Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina, 1755-1825 PDF

Title Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa: Perubahan Persepsi tentang Cina, 1755-1825
Author Peter B Carey
Pages 86
File Size 6.9 MB
File Type PDF
Total Downloads 575
Total Views 869

Summary

PENGANTAR: DIDI KWARTANADA ORANG CINA, BANDAR TOL, CANDU, & PERANG JAWA Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755–1825 PENGANTAR EDISI KE-2 Peter Carey Diterjemahkan dari “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755–1825”, Perang Jawa (1825–1830) dalam Indonesia (C...


Description

PENGANTAR:

DIDI KWARTANADA

ORANG CINA, BANDAR TOL, CANDU, & PERANG JAWA Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755–1825 Peter Carey Diterjemahkan dari “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755–1825”, dalam Indonesia (Cornell University) 37, April 1984, hlm. 1–47 Penerjemah : Wasmi Alhaziri Penyunting : Danang Wahansa S. Desainer sampul & isi : Sarifudin

PENGANTAR EDISI KE-2

Perang Jawa (1825–1830) dan Implikasinya pada Hubungan Tionghoa–Jawa

Cetakan Pertama, Komunitas Bambu, Januari 2008 Cetakan Kedua, Komunitas Bambu, Juli 2015 © Komunitas Bambu Komunitas Bambu Jl. Taufiqurrahman No. 3, Beji Timur, Depok 16422 Telp./faks: 021-77200978 E-mail: [email protected] website: www.komunitasbambu.com Penerbit Komunitas Bambu @KomunitasBambu 2B97826E / 5455B679 081385430505 Gambar sampul depan: Mural “Batavia Tempo Doeloe (1820–1920)” karya Hariyadi Sumodidjojo, 1973–1974 di Museum Sejarah Jakarta

Katalog Dalam Terbitan Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa Carey, Peter Depok: Komunitas Bambu, 2015 (xxxiv+137 hlm; 19 x 20 cm) ISBN 978-602-9402-67-4

Didi Kwartanada1

Pendahuluan Tulisan yang ada di tangan pembaca ini adalah terjemahan karya klasik Peter Brian Ramsay Carey, “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755–1825”, terbit dalam jurnal Indonesia (Cornell University) 37, April 1984, hal.1–47.2 Artikel tersebut segera mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia. Goenawan Mohamad, salah satu esais terbesar kita, mengangkat tulisan Carey dalam kolomnya di Tempo tanggal 7 Juli 1984.3 Tahun berikutnya, versi terjemahan lengkapnya terbit sebagai Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755–1825 (Jakarta: Pustaka Azet, 1985). Namun, kualitas terjemahannya amat buruk, sehingga amatlah tepat apabila kali ini dilakukan penerjemahan ulang oleh sejarawan muda Wasmi Alhaziri di bawah supervisi pengarangnya. Analisis yang tajam serta didukung studi pustaka yang mengagumkan dari berbagai sumber, khususnya arsip Belanda dan Inggris dan babad berbahasa Jawa,

v

Peter Carey

menjadikan studi Peter Carey ini salah satu acuan klasik dalam sejarah Jawa maupun sejarah orang Tionghoa di Jawa/Indonesia. Golongan Perantara Sejak lama golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai “perantara” sekaligus “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial di Indonesia. Di zaman prakolonial, orang Tionghoa sudah bekerja kepada raja-raja kerajaan maritim, misalnya, sebagai syahbandar. Di sini Peter Carey memaparkan dengan detail, bagaimana golongan peranakan4 Tionghoa menjadi bagian penting dalam tatanan lama kolonial (old colonial order)5 di Jawa Tengah bagian selatan pada abad ke-18 hingga 19. Berdirinya Kesultanan Yogyakarta menyusul perjanjian Giyanti (1755) membawa konsekuensi perlunya dana untuk mengisi kas Keraton yang baru saja berdiri ini. Rupanya di saat Yogyakarta berdiri, sudah terdapat orang Tionghoa dalam jumlah yang cukup signifikan, sehingga diangkatlah To In sebagai Kapitan Cina pertama (1755–1764).6 To In serta penerusnya menjalankan tugas mereka dengan baik sebagai penarik pajak gerbang tol dan di saat wafatnya Sultan Hamengku Buwono I (Maret 1792) jumlah pajak yang disetorkan berjumlah f128.000 atau naik tiga kali lipat dari jumlah pada tahun 1755 (lihat Lampiran 3). Belanda yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia melihat bahwa Tionghoa bisa menjadi “perantara” antara mereka dengan golongan pribumi. Oleh karena itu, Belanda menjual berbagai macam pacht (hak pengelolaan) bagi jalan tol, candu, rumah gadai, kepada pengusaha Tionghoa (bandingkan dengan rezim Orde Baru, misalnya, Hak Pengusahaan Hutan [HPH]).7 Para pengusaha tersebut berani membeli pacht dengan harga tinggi, oleh karena mereka tahu bahwa keuntungan yang didapatkan akan berlipat ganda. Dengan dukungan penguasa, para pachter tersebut memeras

vi

Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

rakyat dan menjadi sangat kaya karena kedudukannya. Dalam tulisannya ini, Carey memaparkan dua institusi pacht yang amat dibenci rakyat, yakni gerbang tol dan candu (opium). Akhirnya, golongan Tionghoa diposisikan menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, tetapi secara politis dibenci oleh rakyat. Kedudukan sebagai perantara inilah yang memang diinginkan oleh penguasa, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam” di saat terjadi kerusuhan menentang penguasa atau saat terjadi kevakuman pemerintahan. Pola ini muncul berkali-kali dalam sejarah Indonesia.8 Dapat disebutkan contoh antara lain: hancurnya Hindia Belanda dan kedatangan Jepang (9 Maret 1942); kekalahan Jepang dan revolusi kemerdekaan (1945– 1950); Peraturan Pemerintah (PP) No.10/1959 (yang melarang pedagang Tionghoa beroperasi di pedesaan); jatuhnya Presiden Sukarno (1966); Peristiwa Malari (15–16 Januari 1974); Peristiwa Solo-Semarang (20–25 November 1980), Tanjung Priok (12 September 1984); Rengasdengklok (30 Januari 1997), Makassar (15–17 September 1997), dan Huru-hara Mei 1998. Bahkan di masa Reformasi ini masih terjadi pula beberapa kali kerusuhan anti-Tionghoa dengan berbagai alasan, tetapi skalanya jauh lebih kecil dan bersifat lokal. Dalam ilmu sosial, posisi “tengah” seperti golongan Tionghoa ini dikenal sebagai konsep “minoritas perantara” (middlemen minority).9 Berikut ini adalah uraian detail mengenai “minoritas perantara”: Dalam masyarakat-masyarakat multietnis, kadang terdapat kelompokkelompok etnis tertentu yang menduduki status perantara [middle status] di antara kelompok dominan yang berada di puncak hierarki etnis dan kelompok subordinat yang berada di bawah. Kelompok tersebut disebut “minoritas perantara” [middlemen minorities] […] Minoritas perantara

vii

Peter Carey

Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

sering berfungsi sebagai mediator antara kelompok dominan dan kelompok etnis subordinat. Mereka biasanya menduduki ceruk perantara [intermediate

“oportunis”. Sebagai contoh, Abu Hanifah (1906–1980), seorang tokoh Nasionalis-Islam menulis sebagai berikut:

niche] dalam sistem ekonomi [...] Mereka memainkan berbagai peran dalam mata pencaharian selaku pedagang, pemilik toko, pembunga uang [Jawa:

“[…] sebagian besar Tionghoa di Indonesia benar-benar tidak mempunyai

mindring], dan profesional independen. Dengan demikian, minoritas

loyalitas [had no sense of loyalty]. Pada zaman Belanda, mereka bersikap

perantara melayani baik kelompok dominan dan subordinat. Mereka

pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan

melakukan tugas-tugas ekonomi yang bagi mereka yang berada di puncak

Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita

(elite) dianggap sebagai hal yang dibenci atau kurang bermartabat [...]

[…] Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah “kaum

Sehubungan dengan posisi ekonomi perantara mereka, kelompok ini sangat

oportunis yang tidak bisa diperbaiki” [incorrigible opportunists].12

rentan [vulnerable] terhadap permusuhan dari luar kelompok etnisnya, baik yang muncul dari kelompok dominan maupun subordinat. Pada masamasa tegang, mereka adalah [...] kambing hitam alami [natural scapegoat]. Mereka secara jumlah maupun secara politis tidak berdaya dan oleh karena itu harus memohon perlindungan kepada kelompok dominan, yang akan memberikannya sejauh peran ekonomi mereka masih dibutuhkan.10

Dari uraian di atas, masalah keamanan tampak amat penting bagi golongan “minoritas perantara” karena posisi mereka yang lemah secara politis. Ditegaskan oleh Carey, “[…] sebagai akibat dari peristiwa pada 1810-an dan 1820-an, orang-orang Tionghoa sendiri menjadi semakin sadar akan kedudukannya yang terbuka dan mudah diserang di dalam masyarakat Jawa” (lihat hlm. 110). Oleh karena itu, loyalitas total sukar sekali diharapkan dari “minoritas perantara”. Loyalitas akan mereka berikan kepada siapa pun yang bisa menjamin keselamatan mereka. Ironisnya, bahkan apabila musuh mampu memberikan jaminan keamanan, mereka pun tidak segan-segan mengalihkan “loyalitasnya” kepada sang musuh.11 Tanpa memahami hakikat etnis Tionghoa selaku “minoritas perantara”, orang akan dengan mudah menuding dan menyalahkan mereka sebagai

viii

Pandangan serupa dengan Hanifah cukup populer di kalangan umum, yang condong melihat keberadaan Tionghoa secara hitam-putih (pahlawan atau pengkhianat), tanpa memahami hakikat mereka sebagai “manusia dagang” atau “minoritas perantara”, yang muncul sebagai produk kolonial. Golongan perantara ini akan selalu merasa terancam dari pihak di luar kelompoknya (out-group hostility); siapa pun yang bisa memberi jaminan keamanan dan stabilitas, dialah yang akan mereka ikuti. Tidak ada pilihan lain yang tersedia, oleh karena ini adalah masalah “survival” dan tidak bisa ditafsirkan secara simplistis berdasarkan prasangka hitam-putih (loyaltidak loyal). Intinya, posisi golongan Tionghoa akan selalu “serba salah”, seperti yang dilukiskan dengan bagus oleh seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel: “[…] Orang Tionghoa itu ibarat makan buah simalakama bila memikirkan kegiatan politik. Jika mereka terlibat dalam kalangan oposisi, mereka dicap subversif. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat mencari untung belaka.”13

ix

Peter Carey

Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

Perang Jawa dan Implikasinya Membaca tulisan Carey yang sangat menarik ini, ada tiga komentar sehubungan dengan Perang Jawa dan implikasinya atas hubungan Tionghoa–Jawa. 1.

Perang Jawa bukan hanya suatu watershed (garis batas) dalam sejarah politik Jawa dan bahkan Indonesia,14 tetapi juga dalam hubungan Tionghoa–Jawa.

Di masa Kerajaan Mataram, golongan Tionghoa menempati posisi hukum yang istimewa dalam undang-undang (1798), seperti ditunjukkan dalam jumlah diyat (uang darah; diat) yang harus dibayarkan apabila seorang Tionghoa terbunuh. Jumlah diat untuk orang Tionghoa (200 rial) adalah dua kali lipat diat bagi orang Jawa (lihat di hlm. 13–14).15 Seorang pujangga Mesir, Abdullah bin Muhammad Al-Misri, melaporkan pada 1810-an dari Jawa Timur bahwa orang Jawa akan senang sekali apabila dapat menikah dengan orang Tionghoa.16 Namun, situasi berbalik total karena keterlibatan orang Tionghoa dalam persoalan ekonomi sehari-hari rakyat Jawa perihal penarikan pajak gerbang tol dan penjualan candu. Mereka dijadikan kambing hitam atas kemiskinan rakyat. Oleh karena itu, Diponegoro mengumumkan bahwa orang Tionghoa adalah salah satu target Perang Suci yang akan dikobarkannya. Mereka akan dibinasakan apabila tidak bersedia memeluk agama Islam, seperti terekam dalam Babad Diponegoro: Saya yang akan mempertahankan [mereka] dalam perang [dan] para ulama [akan memberi] semangat sebagai pendeta untuk membinasakan Belanda dan Cina yang tinggal di Tanah Jawa,

x

apabila mereka tidak menganut agama Paduka Nabi Sinelir.17

Lebih khusus lagi, Diponegoro menjadikan pergaulan dengan perempuan Tionghoa sebagai penyebab kekalahannya serta iparnya, Sosrodilogo, dalam dua pertempuran berbeda (lihat hlm. 19, 21 catatan 6). Malam sebelum pertempuran, mereka melakukan hubungan serong dengan nyonya Cina. Tidak bisa menerima kekalahan, mereka mencari kambing hitam dan perempuan-perempuanTionghoa itu mudah sekali dijadikan sasaran. Denys Lombard, sejarawan Prancis, memberikan komentarnya tentang “gagasan yang sepenuhnya rasialis itu” sebagai berikut: Mungkin, yang lebih parah daripada pembantaian yang merupakan satu di antara pembantaian yang pertama yang dilakukan orang Jawa terhadap orang Tionghoa itu18 adalah ideologi berbahaya yang mulai disebarluaskan oleh Diponegoro dan para pengikutnya: orang Tionghoa tidak sekadar dimasukkan ke dalam kategori orang kafir, tetapi pengikut Diponegoro juga secara resmi dilarang kawin dengan wanita Tionghoa maupun untuk mengambil wanita peranakan sebagai selir.19

Dengan demikian, gagasan idealnya tentang pernikahan campuran Tionghoa-Jawa yang muncul 15 tahun sebelumnya di Jawa Timur (yang dilaporkan Al-Misri) menjadi musnah. Seperti yang diceritakan Carey dalam buku ini [hlm. 19], muncul mitos untuk membuat lelaki Jawa takut menikahi perempuan Tionghoa, dikarenakan “abu” orang Tionghoa lebih tua, sehingga nanti anak-anak hasil percampuran itu akan lebih dominan sifat ke-Tionghoa-nya.20 Oleh karena itu, lingkungan sekitar orang Tionghoa makin didorong untuk menjadi “orang asing” (outsider) dan hal ini makin

xi

Peter Carey

Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

mengukuhkan posisinya yang rentan sebagai “minoritas perantara”. Jelaslah bahwa Perang Jawa adalah watershed bagi hubungan Tionghoa–Jawa, yang memisahkan satu masa yang dibangun atas dasar saling menghargai menjadi saat-saat yang diwarnai dengan kecurigaan dan ketakutan. Adapun Peter Carey sendiri menyimpulkan dampak Perang Jawa atas golongan peranakan Tionghoa di Jawa Tengah bagian selatan sebagai berikut [hlm. 72]: Pilihan untuk melakukan asimilasi ke dalam dunia orang-orang Jawa kini tampaknya semakin tidak menarik bagi mereka [orang Tionghoa peranakan]. Tentu saja, perlakuan hak-hak hukum yang khusus diberikan oleh Belanda kepada mereka dari pertengahan abad ke-19 dan seterusnya serta pemaksaan yang lebih keras tentang batasan-batasan “masyarakat majemuk” cenderung menggiring orang-orang Tionghoa peranakan untuk menyadari akan pengidentifikasian diri dengan komunitas Tionghoa di Jawa [garis miring dari penulis, DK]

Kesimpulan ini menimbulkan dua paradoks: 2. Paradoks pertama: Walaupun Perang Jawa kental mengandung unsur anti-Tionghoa, tetapi hal ini tidak menghentikan kegiatan orang-orang Tionghoa di daerah Kerajaan Jawa selaku maestro dan/atau maesenas budaya Jawa pada masa-masa berikutnya. Dari Yogyakarta muncul beberapa nama pelaku maupun pecinta budaya Jawa. Pertama, Ko Mo An (wafat pada 1920-an) yang amat menguasai bahasa dan sastra Jawa.21 Satu tulisannya dalam huruf Jawa

xii

mengenai deskripsi suara-suara instrumen gamelan, “Javaansche GamelanBeschrijving in Poëzie” terbit dalam majalah akademik Bijdragen van het Koninklijk Instituut voor het Taal-, Land en Volkenkunde (BKI) tahun 1893. Lima tahun kemudian, ia menerbitkan naskah cerita wayang orang Lara Mendut dalam aksara Jawa. Lie Djing Kim, seorang pedagang kaya yang mencintai gamelan serta menjadi patron kelompok-kelompok karawitan. Pada 1908, Lie mendirikan perkumpulan untuk memajukan seni dan kerajinan Jawa. Harga gamelan Lie ditaksir hingga puluhan ribu gulden. Dewasa ini, dua orang pembatik peranakan dari Yogyakarta diakui secara internasional, yakni Ardiyanto Pranata (lahir 1944) serta KRT Daud Wiryo Hadinagoro (lahir 1961).22 Masih ada lagi wayang Tionghoa-Jawa (wayang thithi), yang merupakan persilangan antara kedua budaya. Wayang ini diciptakan di Yogyakarta pada 1925 oleh Gan Thwan Sing (1895–1967). Akhir-akhir ini hasil karyanya kembali mendapatkan perhatian dan mengalami revitalisasi, termasuk mendapatkan perhatian dari pemerintah. Pada November 2012, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI menganugerahkan Piagam Penghargaan dan Bintang Satya Lencana Kebudayaan serta sejumlah uang kepada keluarga almarhum Gan.23 Di dalam seni sastra Jawa, terdapat nama Tjoa Tjoe Koan (1861–1905) di Surakarta, yang pada 1896 menerbitkan buku dalam aksara Melayu dan Jawa, Temboeng Tjinten hinkang halantoer kahangep hing ngakatah kahewokkaken temboeng Djawi, yang berisi kata-kata Tionghoa yang sudah masuk ke dalam bahasa Jawa. Dikabarkan bahwa buku ini dipakai di sekolah untuk anak-anak Jawa. Pada 1903, Tjoa menerbitkan surat kabar dwibahasa (Jawa–Melayu), Darmo Kondo. Kematiannya yang mendadak dua tahun kemudian membuat surat kabarnya diambil alih oleh Boedi Oetomo (1912), yang kemudian menjadikannya sebagai corong

xiii

Peter Carey

organisasi tersebut, tetapi tetap memakai nama yang digagas Tjoa Tjoe Koan.24 Menariknya, Surakarta memiliki tokoh-tokoh Muslim Tionghoa yang amat peduli dengan budaya Jawa, seperti Gan Kam (wafat pada 1928) yang mempopulerkan wayang orang panggung Mangkunegaran, dan Dr. Tjan Tjoe Sim (1909–1978), ahli budaya dan susastra Jawa. Seseorang yang dianggap paling paham mengenai seluk-beluk perkerisan maupun perbatikan adalah Panembahan Hardjonagoro (Go Tik Swan, 1931–2008) yang juga mumpuni dalam budaya Jawa.25 Pabrik batik cap yang cukup besar dan dimiliki oleh keluarga peranakan Tionghoa adalah Batik Keris, yang juga terdapat di Surakarta. Demikianlah kecintaan orang-orang peranakan Tionghoa di YogyakartaSurakarta terhadap kebudayaan Jawa tidak pernah berhenti. 3. Paradoks kedua: Diponegoro menggabungkan ke-Jawa-an dengan radikalisme Islam dalam upayanya menghadapi kaum kafir (termasuk orang Tionghoa) dan akan membinasakan mereka yang menolak memeluk Islam (lihat kutipan sebelumnya). Walaupun dalam butir pertama dikisahkan tentang ‘ideologi rasialis’ yang menentang perkawinan campuran Tionghoa-Jawa, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perkawinan Tionghoa-Jawa tetap berlangsung. PascaPerang Jawa, angka pernikahan Tionghoa-Jawa tetaplah tinggi di daerah kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah (Vorstenlanden). Bahkan persentase pernikahan campuran antara lelaki Tionghoa dengan perempuan lokal di Yogyakarta dan Surakarta menurut Sensus (Volkstelling) pada era terakhir kolonial 1930 adalah tertinggi di Hindia Belanda, yakni masing-masing 9,30% dan 7,40%. Sedangkan persentase untuk Pulau Jawa sendiri adalah

xiv

Orang Cina, Bandar Tol, Candu , & Perang Jawa

1,90%.26 Kapitan Cina terakhir di Yogyakarta, Lie Ngo An (menjabat 1932– 1934), memiliki triman dari Sultan Hamengku Buwono VIII (bertakhta 1921–1939), Raden Nganten Sumiyah selaku salah satu istrinya.27 Oleh karena itu, sinolog Maurice Freedman (1920–1975) menyimpulkan bahwa di Jawa Tengah “Islam […] tidaklah selalu efektif sebagai penghalang terjadinya perkawinan antara perempuan Jawa dengan lelaki Tionghoa” (“Islam [...] does not always effectively act as a barrier to the marriage of Indonesian women to Chinese”).28 Faktor lain adalah jemaah haji asal Yogyakarta ternyata termasuk di urutan terendah dibandingkan jemaah dari daerah lainnya,29 serta memiliki kehidupan keagamaan yang kurang kuat (disebut dengan abangan). Sayang sekali kita belum bisa mengetahui apakah hasil percampuran kedua etnis tersebut terasimilasi ke dalam masyarakat Jawa atau sebaliknya. Sejauh pengamatan penulis, lebih banyak anak perkawinan campuran Tionghoa-Jawa yang dalam kehidupan sehariharinya berbahasa Jawa atau Indonesia, dan hanya beberapa saja yang masih menggunakan bahasa atau dialek Tionghoa. Hingga hari ini, orang-orang Tionghoa peranakan tertentu masih mendatangi Kantor urusan asal usul (Tepas Darah Dalem) di Keraton Yogyakarta untuk mengklaim hubungan darah dengan para Sultan. 30 Menurut informasi, Kesultanan Yogyakarta mempunyai tiga trah (paguyuban keluarga berdasarkan kesamaan nenek moyang) berketurunan Tionghoa, yakni: Secadiningrat/Secodiningrat (berasal dari Tan Jin Sing yang akan dibahas selanjutnya), Honggodrono, dan Kartodirdjo. Trah Tionghoa ternyata juga ada di Kesunanan Surakarta.31 Tan Jin Sing dan Identitas Jamak Buku karya Carey ini secara khusus juga menyoroti kehidupan seorang tokoh unik dan luar biasa dari Yogyakarta, Tan Jin Sing alias Kanjeng Raden

xv

Peter Carey

Tumenggung (K.R.T) Secodiningrat (1760–1831). Karier dan karakter tokoh ini menyulut kecemburuan dari para lawan politiknya. Untuk mengolokolok Tan Jin Sing, para musuhnya menciptakan suatu peribahasa yang unik: “Cina wurung, Landa durung, Jawa tanggung (Tionghoa sudah batal, Belanda masih belum, Jawa masih tanggung). Hal ini mengacu pada tiga dunia identitas di mana Tan Jin Sing hidup.32 Namun, dewasa ini muncul pandangan yang berbeda tentang identitas ja...


Similar Free PDFs