yang kurang benar dan tidak dapat dipercaya. Penyetelan sistem harus teliti sesuai dengan aturan pemakaian alat agar kesalahan dapat dihindari. 2. Kalibrator Kalibrator harus mampu telusur ke standar nasional atau internasional. Tanpa memiliki ketelusuran, hasil kalibrasi tidak akan diakui oleh pihak lain. 3. Periode Kalibrasi Periode kalibrasi tergantung pada beberapa faktor, antara lain kualitas metrologis alat ukur tersebut, frekuensi pemakaian, pemeliharaan atau penyimpanan dan tingkat ketelitiannya. 4. Lingkungan Lingkungan misalnya, kondisi suhu, kelembaban, getaran mekanik medan listrik dan medan magnetik, medan elektromagnetik, tingkat penerangan dan sebagainya. 5. Alat yang Dikalibrasi Alat yang dikalibrasi harus dalam keadaan maksimal, artinya dalam kondisi jalan yang baik, stabil dan tidak terdapat kerusakan yang mengganggu. (Tim Administrator UPI, 2009). Percobaan kedua adalah menentukan nilai Koefisien Distribusi (KD) I2 dalam CCl4 dan H2O. Menurut Hukum Distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi kelarutan. Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan bila zat terlarut terdistribusi antara dua pelarut yang tidak bercampur, maka pada suatu temperatur yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding distribusi ini tidak bergantung pada spesi molekul lain (Svehla, 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi koenfisien distribusi diantaranya: 1. Temperatur yang digunakan Semakin tinggi suhu, maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai K. 2. Jenis pelarut

10

Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya mempengaruhi harga K. 3. Jenis terlarut Apabila zat yang akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap/higroskopis, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat tersebut), akibatnya mempengaruhi harga K. 4. Konsentrasi Semakin besar konsentrasi suatu zat yang terlarut, semakin besar pula harga K. (Ayu, 2013). Percobaan kedua ini diawali dengan menyiapkan tiga buah botol bertutup yang ditandai dengan nomor 1, 2, 3. Ketiga botol tersebut diisi I2 dalam CCl4 dan aquades dengan volume yang berbeda-beda. Selanjutnya ketiga botol yang sudah diisi larutan, dikocok selama 30 menit. Hal ini berfungsi agar tercapai kesetimbangan atau solute terdistribusi dengan sendirinya ke dalam pelarut, yaitu pelarut organik dan air. Setelah itu botol didiamkan selama 20 menit. Larutan dalam ketiga botol setelah didiamkan 20 menit membentuk dua lapisan, yaitu lapisan atas (I2 dalam H2O) dan lapisan bawah (I2 dalam CCl4). Air berada di lapisan atas karena massa jenis air lebih kecil daripada CCl4, yaitu 1 gram/mL, adapun massa jenis CCl4 adalah 1,599 gram/mL. keadaan seperti ini disebut sebagai tidak bercampur. Terbentuknya dua lapisan dikarenakan perbedaan kepolaran antara H2O dan CCl4, dimana H2O bersifat polar dan CCl4 bersifat non polar. Pembuatan ketiga larutan berfungsi untuk membandingkan nilai koefisien distribusi (Arsyad, 2001). Setelah didiamkan 20 menit, masing-masing lapisan bawah atau I2 pada CCl4 diambil sebanyak 5 ml dan ditempatkan dalam erlenmeyer berbeda. Warna larutan tersebut adalah ungu. Adapun lapisan atas yang berisi I2 dalam aquades diambil sebanyak 25 ml dan ditempatkan pada labu erlenmeyer yang berbeda-beda pula, larutan ini berwarna putih keruh. Kemudian masing-masing larutan tersebut ditambahkan 5 tetes indikator KI dan indikator amilum sebanyak 3 tetes. Amilum disini berfungsi sebagai indikator perubahan warna terhadap I2 yang sensitif terhadapnya. Sedangkan penambahan KI berfungsi sebagai zat pereduksi yang akan mengubah iodida menjadi triiodida. Ketika KI ditambahkan, terbentuk 2 lapis larutan, yaitu pada bagian pinggir dan bagian tengah. Bagian pinggir berwarna ungu dan bagian tengah berwarna bening. Kemudian saat ditambahkan amilum warna larutan berubah menjadi kehitaman. Langkah berikutnya adalah dengan

11

mentitrasi larutan tersebut menggunakan larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) sampai larutannya menjadi tidak berwarna. Titrasi adalah suatu metode penentuan kadar (konsentrasi) suatu larutan dengan larutan lain yang telah diketahui konsentrasinya. Titran ditambahkan natrium tiosulfat sedikit demi sedikit sampai tercapai ekuivalen, artinya secara stoikiometri titran dan titer tepat habis bereaksi. Keadaan ini disebut dengan titik ekuivalen. Titik akhir titrasi adalah keadaan dimana reaksi telah berjalan secara sempurna yang biasanya ditandai dengan perubahan warna indikator. Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk fasa bawah atau CCl4 secara berturut-turut pada botol 1, 2 dan 3 adalah 0,2;0,1;0,05 ml. Adapun untuk fasa atas atau air secara berturut-turut yaitu 1,9;0,5; dan 0,4 ml. Titrasi I2 dalam CCl4 dan air adalah titrasi redoks karena terjadi reaksi oksidasi dan reduksi pada larutan. Iodium tereduksi dan ion tiosulfat teroksidasi. Adapun persamaan reaksinya adalah sebagai berikut: I- + I2 → I3 I2 + 2S2O32- → 2I- + S4O62S2O32- + I3- ↔ S2O2I- + 2I(Khopkar, 2002).

Gambar 3 Hasil Titrasi I2 dalam CCl4 Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna menjadi tak berwarna. Hal ini menandakan telah berakhirnya titrasi. Langkah ini digunakan untuk menentukan konsentrasi I2 dalam CCl4. Berdasarkan perhitungan, diperoleh konsentrasi I2 dalam CCl4 pada masing-masing botol, yaitu botol 1 sebesar 0,004 N, botol 2 = 0,002 dan 0,001 pada botol 3.

12

Gambar 3 Hasil Titrasi I2 dalam H2O I2 dalam CCl4 yang digunakan pada titrasi sebanyak 5 ml, sedangkan I2 dalam H2O yang digunakan adalah 25 ml. Hal ini dikarenakan I2 banyak terdistribusi dalam CCl4 dibanding dalam H2O sehingga untuk menyeimbangkan konsentrasi I2 dalam CCl4 dan I2 dalam H2O dibuat berbeda volumenya. Pendistribusian I2 yang lebih terarah dalam CCl4 juga ditunjukkan dengan lebih besarnya konsentrasi hasil titrasi I2 dalam CCl4 (Khopkar, 2002). Berdasarkan perhitungan, diperoleh konsentrasi I2 dalam H2O sebesar 0,00372 N. Nilai koefisien distribusi yang diperoleh pada botol pertama yaitu 1,075, pada botol kedua adalah 0,538 dan terakhir pada botol ketiga sebesar 0,269. Rata-rata nilai koefisien distribusi yang ada setelah perhitungan yaitu 0,627. Hasil ini tidak sesuai dengan referensi yang ada, bahwa nilai koefisien distribusi rata-rata iod antara fasa air dengan fasa organik karbon tetraklorida sebesar 80,1. Apabila banyaknya iod yang diubah-ubah maka harga banding konsentrasi itu selalu konstan dengan temperatur konstan. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh temperatur atau konsentrasi zat yang terlalu kecil (Bird, 1987).

V.

KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan 1. Koefisien distribusi (KD) berturut-turut botol 1, 2 dan 3 yaitu 1,075, 0,538 dan 0,269. Rata-rata nilai koefisien distribusi yaitu 0,627 2. Hukum distribusi Nernst, bila suatu zat terlarut terdistribusi antara dua pelarut yang tidak bercampur maka pada suatu tempetarur konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding yang konstan antara kedua pelarut itu. Nilai KD pada botol 1, 2, dan 3 tidak sama sehingga sesuai dengan distribusi Nernst 5.2 Saran Diperlukannya ketelitian lebih dalam penggunaan perhitungan untuk menentukan hasil koefisien distribuso agar diperoleh nilai yang sesuai dengan referensi.

13

DAFTAR PUSTAKA Arsyad. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Ilmiah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ayu,

Maulina

Sugianto.

2013.

Koefisien

Distribusi.

Diakses

dari

http://id.scribd.com/doc/198990647/Koefisien-distribusi. pada 30 November

2020 Azma,

Khan.

2012.

Koefisien

Distribusi.

Diakses

dari http://www.mediafire.com/view/951pjdtc6t7cyqt/koefisien+distribusi.pdf. pada 30 November 2020

Bird. 1987. Kimia Fisik untuk Universitas. Jakarta: PT. Gramedia. Day, R. A. dan A. L. Underwood. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga. Khopkar, S. M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press. Lide, D. R. 2001. CRC Handbook of Chemistry and Physisc. Washington DC: CRC Press. Mulyani, Sri dan Hendrawan. 2007. Common Textbook Kimia Fisika II. Bandung: UPI Press. Svehla, G. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Jakarta: PT Kalman Media Pustaka. Vogel. 1985. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Jakarta: PT Kalman Media Pustaka.

14...


Similar Free PDFs