KONTRIBUSI PERSIA DI NUSANTARA (Budaya Hemispheric Islam sebagai Jembatan Persia, dan Nusantara) Persian Contributions in Archipelago (Hemisperic culture as persian and archipelago bridge PDF

Title KONTRIBUSI PERSIA DI NUSANTARA (Budaya Hemispheric Islam sebagai Jembatan Persia, dan Nusantara) Persian Contributions in Archipelago (Hemisperic culture as persian and archipelago bridge
Author Muhajir Alfairusy
Pages 21
File Size 1.6 MB
File Type PDF
Total Downloads 80
Total Views 381

Summary

KONTRIBUSI PERSIA DI NUSANTARA (Budaya Hemispheric Islam sebagai Jembatan Persia, dan Nusantara) Persian Contributions in Archipelago (Hemisperic culture as persian and archipelago bridge) Oleh : Muhajir Al Fairusy S. Hum, M.A. Abstrak Diskusi mengenai kontribusi Persia di Nusantara, setidaknya kemb...


Description

Accelerat ing t he world's research.

KONTRIBUSI PERSIA DI NUSANTARA (Budaya Hemispheric Islam sebagai Jembatan Persia, dan Nusantara) Persian Contrib... muhajir alfairusy

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

JARINGAN INT ELEKT UAL ULAMA ACEH-FAT HANI DALAM MANUSKRIP Herman syah

ZAINI DAHLAN-SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM Khadijah Ra hist oris masuknya islam ke nusant ara jul hadi

KONTRIBUSI PERSIA DI NUSANTARA (Budaya Hemispheric Islam sebagai Jembatan Persia, dan Nusantara) Persian Contributions in Archipelago (Hemisperic culture as persian and archipelago bridge) Oleh : Muhajir Al Fairusy S. Hum, M.A. Abstrak Diskusi mengenai kontribusi Persia di Nusantara, setidaknya kembali menegaskan peran bangsa Persia terhadap subbudaya yang pernah berkembang di Nusantara dalam lintas sejarah. Tidak bisa dinafikan, bahwa sejak Islam hadir sebagai ideologi, dan kepercayaan ummat manusia, telah membenturkan peradaban, dan kebudayaan antarbangsa di belahan bumi ini, khususnya bagian Timur. Kontak budaya tersebut, ternyata telah memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa lain, oleh bangsa yang menjadi pusat peradaban Islam, seperti Arab, Persia, India, dan Turki. Kajian ini adalah sebuah usaha untuk memahami, dan menjelaskan kontribusi besar bangsa Persia, lewat konsep budaya hemispheric Islam sendiri, seperti bahasa, sastra, perdagangan, dan pemerintahan. Ketertarikan saya untuk mengkaji ini, terutama karena minimnya kajian PersiaNusantara secara instens dan khusus. Karena itu, menarik melihat bagaimana rekam jejak sejarah, spesifik pada istilah “kontribusi” Persia terhadap wilayah yang pernah disinggahinya-Nusantara. Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan historiografi, dan paradigma kebudayaan. Teknik pengumpulan data melalui Library Research (kajian kepustakaan), dan wawancara dengan informan yang dianggap profesional terhadap kajian ini. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kontribusi Persia di Nusantara telah dimulai jauh sebelum Islam hadir, dan kemudian diperluas beriringan dengan perluasan Islam sendiri oleh bangsa Persia di Nusantara-Melayu. Kata Kunci : Kontribusi, Persia, Nusantara.

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kajian yang mengupas jaringan kenusantaraan, dengan wilayah kawasan Timur Tengah, dan bisa dikatakan pernah mewakili untuk meneropong istilah “kontribusi”, adalah karya monumental Azyumardi Azra “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” . Namun, karya ini hanya terfokus pada kontribusi antarintelektual Islam Nusantara dan Timur Tengah pada umumnya (tidak terkhusus pada Persia). Istilah Persia, dalam catatan sejarah tentunya berafiliasi pada dua negara sekarang, yaitu Iran, dan sebagian kecil Irak. Sebagaimana diketahui, menyebut “Timur Tengah” sebagai simbol kawasan yang diciptakan sarjanawan barat, tentu merujuk pada wilayah pusat-pusat Islam. Karena itu, dalam sebuah peta prolog, dan daftar negara-negara Timur Tengah, dengan jelas menggambarkan wilayah-wilayah Timur Tengah, di mana Persia juga include di dalamnya (Sihbudi, 1993 : 16-17). Usaha untuk mendiskusikan kembali kontribusi, dan peran Persia, sebagai salah satu bangsa besar, yang namanya pernah disebut-sebut dalam sejarah Islam, tentu sangat menarik. Ada Alasan kongkrit pastinya, mengingat minimnya kajian-kajian lintas akademik mengenai peran, dan kontribusi Persia di Indonesia yang termasuk monumental. Bahkan, nama Persia nyaris hilang dalam ranah imajinasi generasi sekarang. Padahal, sebagaimana diketahui dalam konteks kebudayaan, hampir semua bangsa besar tentunya sedikit banyak pasti pernah mempengaruhi pola hidup bangsa-bangsa lainnya, termasuk pengaruh Persia di Nusantara. Bila menelaah pada teori masuknya Islam ke Nusantara, maka peran Persia jelas ikut serta selain Arab, dan India. Penulis Harry W. Hazard, Schlegel, Tibbets, Mills, Arnold, dan Syed Naquib Al Attas memiliki argumentasi yang kuat untuk menyatakan bahwa orang-orang Arab atau Persia telah datang ke Nusantara (Pantai Sumatera) pada sejak awal Islam, atau abad pertama Hijriyah (Puar, 1981 : 15-20). Tidak kalah penting, mengenai sebuah sumber Cina yang menyebutkan mengenai permukiman Arab di Sumatera, yang dikepalai oleh

seorang Arab pada tahun 55 Hijriyah (672 M). Saudagar Arab, India, dan Persia juga menjadi hipotesis kuat mengenai hubungan mereka dengan masyarakat Nusantara, jauh sebelum proses islamisasi terjadi. Di Nusantara, khususnya Aceh, nuansa Persia (yang diklaim identik dengan Syi’ah) sangat terasa lewat syair, dan hikayat yang berkembang di tengah masyarakat. Nuansa “mengagungkan” ahlul bait (keluarga Ali dan Fatimah) dituangkan lewat cerita, dan kisah-kisah yang ditulis dalam hikayathikayat (Mukherjee, 2005 : 140-145). Bahkan, kemudian ditransformasikan lewat lantunan lagu yang didendangkan dengan transparan memuji ahlul bait terutama pada anak-anak. Terdapanya nama bulan “Hasan Husen” (dalam masyarakat Aceh), dan beberapa sastra yang sangat menunjunjung ahlil bait. Meskipun, sebenarnya antara imajinasi yang dikembangkan, justru kontras dengan stereotip negatif pada Syi’ah oleh masyarakat Sunni-Aceh. Lebih lanjut, pengaruh bahasa Persia di bawah kontrol periode Kerajaan Mongol (Moghul-“gh”-dalam bahasa Persia) di daratan Iran, dan kota Baghdad juga telah menjadi saksi perluasan penting bahasa Parsi di dunia. Bahkan, di negeri pusat agama Islam, bahasa Arab dan Parsi disebut-sebut berbagi kedudukan lingua francae intelektual dalam meghasilkan karya nya (Dunn, 1995 : 122). Di Nusantara sendiri, pengaruh bahasa Persia juga turut berperan dalam perkembangan bahasa Aceh. Sebagai bahasa yang memiliki perbendaharaan kata ( kosakata) yang tidak begitu banyak, maka bahasa Aceh juga diklaim lebih banyak mengandung kata-kata bahasa Arab, Sangsekerta, Melayu, Persia, dan sejumlah kecil Bahasa Belanda, Inggris, dan Portugis (Puar, 1981 : 25). Beberapa

kontribusi

Persia

tersebut

yang

berakulturasi

dengan

kebudayaan lokal, menunjukkan peran Persia yang luas hingga ke Nusantara. Karena itu, sangat menarik untuk mengkaji kembali sejauh mana peran Persia terhadap daya survival identitas, dan kebudayaan masyarakat Nusantara, dan Aceh khususnya. Meskipun kajian ini bersifat sejarah, tapi dianggap perlu untuk menggali rekam jejak sebuah kebudayaan. Ahli sejarah Amerika Serikat, dan professor sejarah di Columbia University, Allan Nevins (dalam Puar, 1981), menyatakan bahwa sesungguhnya sejarah adalah sebuah jembatan penghubung

masa lampau dan masa kini, dan mengarahkan masa depan. Pendapat ini tentunya menegaskan bahwa sejarah bukan hanya melihat ke belakang secara terus menerus. Kita memamfaatkan ruang sekarang sebagai penghubung untuk menjaga identitas, sekaligus mengikuti dinamisasi budaya yang tidak pernah stagnan. Menjawab kegelisahan, dan minimnya kajian mengenai kontribusi Persia yang tidak seluas kajian seperti peran Eropa, dan Arab terhadap Nusantara, maka saya mencoba menggali sedikit peranan, dan kontribusi “khusus” Persia terhadap keberadaan Nusantara ini. Kajian ini tentunya jauh dari kesempurnaan, akan tetapi diharapkan dapat menambah khazanah pemikiran, pendapat mengenai dualitas bangsa yang saling mempengaruhi (Persia dan Nusantara). Dualitas kebudayaan tersebut, saya jembatani dengan istilah hemispheric. Salah satu konsep yang dipakai oleh Nurchalis Madjid, untuk membangun konsep jalur kebudayaan antarbangsa lewat penyebaran Islam. Karena itu, diskusi mengenai kajian kontribusi Persia terhadap Nusantara ini, saya bangun lewat dua pertanyaan atau permasalahan akademik, agar mengarah pada deskripsi yang diharapkan (tidak bisa, dan meluas). Dua pertanyaan yang dianggap representatif tersebut adalah : 1. Bagaimana rekam jejak sejarah, dan kebudayaan antara Persia dan Nusantara ? 2. Apa pengaruh, dan kontribusi kebudayaan Persia terhadap pola hidup masyarakat Nusantara ? Saya pikir, dua pertanyaan di atas, sudah cukup konstruktif untuk melihat istilah “kontribusi” Persia terhadap Nusantara. Pembahasan pun nantinya akan diarahkan khusus pada dimensi kebudayaan dalam perjalanan sejarah, dan bukti sejarah yang masih tersisa dari kontribusi Persia di NusantaraMelayu ini. B. Metode Penelitian Kajian ini bersifat deskriptif, dengan pendekatan historiografi, dan paradigma kebudayaan. Teknik pengumpulan data melalui

Library Research

(kajian kepustakaan), lewat membaca beberapa buku sejarah yang dianggap

relevansi, jurnal, dan beberapa sumber bacaan lainnya yang mendukung fokus penulisan ini. Selain itu, sempat dilakukan wawancara dengan informan yang dianggap profesional lewat kajian sejarah. Lebih luas, kajian ini tidak bersifat kuantitatif. Karena itu, penelitian ini tidak menggunakan angket, dan memanfaatkan kuisioner sebagai instrumen penelitian, tidak ada analisis data statistik, dan tidak ada prosentase responden terhadap populasi.

Karena penelitian ini bersifat deksriptif- historiografi. Maka, sumber sejarah (teks) dianggap sangat penting, terutama saat memilah data yang bisa dipakai, dan bagaimana mendeskripsikannya dalam bentuk tulisan. Semua data lewat library research saya jadikan acuan dari metode menulis sejarah mengenai kontribusi Persia dan Nusantara. Nantinya diharapkan, deskripsi historiografi ini tidak bersifat imajinatif-pengkultusan, dan fantasi semata. Apalagi mengingat penulisan sejarah yang baik, selalu butuh metodologi, dan penelitian sebagai rekontruksi pembuktian ilmiyah, agar keberadaannya tidak menjadi mitos, dan sekedar legenda satu hari nanti. Menyimak tulisan Kuntowijoyo dalam Metodologi Sejarah, bahwa perkembangan ilmu sejarah kadang harus bersanding dengan ilmu interdisipliner lain (Kuntowijoyo, 1994). Artinya, berbicara sejarah tidak hanya berbicara masa lampau yang “kaku”. Sejarah telah membuka diri untuk memasukkan sosiologi, antropologi bahkan ekonomi sebagai teori pendukung di dalamnya. Karena itu, pendekatan antropologi-kebudayaan dalam tulisan ini, diharapkan sejarah kontribusi Persia dan Nusantara tidak “kaku”. Merujuk pada Taufik Abdullah (dalam Yatim, 1997 : 2-3) bahwa dalam menulis sejarah maka harus diperhatikan empat faktor. Pertama, Pembatasan yang menyangkut dimensi waktu, untuk mengisyaratkan adanya suatu karakteristik yang dominan. Kedua, Pembatasan yang menyangkut peristiwa. Ketiga, Pembatasan yang menyangkut tempat. Keempat, Pembatasan yang menyangkut seleksi, artinya tidak semua peristiwa masa lampau itu masuk dalam kategori sejarah. Karena itu, usaha sejarawan adalah usaha bagaimana menuangkan masa lampau yang dianggap penting, dan berkaitan ke dalam sebuah karya tulis, dan menjadi persoalan sejarah sebagai ilmu. Dari empat fase tersebut,

maka kajian ini hanya dibatasi untuk melihat khusus pada kontribusi Persia di Nusantara dari sisi aspek sejarah, dan kebudayaan. Penelitian ini sebenarnya bisa dikembangkan secara fokus, dengan menggali data lapangan (field research). Akan tetapi, secara terpaksa kajian ini hanya disandarkan pada data dari kajian pustaka. Mengingat keterbatasan waktu, dan ruang jurnal.

PEMBAHASAN A. Budaya Hemispheric Nusantara-Melayu)

Islam

(Dualitas

Kebudayaan

Persia

dan

Kata hemispheric dipakai oleh Nurcholish Madjid untuk menggambarkan keadaan kebudayaan Islam lintas-dunia (khususnya belahan bumi-Timur), yang saling mempengaruhi antarbangsa lewat pola dasar sebuah budaya umum berdimensi hemispheric. Madjid menulis : ”...Pola budaya hemispheric itu menghasilkan terbentuknya lingkungan yang memberi kemudahan bagi penyebaran dan peneguhan agama Islam di kawasan Asia Tenggara”(Madjid, 2004 : 12). Islam disebut-sebut telah menjadi pemersatu budaya di belahan bumiTimur, dan diikuti oleh dominasi identitas baru, yang sangat tergantung pada pembawa (saudagar) Islam tatkala menyebarkan agama ini (Arab, India, Persia, dan Turki). Sebut saja saat Anak Benua (India) yang menjadi agen utama pengaruh terhadap kawasan seperti Indonesia, pernah mengikutsertakan kebudayaan Perso-Arab yang menggeser Sanskerta. Tapi, pengaruh bahasa Parsi tersebut di Asia Tenggara, kemudian totalitas terkonversi oleh bahasa Arab saat Islam-Arab mendominasinya. Sebenarnya, apa yang disebut hemispheric oleh Madjid, sedikit berdekatan dengan istilah “kontruksi global” yang sering dipakai oleh para ahli antropologi. Terutama untuk menggambarkan pola kontak antarbangsa di dunia ini, dan penyebaran kebudayaan sejak manusia mulai mengenal transportasi laut. Sebagaimana diyakini oleh sejarawan, bahwa perdagangan lah yang menjadi subbudaya manusia dalam ruang sejarah, terutama saat melakukan perjalanan laut hingga bertemu dengan komunitas manusia lain nya (Ibrahim, dkk. 1991 : 55). Madjid juga mengakui, bahwa peranan trade (dagang) pula pada awal nya yang

melahirkan

bentuk

silang

budaya,

meskipun

dianggap

secara

“kebetulan”(Madjid, 2004 : 8). Posisi Nusantara yang strategis dalam kontestasi perdagangan juga menjadi sebab bertemunya multi-budaya di sini. Nusantara disinyalir tepat berada antara lautan Hindia dan Laut Cina Selatan, yang

menghubungkan Negeri Timur (China dan Jepang) dengan Negeri Barat-Anak Benua India, Persia, dan Negara Arab serta Afrika (Alfian, 1999 : 1). Sejak Selat Malaka menjadi basis perdagangan, maka banyak bangsa besar turut serta dalam transaksi perdagangan di sini. Bangsa Eropa lewat kapal layar Venesia yang menuju Mesir, selanjutnya diteruskan ke Malaka, selalu mengirim barang dagangan seperti logam mulia, alat senjata, barang pecahan seperti gelas, manik-manik, air raksa, bahan celup, dan kain wol berwarna. Adapun Bangsa Arab, Syiria, dan Pantai Timur Afrika selalu mengirim candu dalam jumlah yang besar, seperti emas, perak, kismis, permadani, dan kuda. Sedangkan Bangsa Persia-Arab mereka bertransaksi dengan membawa kuda, mutiara, emas, perak, kuningan, sutera, dan tawas ke Gujarat. Tujuan mereka sendiri ke Gujarat untuk mendapat rempah-rempah dari Malaka dan Indonesia (Alfian, 1999 : 28). Orang-orang Arab dan Persia pun sebagai bangsa besar, sebelumnya telah melakukan kontak kebudayaan dengan penduduk Asia. Khususnya di Cina, yang telah berlangsung 1000 tahun sebelum Islam muncul, lewat perdagangan Arab, Persia-Cina (Madjid, 2004 : 15). Data ini menunjukkan bahwa, mereka (Arab dan Persia) telah eksis hingga ke Asia sejak ribuan abad yang lalu. Karena itu, kotribusi, dan pengaruh kebudayaan mereka tidak bisa dinafikan begitu saja dalam perjalanan sejarah. Apalagi, setelah Islam muncul, maka semangat penyebaran agama yang bersinergi dengan dagang, menjadi faktor utama ekspansifnya kontak kebudayaan mereka di Asia Tenggara, dan Nusantara khususnya. Meminjam istilah budaya hemispheric Islam, sangat tepat untuk menggambarkan kontribusi Persia sebagai salah satu pusat peradaban Islam, yang tentu memiliki pengaruh terhadap Nusantara. Bagaimanapun, peran Islam sebagai sebuah ideologi, dan unsur religius telah membawa kontak kebudayaan yang lebih ekspansif dari wilayah pusat kejayaan Islam (Arab, Persia, Turki, dan India) ke wilayah yang akan diislamkan. Meskipun pada awalnya, hubungan antarbangsa itu tentunya sudah pernah terlaksana lewat perdagangan melalui jalur laut, jauh sebelum penyebaran Islam. Akan tetapi, melalui Islam, maka

penyebaran kebudayaan mereka lebih cepat diterima, bahkan “mungkin” dikultuskan kemudian hari. Dari beberapa deskripsi sejarah, istilah Persia selalu merujuk pada suku bangsa pada dasarnya, bukan negara (kini mereka mendiami negara Iran). Mereka bisa mendiami wilayah manapun yang berhasil dikuasainya. Dalam catatan sejarah, antara Persia, dan Romawi saling berkompetisi dalam merebut pengaruh, dan kekuasaan untuk menjadi penguasa di wilayah yang ditaklukkan nya (kawasan Timur Tengah). Bahkan, agama asli nenek moyang Persia sendiri sangat dipengaruhi oleh ajaran Manikeisma, dan Zoroasterianisma (Haekal, 2007 : 201).1 Penaklukkan Persia di bawah panji Islam, sangat dipengaruhi oleh imajinasi yang tertanam pada semangat muslim saat itu, mengenai janji Allah pada Rasulnya, bahwa Persia dan Romawi akan jatuh ke tangan ummat Islam (Ja’fariyan, 2006 : 168). Mengingat dua kerajaan besar ini yaitu Romawi dan Persia merupakan penguasa teluk Syam, Yaman dan Irak, sehingga orang-orang Arab yang tinggal dikedua kerajaan ini, diklasifikasi pada dua model. Mereka bangsa Arab yang tinggal di perbatasan Syam bergabung dengan Romawi, dan yang tinggal di perbatasan Irak bergabung dengan Persia. (Haekal, 2007 : 195). Maka, terbukalah pemahaman mengenai kesuksesan Islam menyebar ke wilayah Timur Tengah ini, termasuk ke wilayah kekuasaan Persia karena pengaruh komunitas Arab (imigran), yang telah lama mendiami kawasan tersebut (Lewis, 1994 :14). Lewat catatan sejarah Islam, maka dapat diketahui bahwa sentuhan Islam terhadap Persia pertama sekali dimulai sejak masa Khalifah Abu Bakar ash Shiddiq, dan diperluas pada masa Umar bin Khattab. Sebagaimana dilukiskan oleh Ja’fariyan, bahwa kelemahan Dinasti Sassaniyah (Sassanid) di Persia-Iran, telah membuat laju pasukan Arab yang ingin menyebarkan agama (Islam) nya Dalam bukunya, Haekal menyebut Manikesma adalah ajaran suatu filsafat agama, campuran dari unsur-unsur Mazdakisma, Kristen dan Paganisma, didirikan di Persia (261 M), oleh Mani atau Manichaeus, nabi penerus Kristus. Sedangkan Mazdakisma atau Zoroastrianisma merupakan nama agama di Persia purba yang menurut pada nama dewa tertinggi nya yaitu Mazda, dan didirikan oleh Zarathustra (Zoroaster) sekitar abad ke-5 Masehi. 1

meraih kemenangan menaklukkan Persia (Ja’fariyan, 2006 : 167). Dikirimnya kekuatan Islam di bawah komando Khalid ibn Walid untuk menaklukkan Persia, akhirnya berhasil ditaklukkan nya Al Hirah oleh pasukan Islam pada tahun 634 M (12/13 H). Pada masa Umar ibn Khattab, maka keseluruhan wilayah Persia diklaim dikuasai oleh umat Islam-Arab, saat Al Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah di Iraq dapat dikuasai pada tahun 637 M (15/16 H). Serangan kemudian dilanjutkan ke ibu kota Persia, Al Madain pada tahun 641 M (20/21 H), sekaligus penguasaan Mosul ketika itu. Karena itu, pada masa Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan Islam terus meluas hingga ke Persia. Seiring dengan itu, maka kebudayaan Arab-Islam, mulai berakulturasi dengan kebudayaan negeri taklukkannya. Bahkan, Umar sendiri ikut mengadopsi pengetahuan politik yang digunakan oleh Pemerintah Persia sebelum nya, seperti menerapkan sistem adminsitrasi negara, dengan mencontoh administrasi Persia (Yatim, 1993 : 36-37). Lebih lanjut, catatan sejarah Islam mendeskripsikan bahwa pada masa Umar, kedaulatan Islam sudah membentang jauh dari ujung Persia di Timur sampai di perbatasan Sirenaika, dan Tripoli di barat, dari Laut Kaspia di Utara sampai ke Nubia di Selatan (Haekal, 2008 : 37). Ini artinya, hubungan Islam dan Persia terus meluas (dualitas kebudayaan). Pengaruh, dan kontribusi “kebudayaan” Persia, baru sangat terasa ketika pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dalam rentang waktu tergolong lama (750 -1258 M (132/33 - 655/57 H)). Pada masa Al Manshur, ibu kota negara dipindahkan ke Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, pada tahun 762 M (144/45 H). Karena itu, pusat pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah tepat berada di tengah-tengah “bangsa” Persia. Bahkan, dalam struktur jabatan, keterlibatan orang Persia sangat terasa pengaruh nya dalam pemerintahan Abbasiyah. Penunjukkan Wazir (koordinator departemen) yang pertama sekali adalah orang Balkh-Persia, yaitu Khalid bin Barmak pada masa Al Manshur (dominasi aktor, dan kebudayaan lokal) (Yatim, 1993 : 51). Bahkan, menurut Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”(terj), kedudukan wazir dianggap sangat penting, dia merupakan utusan khalifah dalam melaksanakan kekuasaan eksekutif.

Karena itu, tidak mengherankan kalau posisi wazir justru menarik perhatian setiap orang. Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menambahkan, bahwa adakalanya kontrol wazir melebihi seorang khalifah. Bahkan, wazir bisa menunjuk seorang khalifah untuk menjadi utusan mengawasai persoalan agama, agar syari’at terlaksana denga baik (Khaldun, 2008 : 293). Kontribusi terbesar bangsa Persia terhadap Islam pada masa Abbasiyah juga sangat te...


Similar Free PDFs