Makalah budidaya udang vaname (litopenaeus vannamei ) dengan pola intensif sistem bioflok PDF

Title Makalah budidaya udang vaname (litopenaeus vannamei ) dengan pola intensif sistem bioflok
Author Anisa Nurlatu
Pages 39
File Size 605.6 KB
File Type PDF
Total Downloads 310
Total Views 382

Summary

MAKALAH Budidaya Udang Vaname (litopenaeus vannamei) Pola Intensif dengan sistem Bioflok Oleh: ANISA NURLATU NRP. 53174211942 PROGRAM DIPLOMA IV PROGRAM STUDI TEKNOLOGI AKUAKULTUR JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA 2019 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Be...


Description

MAKALAH

Budidaya Udang Vaname (litopenaeus vannamei) Pola Intensif dengan sistem Bioflok

Oleh: ANISA NURLATU NRP. 53174211942

PROGRAM DIPLOMA IV PROGRAM STUDI TEKNOLOGI AKUAKULTUR JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA 2019

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dalam The State of Fisheries and Aquaculture 2008, FAO melaporkan bahwa akuakultur merupakan salah satu sektor produksi pangan yang memiliki laju pertumbuhan tertinggi di dunia, mencapai 8,7% per tahun sejak tahun 1970 Kontribusi akuakultur terhadap produksi perikanan dunia juga terus menunjukkan peningkatan pada tahun 2006 sektor ini telah memberikan kontribusi mencapai 47% dibandingkan tahun 1950 yang hanya 3%, Seiring dengan menurunnya produksi perikanan tangkap maka tidaklah mengherankan jika sektor akuakultur kemudian diharapkan dapat menjadi suplier utama produk-produk perikanan dunia (Rangka, 2012) Budidaya perikanan adalah usaha pemeliharaan dan pengempbangbiakan ikan atau organisme air lainnya budidaya perikanan disebut juga sebagagai budidaya perairan atau akuakultur (Mulyono dan Ritonga 2019). Sektor perikanan budidaya saat ini telah memberikan kontribusi nyata dalam ketahanan pangan baik dari segi peningkatan produksi, konsumsi protein hewani, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan danpengembangan wilayah, salah satu bukti nyata adalah pengembangan usaha perikanan budidaya utamanya oleh kelompokpembudidaya ikan (Pokdakkan), intensifikasi merupakan pilihan yang memungkinkan dalam meningkatkan produksi budidaya dengan keterbatasan lahan dan sumber air yang terjadi saat ini ,sistem budidaya intensif dicirikan dengan adanya peningkatan kepadatan ikan dan pakan tambahan dari luar, hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan berupa penurunan kualitas

2

lingkungan yang disebabkan limbah organik dari sisa pakan dan kotoran, limbah tersebut umumnya didominasi oleh senyawa nitrogen anorganik yang beracun. Oleh karena itu dibutuhkan suatu solusi untuk mengatasi masalah dalam keterbatasan lahan, air dan pakan(Soedirman & Tengah, 2019). Indonesia merupakan Negara yang memeiliki wilayahlaut sangat luas ,sekitar 2/3wilayah ini berupa lautan. Dengan cakupan wilayah laut yang begit luasnya maka Indonesia sebagai Negara maritim yang di tetapkan dalam UNCLOS 1982 (Nugraha dan mulyono 2017) Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025,meningkatnya populasi penduduk dunia akan meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam, diantaranya untuk pemenuhan bahan pangan,udang dan produk perikanan lainnya berpotensi menjadi sumber bahan pangan karena memiliki nilai protein tinggi, micronutrient penting untuk kesehatan manusia menurunnya hasil perikanan tangkap akibat overfishing dan pembatasan tangkapan lestari mengkondisikan sektor perikanan budidaya tumbuh agresif dengan pertumbuhan rata-rata 8,8% per tahun sejak tahun 1980. Produksi perikanan budidaya dari jenis crustacea (jenis udang-udangan) pada tahun 2010 terdiri dari 29.4% pada perairan tawar dan 70,6% dari perairan laut,produksi komoditi spesies air laut didominasi oleh udang putih (Litopenaeus vanamei), 77% diantaranya diproduksi negara-negara Asia termasuk Indonesia. (FAO,2012). Perkembangan teknologi budidaya udang intensif disinyalir ikut memberi kontribusi terhadap kerusakan lingkungan, karena proses budidaya menghasilkan limbah yang bersumber dari pakan yang tidak termakan dan sisa metabolisme. Penggunaan lahan, air, konversi hutan mangrove, berkurangnya biodeversity dan penggunaan energi fosil menjadi perhatian dalam kegiatan usaha budidaya udang (Diana, 2009). Untuk mengurangi dampak negatif limbah budidaya terhadap lingkungan, budidaya udang dapat dilakukan dengan sistem zero exchange water sehingga dapat mengurangi resiko pencemaran oleh limbah budidaya

Pengendalian jumlah ammonia dapat dilakukan dengan

penerapan teknologi bioflok (Avnimelech, 1999 dalam Crab, et al. 2009). Udang

putih

(Litopenaeus

vannamei)

mulai

diintroduksi

dan

3

dibudidayakan pada tahun 1999 dan menunjukkan hasil yang baik, sehingga telah menggairahkan kembali usaha pertambakan di Indonesia, udang vaname mempunyai keunggulan komparatif dibanding jenis udang budidaya lainnya, sintasan udang tinggi (>70%), ketersediaan benur berkualitas, Spesific Phatogen Free (SPF), dapat dibudidayakan dengan kepadvanatan tebar tinggi, tahan penyakit, dan konversi pakan rendah (Gunarto, Suwoyo, & Tampangallo, 2016) Adanya penurunan dari kualitas air sebagai akibat akumulasi bahan organik baik yang berasal dari limbah metabolisme dan bahan organik lainnya merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi ikan budidaya. Teknologi bioflok menjadi salah satu alternatif peme- cahan masalah limbah budidaya yang paling menguntungkan, karena dapat menurunkan limbah nitrogen anorganik (Yuniasari, 2009 dalam Masithah at al, 2016a) Budidaya pola intensif dan super intensif udang putih (Litopenaeus vannamei) di Indonesia hingga kini telah berkembang dan menggunakan berbagai jenis tambak yaitu tambak tanah, tambak semen dan tambak HDPE. Masingmasing jenis tambak tersebut mempunyai keunggulan dan kelemahan secara teknis dan ekonomis. Dalam kaitannya dengan teknologi produksi bioflok, menyatakan bahwa bioflok mudah terbentuk pada tambak yang menggunakan plastik HDPE. Komoditas yang umum dibudidayakan di tambak Indonesia adalah udang dan ikan bandeng. Dalam pelaksanaan program revitalisasi di bidang akuakultur udang windu, Penaeus monodon dan udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan ikan bandeng (Chanos chanos) telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan untuk dikembangkan. Dalam upaya meningkatkan produksi udang tersebut, maka salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah peningkatan produksi

melalui

budidaya

tambak

baik

melalui

intensifikasi

maupun

ekstensifikasi(Saenphon et al. 2005 dalam Mustafa, 2016) 1.2 TUJUAN Adapun tujuan dalam pembuatan paper ini adalah : 1. Mengetahui perkembangan budidaya udang

vaname (Litopenaeus

vanamei). 2. Mengetahui teknik pembesaran udang vaname (Litopenaeus vanamei)

4

3. Mengetahui Pengaruh bioflok dalam kegiatan budidaya udang vaname (Litopenaeus vanamei). 4. Mengetahui tingkat kehidupan udang dalam kegiatan budidaya dengan menggunakan bioflok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Udang vaname (L. vannamei) Pengetahuan

tentang

biologi

udang

sangat

penting

dalam

rangkapengembangan sistem budidaya masa depan baik pembenihan maupun pembesaran. Biologi udang yang perlu dipahami antara lain : taksonomi, morfologi, distribusi, bionomik, dan siklus hidup (Affandi e.t all ,2002). 2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang vaname (L. vannamei) Berdasarkan data WHO, terdapat 343 jenis udang yang mempunyai nilaiekonomis dan 110 spesies berasal dari famili Penaeidae,

saat ini baru

delapan jenis udang yang bisa dikembangkan untuk akuakultur antara lain : Penaeus chinensis, P. indicus, P. japonicus, P. merguensis, P. monodon, P. stylirostris, P.vannamei, dan Metapenaeus merguensis (Rosenberry, 1989).Spesies udang yang banyak dibudidayakan di Indonesia saat ini adalah P.Monodon dan P. vanamei,Penaeus monodon mempunyai nama lain giant tiger prawn dan di Indonesia disebut dengan udang windu.

5

Sedangkan P. vannamei sering disebut dengan whiteleg shrimp atau sering disebut dengan udang putih atau vaname . Penaeus vannamei sering pula disebut dengan Litopenaeus vannamei yang merujuk pada subgenus Litopenaeus. Penaeus monodon banyak ditemukan di Indonesia, Thailand, India, Vietnam, Filipina, China, Bangladesh dan Taiwan, sementara udangvaname banyak ditemukan di perairan Ekuador, Mexico, Panama, dan Honduras. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), klasifikasi udang putih (Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut: Kingdom

: Animalia

Sub kingdom

: Metazoa

Filum

: Arthropoda

Subfilum

: Crustacea

Kelas

: Malacostraca

Subkelas

: Eumalacostraca

Superordo

: Eucarida

Ordo

: Decapodas

Subordo

: Dendrobrachiata

Familia

: Penaeidae

Sub genus

: Litopenaeus

Spesies

: Litopenaeus vannamei

2.1.2 Morfologi Udang vaname (L. vannamei) Menurut Haliman dan Adijaya (2005), tubuh udang vaname dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite, vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vaname sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut :

6

1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing) 2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas. 3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula. Kepala (thorax). Selanjutnya, kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubugka oleh coxa. Morfologi udang vaname Bentuk periopoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis,ischium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam taksonomi (Haliman dan Adijaya, 2005)

Gambar 1.Morfologi Udang vaname

2.1.3 Habitat dan Siklus Hidup

7

Udang vaname adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang kondisi iklimnya subtropics di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman kurang lebih 70 meter, udang vaname bersifat nocturnal, yaitu aktif mencari makan pada malam hari proses perkawinan pada udang vaname ditandai dengan loncatan betina secara tiba-tiba pada saat meloncat tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur pada saat yang bersamaan udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel telur dan sperma bertemu, proses perkawinan berlangsung kira-kira satu menit, sepasang udang vaname berukuran 30-45 gram dapat menghasilkan telur sebanyak 100.000-250.000 butir selanjutnya, dinyatakan siklus hidup udang vaname sebelum ditebar ditambak yaitu stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva berukuran 0,32-0,59 mm, sistim pencernaanya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam, larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm dan pada stadia ini benur mengalami 3 kali moulting pada stadia ini pula benur sudah bisa diberi makan yang berupa artemia siklus hidup udang vaname dapat di lihat pada Gambar berikut.

Gambar.2 Siklus Hidup Udang vannme Pada stadia mysis benur udang sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Selanjutnya, udang mencapai stadia post larva dimana, udang sudah menyerupai 8

udang dewasa. Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari misalnya, PL1 berarti post larva berumur satu hari pada stadia ini udang sudah mulai bergerak aktif (Haliman dan Adijaya, 2005) 2.2 Persiapan Wadah Pemiliharaan 2.2.1 Pengeringan dan Pembersihan Tambak Kegiatan usaha budidaya di tambak merupakan proses produksi yang memerlukan kendali dan keberhasilannya akan sangat tergantung pada faktor teknis maupun non teknis. Faktor teknis, seperti perencanaan terpadu sangat penting dalam mata rantai kegiatan budidaya tambak dengan demikian, perencanaan harus diarahkan pada kemampuan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan keadaan alami yang dituntut oleh organisme akuatik yang dibudidayakan (Mustafa, 2016).

Persiapan tambak untuk budidaya udang vaname secara intensif dilakukan berurutan (Utojo & Tangko, 2016) sebagai berikut: 1. Penjemuran tanah dasar tambak hingga kering 2. Pembersihan dan perbaikan peralatan seperti kincir, kabel,saringan, pipa paralon, dan lain-lain; 3. Pengolahan tanah dengan membuang lumpur 10 cm di bagian atas pelataran tambak dan pemberian desinfektan kaporit 20-- 30 mg/L 4. Perbaikan bocoran pematang dan perataan tanah dasar tambak; 5. Pengecekan potensial redoks hingga ± 50 mV, penghitungan kebutuhan kapur tergantung dari kondisi tanah dasar tambak 6. Pemasangan saringan pada pintu-pintu tambak 7. Pengisian air setinggi 20 cm atau macak-macak di pelataran tambak; 8. Diberikan saponin 15--20 mg/L (150--200 kg/ha) 9. Dimasukkan air setinggi 100--120 cm pada tambak

9

10. Diberikan fermentasi mini- mal satu kali pemberian dengan bahan fermentasi probiotik (super media 1) yang terdiri atas katul 10 kg, saponin 10 kg, ragi tape 250 g/ha, direndam dalamair tawar 24--36 jam tanpa aerasi 11. Setelah air sesuai standar, kemudian benur ditebar

2.2.3 Biosecurity Biosecurity adalah tindakan untuk mengeluarkan pathogen tertentu dari kultivan yang dibudidayakan di kolam induk, pembenihan maupun kolam pembesaran dari suatu wilayah atau negara dengan tujuan untuk pencegahan penyakit,penyakit merupakan penyebab terbesar kegagalan budidaya udang (viral and bacterial disease) penyakit yang menyerang udang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

a) Degradasi lingkungan b) Rendahnya pengetahuan tentang penyakit c) Pemilihan benur yang tidak baik d) Transfer udang (nasional dan internasional) Biosecuriry dalam penerapannya memiliki beberapa tingkatan/level, yaitu : a) Ultra high level , misalnya dalam unit penghasil induk SPF b) High level, misalnya pada hatcery, tambak intensif c) Medium level, misalnya pada tambak semi intensif d) Low level , misalnya pada tambak semi intensif e) None , misalnya pada tambak ekstensif/tradisional Penerapan Biosecurity dalam budidaya udang terbagi menjadi dua, yaitu first line of defense dan second line of defense. 1. First line of defense terdiri dari :

10

a) Barrier b) Isolasi (quarantine) c) Water Filtration d) Zero water exchange e) Water sterilization f) Equipment sterilization g) SPF Fry 2. Sementara Second line of defense terdiri dari a) Specific Pathogen Resistant(SPR) dan b) Immunostimulant

2.2.4 Bioflok Teknologi bioflok merupakan salah satu alternatif baru dalam mengatasi masalah kualitas air dalam akuakultur yang diadaptasi dari teknik pcngolahan limbah domestik secara konvensional Prinsip utama yang diterapkan dalam teknologi ini adalah manajemen kualitas air yang didasarkan pada kemampuan bakteri heterotrof untuk memanfaatkan N organik dan anorganik yang terdapat di dalam air,teknologi bioflok sering disebut juga dengan teknik suspensi aktif (activated suspension technique AST), menggunakan aerasi konstan untuk memungkinkan terjadinya proses dekomposisi secara aerobik dan menjaga flok bakteri berada dalam suspensi dalam sistem ini, bakteri heterotrof yang tumbuh dengan kepadatan yang tinggi berfungsi sebagai bioreaktor yang mengontrol kualitas air terutama konsentrasi N serta sebagai sumber protein bagi organisme yang dipelihara pembentukan bioflok oleh bakteri terutama bakteri heterotrof secara umum bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan nutrien menghindari stress lingkungan dan predasi flok bakteri tersusun atas campuran berbagai jenis mikroorganisme yaitu bakteri pembentuk flok, bakteri filamen, fungi, partikelpartikel tersuspensi, berbagai koloid dan polimer organik, berbagai kation dan sel-

11

sel mati dengan ukuran bervariasi dengan kisaran 100 - 1000 µm selain flok bakteri, berbagai jenis organisme lain juga ditemukan dalam bioflok scperti protozoa, rotifer dan oligochaeta komposisi organisme dalam flok akan mempengaruhi struktur bioflok dan kandungan nutrisi bioflok( (Avnimelech, 2006; deSchryver et al., 2008 dalam.Ekasari, 2009). Teknologi bioflok merupakan teknologi yang dikembangkan dengan memadukanpenanganan buangan limbah hasil budidaya dan mereduksi jumlah penggunaan air secara umum, kelebihan dari teknologi ini adalah biaya operasional yang lebih kecil tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan nilai FCR (feed convertion ratio) yang lebih rendah prinsip teknologi ini adalah mengkonversi limbah budidaya yang mengandung unsur nitrogen yang cukup tinggi menjadi pakan tambahan bagi udang selama proses peliharaan (Crab et al, 2009). Proses konversi tersebut terjadi jika jumlah kandungan nitrogen dan karbon dalam media budidaya seimbang, sumber nitrogen dalam perairan diperoleh dari pakan yang diberikan dengan kandungan protein tinggi berdasarkan SNI kandungan protein yang diberikan untuk budidaya udang adalah 28%. Pemberian protein yang cukup tinggi ini tidak diimbangi dengan pemberian karbon yang seimbang dalam pakan untuk itu, perlu upaya penambahan sumber karbon untuk meyeimbangakn jumlah nitrogen dalam peraiaran budidaya(Amir at al, 2018a). Teknologi bioflok telah banyak diaplikasikan pada berbagai komoditas perikanan budidaya seperti ikan nila, ikan mas, lobster air tawar udang windu dan udang vaname Secara umum pengaplikasian tekologi tersebut dapat menghemat penggunaan air karena tidak terjadi penggantian air selama masa pemeliharaan (zero water exchange) karena kemampuan sistem tersebut mengkonversi limbah khususnya amoniak dan nitrit menjadi pakan tambahan dalam bentuk bioflok hal tersebut dapat berdampak pada efisiensi pakan yang meningkat atau nila rasio konversi pakan yang kecil (Sahu et al., 2013 dalam Amir et al 2018b). 1. Manfaat bioflok Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi teknologi bioflok berperan dalam perbaikan kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan 12

produktivitas, peningkatan efisiensi pakan serta penurunan biaya produksi dan penurunan biaya pakan kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi (Ekasari, 2009).

Gambar.3. Kandungan Nutrisi Boflok (Ekasari, 2009) 2. Kekurangan bioflok Teknik bioflok dapat menyebabkan masalah lingkungan lain yang berkaitan dengan akumulasi nitrat (Mook, et al, 2012). Menurut Bunting dan Pretty (2007) mengungkapkan dalam hal penggunaan energi, jejak karbon pada kegiatan budidaya udang meliputi penggunaan langsung, seperti konsumsi bahan bakar fosil dan konsumsi tidak langsung seperti energi listrik. Klaim ramah lingkungan teknologi bioflok masih terbatas pada berkurangnya dampak lingkungan perairan, seperti pencemaran bahan organik, penyebaran patogen dan

13

efisiensi penggunaan lahan dan air, sementara input energi, kebutuhan bahan dan peralatan

lainnya

dalam

penerapan

teknologi

bioflok

juga

berpotensi

menyumbang dampak lingkungan (Ma'in e.t all, 2013). 2.3 Persiapan Media 2.3.1 Pengisian Air 1. pemasukan air ke tandon Dalam proses budidaya pemasukan air tandon merupakan salah satu langkah awal persiapan air Pemasukan air kepetakan tandon dengan menggunakan pompa 8 inch dan pada ujung pipa saluran pemasukan diberi saringan kasa (saringan hijau) agar kotoran yang ikut terhisap tidak langsung masuk ke bak tandon. Kemudian dilakukan perlakuan dengan pemberian kaporit. Pemberian kaporit pada air tandon merupakan langkah untuk mambunuh mikro dan makro organisme dengan dosis 10 ppm dengan luas tandon 500 m2. 2. Pemasukan air ke wadah pemeliharaan Pemasukan air ke wadah pemel...


Similar Free PDFs