Majalah Hidayatullah, edisi Desember 2021 PDF

Title Majalah Hidayatullah, edisi Desember 2021
Author Akmal Sjafril
Pages 2
File Size 455.7 KB
File Type PDF
Total Downloads 133
Total Views 487

Summary

KOLOM “Kecurangan” Permendikbud 30 Oleh : Akmal Sjafril* P ublik riuh. Peraturan Menteri Pendidikan, (ITJ), dan lain-lain. Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor Menurut guru besar Ilmu Hukum Universitas Pa­ 30 Tahun 2021 (selanjutnya disebut Per- djadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, Per...


Description

KOLOM

“Kecurangan” Permendikbud 30 Oleh : Akmal Sjafril*

P

ublik riuh. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 (selanjutnya disebut Permendikbud –red) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menjadi kontroversi. Banyak pihak menolaknya, termasuk dari kalangan akademisi perguruan tinggi sendiri. Majelis Ormas Islam (MOI) yang beranggotakan 13 ormas —antara lain DDII, PUI, al-Ittihadiyah, dan IKADI—menjadi pihak pertama yang menyatakan kebe­ratan. Pada 1 November 2021, MOI menyatakan bahwa peraturan tersebut berpotensi melegalkan perzinaan dan menawarkan paradigma sexual consent yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan moral bangsa. Muhammadiyah juga melihat adanya potensi legalisasi zina melalui paradigma sexual consent, sehingga terjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai agama. Kemendikbudristek juga dinilai mengabaikan prinsip keterbukaan dengan tidak melibatkan pihakpihak yang terkait dengan peraturan tersebut. Ketua MUI, KH. Cholil Nafis, meminta agar pe­ raturan yang berpotensi melegalisasi zina itu segera dicabut. Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) juga menyatakan keprihatinannya. Di parlemen, para anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menolak. Organisasi-organisasi pe­ rempuan seperti Aisyiyah, Wanita Islam (WI), dan Muslimat PUI juga mengkhawatirkan kerusakan mo­ ral akibat Permendikbud ini. Penolakan juga datang dari Gerakan Indonesia Beradab (GIB), Aliansi Cerah­ kan Negeri (ACN), Komunitas #IndonesiaTanpaJIL

26

(ITJ), dan lain-lain. Menurut guru besar Ilmu Hukum Universitas Pa­ djadjaran, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM, Permendikbud itu akan menghidupkan gaya hidup seks bebas yang bertentangan dengan moral bangsa. Yenti Garnasih, Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI), memandang bahwa Permendikbud membawa nilai yang kebarat-baratan. Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Ma’mun Murod, MSi, pun dibuat gerah dengan Guntur Romli —pegiat Islam liberal— yang menuduh semua penolak Permendikbud sebagai “penjahat kel­ a­min”. Pertarungan Sebenarnya, Permendikbud 30 begitu cepat me­

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com

RABI’UL AKHIR 1443/ DESEMBER 2021

FOTO:ENVATO.COM

nuai kritik karena mencolok kemiripannya dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) yang pernah kontroversial. Mereka yang mencermati RUU dapat dengan mudah mengambil sikap, karena pada dasarnya keduanya memang sama. RUU P-KS menerima banyak masukan, terutama untuk mengubah cakupannya dari “kekerasan seksual” menjadi “kejahatan seksual”. Karena tidak juga dilakukan perubahan, maka pembahasannya dihenti­ kan. Belakangan, tanpa perubahan yang signifikan, RUU ini muncul dengan nama baru, yaitu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebelum RUU P-KS, ada pengalaman judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak boleh dilupakan oleh umat Islam. Penulis, bersama sejumlah pemohon lainnya, pernah mengajukan uji materi terhadap tiga pasal kesusilaan dalam KUHP, yaitu pasal 284, 285, dan 292. Perdebatan yang sangat kencang terjadi pada pasal 284 dan 292, sehubungan dengan perzinaan dan hubungan seks sesama jenis. Sejumlah pihak —terutama Komnas Perempuan— menolak jika pidana terhadap perselingkuhan pada pasal 284 diperluas hingga mencakup segala perzinaan, juga menolak mempidanakan hubungan seks sesama jenis. Ada beberapa argumen dari kubu penolak judicial review. Irwanto, dosen Universitas Katolik Atma Jaya, misalnya, menolak kriminalisasi zina sebab dapat merusak mata pencaharian pekerja seks komersil. Merebaknya HIV/AIDS, menurutnya, bukan sepenuhnya salah mereka, sebab mereka tidak bisa memaksa pelanggannya untuk mengenakan kondom. Irwanto juga menyalahkan rendahnya “disiplin” para lelaki “berisiko tinggi”. Roichatul Aswidah yang diajukan sebagai ahli oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bahkan melangkah lebih jauh. Menurut anggota Komnas HAM ini, aktivitas seksual dan konsumsi pornografi adalah ranah privat seseorang. Kubu mereka juga menyatakan bahwa pidana terhadap perzinaan tidak boleh dilakukan justru karena sekarang sudah banyak remaja yang berzina. Dengan adanya pemidanaan, dikhawatirkan penjara akan penuh dan masa depan mereka akan hancur. Setelah lebih dari 20 kali sidang, judicial review ditolak. Perlu dicatat, yang ditolak Mahkamah Konsti­ tusi (MK) bukanlah gagasan-gagasan pemohon, me­ lainkan prosedur yang ditempuh. MK sepakat bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan kesusilaan, menolak perilaku seks bebas dan homoseksualitas. Hanya saja, perubahan yang diinginkan pada KUHP tersebut semestinya diproses melalui DPR.

Ketua MUI, KH. Cholil Nafis, meminta agar pe­raturan yang ber­ potensi melegalisasi zina itu segera dicabut. Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Ma­ hasiswa Islam (KAH­ MI) juga me­nyatakan keprihatina­n­nya. Kecurangan Setelah pertarungan di MK, muncullah RUU P-KS, RUU TPKS, dan Permendikbud 30. Norma yang dijunjung tinggi adalah sexual consent atau persetujuan untuk melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu, muncul penafsiran bahwa jika yang dilarang hanya hubungan seksual tanpa persetujuan, maka itu berarti yang dilakukan dengan persetujuan —meski di luar pernikahan— dianggap boleh. Tudingan legalisasi zina dibantah oleh pihakpihak yang mendukung Permendikbud. Akan tetapi, dengan menengok sejarah, kita akan menyadari bahwa permen ini tidak lahir dari “ruang hampa”. Ia adalah jelmaan dari RUU P-KS yang diperjuangkan oleh pihak-pihak yang telah menolak judicial review terhadap pasal-pasal kesusilaan. Dengan mencermati track record mereka, sulit untuk membantah bahwa “celah” yang ada pada definisi kekerasan seksual di atas memang lahir dari ideologi sekuler yang me­lahirkan paham kebebasan seksual. Dirilisnya Permendikbud itu sendiri dapat dilihat sebagai sebuah kecurangan. Pasalnya, RUU P-KS — yang nyaris telah disalin-tempel ke dalam Permendikbud— telah ditolak karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan Pancasila. Seyogyanya, itu tidak boleh dimasukkan ke dalam sebuah Permen. Legislatif pun belum menyepakati sexual consent sebagai sebuah norma, apakah wajar jika Kemendikbudristek telah mengeksekusinya di lapangan? *Pendiri Sekolah Pemikiran Islam/Suara Hidayatullah

27...


Similar Free PDFs