MAKALAH PSIKOLOGI DAKWAH KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM PDF

Title MAKALAH PSIKOLOGI DAKWAH KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM
Author Gulam Nazih
Pages 21
File Size 254.4 KB
File Type PDF
Total Downloads 142
Total Views 766

Summary

MAKALAH PSIKOLOGI DAKWAH KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM DOSEN PEMBIMBING Dr. Abdul Hamid, Lc., M.Kom.I. DISUSUN OLEH Abdullah Ghulam Nazih 1120180007 Habib Mustofa 1120180046 Sobahul Khoiroh 1120180052 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI & PENYIARAN ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH ...


Description

MAKALAH PSIKOLOGI DAKWAH

KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

DOSEN PEMBIMBING Dr. Abdul Hamid, Lc., M.Kom.I.

DISUSUN OLEH Abdullah Ghulam Nazih

1120180007

Habib Mustofa

1120180046

Sobahul Khoiroh

1120180052

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI & PENYIARAN ISLAM FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH TAHUN AJARAN 2018/2019

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul “Konsep Manusia Menurut Islam” dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih saya tujukan kepada Bapak Dr. Abdul Hamid, Lc., M.Kom.I. selaku dosen pembimbing mata kuliah Psikologi Dakwah. Makalah ini berisi tentang bagaimana konsep manusia di dalam Islam. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Psilologi Dakwah. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bekasi, 15 November 2020

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A.

Latar Belakang ............................................................................................... 1

B.

Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

C . Tujuan Penulisan ............................................................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3 A.

Hakikat Manusia ........................................................................................... 3

B.

Konsep dan Struktur Kejiwaan Manusia ...................................................... 5

C.

Segi Positif dan Negatif Manusia ................................................................ 13

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17 A. Kesimpulan ...................................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah swt. Kesempurnaan yang dimiliki manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah di muka dumi ini. AlQuran menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah. Membicarakan tentang manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan sangat bergantung metodologi yang digunakan dan terhadap filosofis yang mendasari. Penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (makhluk berkeinginan). Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku interaksi antara komponen biologis, psikologis, dan social. Di dalam diri manusia tedapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai). Sementara penganut teori behaviorisme menyebut manusia sebagai homo mehanibcus(manusia mesin). Behavior lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (aliran yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan subjektif dan psikoanalisis (aliran yang berbicara tentang alam bawa sadar yang tidak nampak). Behavior yang menganalisis prilaku yang nampak saja. Menurut aliran ini segala tingkah laku manusia terbentuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungannya, tidak disebabkan aspek. Penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berpikir). Menurut aliran ini manusia tidak di pandang lagi sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif pada lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir. Penganut teori kognitif mengecam pendapat yang cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak memengaruhi peristiwa. Padahal berpikir, memutuskan, menyatakan, memahami, dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia.

1

Sementara di dalam Al-Qur’an terdapat 4 kata atau istilah yang digunakan untuk menunjukkan manusia. 1 Pertama, kata insan yang selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah. Kemudian kedua, basyar selalu dihubungkan pada sifat-sifat biologis, seperti asalnya dari tanah liat. Ketiga, Bani Adam berarti anak Adam. Keempat, Dzurriyat Adam yang berarti keturunan Adam. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini yaitu sebagai berikut: 1. Apa itu manusia? 2. Bagaimana manusia dalam Islam? 3. Bagaimana konsep dan struktur kejiwaan manusia?

C. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Psikologi Dakwah. Disamping itu, juga untuk memperluas wawasan kita terkait dengan psikologi dakwah.

1

Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah (Jakarta: Rahmat Semesta, 2006)., h. 53-54. Dan lihat: M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan,1996)., 278.

2

BAB II PEMBAHASAN A. Hakikat Manusia Dari pengertian etimologi, kata manusia berasal dari “Mansiy” yang artinya lupa. Maksudnya adalah manusia pada hakikatnya memiliki sifat pelupa. Hal tersebut bisa dibuktikan ketika manusia melanggar janji dan sumpah yang dulu pernah diucapkannya kepada Allah sewaktu di alam kandungan.2 Seperti terdapat dalam surat al-A’raf : 172 : .‫و أ ْشھدھُ ْم على أ ْنفُس ھ ْم ألسْت بر بكُ ْم قالُوا بلى‬ “Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami)”. (QS.Al A’raaf(7):172). Implementasi dari ayat tersebut adalah pengakuan seorang hamba secara totalitas bahwa hanyalah Allah Tuhan yang berhak disembah. Penyembahan tersebut tidak hanya sebatas ketundukan/kepasrahan dalam beribadah namun ketundukan dalam segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan hidup seperti rezki, jodoh, kebahagiaan hidup, bahkan kematian. 3 Berkenaan dengan sifat manusia yang pelupa tersebut, dengan tegas disebutkan oleh al-Qur’an dengan menggunakan empat macam istilah yang antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan, yakni al-Insaan, an-Naas, al-Basyar, dan bani Adam.4 Manusia di sebut al-Insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata An-Naas digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia. 5 Manusia di sebut sebagai al-basyar, karena kecenderungannya berperasaan dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. 2

Dr. Abdul Hamid, Lc., M.Kom.I., Pengantar Studi Dakwah, (Jakarta: Gema Amalia Press, 2015), Cet ke-1, h. 2.

3

Ibid.

4

Ibid.

5

Ibid.

3

Manusia juga di sebut sebagai bani Adam (keturunan Adam) karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari Nabi Adam as., sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali. Bahkan, penggunaan istilah bani Adam yang menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam as, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum).6 Sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35: ُ ْ ‫و ق ُ ل ْ ن ا ي ا آد م ُ ا سْ ك ُ ْن أ ن ْ ت و ز ْو جُ ك ال ْ ج ن َّ ة و ك ُ َل م ن ْ ھ ا ر غ د ًا ح ي‬ ‫ث ش ئ ْ ت ُم ا و َل ت ق ْ ر ب ا‬ ‫ھَٰ ذ ه ال شَّ ج ر ة ف ت ك ُ ون ا م ن ال ظ َّ ال م ين‬ “Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah: 35) Manusia

dalam

pandangan

al-Qur’an

bukanlah

makhluk

antropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia juga dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk sehingga membawanya pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia yang takwa. 7 Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan 6

Dr. Abdul Hamid, Lc., M.Kom.I., Pengantar Studi Dakwah, (Jakarta: Gema Amalia Press, 2015), Cet ke-1, h. 3.

7

Ibid.

4

manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah pembawa kebaikan (al-khair).8 Karena itu, hakikat, fitrah, serta kesejatian manusia adalah makhluk yang baik, benar, dan juga indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik selalu menyisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia diatas megingatkan kita pada teori superego (nafsu muthmainnah) yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia. 9 Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah), karena superego berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia. Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.10

B. Konsep dan Struktur Kejiwaan Manusia

8

Dr. Abdul Hamid, Lc., M.Kom.I., Pengantar Studi Dakwah, (Jakarta: Gema Amalia Press, 2015), Cet ke-1, h. 4.

9

Ibid.

10

Ibid.

5

Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi substansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs. Masing-masing yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling membutuhkan maka diperlukan yang dapat menampung kedua natur yang berlawanan, yang dalam terminology psikologi Islam disebut dengan nafs. Pembagian substansi tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din alZarkaliy yang dirujuk dari konsep Ikhwan al-shafa.11 1.

Substansi Jasmani Jasad (jisim) adalah substansi manusia yang terdiri atas stuktur organism fisik. Organisme-organisme fisik manusia lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik makhlukmakhluk lain. Setiap makhluk biotik-lahiriah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air. Keempat unsur tersebut di atas merupakan materi yang abiotik (mati). Ia akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqah al-jismiyah). Energi kehidupan ini lazimnya disebut dengan nyawa, karena nyawa hidup. Ibnu Maskawaih dan Abu al-Hasan al-Asy’ary menyebut energi tersebut dengan alhayah (daya hidup), sedang al-Ghazaliy menyebutnya dengan al-ruh jasmaniyah (ruh material). Dengan daya ini, jasad manusia dapat bernafas, merasakan sakit, panasdingin, pahit-manis, haus-lapar, seks dan sebagainya. Al-hayat berbeda dengan al-ruh, sebab ia ada sejak adanya sel kelamin, sedang al-ruh menyatu dalam tubuh manusia setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan. Ruh bersifat substansi (jauhar) yang dimiliki manusia, sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru (aradb) yang juga dimiliki oleh hewan.12

11

12

Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2001)., 39. Ibid.

6

Jisim manusia memiliki natur tersendiri. Al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari alam ciptaan yang memiliki bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak, dan diam, serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Begitu juga al-Ghazali memberikan sifat komponen ini dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi. Ciri-ciri jasmani yaitu: a. Bersifat materi yang tercipta karena adanya proses (tahap). b. Adanya bentuk berupa kadar dan bisa disifati. c. Ekstetensinnya menjadi wadah roh. d. Terikat oleh ruang dan waktu. e. Hanya mampu menangkap yang kongkret bukan yang abstrak. f. Substansinya temporer dan hancur setelah mati

2.

Substansi Ruhani Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism lathif), ada yang substansi sederhana (jauhar basith), dan ada yang substansi ruhani (jauhar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminilogi psikologi, sebab term ruh memiliki arti jauhar (substance), sedang spirit lebih bersifat aradh (accident). Istilah yang sering disebut dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan unsur manusia yang bersifat rohani adalah ruh dan nafs. Tentang ruh dijelaskan dalam surah al-Hijr/15: 28-29 Allah berfirman: ٌ ‫و إ ذ ْ ق ال ر ب ُّك ل ل ْ م َل ئ ك ة إ ن ي خ ال‬ ‫ق ب ش ًر ا م ْن ص ل ْ ص ا ٍل م ْن ح م إ ٍ م سْ ن ُو ٍن ف إ ذ ا‬ ُ ‫س َّو ي ْت ُه ُ و ن ف ْخ‬ ‫ت ف يه م ْن ُر وح ي ف ق ع ُ وا ل ه ُ س اج د ين‬ Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila

7

Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Al-Hijr/15: 28-29) Sebagaimana yang digambarkan dalam ayat di atas, ruh adalah unsur terakhir yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa ruh adalah unsur yang sangat penting karena merupakan unsur terakhir yang menyempurnakan proses penciptaan manusia. Ruh juga dikatakan sebagai bagian unsur yang mulia, hal ini tersirat dari perintah Allah kepada para malaikat (termasuk pula iblis) untuk sujud kepada manusia sebagai tanda penghormatan setelah dimasukkannya unsur ruh. Apakah ruh itu? Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Rasulullah saw sebagaimana yang tergambar dalam surah al-Isra’/17: 85 sebagai berikut: ً ‫الر و حُ م ْن أ ْم ر ر ب ي و م ا أ ُوت يت ُمْ م ن ال ْ ع ل ْ م إ ََّل ق ل‬ ‫يَل‬ ُّ ‫الر وح ۖ ق ُ ل‬ ُّ ‫و ي سْ أ ل ُ ون ك ع ن‬ Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Al-Isra’/17: 85) Ayat di atas menyiratkan bahwa pengetahuan manusia tentang ruh sangat terbatas sehingga tidak mungkin dapat mengetahui hakikat ruh secara detail. Sekalipun ayat di atas menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak akan mencapai pemahaman yang rinci tentang hakikat ruh, tetapi tidak satupun terdapat ayat Al-Qur’an yang menghalangi atau melarang para ulama atau cendikiawan muslim untuk berusaha memahami hakikatnya. Pintu untuk menyelidiki tentang hakikat ruh masih terbuka dengan selebar-lebarnya.13

13

M. Syaltout, Islam Sebagai Akidah dan Syari’ah. Terjemahan Bustami Abdul Gani & Hamdany B. Ali. (Jakarta: Bulan Bintang, 1972)., h. 27.

8

Di dalam memahami sifat-sifat ruh, ada beberapa ulama dan para sarjana muslim yang mencoba memahaminya dengan berpijak pada disiplin ilmunya masing-masing, mereka di antaranya sebagai berikut: Al-Qayyim, Al-Razy dan Hadi berpendapat bahwa ruh adalah suatu jisim(benda) yang sifatnya sangat halus dan tidak dapat diraba. Ruh merupakan jisim nurani yang tinggi dan ringan, hidup dan selalu bergerak menembus dan menjalar ke dalam setiap anggota tubuh bagaikan menjalarnya air dalam bunga mawar. Jisim tersebut berjalan dan memberi bekas-bekas seperti gerak, merasa, dan berkehendak. Jika anggota tubuh tersebut sakit dan rusak, serta tidak mampu lagi menerima bekas-bekas itu, maka ruh akan bercerai dengan tubuh dan pergi ke alam arwah. 14 Al-Ghazali membagi ruh dalam dua pengertian. Pertama, ruh yang bersifat jasmani yang merupakan bagian dari tubuh manusia, yaitu zat yang amat halus yang bersumber dari relung hati (jantung), yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak, serta merasakan ber-bagai rasa. Ruh ini dapat diibaratkan sebuah lampu yang mampu menerangi setiap sudut ruangan (organ tubuh). Ruh sering pula diistilahkan dengan nafs (nyawa). Kedua, ruh yang bersifat rohani yang merupakan bagian dari rohani manusia yang sifatnya halus dan gaib. Ruh ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengenal diri-nya sendiri, mengenal Tuhannya, dan memperoleh serta menguasai ilmu yang bermacam-macam. Ruh pula yang menyebabkan manusia berperikemanusiaan dan berakhlak sehingga memjadikannya berbeda dengan binatang. 15 Ansari menyatakan, salah satu kapasitas khusus yang hanya dimiliki oleh manusia dan tidak dimiliki oleh makhluk lain disebabkan karena adanya ruh adalah kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan

14

15

Al-Qayyim, Ruh. Terjemahan Syed Ahmad Semait. (Singapore: Pustaka Nasional Ltd., 1991)., h. 1. Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali. Terjemahan Ismail Yakub (Jakarta: CV. Faizan, 1984)., h. 123.

9

yang luas.16 Pernyataan Ansari tersebut didasarkan pada Al-Qur’an surah al-Baqarah/2: 31 yang artinya sebagai berikut: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama bendabenda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31). Adam diajarkan oleh Allah swt berbagai nama-nama benda setelah unsur ruh ditiupkan kedalam tubuhnya, hal ini menyiratkan bahwa keberadaan unsur ruh menyebabkan manusia mempunyai kemampuan untuk menerima dan memperoleh pengetahuan yang luas. Sedangkan menurut Arifin, keberadaan ruh pada diri manusia dapat menyebabkan tumbuh dan berkembangnya daging, tulang, darah, kulit, dan bulu, ruh pula yang menyebabkan tubuh manusia dapat bergerak, berketurunan, dan berkembangbiak. Di samping itu ruh pula yang membuat manusia dapat melihat, mend...


Similar Free PDFs