Title | Penataan Ruang Berbasis Pembangunan Berkelanjutan |
---|---|
Author | Oswar Mungkasa |
Pages | 22 |
File Size | 358.5 KB |
File Type | |
Total Downloads | 179 |
Total Views | 471 |
Penataan Ruang Berbasis Pembangunan Berkelanjutan1 Oswar Mungkasa Sesuai Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah ditegaskan tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, ny...
Penataan Ruang Berbasis Pembangunan Berkelanjutan1 Oswar Mungkasa
Sesuai Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah ditegaskan tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, serta menciptakan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada intinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari penataan ruang. Walaupun dalam kenyataannya, kondisi lingkungan masih banyak yang terabaikan. Tulisan ini merupakan sebuah pengantar untuk memahami penataan ruang dan keterkaitannya dengan pembangunan berkelanjutan, dilengkapi dengan upaya penerapan di Indonesia dan praktek unggulan manca Negara. Bagian Pertama Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan 1.1
Pengertian Pembangunan Berkelanjutan
Pada awalnya, istilah yang dikenal adalah keberlanjutan (sustainability) yang secara umum berarti kemampuan untuk menjaga dan mempertahankan keseimbangan proses atau kondisi suatu sistem, yang terkait dengan sistem hayati dan binaan. Dalam konteks ekologi, keberlanjutan dipahami sebagai kemampuan ekosistem menjaga dan mempertahankan proses, fungsi, produktivitas, dan keanekaragaman ekologis pada masa mendatang (Wardhono, 2012). Dalam perkembangannya seiring dengan kebutuhan menjaga keberlanjutan kehidupan manusia di bumi, masyarakat dunia diperkenalkan pada pemahaman mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Istilah tersebut menjadi terkenal pada tahun 1987 ketika World Commision on Environment and Development atau dikenal sebagai Brundtland Commision menerbitkan buku berjudul Our Common Future (Fauzi, 2004), yang dalam salah satu bagiannya berisikan Brundtland Report (Wardhono, 2012). Beberapa hal prinsip yang dikemukakan dalam Brundtland Report 1 Materi pendukung mata kuliah Manajemen Perkotaan, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta Tahun 2014
diantaranya adalah (i) keberlanjutan didefinisikan sebagai “memenuhi kebutuhan pada masa kini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi pada masa mendatang” (to meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Prinsip penting lainnya dari definisi Brundtland Commission adalah kepentingan mengintegrasikan tiga pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam mencapai tujuan keberlanjutan. Lihat Gambar 1 (Wardhono, 2012).
Gambar 1 : Skema Interaksi Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan Pada tahun 1992 menjadi tonggak penting pembangunan berkelanjutan karena dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia (Keraf, 2002). Konsep berkelanjutan merupakan konsep sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-‐dimensi dan multi-‐ interpretasi. Namun pengertian pembangunan berkelanjutan yang selama ini menjadi acuan adalah sebagaimana telah disepakati Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004). Dapat juga diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan upaya terus-‐menerus yang merupakan bagian dari proses menuju kualitas kehidupan generasi kini dan mendatang yang lebih baik secara ekonomi dan sosial dalam batas daya-‐ dukung suportif sumberdaya alam dan daya-‐tampung asimilatif lingkungan (Wardhono, 2012). Pemenuhan kebutuhan sebagaimana disebutkan di atas berkaitan erat dengan 3 (tiga) jenis sumber daya, yaitu sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia (Barbier, 1993) Menurut Perman et al., (1996) dalam Fauzi (2004), setidaknya ada tiga
alasan utama mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan. Pertama, alasan moral. Generasi kini yang menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral untuk menyisakan layanan sumberdaya alam tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban moral tersebut mencakup tidak mengkestraksi sumberdaya alam yang merusak lingkungan sehingga menghilangkan kesempatan bagi generasi mendatang untuk menikmati layanan yang sama. Kedua, alasan ekologi. Keanekaragaman hayati, misalnya, memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada hal yang mengancam fungsi ekologi tersebut. Ketiga, alasan ekonomi. Alasan dari sisi ekonomi memang masih menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah aktivitas ekonomi selama ini sudah atau belum memenuhi kriteria berkelanjutan. Dimensi ekonomi keberlanjutan sendiri cukup kompleks, sehingga sering aspek keberlanjutan dari sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada pengukuran kesejahteraan antargenerasi (intergenerational welfare maximization).. Selain definisi di atas, Haris (2000) dalam Fauzi (2004) melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu: • Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. • Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-‐sumber ekonomi. • Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan social termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Campbell dan Hack (1999) yang memandang jawaban pembangunan berkelanjutan pada kelayakan ekonomi, kebutuhan sosial, dan keberlanjutan ekologi. Ketiga hal ini adalah aspek penting dalam mencapai jawaban berkelanjutan. Ketiganya perlu dipertimbangkan sebagai keseluruhan mekanisme yang harus berimbang dan simultan, dan kegagalan memenuhinya berdampak pada keberhasilan keberlanjutan.
Gambar 2 Tiga Kunci Utama Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: Campbell, 1997.
1.2
Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan
Secara umum disepakati terdapat 3 (tiga) prinsip dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu (i) kesetaraan lintas generasi (inter-‐generational equity). Keseluruhan kegiatan masa kini seharusnyalah mempertimbangkan dampaknya terhadap kemampuan generasi masa depan memenuhi kebutuhannya. Hal ini seringkali disebut sebagai prinsip masa depan. Prinsip ini mendorong agar nilai aset sumber daya alam saat ini setidaknya dipertahankan sama nilainya di masa depan, yang sering disebut juga sebagai hukum aset sumber daya alam tetap (constant natural assets rule). (ii) Keadilan sosial. Prinsip ini mengacu pada kondisi generasi sekarang, ketika kemiskinan dipandang sebagai penyebab utama degradasi. (kemunduran). Keberlanjutan membutuhan kendali terhadap distribusi sumberdaya agar terdistribusi merata dengan mempertimbangkan kebutuhan dasar. Partisipasi luas dalam kebijakan dan strategi lingkungan merupakan elemen terpadu dalam upaya mencapai prinsip keadilan sosial. Prinsip ini sering juga disebut sebagai kesetaraan intragenerasi (intra-‐generational equity). (iii) Tanggungjawab lintas batas (transfrontier responsibility). Pada dasarnya prinsip ini menyatakan bahwa kegiatan di suatu lokasi tidak berdampak pada lokasi lain (Haughton, 1994). Prinsip ini menjamin pergeseran geografis dampak lingkungan yang minimal dengan upaya-‐ upaya kompensasi. Dalam konteks perkotaan diharapkan tidak terjadi
pemanfaatan sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan pada wilayah di luar perkotaan bersangkutan secara berlebihan yang berdampak terhadap laju pertumbuhannya (Haughton, dan Hunter, 1994). Bagian Kedua Internalisasi Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Perencanaan Tata Ruang 2.1 Prinsip Umum Perencanaan tata ruang konvensional terfokus pada pertumbuhan. Diasumsikan bahwa perkembangan kegiatan ekonomi, penduduk, infrastruktur akan bermanfaat dan setiap dampak negatif dapat diminimalkan melalui penyesuaian seadanya. Terkait pembangunan berkelanjutan, diterapkan suatu pendekatan ekosistem dalam perencanaan tata ruang khususnya perkotaan. Pendekatan ekosistem sangat berbeda. Perencanaan ekosistem merupakan sebuah penolakan terhadap fenomena ‘business as usual’, dengan mengikutsertakan aspek ekologi dan partisipasi masyarakat sebagai dasar proses perencanaan dan sasaran perencanaan. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bukan merupakan sesuatu yang alamiah dan selalu menguntungkan, tetapi dipandang sebagai hal yang dibutuhkan hanya ketika membantu perkembangan dan arahnya memenuhi kepentingan masyarakat yang bergantung pada aspek ekologi. Perbedaan perencanaan konvensional dan perencanaan ekosistem mempunyai implikasi tertentu terhadap perencanaan guna lahan. Implikasi ini dapat disebut sebagai prinsip perencanaan yang mengacu pada pendekatan ekosistem dan berbeda dari praktek perencanaan konvensional, sebagai berikut. i. Prinsip pertama: unit perencanaan berdasar batasan alam. Pendekatan ekosistem menggantikan hirarki unit perencanaan berorientasi politis dengan unit yang didasarkan pada fungsi ekologi dan mengikuti batasan alam. ii. Prinsip kedua: desain mengikuti alam. Kegiatan manusia merupakan bagian dari lingkungan dan keterbatasan ketersediaan sumberdaya dan ketahanan ekosistem seharusnya menjadi pertimbangan. iii. Prinsip ketiga: mempertimbangkan dampak global dan kumulatif. Perencanaan ekosistem mengadopsi perspektif yang lebih luas dan lebih lama yang memasukkan perhatian terhadap lintas-‐batas, lintas-‐generasi, dampak kumulatif. iv. Prinsip keempat: mendorong pengambilan keputusan lintas kewenangan. Perencanaan konvensional dihasilkan dari beragam kewenangan (pusat-‐ daerah; pusat-‐pusat; daerah-‐daerah) yang tidak saling berhubungan.
Pendekatan ekosistem berusaha mengatasi ini melalui pembentukan unit perencanaan, institusi dan metode yang mendorong pengambilan keputusan terpadu, dan lintas kewenangan. v. Memastikan konsultasi dan fasilitasi kerjasama dan kemitraan. Pendekatan ekosistem secara aktif melibatkan beragam pemangku kepentingan secara efektif dan proses perencanaan yang terbuka (Gibson, 1997 dalam Mungkasa, 1997). 2.2 Keterkaitan Penataan Ruang dan Pembangunan Berkelanjutan Berdasar pertimbangan keberlanjutan fungsi ekologis, penataan ruang seharusnya dilakukan melalui pendekatan (Mukaryanti dkk, 2007): • Memahami peran dan fungsi kota dan wilayah dalam konteks ekosistem. • Konservasi ruang alami yang berfungsi ekologis. Penataan ruang dilakukan dengan seoptimal mungkin mempertahankan ruang yang berfungsi ekologis sebagai komponen pembentuk struktur ruang serta mengendalikan pemanfaatan ruang yang dapat menurunkan kapasitas fungsi ekologis. Selain itu, untuk meminimalkan kerentanan wilayah terhadap bencana alam. • Penyediaan ruang buatan penunjang fungsi ekologis. Ruang buatan yang dimaksud diantaranya adalah waduk, drainase, dan polder. • Penyediaan ruang pengolah limbah untuk melindungi kelangsungan fungsi ekologis. • Optimalisasi pemanfaatan ruang terbangun. Misalnya melalui pengembangan kota kompak (compact city) berupa penggunaan lahan campuran, pembangunan vertikal dan penyisipan bangunan yang didukung pengembangan sistem transportasi masal dan jalur pedestrian yang terpadu dengan guna lahan. Menurut Budihardjo (2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya dan menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering terjadi di Indonesia adalah konflik antarpelaku pembangunan yang terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert), ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat. Konflik yang terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan tradisional di perkotaan terjadi konflik yang sangat tajam; proyek “urban renewal” sering diplesetkan sebagai “urban removal”; fasilitas publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern dan minimalis karena alasan ekonomi.
Dalam kondisi seperti ini, maka kota bukanlah menjadi tempat yang nyaman bagi warganya. Kaidah-‐kaidah pembangunan berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai slogan yang terdengar sangat indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak belakang. Terkait dengan berbagai konfl ik tersebut, maka beberapa usulan yang diajukan Budihardjo (2005) untuk meningkatkan kualitas perencanaan ruang, antara lain: • Orientasi jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangkapendek yang bersifat inkremental, dengan wawasan pada pelaksanaan atau action oriented plan. • Penegakan mekanisme development control lengkap dengan sanksi (disinsentif) bagi berbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan. • Penataan ruang secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-‐model advocacy, participatory planning dan over-‐the-‐board planning atau perencanaan lintas sektoral, sudah saatnya dilakukan secara konsekuendan konsisten. • Perlu peningkatan kepekaan sosio kultural dari para penentu kebijakan dan para professional (khususnya di bidang lingkungan binaan) melalui berbagai forum pertemuan/diskusi/ceramah/publikasi, baik secara formal maupun informal. • Perlu adanya perhatian yang lebih terhadap kekayaan khasanah lingkungan alam dalam memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efi sien. • Keunikan setempat dan kearifan lokal perlu diserap sebagai landasan dalam merencanakan dan membangun kota, agar kaidah a city as a social workof art dapat terejawantahkan dalam wujud kota yang memiliki jati diri. Fenomena globalization withlocal flavour harus dikembangkan untuk menangkal penyeragaman wajah kota dan tata ruang. Disamping enam usulan tersebut tentunya implementasi indikator-‐indikator pembangunan berkelanjutan yang berpijak pada keseimbangan pembangunan dalam sedikitnya 3 (tiga) pilar utama, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial harus menjadi dasar pertimbangan sejak awal disusunnya suatu produk rencana tata ruang kota/wilayah. Bagian Ketiga Penerapan Penataan Ruang Berkelanjutan 3.1
Pembangunan Kota Berkelanjutan
3.1.1 Pengertian Kota Berkelanjutan Istilah kota berkelanjutan mengandung 2 (dua) istilah yang penting yaitu kota dan berkelanjutan. Dimulai dengan istilah kota yang beragam pengertiannya, dapat dirangkum berbagai karakteristik sebuah kota yaitu (i)
merupakan konsentrasi penduduk, dalam arti jumlah, kepadatan, dan pertambahan penduduk yang lebih tinggi; (ii) merupakan kawasan terbangun yang lebih massif; (iii) merupakan pusat produksi dan produktivitas barang dan jasa; (iv) bukan merupakan kawasan pertanian dalam arti luas; (v) didominasi oleh permukiman kota, bangunan komersial, bangunan industri, bangunan pemerintahan, dan bangunan social; (vi) dilengkapi oleh prasarana dan sarana transportasi, ekonomi, dan sosial perkotaan; (vii) dilengkapi oleh utilitas air bersih, drainase, air kotor, persampahan, telepon, dan listrik; (viii) penduduk kota cenderung berlatarbelakang heterogen, berpendidikan relatif lebih tinggi, berstatus ekonomi dan sosial lebih baik, bersifat rasional dan individualistik, dan memiliki inovasi dan kreativitas lebih maju (Wardhono, 2012). Sementara pembangunan kota berkelanjutan, dengan fokus ruang pada daerah perkotaan, diartikan sebagai upaya meningkatkan kualitas kehidupan kota dan warganya tanpa menimbulkan beban bagi generasi yang akan datang akibat berkurangnya sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan (Urban21 Conference, Berlin, Juli 2000). Dalam konteks yang lebih...