MODUL MATA KULIAH SENI WAYANG PDF

Title MODUL MATA KULIAH SENI WAYANG
Author Priyanto Darsono
Pages 24
File Size 2.7 MB
File Type PDF
Total Downloads 24
Total Views 386

Summary

BUKU AJAR MPK SENI WAYANG Penyusun PRIYANTO, S.S., M.Hum DARMOKO, S.S., M.Hum Program Pengembangan Kepribadian Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia 2012 ASPEK-ASPEK SENI DALAM WAYANG 1. Asal-usul kata wayang Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan, seperti ...


Description

Accelerat ing t he world's research.

MODUL MATA KULIAH SENI WAYANG Priyanto Darsono

Related papers

Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

EST ET IKA PERT UNJUKAN WAYANG PERJUANGAN Sunardi guno wijoyo

ANT ROPOLOGI BUDAYA.docx lidya anisa DRAMAT URGI WAYANG Aris Wahyudi

BUKU AJAR MPK SENI WAYANG

Penyusun PRIYANTO, S.S., M.Hum DARMOKO, S.S., M.Hum

Program Pengembangan Kepribadian Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia 2012

ASPEK-ASPEK SENI DALAM WAYANG

1. Asal-usul kata wayang Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan, seperti halnya kata walu dan batu, yang berarti batu atau kata wuri dan buri, yang berarti belakang. Bunyi yang dilambangkan dengan huruf w dan b pada kata yang pertama dengan yang ke dua tidak mengakibatkan perubahan makna pada kedua kata tersebut. G.A.J Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam kata/bahasa Jawa berarti: bayangan, dalam bahasa Melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya, bayangan, samara-samar, remang-remang, menerawang, dalam bahasa Aceh, bayang, artinya bayangan, bahasa Bugis bayang atau wayang, dalam bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, atau barang atau nerawang. Semua itu berasal dari akar kata, yang, yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: layang (nglayang) = yang, dhoyong = yong, reyong = yong, reyongreyong, atau reyang-reyong, yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingan = bingung, ruwet, dari kata asal: poyang, akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, berubah, melayang, samara-samar. Kata depan wa menurut parmasastra jaman sekarang sudah tidak pernah digunakan lagi, dan tidak memberi daya atau wibawa lagi pada akar kata tadi (kata yang didahului). Seperti misalnya dalam kata wahiri yang artinya iri, bila diperbandingkan dengan kata bahiri. Kalau demikian kata Jawa: wayang artinya berjalan berkali-kali, lalu lalang, tidak tinggal tetap, samara-samar, remang-remang, jadi kata bendanya juga; wayang atau wayangan. Pembentukan kata seperti itu tentu sudah semenjak jaman kuna, dimana kata depan wa pada saat itu masih mampu memberi daya atau wibawa pada akar kata yang didahuluinya, tidak beda awalan. Lebih jauh Hazeu

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

1

menyatakan bahwa kata hyang (roh, sukma, dewa, Allah) juga berasal dari akar kata yang. Menurut buku kamus Kawi-Bali karangan Dr, Van der Tuuk, arti Hyang sebenarnya adalah leluhur persamaannya dalam kata Jawa : heyeng (eyang), (heyang-heyang). Mengapa Dr. Van der Tuuk memperbandingkan hyang dengan heyang, itu menandakan bahwa kata pendahulunya (kata depan) adalah ha (h) tidak dianggap sebagai akar kata. Dengan demikian akar kata hyang adalah yang. Akar kata yang ini, di atas sudah diberi arti = bergerak berkali-kali, simpang siur, lalu lalang, melayang. Dengan demikian kata hyang dapat diartikan yang tinggalnya tidak tetap, melayang, oleh karena itu dapat pula berarti : sukma, roh, yang melayang, yang mengitar, jadi makna dan artinya dapat diperinci menjadi dua : pertama sukma, roh, Allah, kedua : orang yang sudah meninggal (leluhur). Adapun kaitannya dengan akar kata yang, kalau sudah mendapat imbuhan menjadi: hyang dan wayang ; dan semuanya ini memang ada kemiripannya seperti: layangan (bayang-bayang), sukma, roh, leluhur. Tapi hal ini memang tak ada bukti yang memperkuatnya. Oleh karena wayang kulit itu menghasilkan bayangan (wayangan), maka lalu dinamakan wayang. Adapun awayang atau amayang di jaman kuna, sekarang berarti amayang atau mayang (memainkan wayang). Lama-lama wayang jadi terbiasa menjadi nama wayang kulit. Semakin lama pula, setelah wayang kulit menjadi tontonan yang umum di masyarakat maka kata atau istilah wayang tadi dipakai pula untuk menamakan tontonan yang mirip wayang kulit purwa, seperi wayang golek, beber, gedog, wayang orang, malah sekarang ada yang menamakan wayang topeng2. Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk menerangkan kata dan makna wayang yaitu dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau duduk di suatu tempat, kemuadian ia diterpa cahaya / sinar matahari yang mengenai badan si orang itu, maka orang itu kemudian menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang dan pendeknya ayangayang tersebut sangat bergantung pada sudut posisi matahari. Apabila matahari dalam posisi rendah, maka bayangan orang itu menjadi panjang, dan apabila sudut posisi matahari tinggi, bayangan semakin pendek.

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

2

Terdapat pula kata yang berhubungan dengan kata ayang, yaitu ngayang. Ngayang (Bahasa Jawa), artinya seseorang dalam keadaan melengkungkan badannya ke belakang dengan posisi kepala melihat ke belakang ; atau hanya sampai pada melihat dan memperhatikan langit, angkasa atau ‘atas’. Sehingga apabila dikaitkan dengan pengertian wayang dalam konteks kata hyang, yang berarti roh melayang-layang di angkasa atau ke atas, maka kata ngayang tersebut ada relevansinya. Hanya saja kata ngayang biasanya dipergunakan dalam konteks permainan maupun olah raga. Pengertian-pengertian wayang di atas lebih berorientasi pada seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan pada efek yang dihasilkan oleh suatu boneka atau sejenisnya setelah benda tersebut dikenai/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layer (kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang layar (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang pertama, bayangan di bagian depan layar dan yang kedua bayangan di balik layar. Bayangan yang terdapat di bagin depan layar terjadi apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layar dn mendekati blencong. Apabila boneka wayang tersebut di dekatkan pada blencong, maka bayangan akan membesar baik di depan atau di belakang layar.

2.

Perkembangan pengertian wayang Berdasarkan asal-usul kata, wayang dapat diartikan sebagai bayangan.

Lebih dari itu apabila kita berbicara mengenai wayang maka paling tidak secara aspektual terdiri atas empat hal, yaitu wayang sebagai : 1. pertunjukan / performance, penampilan, pemanggungan; 2. boneka atau sejenisnya, yang terbuat dari bahan kayu, kulit (kerbau) dan lain-lain ; 3. sastra dalam wujud lakon /cerita; 4. penari-penari dia atas panggung. Pengertian yang pertama berorientasi pada bagaimana seluruh aspek seni dipentaskan dalam seni pertunjukan wayang, seperti : seni sastranya, seni musiknya, seni rupanya, seni dramanya dan seni tarinya; pengertian yang ke dua berorientasi pada tokoh (yang hidup maupun yang mati), artis-artis atau aktor

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

3

yang digerakkan oleh seniman/dalang, dalam bentuk boneka atau sejenisnya, pengertian ketiga, cenderung terfokus pada bahan lakon, cerita atau sastranya (sastra wayang), pengertian keempat mengacu kepada orang-orang yang menari di atas panggung yang berperan menjadi wayang (wayang orang). Disamping wayang mempunyai pengertian sebagai bayangan (bayangbayang), wayang secara khusus (filosofis) mempunyai pengertian lukisan atau gambaran mengenai kehidupan manusia, bagaimana perwatakannya, bentuknya, kegiatannya, lakuan, kejadiannya, sejarahnya, dan juga bagaimana hubungannya dengan Tuhan, alam semesta dan makhluk hidup lainnya, seperti tumbuhtumbuhan dan binatang. Secara lebih makro, wayang mempunyai pengertian lukisan atau gambaran mengenai keadaan dan kehidupan kosmos (lam semesta), baik mengenai wujud maupun isinya. Kosmos terbagi atas mikro kosmos (jagad cilik) dan makro kosmos (jagad gedhe). Mikro kosos (jagad cilik) sebagai dunia (batin) manusia sedangkan makro kosmos (jagad gedhe) sebagai dunia besar / luas yang melingkupi dunia (batin) manusia. Di dalam wayang dilukiskan bahwa alam semesta (kosmos) merupakan wujud satu kesatuan yang serasi dan harmonis, tidak terlepaskan anatara unsur yang satu dengan yang lainnya dan selalu berhubungan. Hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya ternyata tidak selalu serasi dan harmonis, pendek kata, pada suatu saat akan terjadi kegoncangan (kelabilan). Mikro kosmos selalu mempengaruhi ; kejadian yang timbul pada dunia mako sebagai akibat dari ulah dunia mikro atau sebaliknya. Untuk mengembalikan suasana dari kelabilan menjadi keserasian biasanya dengan mengadakan upacara persembahan untuk keselamatan alam semesta. Unsur-unsur di dalam alam semesta itu berjalan dan beputar sesuai dengan fungsinya masingmasing dalam ruang dan waktu tertentu. Memperhatikan hal ini, maka kosmos atau alam semesta dapat dipandang sebagai suatu susunan yang tertata rapi (tertib kosmos). Tertib di dalam makro kosmos dapat terjaga dengan baik (serasi) apabila mikro kosmos, sebagai dunia batin manusia, mengusahakan untuk selalu berbuat baik (laku beik sejtining becik) dan mengusahakan pula untuk selalu menjaga ketentraman dan keselamatan alam semesta (memayu hayuning bawana). Pengertian lain untuk kata wayang; yang cenderung mengacu / berorientasi pada tempat untuk menyimpan dan memainkan wayang yaitu paringgitan. Hazeu

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

4

mengatakan bahwa, di jaman dulu yang mendalang atau memainkan wayang adalah si kepala keluarga, tempatnya di bagian rumah yang dipandang paling sesuai. Tempat tadi sampai sekarang disebut paringgitan (ringgit = wayang, paringgitan = tempat untuk wayangan). Hal tersebut tentu saja tidak terlepas dari konsep membuat rumah bagi oranng Jawa; bagaimana harus menempatkan fungsifungsi tertentu di dalam suatu tempat / ruang di dalam rumah itu. Misalnya : kata pawon (pa-awu-an) = per-abu-an, berarti bagian suatu rumah yang dipergunakan untuk ‘memproses terjadinya abu’ ; dalam konteks tempat untuk memasak (dapur); karena ketika memasak menggunakan kayu, daun-daun dan lain-lain kemudian menghasilkan abu, maka tempat tersebut dinamakan pawon.

3.

Wayang dalam karya sastra Wayang dalam bentuk karya tertulis banyak jumlahnya. Apabila ditelusuri

secara diakronis, maka cerita dan lakon wayang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan karya sastra wayang itu sendiri. Tokoh-tokoh wayang yang sekarang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama Jawa, tidak terpisahkan dari epos tanah Hindu (India). Tokoh-tokoh wayang tersebut dalam karya sastra Hindu (India), terutama Ramayana dan Mahabharata memang ada perbedaannya dengan yang terdapat di Indonesia, namun ditinjau dari persamaan nama tokoh, maka hal itu tidak dapat dipisahkan (kerangka pemikiran histories), meskipun mengalami sedikit peubahaan (transformasi budaya). Lakon-lakon yang dipentaskan di dalam pertunjukan wayang, tidak secara langsung mengambil dari cerita-cerita yang bersumber dari India (berbahasa Sansekerta) maupun Jawa Kuna, tetapi menyajikan lakon-lakon wayang yang sudah diciptakan dan digubah oleh para pujangga (sastrawan) Jawa pada ‘jaman Jawa baru’, seperti Kitab Pustaka Raja Purwa (gagrag Surakarta). Paling tidak dari dua sumber tersebut lakon-lakon wayang kemudian diciptakan. Lakon-lakon wayang yang sudah diciptakan tersebut dapat berbentuk di dalam dua lakon besar, yaitu lakon pokok / baku / lajer / baku / pakem dan lakon carangan. Lakon pakem yaitu lakon yang sudah dibukukan (serat pakem tuntunan pedalangan), sudah diturunkan selama lebih dari dua generasi dan sudah dipentaskan oleh banyak dalang. Lakon carangan (carang = ranting) ; ibarat pohon

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

5

merupakan cabang-cabang dari pohon inti (batang) ; yaitu lakon yang belum dibukukan, belum diturunkan lebih dari dua generasi dan belum dipentaskan oleh banyak dalang. Adapun pengertian lakon pakem terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu : lakon pakem balungan dan lakon pakem jangkep. Lakon balungan ialah lakon yang memuat seluruh / hampir seluruh unsur-unsur di dalam pertunjukan wayang, yang biasanya mempergunakan judul serat pakem tuntunan pedhalangan (sedalu muput). Ki Siswoharsojo menulis beberapa lakon wayang yang dijadikan patokan (lakon pakem) oleh para calon dalang maupun para dalang, antara lain : Wahyu Makutharama dan Wahyu Purbasejati ; Ki Nojowirongko mengubah buku pakem pedalangan Lampahan Irawan Rabi / pernikahan Irawan (berisi mengenai patokan mendalang dan lakon pernikahan Irawan itu sendiri). Sedangkan untuk lakon balungan sebagai contoh yaitu : Pakem Ringgit Purwo Lampahan Lairipun Romo – Brubuh Ngalengka, yang disusun oleh Ki S. Soetarsa. Lakon carangan yang pernah dipentaskan oleh beberapa dalang yaitu Petruk Kelangan Pethel dan Bagong sunat. Wayang yang termuat di dalam suatu karya sastra dapat pula sebagai sumber informasi mengenai adanya pertunjukan wayang (permainan bayangbayang), bukan mengenai cerita atau lakon wayang itu sendiri. Sebagai contoh : di dalam Arjunawiwaha Kakawin karya Mpu Kanwa, pada jaman Airlangga di Jawa Timur (950 Saka = XI sesudah Masehi), masa Kediri, disebutkan mengenai seseorang menonton wayang menangis sedih, bodoh sekali ia, padahal sudah tahu bahwa yang disaksikan itu adalah kulit yang ditatah, kata orang ia terkena daya gaib. (R.Ng.Poerbatjaraka, 1926 : 20-21).

4.

Wayang dalam prasasti dan relief candi Pada masa purba Indonesia, informasi mengenai suatu berita dapat ditulis

pada prasasti. Prasasti dapat berupa tonggak batu maupun lempengan tembaga. Sebagai contoh : prasasti Mulawarman dari Kutei, bertuliskan Pallawa sekitar tahun 400 M, berupa yupa (sebuah tugu peringatan upacara kurban), berbahasa Sansekerta dan tersusun dalam bentu syair. (Soekmono, 1991 : 35). Prasasti dapat dipandang sebagai benda yang bernilai sejarah. Dari prasasti itu dapat ditelusuri

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

6

keterangan-keterangan mengenai suatu berita atau cerita pada masa lampau. Dari prasasti itu pula dapat dideteksi mengenai latar belakang / orientasi pemikiran religius Jawa Kuna, yang salah satunya adalah menyembah dan mengagungkan dewa-dewa, seperti kepada dewa Wisnu, Brahma dan Siwa. Beberapa prasasti telah membuktikan bahwa pertunjukan wayang telah ada pada jaman kuna. Misalnya empat lempengan tembaga yang ditemukan di Bali. Lempengan ini berangka tahun 980 Saka (1058 M) dan isinya telah disalin oleh Van Der Tuuk dan Dr. Brandes. Lempengan ini menyebutkan kata ringgit. Kata ringgit hingga kini masih dipergunakan sebagai sinonim dari kata wayang. Dengan demikian penggunaan kata ringgit untuk pengertian wayang telah sangat tua. Lebih lanjut Hazeu mengatakan lempengan berangka tahun 782 Saka yang diterbitkan dan diterangkan oleh Prof. Kern terdapat istilah juru barata. Istilah tersebut berarti orang yang memainkan teater atau dalang atau lelucon. (1979:45). Kecuali itu di dalam lempengan logam yang memuat kata kawi yang diterbitkan oleh Cohen Stuart, dibicarakan tentang juru banyol dan aringgit, abanyol. Lempengan ini berangka tahun 762 Saka. Meskipun di dalam prasasti (lempengan logam) berulang kali disebutkan kata aringgit, namun dengan menyebutkan secara berdiri sendiri, kiranya sulit untuk membuat kesimpulan. Sementara itu ternyata sejak abad IX sesudah Masehi, sekalipun dalam keadaan yang sangat kuna, di Jawa sudah ada pertunjukan teater. Pertunjukan teater bayang-bayang tersebut diduga merupakan asal dari pertunjukan wayang yang kita kenal sekarang. Keterangan mengenai wayang juga ditemukan pad relief candi; berupa gambar-gambar atau visualisasi tokoh-tokoh wayang yang dipahat pada dindingdindingnya. Apabila kita beranggapan bahwa wayang berasal dari gambar-gambar relief candi, maka dugaan yang dapat dikemukakan adalah adanya usaha orang jaman dahulu untuk mengutip gambar pada relief candi tersebut agar dapat digulung dan dapat dibawa kemana-mana, sehingga dapat diceritakan dan dipentaskan atau dipergelarkan. Dugaan tersebut terbukti dengan banyaknya candi yang memuat relief cerita wayang. Misalnya: relief di candi Prambanan (Kabupten Klaten, dekat Yogyakarta), candi Panataran (Blitar), candi Jago di desa Tumpang (Malang). Pada candi-candi tersebut didapatkan stilisasi tokoh-tokoh

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

7

dalam relief yang tidak serupa dengan wayang Parwa di Bali. Hal ini didukung pula dengan adanya wayang dari kertas yang dapat digulung dan digelar, dikenal dengan nama wayang beber yang masih tumbuh dan berkembang di daerah Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan di Jawa Timur. Sesuai dengan evolusi bentuk stilisasi yang mengilhaminya, maka seyogyanya yang diambil sebagai pola ialah perkembangan yang terakhir. Disamping itu pada candi Panataran terdapat dua gaya relief, yaitu gaya yang dekat dengan bentuk-bentuk di alam, seperti yang terdapat pada relief cerita Kresnayana dan gaya dekoratif mirip wayang yng terdapat pada panil-panil relief Ramayana. Dengan demikian nampak bahwa tidak benar suatu anggapan yang memandang gaya realistik pada relief candi Panataran kemudian berangsur-angsur berubah menjadi dekoratif seperti yang terdapat pada relief candi-candi Jawa Timur yang lebih tua usianya. Kemudian pada candi Jago, terdapat tradisi untuk membatasi adeganadegan dalam relief dengan menggunkan gunungan atau kayon seperti yang terdapat dalam pertunjukan wayang kulit. Ini rupa-rupanya terpengaruh pakeliran wayang kulit yang selalu mengawali dan mengakhiri adegan-adegannya dengan menancapkan gunungan di tengah layar. Tanpa pengaruh ini kiranya mustahil orang sampai pada pemilihan gunungan atau kayon sebagai pembatas adegan dalam relief candi. Misalnya di candi Surawana, pembatas adegannya ialah motif ikal bersambung yang dibuat menegak memenuhi seluruh tinggi relief. Dengan demikian maka keterangan mengenai wayang pun dapat pula ditemukan pada prasasti dan relief candi, di samping keterangan mengenai wayang di dalam karya sastra.

5.

Sekilas perkembangan bentuk pertunjukan wayang Berbicara mengenai perkembangan wayang tidak terlepas dari kerangka

sejarah kebudayaan. Literatur yang membahas tentang sejarah kebudayaan di Indonesia antara lain Sejarah Kebudayaan Indonesia (jilid 1,2 dan 3) yang ditulis oleh Prof. Dr. Soekmono, yang menitikberatkan pada bahan dan data arkeologis. Pada buku jilid I membicarakan periode pra-sejarah, jilid 2 membicarakan masa Hindu dn Budha sedangkan jilid 3 membicarakan masa Islam sampai

Buku Ajar MPK Seni Wayang PPKPT UI

8

kemerdekaan. Disamping itu Kapustakan Jawi yang ditulis oleh Prof. Dr. Poerbotjaraka di dalam pendahuluan dapat dipergunakan pula sebagai acuan menerangkan tentang latar belakang adanya wayang, meskipun di dalamnya dibahas mengenai sejarah bangsa, bahasa, sastra dan tulisan Jawa. M.C. Ricklefs juga pernah menulis tentang Sejarah Indonesia Modern, yang menitikberatkan pada tinjauan sejarah sosial; diawali dari munculnya jaman modern (kedangan Islam) sampai Indonesia Merdeka. Adapun yang secara khusus membahas mengenai bagaimana Islam masuk dan berkembang di Indonesia, yang sedikit banyak memberikan latar belakang wayang pada jaman Islam adalah De Graaf dan TH Pegeaud dalam tulisannya Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Mengenai asal-usul wayang, baik bonekanya, sastranya, maupun pertunjukannya, memang masih terus diperdebatkan. Namun ada kecenderungan para sarjana Indonesia mengikuti pendapat G.A.J. Hazeu; yang mengatakan bahwa wayang berasal dari suatu upacara keagamaan untuk memuja arwah nenek moyang yang disebut hyang. Atas dasar keterangan ini, maka periodesasi mengenai perkembangan pertunjukan wayang di Indonesia diawali dari jaman prasejarah.

5.1. Masa prasejarah Seiring dengan pendapat G.A.J. Hazeu, Sri Mulyono menguraikan bahwa, pertunjukan wayang pada mulanya merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayan untuk memuja arwah nenek moyang (Hyang). Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil roh nenek moyang untuk dimintai pertolongan dan res...


Similar Free PDFs