Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB Sebagai Pajak Daerah PDF

Title Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB Sebagai Pajak Daerah
Author P. Permata Mustofa
Pages 31
File Size 532.3 KB
File Type PDF
Total Downloads 293
Total Views 593

Summary

KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB P2 DAN BPHTB SEBAGAI PAJAK DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Kebijakan Finansial dan Fiskal Oleh: Dian Purnama Sari 105030100111123 Putri Permata Taqwa 105030100111127 Fitron Fahmi Faruqi 105030100111129 K...


Description

KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB P2 DAN BPHTB SEBAGAI PAJAK DAERAH DALAM RANGKA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Kebijakan Finansial dan Fiskal

Oleh: Dian Purnama Sari

105030100111123

Putri Permata Taqwa

105030100111127

Fitron Fahmi Faruqi

105030100111129

Kelas : G

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 A.

LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1

B.

RUMUSAN MASALAH ........................................................................................ 3

C.

TUJUAN ................................................................................................................. 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................................. 4 A.

TEORI EMPIRIS .................................................................................................... 4

B.

TEORI TEORITIK ................................................................................................. 6 1.

Kebijakan Fiskal ................................................................................................. 6

2.

Pajak Bumi Dan Bangunan ................................................................................. 8

3.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan .................................................. 9

4.

Konsep Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................ 10

5.

Pendapatan Asli Daerah .................................................................................... 16

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................. 18 A.

KEBIJAKAN PENGALIHAN PBB P2 DAN BPHTB ........................................ 18

B.

PENGARUH PENGALIHAN PBB DAN BPHTB SEBAGAI PAJAK DAERAH

PADA PENINGKATAN PAD ..................................................................................... 22 BAB IV PENUTUP .......................................................................................................... 26 A.

KESIMPULAN ..................................................................................................... 26

B.

SARAN ................................................................................................................. 26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 28

Page | ii

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai salah satu bentuk continuous improvement, Pemerintah secara konsisten berupaya memperkuat dan menyempurnakan kebijakan desentralisasi fiskal untuk mendukung tercapainya peningkatan layanan publik di daerah. Konsistensi tersebut diwujudkan tidak hanya melalui penguatan desentralisasi fiskal dari sisi pengeluaran, tetapi juga dari sisi penerimaan berupa perluasan local taxing power. Salah satu wujud nyata komitmen tersebut adalah dengan mengalihkan BPHTB dan PBB-P2 menjadi pajak daerah. Pengalihan kedua jenis pajak tersebut merupakan langkah fundamental yang dilakukan dalam rangka memperbaiki struktur keuangan daerah. Apabila dilihat dari karakteristiknya, yakni dari sisi kepada siapa sebagian besar penerimaannya diserahkan, kedua jenis pajak tersebut merupakan pajak daerah. Namun, kewenangan dalam hal penentuan basis pajak, pentarifan, pemberian hasil penerimaan (tax sharing) dan pengelolaan administrasinya masih berada pada Pemerintah Pusat. Dengan diberlakukan UU 28 Tahun 2009, maka seluruh kewenangan dalam pemungutan diserahkan kepada Pemda. Dengan demikian BPHTB dan PBB-P2 diharapkan bisa menjadi salah satu sumber PAD yang potensial bagi daerah, dibandingkan dengan keseluruhan penerimaan pajakpajak daerah yang ada selama ini. Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan

PBB P2 dan BPHTB.

Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh menteri keuangan bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182). Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tersebut merupakan suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Bentuk kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Hal ini adalah titik balik dalam pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pengelolaan Pajak

Page | 1

Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2). Dengan pengalihan ini

maka

pengadministrasian,

kegiatan

proses pendataan, penilaian,

pemungutan/penagihan

dan

pelayanan

penetapan,

PBB-P2

akan

diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Dilihat dari berbagai aspek, pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah merupakan kebijakan yang tepat. Untuk kelancaran pengalihannya diperlukan perencanaan yang matang, implementasi rencana yang konsisten, serta monitrong dan evaluasi yang berkesinambugan sebagai landasan untuk melakukan penyempurnaan. Kebijakan pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah dilakukan melalui suatu proses pembahasan rancangan undang-undang yang cukup panjang antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor strategis serta kondisi daerah yang berbedabeda, pemerintah dan dewan perwakilan rakyat akhirnya menyepakati pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah dengan beberapa kondisi, antara lain: (1) pemungutan BPHTB dan PBB P2 dapat dilakukan oleh daerah secara optimal, dan (2) pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami penurunan. Masa transisi pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 dan mulai efektif menjadi pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011. Sedangkan PBB P2 masih tetap dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak paling lama sampai dengan 31 Desember 2013. Selama masa transisi, Pemerintah melakukan berbagai kegiatan untuk mempersiapkan daerah menerima pengalihan BPHTB dan PBB P2 dari pemerintah pusat. Hampir seluruh instansi terkait, utamanya jajaran Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperlancar pemungutan BPHTB dan PBB P2 oleh daerah. Namun demikian, persiapan yang matang dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dalam mengimplementasikan UU Nomor 28 Tahun 2009 merupakan faktor penentu kelancaran pengalihan BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah. Dari paparan di atas,maka kelompok kami mengangkat judul “Pengalihan PBB P2 dan BPHTB Sebagai Pajak Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)”. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih

Page | 2

lanjut mengenai kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB sekaligus membahas pengaruhnya bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB? 2. Bagaimana pengaruh pengalihan PBB P2 dan BPHTB pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)?

C. TUJUAN 1. Untuk mengetahui kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB 2. Untuk memahami pengaruh kebijakan pengalihan PBB P2 dan BPHTB pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Page | 3

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. TEORI EMPIRIS Berdasarkan jurnal yang berjudul “Implikasi Kebijakan Pengelolaan PBB Setelah Berlakunya UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” oleh Pamuji Kadar menyatakan bahwa pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1995 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pelaksanaan desentralisasi fiskal (yang dimulai per 1 Januari 2001) dipandang banyak pengamat sebagai pendekatan bing-bang dikarenakan secara radikal mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah (Kuncoro 2004) dengan jangka waktu persiapan yang sangat pendek untuk negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro 2003).

Akibatnya, kebijakan ini memunculkan kesiapan daerah yang beragam, terlebih ditengah-tengah upaya untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang berkepanjangan Saragih (2003) menyatakan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi (PDRB) rata-rata lebih dari 5% (lima persen). Pada tahun 1998 rata-rata daerah mengalami pertumbuhan negatif. Sedangkan pada tahun 1999 dan 2000 (sebelum pelaksanaan otonomi) beberapa daerah sudah menunjukkan pertumbuhan yang positif, sementara beberapa daerah lain masih kesulitan untuk melepaskan diri dari belenggu krisis. Pelaksanaan desentralisasi fiskal, bisa jadi menimbulkan perbedaan orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemda lebih menghadapi masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan ekonomi (economic constraints) yang justru menjadi perhatian

Page | 4

pemerintah pusat (Rafinus 2001). Akibatnya pemda akan lebih banyak terkonsentrasi pada permasalahan alokasi daripada permasalahan stabilisasi (perekonomian). Dengan kata lain upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil menjadi terabaikan dikarenakan adanya persoalan keterbatasan (keuangan). Pengalaman dan kapabilitas pemda dalam pengelolaan keuangan menjadi faktor penting dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut secara simultan. Myrdal (1957) sebagaimana dikutip Kuncoro (2004) menyatakan bahwa perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (terjadinya ketidakseimbangan horizontal). Hal ini disebabkan pelakupelaku yang mempunyai kekuatan di pasar akan cenderung meningkat, sehingga menyebabkan ketimpangan daerah yang semakin tinggi (Arysad 1999). Kuznets (Kuncoro 2004) menyatakan bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan, disitribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal ini akan membaik. Hal ini memberikan indikasi diperlukannya dimensi waktu yang panjang untuk melihat pengaruh positif pembangunan terhadap pertumbuhan. Reformasi perpajakan di Indonesia (Tax Reform ) dicetuskan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1983 atau setelah 38 tahun Indonesia merdeka. Tax Reform pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah terhadap ketentuan perpajakan yang bersifat sangat mendasar yaitu mengenai prinsip, sistimatika serta dasar falsafahnya. Beberapa pertimbangan pemerintah melakukan reformasi perpajakan adalah karena banyaknya perundang-undangan pajak yang membingungkan rakyat. Pada saat itu pemerintah sudah mulai memebuat ketentuan mengenai perpajakan sementara ketentuan produk Hindia Belanda masih efektif berlaku, sehingga hak itu dipandang sangat membebani rakyat karena banyaknya macam pemungutan pajak. Kebijakan “pendaerahan” PBB tentunya tidak terlepas dari kebijakan penyelenggaraan

pemerintahan

di

Indonesia.

Dalam

perkembangannya,

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah mengarah kepada pelaksanaan otonomi luas. Pasca reformasi pemerintahan tahun 1998, Pemerintah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan arah kebijakan pembangunan bagi daerahnya, yang dituangkan dalam wujud otonomi daerah seluas–luasnya dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Kebijakan desentralisasi tersebut akan berhasil jika aparat pemerintah daerah cukup terlembaga sehingga mampu menciptakan tata pemerintahan yang demokratis. Perjalanan menuju

Page | 5

pelaksanaan desentralisasI tersebut merupakan perwujudan konkrit akan adanya tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah.

Dibandingkan dengan UU PDRD lama, maka terdapat penambahan 3 (tiga) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu PBB Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Sarang Burung Walet. Jenis pajak yang selama ini di- pungut oleh Pusat, yaitu PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB. Pemberlakuan pemungutan PBB dan BPHTB akan dilakukan secara bertahap. BPHTB akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2011, sedangkan PBB Perdesaan dan Perkotaan akan dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah pada tanggal 1 Januari 2014.

B. TEORI TEORITIK 1. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. (Wikipedia : 2013). Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Contoh kebijakan fiskal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi, pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran. Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi

Page | 6

pemerintah, jumlah transfer pemerintah, dan jumlah pajak yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional dan tingkat kesempatan kerja. Jenis-jenis kebijakan fiskal jika ditinjau dari sisi teori, ada tiga macam kebijakan anggaran, yaitu: a.

Kebijakan anggaran pembiayaan fungsional (functional finance). Kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat berbagai akibat tidak langsung terhadap pendapatan nasional dan bertujuan untuk meningkatkan kesempatan kerja.

b.

Kebijakan pengelolaan anggaran (the finance budget approach). Kebijakan untuk mengatur pengeluaran pemerintah, perpajakan, dan pinjaman untuk mencapai ekonomi yang mantap.

c.

Kebijakan stabilisasi anggaran otomatis (the stabilizing budget). Kebijakan yang mengatur pengeluaran pemerintah dengan melihat besarnya biaya dan manfaat dari berbagai program. Tujuan kebijakan ini adalah agar terjadi penghematan dalam pengeluaran pemerintah.

Jika dilihat dari perbandingan jumlah penerimaan dengan jumlah pengeluaran, kebijakan fiskal/anggaran dapat dibedakan menjadi empat jenis. a.

Kebijakan Anggaran Seimbang. Kebijakan anggaran seimbang, adalah kebijakan anggaran yang menyusun pengeluaran sama besar dengan penerimaan.

b.

Kebijakan Anggaran Defisit. Kebijakan anggaran defisit yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun pengeluaran lebih besar daripada penerimaan.

c.

Kebijakan Anggaran Surplus. Kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun pengeluaran lebih kecil dari penerimaan.

d.

Kebijakan Anggaran Dinamis. Kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran dengan cara terus menambah jumlah penerimaan dan pengeluaran sehingga semakin lama semakin besar (tidak statis).

Page | 7

2. Pajak Bumi Dan Bangunan Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan. (Wikipedia : 2013). Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan NJOP. Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP kurang dari 1 miliar rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak. Pembayaran PBB dapat dilakukan melalui bank persepsi, bank yang tercantum dalam SPPT PBB tersebut, atau melalui ATM, melalui petugas pemungut dari pemerintah daerah serta dapat juga melalui kantor pos. Obyek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah (UU Nomor 12 Tahun 1994) : 

digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.



digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;



merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum di bebani suatu hak;



digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

Page | 8



digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

3. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai perolehan obyek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan obyek pajak. (Wikipedia : 2013). Pada dasarnya obyek dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah setiap upaya pemindahan hak atau pemberian hak atas tanah dan bangunan. Obyek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dapat dijabarkan sebagai berikut: 
...


Similar Free PDFs