Mekanika II ok PDF

Title Mekanika II ok
Author Daniah syafaati
Pages 66
File Size 346.2 KB
File Type PDF
Total Downloads 547
Total Views 707

Summary

DAFTAR ISI 1 PENDAHULUAN 3 1.1 Diferensial Parsial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3 1.2 Diferensial Total . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5 2 SISTEM KERANGKA TAK INERSIA 7 2.1 Sistem Koordinat dipercepat . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7 2.2 Sistem Koordinat Be...


Description

DAFTAR ISI 1 PENDAHULUAN 1.1 Diferensial Parsial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.2 Diferensial Total . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

3 3 5

2 SISTEM KERANGKA TAK INERSIA 2.1 Sistem Koordinat dipercepat . . . . . . . . . . . . 2.2 Sistem Koordinat Berotasi . . . . . . . . . . . . . . 2.3 Dinamika Partikel pada Sistem Koordinat Berotasi 2.4 Efek Rotasi Bumi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.4.1 Efek Statik . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.4.2 Efek Dinamik . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . . . .

. . . . . .

. . . . . .

. . . . . .

. . . . . .

. . . . . .

7 7 8 10 12 12 14

3 KOORDINAT UMUM 3.1 Kendala (constraint) 3.2 Koordinat Umum . . 3.3 Derajat Kebebasan . 3.4 Kecepatan Umum . 3.5 Percepatan Umum . 3.6 Energi kinetik . . . . 3.7 Momentum Umum .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

17 17 19 23 24 25 29 31

. . . . . . . . . . . . . . . .

33 33 33

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

36 41 41

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

4 LAGRANGAN 4.1 Persamaan Lagrange dari Konsep Gaya Umum 4.1.1 Gaya Umum . . . . . . . . . . . . . . . 4.1.2 Penurunan Persamaan Lagrange dari Konsep Gaya Umum . . . . . . . . 4.2 Persamaan Lagrange dari Prinsip d’Alembert . 4.2.1 Pergeseran Maya . . . . . . . . . . . . . 1

. . . . . . .

. . . . . . .

2

DAFTAR ISI 4.2.2

4.3

Penurunan Persamaan Lagrange dari Prinsip d’Alembert . . . . . . . . . . . . . . . . . Potensial Bergantung Pada Kecepatan . . . . . . . . . . . . .

42 46

5 HAMILTONAN 5.1 Prinsip Hamilton . . . . . . . . . . . 5.2 Penurunan Persamaan Lagrange dari 5.3 Fungsi Hamilton . . . . . . . . . . . 5.4 Persamaan Hamilton . . . . . . . . .

. . . . . . . . . . Prinsip Hamilton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

51 51 53 55 57

6 TRANSFORMASI KANONIK 6.1 Transformasi Kanonik . . . . . 6.2 Fungsi Pembangkit . . . . . . . 6.3 Kurung Poisson . . . . . . . . . 6.4 Teori Hamilton-Jacobi . . . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

59 59 60 61 62

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

. . . .

BAB 1

PENDAHULUAN Sebelum membahas lebih jauh tentang mekanika, ada baiknya kita mereview pengetahuan kita tentang diferensial.

1.1

Diferensial Parsial

Andaikan z adalah suatu fungsi yang mengandung dua buah variabel x dan y, maka secara matematis kita dapat menuliskan z sebagai z = f (x, y).

(1.1)

Diferensial parsial z terhadap x dituliskan sebagai zx ≡ fx ≡

∂f ∂z ≡ , ∂x ∂x

(1.2)

dan nilainya diperoleh dengan memandang y sebagai konstanta. Sebaliknya, diferensial parsial z terhadap y dituliskan sebagai zy ≡ fy ≡

∂f ∂z ≡ , ∂y ∂y

dan nilainya diperoleh dengan memandang x sebagai konstanta. Contoh: Jika z = x3 y − exy , maka dengan mudah akan kita dapatkan ∂z = zx = 3x2 y − yexy ∂x ∂z = zy = x3 − xexy ∂y 3

(1.3)

4

BAB 1. PENDAHULUAN

Selanjutnya, mudah pula didapatkan ∂2z = zyx = 3x2 − exy − xyexy . ∂x∂y Kita juga dapat meninjau suatu fungsi yang mengandung lebih dari dua variabel. Misalkan suhu T pada suatu ruangan bergantung pada titik (x, y, z) dan berubah setiap saat t. Kita dapat menuliskan T sebagai T = T (x, y, z, t). Ungkapan

∂T ∂z menunjukkan laju perubahan T terhadap z, dengan x dan y tetap, pada saat t tertentu. Seringkali turunan parsial dituliskan di dalam tanda kurung dengan subskrip variabel tertentu, ini menunjukkan turunan parsial tersebut dihitung pada kondisi subskrip variabel berupa konstanta. Contoh: z = x2 − y 2 Dengan menggunakan koordinat polar, kita ingat bahwa x = r cos θ, y = r sin θ, sehingga kita dapat menulis ulang z dalam berbagai bentuk, yaitu z = r2 cos2 θ − r2 sin2 θ, z = 2x2 − x2 − y 2 = 2x2 − r2 , z = x2 + y 2 − 2y 2 = r2 − 2y 2 , dan akan kita peroleh ∂z = 2r(cos2 θ − sin2 θ), ∂r θ ∂z = −2r, ∂r x ∂z = 2r. ∂r y

5

1.2. DIFERENSIAL TOTAL

Gambar 1.1: Garis Singgung

1.2

Diferensial Total

Gambar 1.1 merupakan kurva pada bidang (x, y) dengan persamaan kurva y = f (x). Selanjutnya kita peroleh y′ =

d dy = f (x), dx dx

(1.4)

sebagai kemiringan kurva pada titik (x, y). Di dalam kalkulus ∆x diartikan sebagai perubahan x dan ∆y sebagai perubahan y terkait perubahan x tersebut. Berdasarkan definisi dy ∆y = lim , (1.5) dx ∆x→0 ∆x maka dx dapat didefinisikan sebagai variabel bebas dx = ∆x.

(1.6)

Akan tetapi dy tidaklah sama dengan ∆y. Berdasarkan Gambar 1.1 dan persamaan (1.4) dapat dilihat bahwa ∆y adalah perubahan y di sepanjang kurva dan dy = y ′ dx adalah perubahan y di sepanjang garis kemiringan (gradien). Dalam hal ini dikatakan bahwa dy adalah pendekatan tangensial untuk ∆y. Dari Gambar 1.1 jelas bahwa dy merupakan pendekatan untuk ∆y jika ∆x sangat kecil. Dengan bahasa matematis, ungkapan ini dapat dinyatakan dengan persamaan (1.5) yang mengatakan bahwa dy/dx adalah limit ∆y/∆x ketika ∆x → 0, artinya selisih antara ∆y/∆x dan dy/dx akan

6

BAB 1. PENDAHULUAN

mendekati nol ketika ∆x → 0. Sebut saja selisih tersebut dengan ǫ, maka dy ∆y = +ǫ ∆x dx

;

ǫ→0

ketika

∆x → 0

(1.7)

Atau karena dx = ∆x, maka ∆y = (y ′ + ǫ)dx

;

ǫ→0

ketika

∆x → 0

(1.8)

Untuk sebuah fungsi dengan dua variabel misalnya z = f (x, y), maka ∂f /∂x dan ∂f /∂y di suatu titik, masing-masing menyatakan kemiringan z di titik tersebut pada arah x dan y. Perubahan z terhadap perubahan x dan y dapat dicari dengan mendefinisikan terlebih dahulu dz =

∂z ∂z dx + dy ∂x ∂y

(1.9)

sehingga    ∂f ∂f + ǫ1 ∆x + + ǫ2 ∆y ∆z = ∂x ∂y = dz + ǫ1 ∆x + ǫ2 ∆y 

(ǫ1 dan ǫ2 → 0

ketika

(1.10) ∆x dan ∆y → 0)

Secara umum dapat dikatakan berlaku untuk setiap fungsi dari banyak variabel misalnya u = f (x, y, z, ), maka df =

∂f ∂f ∂f dx + dy + dz + ... ∂x ∂y ∂z

(1.11)

du merupakan pendekatan yang baik untuk ∆u jika turunan parsial f bersifat kontinyu dan dx, dy, dz dan seterusnya bernilai sangat kecil.

BAB 2

SISTEM KERANGKA TAK INERSIA 2.1

Sistem Koordinat dipercepat

Gambar 2.1: Hubungan antara vektor posisi untuk dua sistem koordinat yang mengalami gerak translasi murni relatif satu terhadap yang lain Dalam Gambar 2.1 diperlihatkan sebuah sistem koordinat (kerangka) Oxyz dan O’x’y’z’. Sistem koordinat Oxyz diasumsikan sebagai koordinat yang diam, sementara sistem koordinat O’x’y’z’ diasumsikan bergerak relatif terhadap koordinat pertama. ~ Andaikan R(t) posisi pangkal sistem koordinat O’x’y’z’, ~r(t) posisi se′ buah benda diukur dari koordinat Oxyz, dan ~r (t) posisi benda yang sama dilihat dari O’x’y’z’. Maka terlihat bahwa ~ + ~r ′ (t) ~r(t) = R(t) 7

8

BAB 2. SISTEM KERANGKA TAK INERSIA

Dari persamaan ini didapatkan ~ (t) + ~v ′ (t) ~v (t) = V dan ~ + ~a ′ (t) ~a(t) = A(t) Jika kerangka O’x’y’z’ tidak dipercepat relatif terhadap kerangka Oxyz, ~ = 0 dan ~a(t) = ~a ′ (t). maka A(t) Jika kerangka Oxyz inersial, maka di sana berlaku hukum Newton, yaitu F~ = m~a = m~a ′ . Jadi, O’x’y’z’ pun inersial. ~ 6= 0, maka Jika sistem O’x’y’z’ mengalami percepatan, yakni A(t) ~ + m~a ′ (t), F~ = mA(t) atau ~ = m~a ′ (t). F~ − mA(t) Sebagai persamaan gerak dilihat dari kerangka O’x’y’z’. Selanjutnya, kita dapat menuliskan persamaan terakhir ini sebagai F~ ′ = m~a ′ (t). Jadi, jika dilihat dari kerangka acuan O’x’y’z’, seolah-olah terdapat gaya ~ tambahan −mA(t) sehingga gaya total yang diderita oleh benda adalah ~ F~ ′ = F~ − mA(t). ~ ini disebut sebagai gaya inersial atau gaya fiktif. Gaya tambahan −mA(t) Gaya ini misalnya gaya dorongan ke belakang yang kita rasakan ketika bis yang kita naiki bertambah cepat.

2.2

Sistem Koordinat Berotasi

Ditinjau sebuah benda bergerak yang diamati dari dua sistem koordinat dengan titik pangkal yang sama. Sistem Oxyz diam, sedangkan O’x’y’z’ berotasi terhadap suatu sumbu.

2.2. SISTEM KOORDINAT BEROTASI

9

Gambar 2.2: Sistem Koordinat Berotasi ˆ vektor-vektor satuan untuk Oxyz dan (ˆi′ , ˆj ′ , kˆ′ ) vektorAndaikan (ˆi, ˆj, k) vektor satuan untuk O’x’y’z’. Karena pangkal koordinatnya sama maka posisi benda itu dilihat dari kedua sistem koordinat itu adalah ~r dan ~r ′ , dengan ~r = ~r ′ atau

xˆi + yˆj + z kˆ = x′ˆi′ + y ′ ˆj ′ + z ′ kˆ′

Jadi, dx ˆ dy ˆ dz ˆ dx′ ˆ′ dy ′ ˆ′ dz ′ ˆ′ i+ j+ k = i + j + k dt dt dt dt dt dt atau

d ˆ′ i + y ′ ˆj ′ + z ′ kˆ′ dt Vektor ~v adalah kecepatan benda dilihat dari kerangka Oxyz dan ~v ′ adalah kecepatan benda dilihat dari kerangka O’x’y’z’. ~v = ~v ′ + x′

Dapat ditunjukkan bahwa ~v = ~v ′ + ω ~ × ~r ′ dengan ω ~ =ωn ˆ , yaitu kecepatan sudut perputaran kerangka O’x’y’z’ relatif terhadap kerangka Oxyz. Percepatan benda ~a (diukur dari kerangka Oxyz ) dan ~a ′ (dilihat dari O’x’y’z’ ) memenuhi persamaan ~a = ~a ′ − ~r ′ ×

d ω ~ + 2~ ω × ~v ′ + ω ~ × (~ ω × ~r ′ ) dt

(2.1)

10

BAB 2. SISTEM KERANGKA TAK INERSIA

d Suku −~r ′ × dt ω ~ disebut sebagai percepatan transversal, suku 2~ ω × ~v ′ disebut percepatan Coriolis, dan suku ω ~ × (~ ω × ~r ′ ) disebut percepatan sentripetal.

2.3

Dinamika Partikel pada Sistem Koordinat Berotasi

Dari pembahasan sebelumnya, kerangka Oxyz adalah kerangka inersial, maka dalam kerangka tersebut berlaku hukum Newton F~ = m~a, dengan F~ adalah jumlahan semua vektor gaya riil (mempunyai arti fisis) yang bekerja pada partikel. Dalam pandangan kerangka acuan tak inersial, hukum Newton dapat dituliskan sebagai ~ 0 − 2m~ F~ − mA ω × ~v ′ − mω ~˙ × ~r′ − m~ ω × (~ ω × ~r′ ) = m~a ′ . Tampak bahwa hukum Newton juga berlaku di kerangka acuan O’x’y’z’ dengan catatan adanya gaya inersial atau fiktif sebesar ~ 0 − 2m~ −mA ω × ~v ′ − mω ~˙ × ~r ′ − m~ ω × (~ ω × ~r ′ ), sebagai gaya tambahan untuk gaya fisis F~ . Penulisan Hukum II Newton dalam kerangka acuan O’x’y’z’ tersebut menyatakan persamaan gerak dinamis partikel pada kerangka acuan tak inersial. Gaya-gaya inersial dinamakan sebagaimana sebutan untuk percepatannya, yaitu Gaya Coriolis Gaya Transversal Gaya Sentrifugal

′ F~cor =

F~trans = ′ F~centif = ′

−2m~ ω × ~v ′ −mω ~˙ × ~r ′

(2.3)

−m~ ω × (~ ω × ~r ′ ).

(2.4)

(2.2)

~ 0 muncul ketika kerangka acuan juga mengalami Adapun gaya fiktif −mA gerakan translasi. Seorang pengamat tak inersial pada kerangka acuan dipercepat, yang melihat partikel dipercepat sebesar ~a ′ harus memasukkan semua gaya-gaya inersial yang muncul bersama-sama dengan gaya fisis untuk menghitung

2.3. DINAMIKA PARTIKEL PADA SISTEM KOORDINAT BEROTASI11

Gambar 2.3: Gaya-gaya inersial yang bekerja pada sebuah massa m yang bergerak radial keluar pada sebuah bidang yang berotasi dengan kecepatan sudut ω ~ searah sumbu z (keluar bidang kertas) dan percepatan sudut ω ~˙ < 0

gerakan partikel yang benar. Dengan kata lain, pengamat semacam ini memahami persamaan geraknya sebagai F~ ′ = m~a ′ , dengan catatan penjumlahan vektor gaya-gaya yang bekerja pada partikel diberikan oleh ′ ′ ′ ~ 0. F~ ′ = F~ + F~cor + F~trans + F~centrif − mA

Gaya Coriolis menjadi gaya yang menarik untuk dipelajari. Gaya ini hanya muncul jika partikel bergerak dalam sistem koordinat berotasi. Arah gaya Coriolis selalu tegaklurus vektor kecepatan partikel dalam sistem yang bergerak. Gaya ini penting dalam penghitungan lintasan partikel. Efek Coriolis memegang peranan kunci dalam sirkulasi udara di sekitar sistem bertekanan rendah atau tinggi pada permukaan bumi. Gaya transversal muncul hanya jika terdapat percepatan sudut pada sistem koordinat yang berotasi. Gaya ini selalu tegak lurus vektor jari-jari ~r ′ dalam sistem koordinat yang berotasi. Gaya sentrifugal muncul akibat rotasi terhadap suatu sumbu. Gaya ini selalu berarah keluar dari sumbu rotasi dalam arah tegak lurus. Ilustrasi dari ketiga gaya ini tampak pada Gambar 2.3.

12

2.4 2.4.1

BAB 2. SISTEM KERANGKA TAK INERSIA

Efek Rotasi Bumi Efek Statik

Ditinjau sebuah partikel yang diam pada permukaan bumi. Kita anggap partikel tersebut sebagai bandul di ujung sebuah tali. Selanjutnya kita pilih pusat sistem koordinat berada pada bandul tersebut, sehingga kita dapatkan ~r ′ = 0. Vektor kecepatan sudut ω ~ berada pada arah sumbu rotasi bumi dan nilainya bisa dianggap konstan, sehingga ω ~˙ bernilai nol. Untuk kasus statis, maka persamaan gerak menjadi: ~ 0 − 2m~ F~ − mA ω × ~v ′ − mω ~˙ × ~r′ − m~ ω × (~ ω × ~r′ ) = m~a ′ ~0 = 0 F~ − mA

(2.5) (2.6)

Gaya F diberikan oleh penjumlahan semua vektor gaya, termasuk gaya iner~ 0 , sebagaimana tampak pada Gambar 2.4 sial −mA

Gambar 2.4: Vektor gaya yang bekerja pada bandul yang digantung dekat dengan permukaan bumi pada sudut lintang λ Arah bandul tidak tepat menuju ke pusat bumi, karena ada gaya inersial ~ 0 yang menyimpangkan bandul menjauh dari sumbu rotasi bumi. Gaya −mA ini juga berlawanan dengan percepatan kerangka acuan. Besar gaya inersial ini sama dengan besar gaya sentripetal mA0 = mre ω 2 cos λ dengan re adalah radius bumi dan λ sudut lintang geosentris. Gaya ini bernilai maksimum saat berada di ekuator (λ = 0) dan bernilai minimum saat berada di kutub (λ = 900 ). Percepatan sentripetal pada

13

2.4. EFEK ROTASI BUMI

daerah ekuator nilainya sekitar 3, 4 × 10( − 3) g atau sekitar 1% g. Gaya ~ 0. tegang tali menyeimbangkan gaya gravitasi m~g0 dan gaya inersial mA ~0 = 0 (T~ + m~g0 ) − mA Padahal, ketika kita menggantungkan sebuah bandul, kita berpikir bahwa gaya tegang tali T menyeimbangkan gaya gravitasi lokal, sehingga secara vektor kita dapatkan bahwa m~g merupakan penjumlahan dari gaya gravi~ 0 ). Jumlahan vektor tersebut tasi yang riil (m~g0 ) dan gaya inersial (−mA ditunjukkan oleh Gambar 2.5

Gambar 2.5: Relasi vektor antara gaya gravitasi sejati, gaya inersial, dan gaya gravitasi terukur. Jadi, tali bandul tadi tidak berarah ke pusat bumi, tetapi menyimpang sejauh ǫ (sudut yang cukup kecil). Kita dapatkan ~0 = 0 m~g0 − m~g − mA ~ 0. ~g = ~g0 − A Vektor m~g0 arahnya menuju pusat bumi. Dari gambar di atas, kita dapatkan sin ǫ λ = 2 mre ω cos λ mg Karena ǫ kecil, maka sin ǫ ≈ ǫ =

re ω 2 re ω 2 sin λ cos λ = sin 2λ g 2g

(2.7) (2.8)

14

BAB 2. SISTEM KERANGKA TAK INERSIA

Nilai ǫ lenyap pada daerah ekuator (λ = 0) dan pada daerah kutub (λ = 900 ). Penyimpangan maksimum garis bandul berada pada sudut lintang λ = 450 , yaitu ǫmax =

re ω 2 ≈ 1, 710(−3) radian ≈ 0, 1derajat. 2g

Bentuk bumi sebagaimana tali bandul berarah normal terhadap permukaan bumi pada sebarang titik. Hasil keseluruhan adalah mendekati bentuk elips seperti tampak pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6: Vektor percepatan gravitasi terukur ~g

2.4.2

Efek Dinamik

Persamaan gerak yang telah didapatkan di atas, yaitu ~ 0 − 2m~ F~ − mA ω × ~v ′ − mω ~˙ × ~r′ − m~ ω × (~ ω × ~r′ ) = m~a ′ Dapat ditulis ulang dalam bentuk ~ 0 − 2mω × ~r˙ ′ − m~ m~r¨ ′ = F~ + m~g0 − mA ω × (~ ω × ~r′ ) dengan F~ mewakili semua gaya yang bekerja selain akibat gravitasi. Namun, ~ 0 = m~g , sehingga persamaan dari kasus statik di atas, kombinasi m~g0 − mA geraknya dapat ditulis ulang sebagai m~r¨ ′ = F~ + m~g − 2mω × ~r˙ ′ − m~ ω × (~ ω × ~r′ ).

15

2.4. EFEK ROTASI BUMI

Ditinjau gerak sebuah peluru. Jika tidak terdapat hambatan udara maka ~ F = 0. Selanjutnya, suku m~ ω × (~ ω × ~r′ ) bernilai sangat kecil dibandingkan suku yang lain, sehingga kita dapat mengabaikannya. Persamaan gerak peluru menjadi m~r¨ ′ = m~g − 2ω × ~r˙ ′ dengan suku terakhir berupa gaya Coriolis. Untuk memecahkan persoalan di atas, dipilih arah sumbu-sumbu koordinat O’x’y’z’ sedemikian rupa sehingga sumbu z’ adalah vertikal, yaitu searah dengan tali bandul (percepatan gravitasi terukur), sumbu x’ arah timur, dan y’ arah utara, sebagaimana disajikan Gambar 2.7.

Gambar 2.7: Sumbu-sumbu koordinat untuk menganalisis gerak peluru Kita dapatkan ~g = −g kˆ′ Komponen kecepatan sudut ωx′ = 0

ωy′ = ω cos λ

ωz ′ = ω sin λ

Hasil kali produk silang diberikan oleh ω ~ × ~r˙ ′ = (ω z˙ ′ cos λ − ω y˙ ′ sin λ)ˆi′ + ω x˙ ′ sin λˆj ′ + (−ω x˙ ′ cos λ)kˆ′ .

16

BAB 2. SISTEM KERANGKA TAK INERSIA

Kita dapatkan komponen percepatan sebagai x ¨′ = −2ω(z˙ ′ cos λ − y˙ ′ sin λ) ′



y¨ = −2ω(x˙ sin λ) ′



z¨ = −g + 2ω x˙ cos λ

(2.9) (2.10) (2.11)

Komponen kecepatannya x˙ ′ = −2ω(z ′ cos λ − y ′ sin λ) + x˙ ′0 ′



z˙ =



y˙ = −2ωx sin λ + y˙ 0′ −gt + 2ωx′ cos λ + z˙0′ .

(2.12) (2.13) (2.14)

Konstanta integrasi x˙ ′0 , y˙ 0′ , z˙0′ merupakan komponen kecepatan mula-mula. Dengan menyubstitusi kedua rumpun persamaan di atas, diperoleh percepatan arah x sebagai x ¨′ = 2ωgt cos λ − 2ω(z˙0′ cos λ − y˙ 0′ sin λ) dengan mengabaikan suku ω 2 . Kecepatan arah x diperoleh sebagai x˙ ′ = ωgt2 cos λ − 2ω(z˙0′ cos λ − y˙ 0′ sin λ) + x˙ ′0 Akhirnya kita dapatkan posisi arah x sebagai fungsi t, yaitu 1 x′ (t) = ωgt3 cos λ − ωt2 (z˙0′ cos λ − y˙ 0′ sin λ) + x˙ ′0 t + x′ 3 sehingga posisi arah y dan z diperoleh sebagai y ′ (t) = y˙ 0′ t − ω x˙ ′0 t2 sin λ + y0′ 1 z ′ (t) = − gt2 + z˙0′ t + ω x˙ ′0 t2 cos λ + z0′ 2

(2.15) (2.16)

dengan catatan suku ω 2 diabaikan. Ketiga persamaan posisi di atas, setiap suku yang mengandung ω menyatakan efek rotasi bumi pada gerak peluru dalam koordinat yang diam terhadap bumi.

BAB 3

KOORDINAT UMUM 3.1

Kendala (constraint)

Seluruh masalah dalam mekanika secara prinsip dapat dikembalikan ke Hukum Newton, yang dinyatakan dalam persamaan d2~ri (t) dt2

  n X X 1  F~ i + = F~ ij  , mi

(3.1)

j

P i F adalah gaya dengan i = 1, 2, 3, ..., n adalah indeks/nomor partikel, luar total yang bekerja pada partikel nomor i, dan F ij adalah gaya interaksi yang dialami oleh partikel nomor i akibat keberadaan partikel nomor j. Hukum Newton tersebut selalu dikaitkan dengan sistem koordinat kartesian, sehingga solusinya selalu dalam sistem koordinat kartesian. Kenyataannya, tidak semua permasalahan gerak dapat dipecahkan dengan mudah apabila dilakukan di dalam sistem koordinat kartesian. Contoh: a. Persoalan gerak dengan gaya sentral lebih mudah dipecahkan apabila sistem koordinat polar yang digunakan b. Persoalan banyak p...


Similar Free PDFs