Nilai Nilai Tasawuf dalam Qasidah Karya KH Zaini Munim PDF

Title Nilai Nilai Tasawuf dalam Qasidah Karya KH Zaini Munim
Author Zaimatus Sa'diyah
Pages 19
File Size 244.5 KB
File Type PDF
Total Downloads 147
Total Views 777

Summary

Nilai-Nilai Tasawuf dalam Qasidah Karya KH. Zaini Mun’im Zaimatus Sa’diyah1 Abstrak This paper aims to describe the values of Sufism contained in qasidah written by Zaini Abdul Mun‟im, one of the ulama’ who has an important role in teaching values of Sufism in East Java, especially in the city of Pr...


Description

Nilai-Nilai Tasawuf dalam Qasidah Karya KH. Zaini Mun’im Zaimatus Sa’diyah1 Abstrak This paper aims to describe the values of Sufism contained in qasidah written by Zaini Abdul Mun‟im, one of the ulama’ who has an important role in teaching values of Sufism in East Java, especially in the city of Probolinggo and surrounding. Through Pesantren; an educational institution, Zaini Abdul Mun'im teaches values of Sufism as an effort to get closer to God that has been widely taught and practiced in Indonesian society. Zaini Abdul Mun'im chooses akhlaqi sufism or sunni sufism which more emphasis on behavior improvement and cultivation of moral values practical. The values of akhlaqi sufism practiced in the community is not explicitly referred to the practice of Sufism, but implicitly contains the teachings and values of Sufism such as: the teaching of zuhud, taubah, wara’, patient, al-faqr, tawakkal and ridla which are really the maqaamaat should be taken by a Sufi to achieve a closeness with God. To make it easier to convey the values of sufism, Zaini Abdul Mun'im prepared qasidah that is read in every lesson he gives. It contains six values of sufism; 1. Loving the prophet Muhammad PBUH towards the love of God, 2. Doctrine of taubah, 3. Teachings to always accomplish worship and acknowledge self weakness, 4. Doctrine to invoke the protection of the faith, 5. Doctrine to make religion as a field of struggle, and 6. Teachings to always invoke husnul khatimah. All the teachings above are series of tahalli-oriented process which aims in planting positive values and morality in a person. All of this tahalli process will transmit the person to the goal of akhlaqi sufism, namely tajalli. Key words: Qasidah, Tasawuf Akhlaqi, Tahalli, Tajalli Pendahuluan Memahami tasawuf tentu akan lebih mudah dimulai dengan memahami makna yang terkandung dalam terma ini baik dari sisi etimologis maupun terminologis. Ada beberapa versi dan pendapat ulama terkait dengan perumusan makna etimologis dari terma ini.(Anwar & Solihin, 2000: 9-11) Salah satunya adalah yang berpendapat bahwa kemunculan terma tasawuf tidak bisa dilepaskan dari keberadaan “ahlu ash-shuffah”

‫اص‬

‫ أ‬yang merupakan

sekelompok orang yang hidup pada masa rasulullah SAW dan banyak berdiam diri di serambi-serambi mesjid untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengabdi kepadaNya. Pendapat kedua menyatakan bahwa terma tasawuf berasal dari kata "shafa" ‫ ص ء‬yang berarti bersih dan suci. Hal ini sejalan dengan spirit yang terdapat dalam tasawuf sebagai sebuah usaha untuk membersihkan diri dari dosa dengan mendekatkan diri kepada Allah. pendapat

1

Penulis adalah Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus. Email: [email protected]

ketiga menyatakan bahwa terma tasawuf berasal dari kata “shaf” ً‫ صف‬yang merujuk pada orang-orang yang selalu berada di barisan terdepan saat shalat. Ada pula yang menyatakan bahwa terma tasawuf merujuk pada orang-orang yang berasal dari Bani Shufah. Selain keempat pendapat di atas, ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa terma tasawuf merujuk pada sebuah kata dalam bahasa yunani; ‫ س ف‬yang berarti kebijaksanaan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa terma tasawuf berasal dari kata “shuf” ‫ ص ف‬yang berarti bulu domba atau kata “shaufanah”

‫ ص ف‬yang berarti buah-buahan kecil yang berbulu dan banyak

tumbuh di gurun pasir. Kedua pendapat ini tidak bisa lepaas dari kebiasaan para ahli sufi yang menggunakan pakaian berbulu dari kulit domba. Terlepas dari perbedaan pendapat asal muasal terma tasawuf secara etimologis, satu hal tidak bisa dipungkiri adalah bahwa terma ini merupakan bentuk nomina dari verba -‫ص ف‬ ‫ص ف‬

yang mempunyai makna berpindah dari kehidupan biasa menuju kehidupan sufi.

Artinya seseorang yang memasuki dunia tasawuf dia akan mencoba untuk menyesuaikan diri daengan tata cara yang selama ini sudah dibangun oleh para pendahulu dalam kesederhanaan penampilan, kedekatan dengan Allah dan kecintaan pada akhirat. Tidak hanya perdebatan dalam perumusan makna tasawuf secara terminologis, perdebatan dalam perumusan makna tasawuf secara etimologis juga terjadi. Namun demikian, ada tiga kelompok besar dalam definisi tasawuf ini. (Anwar, 2009:15-16, Nata, 2003: 180) A. Definisi yang mendasarkan pada fitrah dasar manusia sebagai makhluk yang serba terbatas Definisi ini menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk yang serba terbatas dengan fitrahnya tidak akan menguasai semua hakikat, karena dibalik semua hakikat itu ada hakikat yang paling agung. Karenanya dengan fitrahnya ini manusia dituntun untuk mendekati Sang Pemilik hakikat yang Maha Agung. Berdasarkan pendapat pertama ini, sebagian ulama seperti Abu Husain An-Nuri (w. 272 H) dan Al-Junaidi (w. 296 H) mendefinisikan tasawuf sebagai usaha untuk membersihkan hati dari segala keburukan, dan segala penyakit hati melenyapkan sifat kemanusiaan dan menjauhi segala bentuk nafsu sehingga mereka layak mendapatkan kedudukan yang tinggi di mata Allah.

Dengsn demikian, manusia yang serba terbatas ini melalui tasawuf berupaya untuk mensucikan jiwa dengan menjauhkan diri dari pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya pada Allah. B. Definisi yang mendasarkan pada kesungguhan Definisi ini merujuk pada usaha sungguh sungguh yang dilakukan oleh para sufi berupa amalan-amalan dalam rangka mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Berdasarkan hal ini, AnNuri menyatakan bahwa tasawuf merupakan akhlak yang hanya dapat dicapai dengan kesungguhan. Selain itu Sahal bin Abdillah menyatakan bahwa tasawuf adalah menyedikitkan makan, bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menjahui manusia. Definisi-definisi ini menunjukkan bahwa tasawuf membutuhkan usaha dan konsistensi yang tidak ringan. C. Derfinisi yang mendasarkan posisi manusia sebagai makhluk yang bertuhan Dari sudut pandang definisi ini, menyatakan bahwa seseorang yang sudah mendalami tasawuf harus mampu menguasai jiwanya serta mengarahkannya pada amalan-amalan yang mendekatkan diri pada Allah dan menjadikannya mampu merasakan kenikmatan saat bertaqarrub pada Allah. Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pada intinya, tasawuf merupakan upaya dalam rangka melatih jiwa untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan dari godaan duniawi yang tercermin dalam kesalihan yang sempurna baik kesalihan spiritual maupun kesalihan social. Tasawuf sebagai salah satu upaya mendekatkan diri pada Allah sudah banyak diajarkan dan dipraktekkan di tengah masyarakat Indonesia. Ajaran tasawuf yang lebih mudah diterapkan untuk masyarakat awam adalah tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni yaitu ajaran tasawuf yang lebih menekankan pada perbaikan prilaku dan penanaman nilai-nilai moral praktis. Dalam tasawuf akhlaqi ini setiap pribadi diajak untuk menjalin hubungan yang erat dengan Allah, hubungan yang dilandasi atas rasa cinta yang tulus sehingga seorang hamba mampu merasakan keberadaan Tuhan dalam setiap detak jantungnya. Dengan demikian, hubungan yang terjalin ini akan memunculkan rasa bahagia dan kenikmatan yang tak terhingga saat ia bertemu dengan Tuhannya. (Anwar & Sholihin, 2000: 55).

Penanaman nilai-nilai tasawuf akhlaqi di tengah masyarakat telah banyak dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan ulama‟. Meskipun nilai-nilai tersebut tidak secara gamblang disebut sebagai amalan tasawuf, namun secara implisit mengandung ajaran-ajaran tasawuf seperti ajaran akan zuhud, taubat, wara’, sabar, al-faqr, tawakkal dan ridla yang sesungguhnya merupakan maqaamaat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk mencapai kedekatan dengan Allah. (Anwar & Solihin, 2005:182, 2000: 56-62, Nata, 2003: 194, Anwar, 2009:78) Profil KH. Zaini Mun‟im Salah satu ulama yang cukup berperan dalam mengajarkan nilai-nilai tasawuf di Jawa Timur adalah KH. Zaini Abdul Mun‟im, Pengasuh pertama yang juga merupakan pendiri pesantren Nurul Jadid di Paiton probolinggo. Beliau merupakan putera pertama dari pasangan KH. Abdul Mun'im dan Ny. Hj. Hamidah yang lahir pada tahun 1906 di desa Galis Madura. Sejak kelahirannya, masyarakat Galis berharap banyak pada dirinya. Sebab dalam tubuhnya telah tergabung antara darah bangsawan dengan darah ulama yang mempunyai komitmen pada nilai nilai ajaran Islam, baik dari ayahanda maupun dari ibunda. Lebih-lebih, jika diruntut, silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Bindere Sa'ud Bendoro Saud alias Temenggung Tirtonegoro, adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur atau cucu dari Sunan Kudus. Sedang dari jalur ibunda, Lora Mughni adalah keturunan para Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar (Ratoh Sidabulangan), penguasa Kraton Pamekasan Madura. Ibunda Lora Mughni berasal dari Desa Palesanggar, Kecamatan Pegantenan Pamekasan Madura. Kehidupan keluarganya terkenal sebagai keluarga santri. Sejak usia dini, Zaini muda telah mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya, Nyai Hj. Hamidah dan KH. Abdul Mun‟im, serta KH. Shanhaji, yang populer dengan sebutan Kiai Anom (saudara sepupu Kiai Abdul Mun‟im). Menginjak usia 11 tahun, pada masa penjajahan Belanda, Zaini muda masuk sekolah Wolk School (Sekolah Rakyat) selama empat tahun (1917-1921). Selanjutnya, beliau memperdalam Al-Qur‟an beserta tajwidnya kepada KH. M. Kholil dan KH. Muntaha, (menantu Kiai Kholil) di Pondok Pesantren Pademangan Bangkalan Madura. Pada usianya yang ke-16 ini Lora Zaini telah menghafal AlFiyah. Setelah itu, pada tahun 1922 beliau melanjutkan proses belajarnya ke Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan puteranya KH. Abdul Madjid. Selama tiga setengah tahun di pesantren ini, Lora Zaini semakin terlihat

kecerdasannya. Terbukti dengan kemampuannya dalam bidang tafsir, mengarang (tulismenulis) atau memberi I‟tibar (komentar) pada kitab-kitab yang dibacanya. Pada pertengahan tahun 1928, bersama dengan nenek, ibu dan adik kandungnya, Zaini muda berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan menetap di Sifirlain (atau dikenal dengan Pasar Seng) untuk menuntut ilmu. Beliau belajar di Makkah selama lima tahun. Adapun para ulama yang menjadi guru beliau antara lain: KH. M. Baqir (berasal dari Yogyakarta), Syekh Umar Hamdani AI Maghribi, Syekh Alwi Al Maliki (mufti Maliki di Makkah), Syekh Sa‟id Al-Yamani (mufti Syafi‟i di Makkah), Syekh Umar Bayunid (mufti Syafi‟i di Makkah), Syekh Yahya Sangkurah (berasal dari Malaysia), dan Syekh Syarif Muhammad bin Ghulam As-Singkiti. Ketika beliau menetap di Makkah, beliau menjadi pimpinan Lajnah Masa‟il bersama dengan KH. Hannan Tanggul Jember dan KH. Hazin Baladu Probolinggo. Sebelum pulang ke tanah air, beliau sempat mukim di Madinah selama enam bulan. Di sini beliau mengikuti berbagai pengajian di Masjid Nabawi dari beberapa ulama terkemuka saat itu, di antaranya dari Syekh lbrahim Al-Barry. Pada tahun 1934, Zaini muda pulang ke tanah air dan langsung menetap di Madura. Sejak tahun itu beliau akrab dipanggil KH. Zaini Mun‟im, Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis Pamekasan. Kepribadiannya yang bersahaja, jujur, ikhlas, berdedikasi tinggi serta kepiawaiannya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di tengah masyarakat

menjadikan

sosok

Zaini

muda

pada

masa

itu

sangat

dikagumi.

(http://www.nuruljadid.net/biografi-kh-zaini-munim.html) Setelah menikah dengan Nyai Nafi‟ah pada tahun 1937 beliau dikaruniai enam orang putra dan satu orang putri. Pasca berhijrah dan menetap di desa Tanjung Paiton probolinggo, pada tahun 60 an beliau mendirikan lembaga pendidikan yang hingga saat ini masih berdiri dan berkembang pesat di bawah kepemimpinan putra-putra dan putrid beliau secara berkelanjutan. Pesantren yang terkenal dengan nama pesantren Nurul Jadid ini hingga saat ini telah memiliki lembaga pendidikan dari jenjang pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Bahkan termasuk salah satu dari sepuluh pesantren terbesar di Indonesia versi situs dunia pesantren. Nilai-Nilai Tasawuf dalam Qasidah Karya KH. Zaini Mun‟im

Banyak karya-karya yang sudah ditulis KH. Zaini Mun‟im semasa hidupnya, diantaranya adalah kitab Taysirul Ushul fi Ilmil Ushul, Tafsirul Qur’an bil Imla’, Nazhmu Syu’abil Iman, Nazhmu Safinatun Najah, serta buku Beberapa Problematika Dakwah Islamiyah. Selain itu ada nadzam qasidah yang juga ditulis oleh KH. Zaini Mun‟im yang mengandung ajaran-ajaran tasawuf. Nadzam tersebut merupakan nadzam tawashshul yang biasa dibaca oleh santriwan dan santriwati pada saat menunggu waktu shalat atau menunggu waktu mengaji kitab. berikut ini adalah nadzam qasidah yang juga berisikan doa untuk memohon kekuatan iman dan islam pada diri pembacanya.

‫ا‬

‫غ‬

‫اإسا‬

‫س ا‬

‫ح‬

‫ف ا‬

‫اإ‬

‫س‬

‫ف ا‬

#

‫ ف ج ع اأح ا ح‬# ‫ق أ‬

‫ح‬

‫ف اث‬ ‫عث ا‬

‫ع‬ ‫ف‬

‫ا س س ا‬ ‫خ ا‬

‫حض‬

‫ف ا‬

#

‫ط‬

‫أ‬

‫ق سع ا‬

‫ع‬

‫أ‬

‫ا‬

# ‫جس‬

‫ا‬

‫ق ج‬ ‫ا‬

‫س ء‬ ‫ا‬

‫ا‬

‫أ‬

‫آ‬

‫شع‬

‫ا حس‬

‫ط‬

‫عس أ‬

‫ا‬

# ‫ا حش ح ا ا‬ ‫ق‬

‫ح ف ا‬

‫غ أ‬# #

#

‫ق‬ ‫أ‬

‫ا‬

‫ف‬

‫ا ف‬

‫ إصا فع‬# ‫ا ا‬ ‫اأ‬

‫جئ‬

‫شع س‬

‫ ع أ جح‬# ‫غ ا‬

‫ع‬

‫عس ا ح‬

#

‫ف ا‬

‫ق أق ا‬

‫ط‬

‫ئ ف ح‬

# ‫ا ح‬ ‫ا ع اأ‬

‫س ا س‬ ‫ق طغ ش ق‬

‫ ف عش‬# ‫ ف‬#

‫قص‬

‫ق‬ ‫ق‬

‫ف‬ ‫قس ق‬

‫ع فع أخ ا‬

‫ قص‬#

‫س‬

‫ غ‬#

‫ا‬

‫أغ ا‬ ‫قص ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬

‫ف ع‬

‫ا ا‬ ‫اأ‬

#

‫ أعط ق‬# ‫ا‬

‫ا‬

‫ف ا‬

‫ا‬

‫اأ‬

‫اش‬

‫ا‬

‫ا‬

‫أ‬

‫ح‬

‫خ ا‬

‫ا صط‬

‫اأ‬

‫أعط‬

‫اش‬

‫اف ا عث ا حش ا‬

‫اس‬

‫اء‬

#

‫أ‬

#

‫ا‬

‫ا‬

‫ف ا ا‬

‫ اجع ح‬# ‫ا س‬

‫ع‬

‫ف‬

‫أ‬

# ‫إح ء ض ا ع ء‬

‫ف ا أح‬

‫ض‬

‫اط ا‬

‫ا اء ا‬

#‫ا‬

‫إح ء‬

‫اإسا ح أظ ا‬

‫ظ‬

‫ا‬

‫ ائ‬# ‫ح ء ا ص‬

‫ط ا‬

‫ا‬

‫ف ا‬ ‫ائ‬

#‫ء‬

‫اأ‬

‫ش‬

‫اش ع‬

#

‫فخ ح‬

-#

‫س ا‬

‫ ح‬# ‫أ ع‬

‫أعط‬ ‫ع‬

‫أق‬

‫حس ا‬ ‫صا اه ع‬ ‫ج ع ا صح‬

Nilai-nilai tasawuf dalam nadzam qasidah 1.

Mencintai Rasulullah sebagai wasilah menuju cinta Allah ‫س ا‬

‫ح‬

‫ف ا‬

#

‫خ ا‬

‫س ا س‬

Wahai Penghulu para Rasul, manusia terpilih # Yang merenggut cinta terindahku ‫ا‬

‫ف ا‬

‫ ف ج ع اأح ا ح‬#

‫حض‬

‫ق طغ ش ق‬

Rasa rinduku padamu sudah memuncak #Menderaku setiap saat bahkan sampai mati

‫ق أ‬

‫ح‬

‫ ف عش‬#

‫أ‬

Rindu itu terbawa hingga dirmu (Rasul SAW) datang dalam mimpi #Akupun

‫ط‬

‫ع‬

merasakan

kebahagiaan dan kenikmatan atas itu Bait-bait syair di atas menunjukkan betapa seorang yang ingin menjaga iman dan islamnya harus selalu menumbuhkan rasa cinta yang tak terhingga pada kekasih pilihan Allah, yaitu Muhammad SAW. Kecintaan yang menimbulkan rasa nyaman dan kenikmatan tersendiri saat menyebut dan mengingat sang kekasih. Kecintaan yang tidak terbatas pada pribadi Muhammad namun juga berimbas pada harapan agar Muhammad sang kekasih mampu mengantarkannya pada cinta sejati dari sang Maha Cinta. Dalam syair di atas disebutkan bahwa rasa rindu yang mendera KH. Zaini Mun‟im pada Muhammad SAW tidak lagi bisa dibendung, rindu yang muncul karena rasa cinta yang senantiasa terasa bahkan saat jasad telah terpisah dari ruh dan dimasukkan ke dalam liang lahat. Tentu saja rasa rindu yang demikian dahsyat tidak akan muncul kecuali dari jiwa yang mencintai dengan tulus dan ikhlas. Rindu yang sangat menggelisahkan tidak hanya menderanya saat terjaga namun juga terbawa dalam mimpi. Dalam mimpi itu sosok sang kekasih yang dirindukan muncul dan mampu mengobati kerinduan. Dalam bait ini, KH. Zaini Mun‟im ingin mengajarkan pada setiap santrinya untuk betul-betul bisa membangun rasa cinta pada baginda Nabi Muhammad SAW, rasa cinta yang betul-betul tulus dan mampu membawa mereka pada cinta hakiki dari Allah. Rasa cinta ini membawa pada harapan yang sangat besar agar kelak dapat bertemu dengan sang kekasih hati; Muhammad SAW di hari akhir. Hal ini dapat terlihat dalam syair selanjutnya: ‫ف اث‬ Betapa aku berharap dan berangan-angan

#

‫ع‬

‫ ف‬#

‫ئ ف ح‬

‫جئ‬

Tidak hanya untuk saat ini, namun juga

ketika aku sudah terkubur dalam tanah ‫عث ا‬

‫ف‬

‫ف ا‬

#

‫ع‬

‫أ‬

Semoga Dzat yang maha Pengasih mempertemukanku denganmu (wahai Rasul) # dunia dan di hari dibangkitkannya umat manusia

‫عس ا ح‬ di

‫ط‬

# ‫ا ح‬

Dan semoga engkau (Rasul) memberiku syafa‟at pada hari hiruk-pikuk

‫شع‬ #

‫عس أ‬

dan

membantuku untuk selamat dari segala kejadian dan ujian pada hari itu ‫ا ع اأ‬

Ya Allah Tuhanku, berilah pertolongan padanya (Rasul)

#

#

‫شع س‬

agar ia bisa membantuku

selamat dari hari kiamat ‫ق سع ا‬

‫ف ا‬

#

‫ا حس‬

Selamatkanlah aku pada hari itu dari perhitungan amal yang panjang

‫ط‬

#

‫ا‬ dan

dari

api neraka yang sudah dinyalakan. Bait-bait syair di atas menunjukkan betapa rasa cinta sang mursyid (KH. Zaini Mun‟im) pada Rasulullah SAW melebihi cintanya pada diri sendiri. Hal ini dilandasi pada satu keyakinan bahwa cinta yang tulus pasti akan berbalas dengan ketulusan pula. Dapat kita lihat bahwa KH. Zaini Mun‟im memohon pada dengan tulus agar Allah berkenan memberi pertolongan pada Muhammad di hari akhir, karena dengan demikian diharapkan Muhammad sang Rasul kekasih hati akan memberikan pertolongan pada dirinya. Meski Rasulullah SAW adalah sosok yang ma‟shum yang terjaga dari pelbagai dosa dan khilaf namun sebagai bentuk rasa cinta kepadanya, semua ummatnya diajarkan untuk selalu membaca doa atas Rasul SAW dalam bentuk bacaan shalawat. 2.

Ajaran untuk Bertaubat ‫ق أق ا‬

Lindungilah aku dari segala siksaan #

‫ا‬

# ‫ا حش ح ا ا‬

‫ق‬

saat jasadku sudah terkubur ‫ا‬

Ah… kemanakah kelak jiwaku akan pergi

‫جس‬

#

‫ ع أ جح‬#

‫ق‬

‫ح ف ا‬

‫أ‬

ke surga ataukah ke neraka ‫غ ا‬

‫أ‬

‫آ‬

‫غ أ‬#

‫ا‬

‫ف‬

Dosaku sudah bertumpuk setinggi gunung

#

namun aku tetap mengharap ampunanMu ‫ق ج‬

padaMu aku bertaubat sebelum kematian

#

‫س ء‬

#

‫ا ف‬

‫ق‬

Dari dosaku dan segala kesalahanku ‫ا‬

‫ا‬

‫ إصا فع‬# ‫ا ا‬

‫ق‬

‫ف‬

Tuhan… berikanlah taufiqMu untukku agar aku bisa bertaubat sebelum semua terlambat...


Similar Free PDFs